naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 51-55

Bukan main kagetnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai daripada gurunya. Akan tetapi dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu hal itu akan mempengaruhi hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia harus mencoba untuk membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri, di samping itu, kini terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama yang pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama pendekar sakti itu sebagai keluarganya! Maka dengan teriakan nyaring dia lalu menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk mencengkeram ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu dipergunakannya untuk menotok ke arah ulu hati! “ROBOHLAH engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!” Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat mundur. Itu adalah sinar api dupa biting yang masib bernyala dan yang kini melesat ke depan, meluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah menyaksikan wanita ini membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut sekali dan berusaha mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang dalam keadaan menyerang. “Cuss...!” Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara kedua alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap! Si Kwi mengeluarkan jeritan lirih dan tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya dan hio itu masih membara, mengeluarkan asap ke atas! Seolah-olah nyawa wanita itu melayang melalui asap yang keluar dari dahinya itu! Kui Hok Boan terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan, Lin Lin yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar seperti seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang dilakukan menurutkan nalurinya sebagai binatang, yang diperolehnya dalam pergaulan dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio! Wanita ini sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika Sin Liong menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu dan dia sudah menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya. Akan tetapi dia teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari belakang dan seperti seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin Liong mencengkeram dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, kedua tangan itu memeluk Kim Hong Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya telah mencengkeram buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan menggigit tengkuk! “Ihhhh...!” Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya, melainkan karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu. Tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras kepalanya menjadi pening! Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah bersentuhan dengan pria walaupun sudah sering dia mimpi akan hal itu. Kini, merasa betapa tubuhnya dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biarpun laki-laki yang masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar, tubuhnya menjadi panas dingin dan tak terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi, hanya sebentar saja dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini menggoyang tubuhnya, Sin Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding ruangan itu. Sin Liong roboh dan pingsan! Kui Hok Boan kini bangkit dan dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang di depan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau anak-anaknya akan dibunuh semua oleh wanita iblis itu. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng kepala. Kemudian menyimpan kembali kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di bawah nama Cia, memasangnya di punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok Boan. “Jangan khawatir, karena engkau benar-benar tidak tahu-menahu tentang keluarga Cia, maka biarlah kau dan anak-anakmu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga Cia, kuampuni. Akan tetapi anak itu akan kubawa dia keturunan musuh besarku!” Kim Hong Liu-nio menuding ke arah tubuh Sin Liong yang masih pingsan. Kui Hok Boan adalah seorang yang pada dasarnya memang mempunyai watak pengecut, yaitu kalau sudah terancam bahaya maut barulah sifatnya ini menonjol. Tadinya, dia masih berwatak gagah melindungi isterinya dan melindungi pula Sin Liong, akan tetapi kini semua kegagahannya itu luntur dan lenyap dan dia berubah menjadi seorang yang rendah diri. “Terima kasih atas pengampunan kouwnio...” katanya lirih sambil menundukkan mukanya. “Sekarang dengarlah, Kui Hok Boan. Aku diutus oleh Sri Baginda Sabutai untuk memberi tahu kepadamu bahwa sebelum enam bulan, engkau harus sudah meninggalkan Istana Lembah Naga ini, dan semua penghuni dusun-dusun yang berada di sekitar tempat inipun semua harus pergi. Kalau sudah lewat enam bulan dan masih ada orang yang berada di sekitar sini, jangan salahkan kami kalau kami akan membunuhnya. Mengertikah kau?” Kui Hok Boan terkejut sekali dan cepat dia mengangguk-angguk. “Baik... baik... akan saya taati...” Melihat betapa Kui Hok Boan yang tadi gagah seperti harimau kini menjadi jinak seperti domba, padahal mayat isterinya masih hangat rebah di depannya, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara mengejek, “Huh!” Lalu dia membalikkan tubuhnyap menyambar lengan Sin Liong yang diseretnya dan dibawanya keluar dari ruangan itu, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang lagi. “Sin Liong...!” Tiba-tiba Lin Lin menjerit dan bangkit berdiri, hendak lari mengejar agaknya. “Lin Lin...!” Hok Boan membentak dan cepat dia menyambar lengan anaknya. Kim Hong Liu-nio berhenti melangkah ketika sampai di pintu, menoleh dan melihat betapa empat orang anak-anak itu memandang ke arah Sin Liong sambil menangis. Maka berkatalah dia, “0rang she Kui, empat orang anak itu jauh lebih baik daripada engkau!” Lalu sekali berkelebat lenyaplah bayangan wanita itu dari situ. Maka terdengarlah tangis dan ratap di dalam ruangan itu, dan tak lama kemudian, ratap tangis itu makin riuh ketika para pelayan melihat bahwa nyonya majikan mereka telah tewas. Istana Lembah Naga diliputi suasana berkabung. Lan Lan dan Lin Lin menangis tiada hentinya, dan Kui Hok Boan termenung dengan penuh penyesalan. Baru terhadap Si Kwi dia benar-benar pernah mencinta dan setelah menikah dengan Si Kwi, sifatnya yang mata keranjang menjadi reda. Akan tetapi kini Si Kwi telah tewas dan meninggalkan dia seorang diri bersama empat orang anak! Akan tetapi, kemudian dia teringat bahwa biarpun dia harus pindah dari Lembah Naga, dan dia memang bermaksud kembali ke selatan, namun dia telah menemukan harta karun dan kini telah menjadi seorang yang kaya raya, maka dia tidak merasa khawatir. Hanya sedikit kebimbangan mengganggu hatinya. Di selatan dia mempunyai banyak musuh! *** Jeng-hwa-pang sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu ketika perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu tidak sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan itu dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya. Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam ilmu sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa menuruni ilmu sihirnya, ternyata memiliki keahlian lain yang bahkan melebihi mendiang gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun. Jeng-hwa-pang sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan kakek itu dijuluki Jeng-hwa Sian-jin karena dia telah menemukan kembang hijau yang hanya bisa ditemukan orang di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya. Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, yang boleh dibilang rajanya kembang-kembang beracun. Akan tetapi, kalau Jeng-hwa Sian-jin mempergunakan khasiat kembang mujijat itu untuk melatih dan memperdalam ilmu sihirnya, sebaliknya muridnya itu mempergunakan kembang hijau itu untuk memperdalam ilmu tentang racun-racun! Maka kini terkenallah perkumpulan Jeng-hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain. Akan tetapi, ketika Kaisar Ceng Tung memperoleh kembali tahta kerajaannya yang tadinya diserahkan kepada adiknya ketika dia menjadi tawanan Raja Sabutai (baca cerita Dewi Maut), kaisar ini telah mengerahkan orang-orang pandai, mempergunakan tangan besi untuk menekan dan mengendalikan perkumpulan-perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu, Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang diawasi dan dibatasi gerakannya, lalu mengungsi ke luar tembok besar dan untuk sementara mendirikan sarang di dekat tembok besar di utara. Ketua Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun, dia dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong ini sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor. Dahulu, ketika Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Jeng-hwa Sian-jin “ketemu batunya” ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu muncul seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan bertobat. Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu (baca cerita Dewi Maut). Untuk sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi setelah Gak Song Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya dan mempelajari ilmu-ilmu tentang racun dari seorang pertapa di sebuah puncak pegunungan itu, dia lalu mengumpulkan kembali bekas anggauta Jeng-hwa-pang dan dia membangun kembali perkumpulan itu. Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh Kaisar Ceng Tung membuat dia terpaksa membawa para anggautanya yang jumlahnya ada seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara, dekat tembok besar. Jeng-hwa-pangcu she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Isterinya membawa beberapa orang sanak keluarganya yang juga she Tio ketika mengungsi ke utara dan mereka ini ikut hidup senang sebagai keluarga isteri ketua perkumpulan besar, dan di antaranya ada pula yang menjadi anggauta Jeng-hwa-pang. Para anggauta Jeng-hwa-pang semua diberi pelajaran tentang racun oleh ketuanya sehingga mereka rata-rata selain pandai ilmu silat, juga pandai mempergunakan racun untuk mengalahkan lawan. Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di utara, dalam beberapa tahun saja, Jeng-hwa-pang telah dikenal dan ditakuti, malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan tangan besi kaisar. Akan tetapi, pada suatu hari terjadilah malapetaka menimpa keluarga ketua Jeng-hwa-pang, yaitu pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang sedang pergi bersama beberapa orang pembantunya menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah seorang wanita yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam telah membunuh isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga wanita itu, kesemuanya she Tio! Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apalagi ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh wanita yang amat lihai itu. Ketika Gak Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya tewas semua, dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian tubuh lain yang berbahaya tertancap oleh sebatang hio yang membara, tentu saja dia menjadi marah sekali. Akan tetapi segera tersiar berita bahwa wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu telah merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap, dan Cia yang dapat ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena yang dicari adalah orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami oleh orang-orang suku bangsa lain. Tentu saja Gak Song Kam merasa sakit hati dan berusaha untuk mencari wanita itu. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya yang pandai sehingga ketika wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang sedang kosong dari semua tokoh yang terpandai. Dia percaya bahwa kalau dia berada di situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang, apalagi membunuh isterinya! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Gak Song Kam ketika dia menyebar anak buahnya untuk mencari dan menyelidiki wanita itu, dia mendengar kabar bahwa wanita itu adalah seorang tokoh terkenal di utara, bahkan masih saudara seperguruan Raja Sabutai! Lemaslah rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang itu mendengar ini. Tidak mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang dilindungi ribuan orang pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan tetapi, kematian isterinya harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini selalu mencari kesempatan untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secarg pribadi, bukan sebagai keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan oleh orang-orang di dunia persilatan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan atau perkumpulan. Demikianlah, kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan menuju Lembah Naga bersama sutenya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh tujuh belas perajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak Song Kam menyuruh seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk mengirim surat tantangan kepada wanita itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, pembantu itu berhasil mengirimkan surat tantangan istimewa itu yang merupakan senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat diterima dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio. Setelah mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya telah diterima oleh wanita itu yang akan datang bersama seorang sutenya dalam kereta indah yang dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di dalam hutan di luar Lembah Naga, di mana Ceng Han Houw sedang menanti dengan tidak sabar dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup seruling. Ketika melihat sucinya datang menyeret tubuh seorang anak laki-laki, Han Houw menyimpan sulingnya dan memandang heran. Apalagi ketika dia melihat anak laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka mata, telah siuman akan tetapi sedikitpun anak itu tidak mengeluarkan kata keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin terheran-heran. Dia melihat sucinya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi lalu merangkak dan bangkit berdiri. Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan tetapi matanya melotot dan sikapnya angkuh! “Eh, suci. Siapakah bocah ini?” tanyanya heran melihat betapa sucinya yang biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol. “Bocah setan dia! Anak iblis dari neraka!” Kim Hong Liu-nio memaki-maki sambil memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga membalas, memandangnya dengan melotot lebar. “Wah, anak setan dan iblis?” Han Houw bertanya, matanya terbelalak dan dia memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. “Kulihat tidak ada apa-apanya, kenapa disebut anak setan dan iblis?” “Dia adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling besar dari subo!” kata Kim Hong Liu-nio. “Musuh yang paling besar dan paling ditakuti!” Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia mendongkol sekali, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati wanita ini! “Ah, begitukah? Kenapa anaknya hanya begini saja?” Han Houw bertanya penuh keheranan. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian hebat tentu anaknyapun hebat. “Eh, kenapa kau bilang bahwa suci takut kepada ayahmu?” tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan sama sekali tidak takut dari anak itu. Sepasang mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian amat mewah itu dan kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja, pikirnya. Hatinya makin tertarik. “Sudah jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil, tidak berani langsung berhadapan dengan ayahku!” Han Houw tersenyum. “Dan apakah kau tidak takut kepada suci?” “Aku? Takut? Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak akan lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh kumpulan srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut.” “Wah, wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu anak harimau dan kami berdua kaunamakan srigala? Wah, bukankah srigala itu anjing hutan? Celaka, suci, dia berani memaki kita anjing hutan!” “Itulah! Dia memang anak setan!” Kim Hong Liu-nio mengomel. “Kenapa tidak bunuh saja dia agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?” “Hemm, sute. Kalau kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi seperti srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu.” “Eh, maksudmu...?” “Dia lemah akan tetapi penuh keberanian, dan kita berarti hanya membunuh dan mengganggu anak-anak lemah saja.” Han Houw menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong dengan pandang mata baru, penuh kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya. “Eh, siapa namamu?” dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah. Diam-diam Sin Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah, pikirnya, dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini! “Namaku Sin Liong... eh, Cia Sin Liong!” tambahnya, menekankan nama keturunan itu. “Sin Liong? Naga sakti? Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu.” “Aku tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut apapun. Dan kau siapa? Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?” Ceng Han Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara kepadanya dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti teman. Biasanya, semua orang yang bicara kepadanya, apalagi anak-anak, tentu kelihatan takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnyapun tidak berani! “Namaku Han Houw, aku she Ceng.” “Ceng Han Houw? Namamu juga gagah sekali. Apakah kau juga pandai silat seperti sucimu ini?” Melihat dua orang anak itu bicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-nio menjadi tak senang. “Anak cerewet! Kaukita engkau ini siapa? Tawanan, tahu? Sute, jangan layani dia!” Akan tetapi Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, merasa sayang untuk melepaskan begitu saja. “Eh, Sin Liong, kau benar-benar tidak takut kepada kami?” “Tidak, seujung rambutpun tidak. Paling-paling kalian akan dapat membunuhku.” “Kau tidak takut mati?” Sin Liong menggeleng kepala. “Apa kau takut?” dia balas bertanya. Han Houw terbelalak, berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Aku takut dan agak ngeri juga.” “Apa kau pernah tahu bagaimana mati itu?” “Tentu saja belum!” “Kalau begitu, bagaimana bisa takut?” Han Houw tercengang, bingung, lalu menjawab ragu, “Entahlah. Eh, kalau kau tidak takut kepada kami apakah kau berani bertanding melawan aku?” Sin Liong memandang Han Houw dari atas sampai ke bawah. Anak itu tentu lebih tua dua tahun daripada dia, lebih tinggi dan tegap. Dan mengingat bahwa anak ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio, maka tentu ilmu silatnya juga hebat. “Aku tidak ada urusan apa-apa dengan engkau, mengapa mesti bertanding?” “Kau takut?” “Takut sih tidak.” “Kalau begitu kau berani.” “Tentu saja berani, akan tetapi, aku tidak mau. Tidak ada persoalannya, mengapa berkelahi?” “Ha-ha, itu hanya alasan. Kau tentu takut kalah.” “Mengapa takut kalah? Tentu saja aku kalah olehmu, akan tetapi aku tidek takut.” Dan melihat sinar mata penuh ejekan itu, Sin Liong melanjutkan. “Kalau ada alasannya yang kuat, tentu aku akan menerima tantanganmu.” Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio yang sejak tadi memang merasa mendongkol dan kini sedang duduk di atas batu dekat kereta sambil mendengarkan, berkata-kata dalam Bahasa Mongol kepada Han Houw. Sin Liong tidak mengerti artinya, akan tetapi kemudian Han Houw lalu menghampirinya dan berkata, “Ah, kiranya engkau ini anak monyet! Engkau anak gelap, anak haram!” “Bohong! Keparat kau!” Sin Liong membentak marah. “Kalau benar kau bukan anak monyet dan anak haram, kau tentu akan berani melawan aku!” “Ceng Han Houw, biar matipun aku tidak takut padamu!” kata Sin Liong dan anak yang sudah marah sekali ini lalu menyerang dengan ganas! Han Houw tertawa, dengan mudah saja dia mengelak ke samping dan sekali kakinya bergerak, kaki Sin Liong sudah ditendangnya dari samping, membuat Sin Liong terpelanting roboh. Akan tetapi, tanpa memperdulikan rasa nyeri akibat terbanting itu, Sin Liong sudah meloncat bangun lagi dan menyerang kembali. Sin Liong menggunakan jurus ilmu silat akan tetapi tentu saja gerakannya itu masih kaku dan lemah bagi Han Houw dan kembali sambil mengelak Han Houw menggerakkan tangannya, menampar pundak Sin Liong dan membuat anak itu terbanting lebih keras lagi! Namun berkali-kali Sin Liong bangun dan terus menyerang. “Kau tidak mau mengaku kalah? Hayo mengaku kalah!” berkali-kali Han Houw mendesak, akan tetapi Sin Liong sama sekali tidak memperdulikannya dan terus dia menyerang dengan membabi-buta, biarpun kulit tubuhnya sudah lecet-lecet dan luka-luka di punggungnya yang dicambuki oleh ayah angkatnya itu terasa nyeri dan berdarah lagi. Tadi Han Houw diberi tahu oleh sucinya dalam Bahasa Mongol bagaimana harus membangkitkan kemarahan dan perlawanan anak aneh itu dan benar saja setelah dia memaki anak monyet dan anak haram, Sin Liong melawannya mati-matian. Dan kini, Han Houw kewalahan melihat kenekatan bocah itu, yang biarpun sudah dibuatnya jatuh bangun, namun sama sekali tidak pernah mau menyerah dan mengaku kalah. Dia sebenarnya merasa kagum dan suka kepada anak ini dan tidak ingin melukainya hebat, apalagi membunuhnya. Maka, melihat kenekatan Sin Liong, tiba-tiba Han Houw menggunakan jari telunjuknya menotok yang tepat mengenai pundak kanan, yaitu jalan darah Kian-keng-hiat dan seketika Sin Liong roboh dengan lemas karena tubuhnya menjadi lumpuh seketika! Han Houw menghapus keringat di dahinya dengan saputangan. “Wuuhhh, bocah ini benar-benar bernyali harimau!” katanya. “'Suci, engkau menawan harimau cilik ini untuk apakah?” “Untuk memaksa ayah kandungnya muncul dan menghadapiku.” “Hemm, untuk semacam sandera?” “Begitulah.” “Wah, hal itu akan repot sekali. Dia buas dan ganas seperti harimau, tentu hanya akan menyusahkan saja dalam perjalanan,” kata Han Houw. “Dan anak seperti ini, jika memperoleh kesempatan sedikit saja, tentu akan melarikan diri, suci.” Kim Hong Liu-nio tersenyum dan mengeluarkan sebatang jarum putih terbuat daripada perak. “Aku mempunyai cara untuk memaksanya agar jangan meninggalkan kita, jangan melarikan diri.” Dari saku bajunya, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan sebuah bungkusan kertas, membukanya dan nampaklah bubukan berwarna kuning. Dia mengoleskan ujung jarum perak di bubukan kuning itu dan seketika ujung jarum itu berubah menjadi biru kehitaman, tanda bahwa bubukan itu mengandung racun. Kemudian Kim Hong Liu-nio menghampiri tubuh Sin Liong yang masih rebah terlentang. Anak ini tidak mampu bergerak karena tubuhnya seperti lumpuh, akan tetapi matanya masih memandang dengan mendelik penuh kemarahan, sama sekali tidak kelihatan takut. “Biarlah dia melarikan diri kalau bisa. Andaikata bisapun, dia akhirnya akan mencari aku karena nyawanya berada di tanganku,” kata Kim Hong Liu-nio dengan tersenyum. Han Houw membelalakkan matanya. “Suci hendak menggunakan Hui-tok-san (Bubuk Racun Api)?” Kim Hong Liu-nio hanya tersenyum, lalu menghampiri Sin Liong. Dengan gerakan cepat dia menusukkan jarum perak yang ujungnya biru menghitam itu ke arah betis kaki kanan Sin Liong. Sin Liong merasa nyeri betis kanannya, akan tetapi dia tidak mengeluh, hanya memejamkan matanya. Betisnya terasa panas sekali seperti digigit ribuan ekor semut, dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan perasaan yang amat menyiksa ini, rasa panas gatal tanpa dapat menggaruknya! Hah Houw lalu menotok pundaknya, membebaskan totokannya dan Sin Liong meraba betis kanannya, hendak menggaruk. “Jangan garuk! Begitu kaugaruk, kau akan mati konyol!” Kim Hong Liu-nio berseru. Sin Liong terkejut dan tidak jadi meraba betisnya. Dia tidak takut mati, tetapi dia belum mau mati konyol. Masih banyak hal yang harus dilakukannya di dunia ini, pertama mencari ayahnya dan ke dua, sekali waktu membalas kepada iblis betina ini. Maka dia tidak mau membunuh diri secara konyol. “Hui-tok-san telah berada di jalan darahnya.” Kim Hong Liu-nio berkata dengan suaranya yang merdu dan halus, bibirnya tersenyum akan tetapi kini Sin Liong mulai mengenal senyum seperti itu, senyum yang menyembunyikan kekejaman seperti iblis, “racun itu berhenti di betismu dan tidak akan berbahaya kalau tidak kaugaruk. Kalau kaugaruk, maka racun itu akan berjalan cepat karena panasnya akibat garukan, dan makin cepat dia bergerak naik, makin cepat pula dia mencapai jantung dan mencabut nyawamu. Kalau kaudiamkan saja, dalam waktu enam bulan barulah racun itu akan sampai di jantungmu dan mencabut nyawamu. Dan dalam waktu enam bulan itu, tentu aku sudah akan dapat berhadapan dengan ayah kandungmu!” Han Houw bertepuk tangan memuji, “Wah kau hebat, suci! Dengan demikian, dia tidak akan berani melarikan diri. Bukankah hanya engkau yang mempunyai obat penawarnya, suci?” Kim Hong Liu-nio mengangguk. “Mari kita berangkat ke Jeng-hwa-pang, sute!” Wanita itu lalu mencengkeram tengkuk Sin Liong dan membawanya masuk ke dalam kereta, diikuti oleh Han Houw! “Biarkan dia duduk bersamaku, suci. Dia dapat menjadi teman seperjalananku.” Sin Liong lalu didudukkan di atas bangku kereta bersanding dengan Han Houw yang memandanginya penuh perhatian. Sin Liong duduk seperti seorang raja, tegak dan tidak mau melirik ke sana-sini, mulutnya cemberut dan dia seolah-olah tidak perduli sama sekali kepada dua orang yang berada di dalam kereta bersamanya itu. Kim Hong Liu-nio bersuit dan muncullah tujuh belas orang pengawal itu. Dia mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Mongol dan bergeraklah kereta itu, ditarik oleh empat ekor kuda besar, berangkat menuju ke selatan, dikawal oleh para pengawal yang menunggang kuda. Diam-diam Sin Liong merasa kagum dan heran juga. Mulailah dia melirik ke arah Han Houw yang duduk di sebelah kirinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda ini yang ternyata amat lihai ilmu silatnya, jauh lebih lihai daripada Siong Bu atau Beng Sin. Dia mendengarkan wanita cantik itu berkata-kata kepada anak laki-laki ini, bicara dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio bercerita kepada Han Houw tentang dirinya. Akhirnya percakapan mereka berhenti dan Han Houw menyentuh lengannya. Dia menoleh. Dua pasang mata yang sama tajam bersinar-sinar saling bertemu. Han Houw tersenyum dan berkata, “Kau memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji.” “Dan kau memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!” jawab Sin Liong, memandang berani. Han Houw tertawa. “Ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong? Eh, Sin Liong, setelah kita saling bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku bukan?” “Persahabatan bukan hanya omong kosong belaka, tapi ditentukan oleh perbuatan. Perbuatanmu dan sucimu terhadap diriku sama sekali tidak bersabat!” Jawab pula Sin Liong. Dia masih marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga maklum bahwa di dalam tubuhnya telah mengeram racun jahat yang akan menewaskannya dalam waktu enam bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh wanita itu. Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara tentang persahabatan! Akan tetapi, Han Houw yang tadi mendengar dari sucinya tentang keadaan Sin Liong, tidak menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata, “Engkau sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar? Betapa aneh, hebat, dan pengalamanmu itu sungguh luar biasa. Ingin aku mengalami hal seperti yang telah kaualami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!” Akan tetapi Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahkan membuang muka memandang ke luar jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang rumput yang agak tandus dan dari jauh di depan nampak dinding yang amat panjang naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar. Itulah agaknya Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan kepadanya oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi tembok besar yang amat panjang itu. *** Matahari telah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Tiba-tiba kereta berhenti dan pasukan pengawal segera menggerakkan kuda mereka mengurung kereta untuk melindungi. “Mengapa berhenti?” Han Houw bertanya. “Apa yang terjadi?” Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar. Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta dan memberi laporan dalam Bahasa Mongol secara singkat. “Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini? Sute, kau berdiam saja di sini dan lihat saja sucimu menghajar mereka!” kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tubuhnya melesat keluar dari dalam kereta. Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia dan Sin Liong dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada baju masing-masing. Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandang mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak. Dan karena mereka mengurung dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara, maka keadaan menjadi makin menyeramkan. Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum terhadap ketabahan pemuda cilik yang tampan dan berpakaiah mewah ini. Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta dan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka. Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam inipun kelihatan gagah dan tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini sesungguhnya. “Han Houw, sebenarnya siapakah engkau ini? Apakah anak bangsawan Mongol?” Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya. Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia telah dipesan oleh ayah bundanya, juga sucinya, agar tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai mempunyai banyak sekali musuh di antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw tersenyum dan menjawab, “Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong.” Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan gerombolan itu. Wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan hatinya karena gangguan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal telah memberi laporan kepadanya bahwa gerombolan Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan dan dia menjadi marah sekali. Setelah dia melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali dan cepat dia menghampiri enam orang yang ia duga tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang. Ketika dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tidak bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang adalah ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi. Maka kini melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh, mudah saja hati Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang. “Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok rendah!” Kim Hong Liu-nio berseru dengan suara nyaring. “Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?” Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka kira wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang amat tajam. Pria berusia lima puluh tahun yang bermuka merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu sendiri melangkah maju dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim Hong Liu-nio. “Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tidak ada artinya. Engkau telah dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus! Dan...” “Tunggu dulu!” Kim Hong Liu-nio menghentikan kata-kata lawannya itu dengan mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para anggauta pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka. “Agaknya engkau ini Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Eh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?” Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Amat menyeramkan melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi tidak ada suara yang keluar! “Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kaukira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu? Ha-ha-ha!” “Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!” Kim Hong Liu-nio memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik busur, dan para anggauta Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi tiba-tiba anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Setelah tiba di atas, anak-anak panah itu mengeluarkan ledakan dan nampaklah sinar merah bernyala di angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan untuk mengirim berita! Orang-orang Jeng-hwa-pang terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari empat penjuru. Kemudian, terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada di lereng bukit yang agak tinggi betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang masing-masing tidak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya! Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya berwarna merah itu kini menjadi agak pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong Liu-nio. Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai dan semua suku bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, maka begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu. “Orang she Gak, kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, siapa pula yang menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, akan tetapi anak buahmu hanya berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?” Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita in sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh anak buahnya itu. Tadinya, melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan karena dia bermaksud membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang melakukannya. Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya. “Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!” “Cih! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang katakanlah, engkau mengundang aku ke Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini mempunyai maksud curang apakah?” Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, “Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa bulan yang lalu?” Kim Hong Liu-nio mengangguk, menurunkan papan salib dari punggungnya sambil memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan. “Bukan salahku, pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio? Kenapa engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she Tio itu?” Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Wajah Gak Song Kam menjadi makin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan kemarahannya. “Kim Hong Liu-nio! Engkau tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar nyawa,” kata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya. Wanita itu tersenyum mengejek. “Hemm, kaumaksudkan bahwa aku telah membunuh isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?” “Itu sudah merupakan kepantasan!” jawab ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. “Memang pantas! Seorang suami tentu harus membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya, engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau hendak mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?” Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu telah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak buahnya untuk membunuh iblis betina ini. “Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?” kembali wanita itu mengejek. “Apakah engkau takut?” ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek. Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya. “Racun-racunmu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa akupun akan menggerakkan pasukanku.” Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang di antara mereka berkata, “Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima biasa maju bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!” Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh tegap dan nampaknya kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung. Dia sudah mendengar dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-hwa-pang ini lihai sekali, apalagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger