naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 430

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok. Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak. Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah ke¬pada mereka. Barulah dia kini mengada¬kan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu. Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya. “Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,” katanya “Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya di sini saja?” Ceng Han Houw menggelengkan ke¬palanya. “Kurasa hal itu kurang biiak¬sana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesai¬kan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita run¬dingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu.” Pangeran itu meman¬dang isterinya yang sudah berpakaian indah. “Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat ku¬andalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja.” Bi Cu tidak menjawab melainkan me¬mandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk. “Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian,” katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. “Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian.” Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya. Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pa¬ngeran akan keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tam¬pan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia ber¬jalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya ter¬senyum dan sedikitpun dia tidak kelihat¬an canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan ke-lihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena mak¬lum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat se¬pasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang. Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir. Empat orang pendekar ini mengerut¬kan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pan¬dangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang ber¬bakat ini terdapat batin yang rendah? Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayang¬kan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini di¬miliki seorang yang dapat diperalat se¬demikian mudahnya oleh pemberontak ini? Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang pendampingnya itu, karena me¬mang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pan¬dang matanya agar jangan sampai ben¬trok dengan pandang mata ibu kandung¬nya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandangnya dengan marah. Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya. Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu yang ber¬macam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup. Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak se¬hingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap. Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib, “Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!” Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah me¬mandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana men¬jadi sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengun¬dang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanyalah memillh golong¬an mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemu¬an untuk membicarakan keadaan masya¬rakat, atau juga membicarakan soal per¬silatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang di¬anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan anta¬ra yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di undang¬an itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia! Mereka sudah men¬dengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang sudah menundukkan tidak se¬dikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa! “Cu-wi yang mulia,” terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang, “Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang ku¬rang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan mem¬berontak kepada orang-orang gagah per¬kasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang men¬junjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk me¬nentang kelaliman. Dan hal ini baru da¬pat dilaksanakan dengan baik apabila kita mempunyai seorang bengcu yang bijak¬sana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu ke¬pandaian silat paling tinggi, merupakan se¬orang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, “Kami tidak setuju...!” Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai. Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang. “Setiap orang tamu berhak untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!” Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang. “Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat.” Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan me¬nyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan meng¬angkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali. “Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan,” katanya tenang. “Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijak¬sanaan dengan musyawarah apabila ter¬jadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita semua dalam pem-berontakan terhadap pemerintah.” Setelah berkata demikian, pemuda gagah itu ber¬henti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi. “Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju.” Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bi¬cara sendiri. “Cu-wi harap tenang!” tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya, “Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapapun boleh boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!” Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibong¬kar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandung¬nya! “Houw-ko,” bisiknya. “Aku tidak dapat menerima ini!” Sin Liong bangkit berdiri dan di anta¬ra para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong se¬gera berseru nyaring, “Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikut-ikut mem-perebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!” Dan diapun duduk kembali. Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, “Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat melawan dan menandingi kepandai¬an adik angkatku ini lebih dulu!” Kembali semua orang bertepuk ta¬ngan dan bersorak. “Houw-ko, aku tidak mau!” Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan men¬dekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula. “Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak...” Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisik¬an ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa da¬lam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati daripada dia harus membantu pa¬ngeran dengan rencana gilanya. “Aku tidak sudi!” katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, me¬nuju ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu ha¬nya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pe¬muda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun makin keras tertawa dan bersorak. Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, “Apa yang telah kau¬lakukan ini, pangeran?” “Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil.” Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah meng¬angkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik. “Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!” Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang men¬jadi semakin riuh bertepuk tangan me¬muji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata ibu kan¬dungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya. Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan. “Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?” kata Bun Houw dengan marah. “Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?” “Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah,” bisik Cia Giok Keng. “Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si.” Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu? Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng de¬ngan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis, “Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!” “Ah, jangan begitu, enci Keng!” adiknya menyela. “Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga.” kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya. Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar. “Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana ter-dapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya me¬melopori para enghiong di sini agar per¬temuan ini menjadi lebih gembira.” Sam¬bil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengerti¬lah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah is¬terinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus. “Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong.” Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar se¬perti itu! Akan tetapi karena dia mak¬lum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata sesuatu melainkan bangkit ber¬diri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu. Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan se¬orang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh ti¬dak rugi sekali ini, pikirnya. Dapat ber-sentuhan lengan dan tangan dengan wani¬ta seperti ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sem¬barangan wanita, melainkan isteri se¬orang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Ma¬ka diapun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah. “Orang she Loa, kau mulailah!” Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu. “Eh... oh... mana saya berani mendahului?” kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini. “Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!” kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah di¬pandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebalik¬nya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa kagum karena me-mang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu. Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorong¬nya maju adalah untuk dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menang¬kap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangan¬nya dan kini kaki kirinya bergerak me¬nendang dengan cepat. Akan tetapi, sam¬bil tersenyum lebar lawannya menggerak¬kan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menang¬kap kaki yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si! “Hemmm...!” Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat menyam¬bar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri. “Desss...!” Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas! Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rom¬bongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat ke¬pada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus! Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan. Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya. Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu, “Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali meng¬uji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran.” Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw! Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, “Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri.” “Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto.” Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah sauda¬ra tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaian¬nya amat tinggi. Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi karena dia sedang menghadapi urusan besar. “AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!” Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun lalu melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, dan menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik, “Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi.” Mendengar dua orang ini, tahulah tosu dia berhadapan dengan orang-orang pan¬dai. Dia telah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar melainkan me¬rasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapi¬nya melainkan menyuruh dua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pange¬ran itu jerih kepadanya, maka diapun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit. “Pinto telah mendengar tentang nama besar Lam-hai Sam-lo,” katanya dengan nada suara mengejek, “Pangeran telah memerintahkan kalian maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?” Ucapan ini biarpun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada me¬ngejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu setelah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu. Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinyapun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya, “Tosu bulukan! Tekebur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan macam engkau, cucukupun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biarkan aku yang menghajar manusia sombong ini!” Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lalu mundur sambil berkata, “Hati-hati, jangan pandang rendah dia.” Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena meng¬hadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewas¬padaan. Kini dua orang itu sudah saling ber¬hadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu kurang begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw. Dan oleh karena yang hadir dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan per¬taruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sejumlah dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu. Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, “Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usiapun kita tidak akan dapat saling berjumpa, apalagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, karena sesungguhnya kedatang¬an pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran...” “Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk mengundurkan diri!” Kim¬-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan. Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi. “Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang som¬bong!” bentaknya dan diapun sudah menggerakkan jari-jari tangannya dan ter¬dengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat me¬ngerikan, dan kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya daripada sepasang sen¬jata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang ber¬warna kehijauan, mengandung hawa be¬racun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani me¬nerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun). Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri ada¬lah seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, na¬mun dia tidak menjadi gentar. “Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!” dia mengejek. Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan mem¬bakar hati lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi ter¬balik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya. Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan se¬belum serangan itu tiba, hawa pukulan¬nya yang mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dah¬syatnya. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan. “Dukkk!” Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepetan gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat. Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk me-lindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan. Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaian¬nya memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukul¬an yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga. Banyak di antara mereka yang ber¬taruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat meng¬imbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu. Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur ke¬luar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, “Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri...” Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis. “Plakkk... desss!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan ini dadanya yang terguncang hebat. Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran. “Sungguh curang!” bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali. Kim-liong-ong hanya tersenyum me¬ngejek ke arah pemuda itu. Melihat be¬tapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar. “Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!” “Siapa bilang tidak curang? Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua melihat tosu itu se¬dang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!” Ciu Kai Sun ber¬teriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, teruatama sekali dari golongan bersih, mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu. Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. “Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan...” “Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!” Terdengar suata orang lain membenarkan. Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, “Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjjan maka pibu melawan merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?” Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun. “Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah.” Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah! Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju. Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu. “Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?” Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. “Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!” Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, “Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu.” “Biar!” Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok. “Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!” Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain men¬jadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu. “Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, me¬lainkan lawanku!” Sebelum Cia Giok Keng dapat mem¬bantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan, Lam-hai Sam-lo itu me¬mang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan. Se¬mua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat du¬duk paling belakang dan melayang me-nuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, me¬reka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakai¬an sederhana akan tetapi memiliki wiba¬wa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di sam¬ping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya. Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-crang pandai, juga untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling¬-pai. Kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang¬-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dulu dua orang pembantunya itu “menguji” sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang. Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam men¬corong dan penuh wibawa itu saling pan¬dang, dan seolah-olah mereka berdua sa-ling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan men¬cekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan. Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu. “Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenal¬kan diri.” Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka ber¬dua dengan sikap keren, kemudian ter¬dengarlah suara yang lantang dan jelas. “Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!” Baru saja dia berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pen¬dekar ini sungguhpun semua telah men¬dengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai di¬tuduh sebagai pemberontak, bahkan men¬jadi pelarian-pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-katanya. “Kami dari Cin-ling-pal tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!” Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar. Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang. “Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?” Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, “Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!” Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini! Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, “Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka...” “Cukup!” Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. “Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!” Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw. “Paman...!” Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja. “Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya,” bisiknya kembali. Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali. “Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!” kata Phang Tek yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua. “Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!” Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan. Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata, “Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini.” Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lalu berkata tenang, “Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak mempertihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi?” Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri keti¬ka dia mendengar ucapan suaminya itu. Di¬am-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya de¬ngan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak ma¬ju bersama mengeroyoknya. Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang menjadi calon lawan majikan mereka. “Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap.” Setelah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak be¬rani menyebut lain. “Kami akan maju bersama menghadapimu.” “Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!” jawab Bun Houw tak sabar lagi. Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka. Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri! “Wuuut... wuuuttt... plak-plak¬ plak-plak!” Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung! Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya! Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya. Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu. Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu sama sekali belum pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelatak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah. Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan “menguji” pendekar dari Cin-ling-pai itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu. Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengawasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari ma¬suk meninggalkan tempat itu. Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah ber¬kumpul di depan, nonton keramaian di luar. “Bi Cu...!” Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangang mencari-cari. Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak. Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. “Kembalikan Bi Cu!” bentaknya. “Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan lolos dari tanganku!” Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu! Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, “Kembalikan Bi Cu!” Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari de¬pan dan belakang. Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan. “Bresssss...!” Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong! Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekelompok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelan¬ting roboh dan setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan meng¬aduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu. “Brakkkk!” Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama diper¬gunakan hanya untuk menyiksa para ta¬wanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu diper¬gunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pe¬ngawal yang terluka dan tadi lari masuk un¬tuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bah¬wa semua pengawal tidak mampu me¬nahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah “menghadiahi” dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, “Sin Liong...!” Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu¬ tangan yang kini bergantung di lehernya, tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek mu¬ka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya. “Heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-li ter¬kekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. “Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?” “Hek-hiat Mo-li!” Sin Liong mem¬bentak. “Lepaskan Bi Cu!” “Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan melihat pacarmu ini di¬makan api sampai habis dan engkau sen¬diri mampus di bawah tongkatku!” “Nenek iblis!” Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek itu dengan dahsyatnya! “Ihh...! Plakk!” Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong. “Bakar dia!” teriaknya sambil melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan apipun berkobarlah. “Sin Liong...!” Bi Cu menjerit ketika api berkobar mengelilinginya, men¬datangkan hawa panas yang luar biasa. Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat terbakar, dan pembakaran itu me¬mang diatur sedemikian rupa untuk me¬nyiksanya sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dulu dia akan mengalami siksaan luar biasa di¬kurung api berkobar yang besar dan amat panas. Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah maju dengan pedangnya, membantu gurunya mengero¬yok Sin Liong. Pedangnya bergerak de¬ngan amat cepatnya, lenyap bentuk pedang di tangan Kim Hong Liu-nio, ber¬ubah menjadi segulung sinar berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan, juga tong¬kat di tangan nenek muka hitam itu ber¬bahaya bukan main, karena gerakannya didorong oleh sin-kang yang amat hebat. Sekali ini Sin Liong benar-benar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya terdiri dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu. Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan, dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya untuk menyela¬matkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan. Namun, dua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan kelengah¬an Sin Liong karena perhatiannya ter¬tarik ke arah Bi Cu membuat dua kali punggung dan pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia tidak memiliki kekebalan dan cepat menggunakan Thi-khi-i-beng, tentu dia sudah roboh oleh dua kali hantaman itu. Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi dengan mengeluarkan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan me¬nyambar dahsyat dan dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur. Di lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kem¬bali Sin Liong terdesak hebat karena dia masih terus mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang terus-menerus memanggil namanya. “Sin Liong... ah, Sin Liong, tolong...!” Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguhpun perhatiannya masih ke depan, ke arah api berkobar. “Dess...!” Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya. “Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya. Gurunya yang maklum akan keadaan muridnya, cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya dan membentot kembali tangan muridnya! Setelah terlepas dari pengaruh Thi-khi-i-beng itu, Kim Hong Liu-nio mengamuk dan menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran bagian tubuh yang berbahaya sehingga kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara itu hatinya merasa semakin gelisah. “Brakkk...!” Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan sesosok bayangan yang amat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian tiba-tiba sehingga bukan hanya mengejutkan Sin Liong, akan tetapi juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li menjadi kaget sekali. Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu? Perlu diketahul bahwa rombongan keluarga Cin-ling-pai itu sesungguhnya berada di Lembah Naga, menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada pemerintah, yaitu kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan mendatangkan korban besar di antara rakyat. Oleh karena terikat oleh tugas inilah maka betapapun marahnya hati Cia Giok Keng melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah maju untuk menentang secara terang-terangan dan dikeroyok oleh kedua orang kakek Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, diam-diam Yap In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah. Oleh karena itu diapun merasa lega, lalu diam-diam dia berunding dengan kakak kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk membantu Cia Bun Houw apabila terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah! Demikianlah mengapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia mengintai dan betapa kagetnya ketika dia mengenal Sin Liong dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li dan murid perempuannya, dan melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Dia sudah tidak mampu berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih! Melihat keadaan dara ini, Yap In Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi balok-balok terbakar ke kanan kiri sehingga terbukalah jalan baginya untuk menerobos masuk. Cepat sekali dia sudah menggunakan jari-jari tangannya yang kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk mematahkan se¬mua belenggu kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu, kemudian dia memondohg tubuh dara itu dan sekali meloncat dia telah keluar dari lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas itu. Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan menyandarkan¬nya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertem¬puran. Sinar matanya berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, se¬perti juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya se¬orang anak yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu di¬keroyok dua secara mati-matian, pan¬dangannya menjadi berubah. “Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!” Dia hendak meloncat memasuki gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata, “Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap jangan mencampuri, biarkan aku menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan kematian kong-kong Cia Keng Hong!” Suaranya mengandung isak karena saking terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Dan juga saking marahnya terhadap dua orang lawannya ini. Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat jalannya pertempuran. Bocah itu menyebut “kong-kong” kepada ayah mertuanya, dan selain menyatakan ingin membalas kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-huyung! Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan gerakan seperti yang dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka diapun lalu berdiri saja dan menonton, mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai membakar dinding rumah dan pilar! Tidak mengherankan apabila Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, setelah melihat Bi Cu selamat, Sin Liong menjadi demikian lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini diapun tidak mau memberi hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari ilmu silat mujijat Hok-mo Cap-sha-ciang. Terjangan pertama membuat dua orang wanita itu terhuyung dan terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil karena pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar. Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong. Pemuda ini mengeluarkan pekik yang dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah, dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali dan dari bawah dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu. “Plak-plak... dessss...!” Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu telah mengerahkan tenaganya dan dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin Liong dan akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya menabrak dinding gudang! Pada saat Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan Hek-hiat Mo-li melakukan penangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagaikan seekor trenggiling dia menggelundung ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san, yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan sinar merah dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana tangguhpun!

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger