naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 32

Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras. Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain. “Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri,” tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang. Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu. “Dan para pengawal...?” tanya Si Baju Ungu. “Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!” “Baik, pangcu...” jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah. Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini. SETELAH lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?” Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir.” Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. “Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis. “Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?” Thian Sin memancing dengan suara menantang. “Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku den mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?” Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya. “Baik, nah coba kaukatakan sekarang siapa aku.” “Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?” Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya. “Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?” Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini. “Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kaukatakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?” “Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?” Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya? “Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?” Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, “Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku.” “Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?” “Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?” “Hemm, kenapa tidak kaulakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku.” “Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!” Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. “Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan...” Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. “Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!” Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengetuarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya. Sin?ko, Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku. Ciu Lian Hong. Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin. “Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya.” “Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini.” “Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?” “Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!” Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat! Thian Sin terrdenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid! “Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!” Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. “Apa...? Apa maksudmu...?” “Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong.” Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah. “Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia.” “Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!” “Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini.” Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. “Ceng Thian Sin, kita ini sama!” Thian Sin memandang heran. “Sama? Sama bagaimana?” “Sama sebatangkara, sama kesepian.” “Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?” “Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin.” Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka! “Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?” Nenek itu menggeleng kepala. “Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga...” Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas. “Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka.” Nenek itu terkekeh. “Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan.” Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan. Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. “Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?” Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu. “Dan pandai bermain musik pula?” “Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak.” “Meniup suling? Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!” Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!” “Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?” kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa. Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ! Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut. “Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!” Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan Tung-hai?sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu. “Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?” tiba-tiba nenek tua itu bertanya. Thian Sin mengerutkan alisnya. “Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas? Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?” “Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik.” Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata. “Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak.” “Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!” Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar. Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sinpun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin. “Lam-sin datuk dunia selatan mendatangkan kagum dan heran aku melihat perpaduan antara ketuaan dan kesegaran keganasan dan kelembutan!” Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya. “Pendekar Sadis yang tersohor kiranya hanya seorang pemuda hijau yang lemah lembut dan halus pandai bersuling dan bersajak betapa amat mengagumkan!” Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain! “Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah,” Thian Sin memuji. “Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis,” Nenek itu berkata. Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata. “Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?” “Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid? Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!” “Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta.” Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanyao “Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?” Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu “Cinta? Jatuh cinta? Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta...? Ah, aku tidak mengerti...” “Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?” Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini. “Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku.” Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, “Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?” Nenek itu menggeleng kepalanya. “Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!” Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, “Mari kita ke lian-bu-thia!” Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan kalau dia kalahpun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi. Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula. “Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?” Thian Sin mengangguk. “Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang...” “Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!” Merah muka Thian Sin. “Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu.” “Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?” Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh. “Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!” Dan pemuda itu, lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. “Menurut penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!” Lam-sin menantang. Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, “Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?” Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. “Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak undur selangkahpun!” “Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!” Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah. Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat. Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu. Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi. “Haiiittt...!” Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan. “Hemmm...!” Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu. “Dukkk...!” Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya. “Desss...!” Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin. Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya. Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan. Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak. “Lihat jarumku!” tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat. Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat. Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat. “Trang! Cringgg...!” Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai! Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya. Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras! Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan. Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan. Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, “Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?” Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak! “Kau... kau kenapakah, nek?” Thian Sin bertanya sambil mendekati. “Aku sudah kalah... lebih baik mati...!” Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri. “Jangan...!” Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis. Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara! “Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?” Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu. “Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?” Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, “Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!” Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak. “Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!” Thian Sin berkata. “Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu.” “Kau... kau mau...?” Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. “Benarkah kau... kau mau...?” Nenek itu seolah-olah tidak percaya. Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia mencium bau harum minyak wangi. “Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin.” Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, “Ke kiri... melalui pintu kiri itu...” Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk. “Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?” tanya nenek itu. “Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan.” Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar. Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. “Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor...” “Nanti...” kembali Lam-sin menarik kakinya. “Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin...” Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu. Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamnaya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu. “Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku.” Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis. Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan. Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut! Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. “Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!” Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, “Aku... aku malu...” “Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku...” “Thian Sin, jangan merayu engkau!” “Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku...” “Kepada Lam-sin nenek tua renta?” “Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah.” Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu. “Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!” katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut. “Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?” “Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!” “Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku.” Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. “Dan aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku.” “Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu.” Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan diapun agaknya tidak keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang disangkanya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya? “Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium. Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biarpun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu. Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?” “Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan. “Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kila bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan daripada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.” Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api berahi yang bernyala-nyala, kini berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah! Thian Sin tersenyum. “Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit tipis sekali dan ada rambut putih di bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan. “Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin. “Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar. “Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.” Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggauta Bu-tek Kai-pang berkumpul. Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan, hadir pula. Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan mata mendelik dan muka marah. Merekapun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa. “Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar “nenek” itu berkata, suaranya lantang berwibawa dan semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkan baik-baik segala perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!” Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu? “Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan tanpa adanya aku di sini, kalian akan dibancurkan golongan lain. Kalian boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang main curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan namaku lagi, dan semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!” “Pangcu...!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada beberapa orang anggota kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis! Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak “Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.” “TAPI... tapi, locianpwe...” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?” Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalas kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis sudah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!” “Ahhh...!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar. “Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?” Tiga orang ketua itu berkata. “Kami mengerti!” dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti. Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan. Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.” Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?” “Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara. Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia. Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka. Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan di antara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali. Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali. Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!” Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali. “Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu. Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!” “Eh... kenapa begini? Bukankah... bukankah...” “Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!” “Apa... apa maksudmu...?” Thian Sin semakin kaget. Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di situ hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bisa tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata, “Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?” “Membuat api unggun? Untuk apa...? Tapi baiklah...” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun? Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita tua. Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya. “Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!” Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!” “Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya. Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya. “Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya. “Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam...” Thian Sin tersenyum. “Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.” “Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku...” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak. “Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya. “Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal. Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih, “Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah...” Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya! Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali! “Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong...” “Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!” “Aku she Toan...” “Ehh...?” Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan. Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kaubunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.” Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat! “Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.” “Aku tidak peduli akan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!” “Ahhh...!” “Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar.” “Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar...” “Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan.” “Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan. Kim Hong mengangguk. “Akupun berpendapat demikian.” Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia! Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer. Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong. Namung kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong. Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis). Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu. Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini ia menceritakan kepada suaminya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger