naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 40

Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, tiba-tiba Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang amat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sastrawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?” Liong Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apalagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar. Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak kalau diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu. Maka, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, blarpun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia jugc seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk. “Eh, nona... siapa yang mengeroyok! Biarpun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri untuk melawannya?” katanya membantah. “Majunya memang seorang diri, akan tetapi kalau Thian Sin dilawan secara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ade batasnya. Apa artinya locianpwe menang kalau menangnya itu karena dia sudah kelelahan melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?” Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya diketahuinya dari berita saja. Melihat sikap dan wajah pemuda itu, dia sama sekali tidak mempunyai hati membenci, karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah. “Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu... aku tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan...” Kim Hong tersenyum. “Tidak perlu sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe hendak melakukan kewajiban sebagai seorang tamu dan sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Dan locianpwe juga menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?” Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka diapun mengangguk dan berkata, “Benar... benar sekali, nona.” Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya. “Nah, ketahuilah, locianpwe, yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah akul Jit Goat Tosu adalah supekku, juga musuhku dan karena akulah maka dia membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita main-main sebentar!” Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu. Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang pernah menjadi Lam-sin dan yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan! “Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!” Memang pandai sekali Kim Hong. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu agar tidak mundur kembali. Gadis ini tidak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, kalau sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimanapun juga, ialah yang menyebabkan Thian Sin dihadapi oleh para pendekar untuk diadili! “Nona muda, kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis agaknya. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkaupun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.” “Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe dan semua orang di sini tidak menantang, kamipun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!” Bocah ini sungguh tekebur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah seorang yang memiliki kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau setidaknya lebih tinggi daripada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan! “Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus dan diapun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong segera mengenal ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka cepat iapun mengelak. Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong. Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan gin-kangnya yang memang istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat sambaran caping itupun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya. “Plak-plak-plak!” Tiga kali berturut-turut ia menampar dan tiga kali pula kakek itu dapat menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sin-kangnya sendiri seolah-olah besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tidak menimbulkan bekas apa-apa. Tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, namun sesungguhnya merupakan sin-kang tingkat tinggi yang selain dapat dipergunakan untuk melawan sin-kang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai menyambut senjata lawan. Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi diapun cepat mengirim serangen bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan kedua kakinya yang mengirim tendangantendangan berantai. Kakek ini terkenal sekali dengan langkah-langkah Cap-sha-seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke manapun lawan menyerang tubuhnya dan menghindarkan dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu. Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu, bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, bahkan juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu. Setelah lawan mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping, Kim Hong menjadi repot juga. Belum pernah ia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar dengan cepatnya dan mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali. Bahkan keunggulannya dalam hal gin-kang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban serangan tiba-tiba yang tidak tersangka-sangka datangnya itu. Biarpun ia sudah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan. “Srattt...” tiba-tiba nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar, yang segulung menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula. Akan tetapi, tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin dan ia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apalagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu ia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan berbalik ia kini mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba ia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Ia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras. Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba sanggul rambut Kim Hong terlepas, dan gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan! “Tukkk! Ahhhhh...!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah mengira akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya sudah tertotok, membuat jari-jari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya. Ketika dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalangnya. Terpaksa dia meloncat mundur dan caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!” Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya dan menjura sambil tersenyum. “Terima kasih, locianpwe telah mengalah, dan akupun tidak ingin bermusuh dengan siapapun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tidak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikitpun niat jahat dalam hatiku.” Dan iapun mundur. Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi, kami telah datang ke sini untuk mempertanggungjawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, kalau masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras dan wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka telah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan tamu-tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti menghina Kun-lun-pai pula! Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu, Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin. “Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba kauperlihatkan bagaimana engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut. “Tiong-ko... jangan...!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tidak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu kalau saja tidak tiba-tiba Kim Hong menarik lengannya dari belakang. “Tiong-ko... jangan mengangkat tangan terhadap diriku...” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan. “Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawa kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi. “Dukkk...!” Kim Hong yang menangkis. “Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu dipergunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang. “Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.” Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang, “Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku berjumpa dengan Pendekar Sadis, telah kuenyahkan Lam-sin dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!” Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Mari kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kusangka akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko...” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu. Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!” “Tahan...!” Tiba-tiba Han Tiong berteriak dan diapun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya. “Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?” Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan tentang Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah totiang kini sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?” Semua orang terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai... siancai... siancai...! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.” Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Siancai... pinto mohon maaf...” Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasihat orang-orang tua dan dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi. *** Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar datang memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dihadiri oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh-tokoh utama dari dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat datangnya ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu. Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Dia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw dan dia beberapa kali bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata, “Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam di sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.” Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aih, bagaimana Thian Sin memperoleh jodoh datuk kaum sesat?” “Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin telah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang amat lihai ilmunya. Asalkan ia benar-benar sudah sadar dan mengubah jalan hidupnya, tidak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong. “Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!” “Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya. Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itupun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan jika ia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja... ah, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, agaknya akan sukarlah untuk mengatasi mereka kalau mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te sudah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itupun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan merupakan pasangan yang mungkin sukar dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.” Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Kakek itu usianya sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itupun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san. Setelah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru diketahui bahwa kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga. “Paman dan bibi, kenapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu. Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, dan kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah ia kematian suaminya yang pertama. “Pertama, ada terjadi sesuatu yang tidak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau dapat bertemu dengan dia. Ah, anak itu nakal sekali!” “Telah terjadi hal apakah yang membuat tidak enak?” Han Tiong bertanya sambil memandang kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu. Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang telah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian...” “Ahh, sungguh memalukan...!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja ia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula! Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia telah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan memiliki kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman ketika dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat! Benar pula kata ayahnya, biarpun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan diapun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lain seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain? “Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang ia cocok sekali kalau menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum. Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana daripada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula betapa mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat! “Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia telah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia telah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.” Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To. “Ah, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk kaum sesat.” kata Han Tiong. “Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang baik sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.” “Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.” “Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu...” “Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.” “Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun dan mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwanya yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu. Mereka bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tidak berjumpa sampai akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah dipersiapkan. Agaknya karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga memperoleh tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu. Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan kemudian sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu. Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata, “Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepatutnya kita lakukan terhadap perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, dan juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabannya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suhengnya, Kui Im Tosu. Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Biarpun mereka bicara perlahan-lahan setelah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya menanti keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara. Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!” Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan diapun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apapun juga. Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwa-kang (tenaga luar), mempunyai otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam, namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam. Hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan diapun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis melainkan sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya ketika semua orang memperhatikan dirinya. Betapapun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidaksenangan hati mereka. Keadaan menjadi berisik sekali. “Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!” “Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!” “Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!” “Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!” Dan teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yaitu lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga dan ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak dan bangkit berdiri, mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali. “Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya kalau dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.” Setelah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong. “Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.” “Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang lebih tepat untuk bicara.” “Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu. Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!” Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya dan menanti apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis. Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khi-kang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya. “Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tidak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau saya sebagai ayah angkatnya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lemhah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.” Semua orang menjadi semakin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga itu sungguh mantap dan mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka diapun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu. “Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.” “Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang tersebut sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit hendak menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarangpun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Mengapa justeru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Mari kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur dan suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?” Sejenak semua tamu hanya saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang berteriak, “Karena Pendekar Sadis amat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!” Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!” “Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!” “Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!” Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka diapun mengangkat tangan meredakan suasana, lalu melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap. “Menurut pendengaran saya, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Mari kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?” Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak mampu menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula. “Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!” Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, dan dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?” “Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu berteriak membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai. “Baiklah, mari kita perbincangkan. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, melainkan sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat dan membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, kalau seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan ia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa sejak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu kini berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga telah menanggalkan kedudukan dan julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?” Pendekar Lembah Naga bicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik. “Siancai...! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!” “Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itupun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, berturut-turut ia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?” Banyak suara menyatakan betul demikian. “Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, sedangkan cu-wi yang bukan apa-apa merasa sakit hati?” “Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang. “Toan Ong adalah seorang yang amat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain. Sin Liong tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “TIdak ada yang menyangkal Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar dan tidaklah aneh kalau kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyeselan. Akan tetapi saya kira tidak tepat kalau Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu karena ia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena ia bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, melainkan dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong adalah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan sudah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, setelah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman kepada wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong memandang ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kui Yang Tosu juga memandang kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?” “Ingat, totiang. Saya datang bukan sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan percaya bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada saat dia menentang kejahatan pangeran itu dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.” “Siancai...! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya. “Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi agar lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kauceritakanlah!” Han Tiong bangkit berdiri dan Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit daripada ayahnya, sikapnya juga tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biarpun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, namun dia tidak kalah gagahnya. Setelah menjura kepada para tamu pemuda inipun dengan lantang mulai bercerita. Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan karena tidak berani melawan suhengnya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suhengnya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suhengnya menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di pulau kosong, meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai gadis itu berjumpa dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat. “Toan Kim Hong mencari supeknya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai orang buruan. Akhirnya ia mendengar bahwa supeknya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas atas kesengsaraan mendiang ayahnya kepada supeknya sendiri. Mereka minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai untuk diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus dan diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Dan mereka berduapun bertemulah dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu bertempur melawan mereka dan mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal telah membuat sengsara sutenya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka dan mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorangpun anggauta Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya. Cia Sin Liong kemball bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya yang terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu. “Siancai... tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka telah melanggar wilayah kami dan pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?” “Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka itu bukan masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?” “Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, memaksa supeknya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?” “Setiap orang memang mempunyai pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi, jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supeknya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tidak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendaknya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andaikata sampai mati di tangan murid keponakannya sekalipun, hal itu adalah urusan dalam perguruan mereka sendiri.”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger