naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 27

Puteri Khamita mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orangpun diamlah. Keadaan menjadi sunyi kembali, “Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja, telah menyalahgunakan kekuasaan, merampasi anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tidak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasihatinya agar dia menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakitkan hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia telah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok dan membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!” Semua orang terkejut, baik yang pro maupun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukan hal yang kejam ini. “Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, dapat lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!” Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, walaupun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya ia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai melainkan keturunah Kaisar Beng-tiauw! Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, diapun berkata, “Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang membela Agahai lagi? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja rmmbunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini selain untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim macam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana telah kami duduki. Siapa hendak membelanya?” Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut. “Nah, kalau begitu, aku menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan dengan Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?” “Bunuh dia!” “Bunuh Agahai raja lalim!” “Jangan ampunkan dia!” Teriakan itu makin lama makin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Dan inilah yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan terdengarlah suaranya yang lantang. “Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengang melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu diapun membebaskan totokannya. Terdengar jerit mengerikan, jerit dari mulut Agahai yang tidak merasa ngeri karena melayang ke bawah melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya. Dan memang tubuhnya terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam kepadanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambaknya sehingga akhirnya tubuhnya terkoyak-koyak habis, dan hanya darah dan potongan daging-daging saja yang tinggal setelah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu. Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya den para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya. “Betapapun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan daripada hukuman.” Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena diapun sudah puas menyaksikan semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Bahkan setelah tujuannya datang ke tempat ini telah terlaksana, yaitu membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu. Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia agar pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walaupun pemuda itu mempunyai seorang ibu bangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga! Namun usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka iapun mencoba untuk membujuk kepada Thian Sin untuk menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, kemudian bahkan memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri dan juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja. Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga saya sedikitpun tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik.” Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai sebagai pangeran satu-satunya yang menjadi keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja. *** Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan? Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik “sesuatu” itu merupakan benda ataupun gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu. Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua. Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan. Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang “ini”, selalu mencari-cari dan memandang kepada yang “itu”, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada. Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimanapun juga? Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini? Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Dia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang pada waktu itu, Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya. Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan sekali, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar. Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini kalau berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa serem. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main. Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggauta Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri sudah bubar dan musuh besarnya yang ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin sekali di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka diapun membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu. Daerah ini merupakah daerah yang berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh. Katena dia sendiri adalah seorang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di dalam pohon besar di tengah hutang pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur. Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara. Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada sebatang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat lima orang sedang berteriak-teriak mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang telah berhasil menjebak seekor binatang buas. Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan diam-diam dia terkejut. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya. Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara biruang. Akan tetapi tentu seekor biruang yang besar sekali yang telah tertangkap itu. Dia hanya mengintai dan melihat betapa lima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan. Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah ketika dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar. “Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang. Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tidak nampak berada di dalam lubang dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang. Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya! Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah. “Kita mulai sekarang!” kata seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat di seberang lubang dan menggodanya, memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.” “Tapi... berbahaya sekali untukmu, twako...” “Tidak, aku dapat lari dan naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu. Setelah menerima perintah, sembilan orang itu lalu meninggalkan lubang, berlari-lari dengan cepat mengelilingi jebakan batu dan berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Si pemimpin kini sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan. “Twako, pergilah!” “Larilah!” teriak mereka dengan khawatir. Pemimpin pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah, mencegah binatang itu yang agak hendak merangkak keluar dari dalam lubang. Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu tertangkap oleh binatang itu, terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya. “Dukk...!” Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan diapun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Biarpun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu, terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan! Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang marah, nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya bartering yang mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar. Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biarpun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu! Thian Sin terkejut, dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya! Kini, melihat gerakan orang hutan itu dan melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Diapun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu. Semua pemburu sudah pucat mukanya melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali. Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, diapun melihat pemuda itu dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka merekapun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini...! Cepat...!” Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat pemuda itu tersenyum saja dan memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini berdiri tenang saja dan ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram dan mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlalu lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya. Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itupun menahan napas dan memandang penuh kengerian karena mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tak berapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu. Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Binateng itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini dapat menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri dengan gerakan refleks yang amat cepat, seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi. Serangan ke dua ini lebih cepat daripada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang memang alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan. Biarpun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, namun dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu sudah menyentuh pundaknya dan kalau sampai jari-jari tangan yang kuat itu mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin lalu mengerahkan tenaga dan memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman keras ke arah perut binatang itu. “Dukkk... Desss...!” Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang amat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu deengan perut yang seperti penuh dengan angin, sehingga kuat bukan main. Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tidak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Kini dia marah bukan main, menyerang bertubi-tubi dengan gerakan kedua lengan panjang itu lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seolah-olah menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Serangan-serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya memiliki kecepatan dan kekuatan alamiah saja, namun tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan kalau dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binaung itu. Dua kali dia memukul dan menendang, membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu memiliki kekebalan yang luar biasa, sudah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas. Sepuluh orang yang tadinya ketakutan dan khawatir akan keselamaten Thian Sin, memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. “Taihiap, harap jangan bunuh dia!” “Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!” “Kalau dia mati, kami tentu takkan diampuni!” Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini. Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apalagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi diapun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini. Dia teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di tepi perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun. Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan dan tendangan itu, marah sekali dan terus menerjang dengan dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada saat tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu. Binatang itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi, dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang, binatang itu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang. Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka lalu menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman. “Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Kalau tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang. Thian Sin menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?” Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tidak karuan bentuknya, dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan terlepas dari pundaknya. “Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang telah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku telah menyelamatkan kalian? Siapa mengancam kalian?” Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab dan Si Tinggi Besar itu bahkan berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap... kami... telah salah bicara tadi... kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.” Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan diapun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah. “Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.” Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin... jangan...!” Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin. Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka diapun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah. Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan dengan pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang inipun mengandung racun yang amat hebat. Hal ini diketahuinya dari baunya. Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat, pedang itu telah terampas olehnya dan tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu tersusul hiruk-pikuk di dalam lubang, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan. Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja dan suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas memperoleh seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya. Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak. Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak... bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada...” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa...” Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Lupakah kalian kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?” Mereka semakin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang merekapun ingatlah kepada pemuda ini. “Ampun, taihiap... ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenal taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu...” “Sikap kalian aneh, seperti ada yang kalian takutkan. Dan temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulempar satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukan yang lain itu.” Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apalagi mengingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut sekali. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita. Sisa para anggauta Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, setelah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka dan membentuk perkampungan. Akan tetapi mereka telah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat, tidak mau mengganggu para pelancog dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain. Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena selain rata-rata, sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, mereka memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan. Mereka hidup aman dan tenteram selama bertahun-tahun, keluarga mereka berkembang-biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan dan berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat. Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan ketika muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, seorang peranakan Han dan Rusia Kozak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan biarpun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih. Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan merekapun lalu menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan diapun menjagoi di perkampungan itu. Kiranya orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya, dirobohkannya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To inipun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah! Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang benar bahwa Su Lo To tidak menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekeria berat, dan sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri. Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya! Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang memeras orang-orangnya dan mempergunakan tangan besi. Semua orang takut kepadanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Beberapa orang telah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya. Laki-laki tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan sudah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka biarpun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya. Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang mantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini datang dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan termasuk seorang wanita yang cantik dan manis. Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Dan timbullah akalnya yang busuk! Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar tak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang anat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan telah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu. Dan Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, setelah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup! “Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku ingin menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka diapun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!” Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka kalau Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menanti dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak dan orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap. “Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tidak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu dapat berada di dalam perangkap itu?” “Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar lagi. Dan binatang itu hebat sekali. Tusukan tombak tidak melukainya, dan dia bahkan berhasil menangkap sebatang tombak dan menarik tombak itu, membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan... teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut kepada ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini...” Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?” “Kami tadi tidak berani mempergunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang, dia tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.” Pada saat itu terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka. “Su Bwee...!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang cepat berlari maju menyambut wanita itu. Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu manis dan pakaiannya, juga rambutnya, awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis. “Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut. “Ia mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku... entah apa yang telah terjadi, taihiap...” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju. “Su Bwee, berhentilah menangis dan ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song. Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya, menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis iapun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya. “Ayah... bunuhlah saja saya...” tangisnya. Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu diapun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan ceritakan apa yang telah terjadi!” Su Bwee menceritaken dengan suara tidak jelas karena betapapun ia menahannya, tetap saja ia bicara sambil menangis sesenggukan. “Setelah ayah dan suami saya pergi... ketua kedatangan seorang tamu... dan untuk menjamu tamu itu... saya dan beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan... kemudian... ketua memaksa saya... uh-hu-huuh... dia... dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan... dan... uh-huu-huuh...” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena ia sudah terguling dan roboh pingsan. Agaknya ia telah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka ia kehabisan napas dan juga kesedihan yang amat besar menghimpit perasaannya. Biarpun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, kepada Su Bwee ini. Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanyat seolah-olah hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Laki-laki tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan diapun lalu berteriak dengan geramnya. “Su Lo To, manusia jahanam! Berani menghinaku seperti ini?” Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kaulihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang berani menentangku!” Dan muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan. Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To dan seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu telah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan kepalanya malah digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain? Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tibe dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan. Sementara itu Gak Song yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya. “SU LO TO manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song mempergunakan tombaknya untuk menyerang. Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To tertawa. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan ketika tertawa, nampak giginya yang berwarna kuning menghitam. Ketika mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring dan sekali sambar, dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan semakin kuat, kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia sudah menendang dan Gak Song tak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, juga menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak di tangan pemuda itu patah. Sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya dan pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya. “Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha, sudah bosan hidup, ya?” Tiba-tiba terdengar gerengan yang dahsyat sekali. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan diapun mengerti, lalu tertawa girang. “Aha, si liar itu sudah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah kuberi hadiah pertama dia agar mudah menjadi jinak!” Lalu dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!” Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka sudah menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song dan puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap agar dibunuh oleh orang hutan! Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar dua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya. “Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus. Su Lo To mengernyitkan alisnya dan memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnnya. “Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau bisa berada di sini?” “Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan padamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah. Thian Sin tersenyum. “Aha, kiranya dua ekor srigala busuk telah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!” Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana dia dapat muncul secara tiba-tiba di sini? Bukankah dia telah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu. Maka, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Akan tetapi masih ada bekas kaki tangannya yang berhasil menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukan dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya. Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, seorang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya! Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suhengnya yang telah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka. Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suhengnya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai dan dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sutenya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang. Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak dan ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri dan tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu menancap pada batang pohon sampai setengahnya! “Hayo kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu. Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biarpun mereka amat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorangpun yang mau mengeroyok Thian Sin. Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga girang melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu. “Hemm, tidak ada seorangpun yang mau mentaati perintahku, ya? Baik, tunggu saja, setelah kubereskan dia, kalianpun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song. Hatinya makin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu telah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, melihat wanita itu lenyap dari kamarnya ketika dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dapat dengan bebas memiliki wanita itu. Tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya. “Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sutenya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sutenya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar. “Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di depannya, dia lalu melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu. Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dehgan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka diapun mengerahkan sin-kangnya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan mengira bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengah mudah dan enaknya Thian Sin mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri. Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti ketika menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang! Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah. “Bagus, kiranya engkau mempunyai sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, sambutlah seranganku ini!” Su Lo To sudah maju menerjang ke depan, kedua lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh dan angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali. Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu, Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang. “Singgg...!” Pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi. “Plakk!” Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas! Tahulah dia kini mengapa sutenya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung di punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin! Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang kesemuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebui sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata, harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad. “Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, diapun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati. “Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!” Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak, diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya. Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras den sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sutenya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuatnya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar daripada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja. Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, dia merupakan seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya! Kiranya, dengan ilmu manapun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu peninggalan ayahnya yang telah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu. Oleh karena itu, diapun segera menghadapi serangan-serangan dua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan memang hebat bukan main ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sin-kang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu. Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apalagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak dapat bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang! “Hemm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan kini dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun dan tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik! Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali dan sebelum mereka tahu apa yang telah terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang dan membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut dan merekapun terpelanting dan jatuh! Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah bertemu dengan lawan sehebat ini. Mereka sudah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum dan paku-paku beracun bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum saja, tangan kirinya mencabut kipas dan dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu runtuh. Bahkan bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka. Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, hendak melawan merasa takut! “Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat. Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggeleng kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap di mana terdapat seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tiba-tiba Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!” Kipasnya menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat. Dua orang yang sudah merasa jerih itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong dan terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Kiranya Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangan untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sin-kang dan menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu. Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diseling seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu. Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlalu sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul daripada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan. Akhirnya, setelah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki dan sebuah tangan, kemudian mereka mengerahican tenaga menarik. Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, akan tetapi akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang. Semua orang meloncat mundur dan tak lama kemudian, dua orang itupun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka merekapun berdarah, sungguh menyeramkan sekali keadaan mereka. Thian Sin tersenyum ketika menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.” Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut. Mereka tadinya mengira bahwa setelah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu dan berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka. Karena merasa jerih, tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap... harap suka ampunkan kami...” “Hemm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biarpun antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kaupermarmainkan, dan saudara-saudara yang pernah kausiksa atau kaubunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, semua penjahat tentu akan membuat perhitungan denganku!” Dua orang yang sudah merasa jerih itu, setelah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang pula ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan terpencar agar seorang di antara mereka depat lolos! Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan, sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling dan tak dapat bangkit kembali. Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya. Begitu mendengar gerakan dari belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu telah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik dan mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam seperti gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, dia akan dapat menghancurkan pemuda itu! Akan tetapi, Thian Sin menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krek, krek!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu! Thian Sin menendang dan lawannyapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena terasa nyeri bukan main pada kedua pergelangan tangannya! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya. Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin dan berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap dua orang ini?” Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!” “Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, lalu mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi. “Plakk!” Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lalu mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget. “Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlalu enak baginya kalau hanya langsung dipenggal lehernya. Dia ini merusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!” Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu telah menggunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To! Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung dan tubuhnya, berkelojotan. “Dan dia sudah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!” Kembali nampak sinar golok berkelebat dan kini yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu telah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To makin keras berkelojotan, mukanya penuh keringat dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa. Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan ini, bahkan mantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan dalam rangkulan suaminya. Gak Song sendiri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu! “Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suhengnya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?” Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suhengnya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tak mampu lagi berkata-kata, hanya memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin. “Engkau tidak mau bicara? Padahal, di depan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok orang tuaku. Nah, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada. Mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap terbabat golok sehingga di bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya dan semua orang memandang dengan hati ngeri. “Engkaupun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!” Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu. Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song dan kawan-kawannya lalu berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.” Gak Song menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu. “Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, oleh karena itu, kalau sampai kelak aku medengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!” Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.” “Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!” Mendengar pertanyaan ini, Gak Song berkatag dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua sungguh tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia sudah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.” “Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?” “Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!” Sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main. Sementara itu, dua tubuh yang sudah tidak keruan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat ini, Gak Song menjadi tidak tega. Biarpun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia dan semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega. Cepat dia menyambar dua batang tombak dan dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Tewaslah kedua orang itu seketika juga dan Gak Song lalu memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat teman mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah setelah Su Lo To tidak ada. *** Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar di kota raja dan daerahnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah kalau para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak (baca Pendekar Lembah Naga). Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, setelah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tidak ada lagi, pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apalagi setelah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah. Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka. Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagalmana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan. Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikirkan kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah. Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan. Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apalagi di kota raja di mana, perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar tingkat tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk. Kai-pang ini amat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai seorang yang dihormati dan disegani, padahal sesungguhnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk memperoleh sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, maupun orang-orang.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger