naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 35

Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum. “Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!” Dan gerakan pedangnyapun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo Siang-kiam. Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu! Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi. “Prokk!” Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya. Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan. “Kim Hong...” “Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong! Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya. “Kim Hong,” kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah hendak mengajaknya berlumba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.” Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya, kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum. “Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan. Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau. “Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?” Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu. “Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang kautunggu-tunggu?” Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak. “Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kaumaafkan aku!” Bibir bawah yang lunak itu mencibir, “Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna.” “Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.” “Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek. “Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.” Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya! Nah, aku sudah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu. Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, “Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong.” Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan. “Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah, ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu.” Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan. “Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang. Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?” Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang. Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya. “Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?” Kim Hong meniatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?” “Kim Hong...” Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas. Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya. Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula. Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu hal yang “kotor” untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si “aku”? Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang “berbudaya”, yang “sopan” yang “bersusila”? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya? Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin “makan” lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama, kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung. Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang. Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia. Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si “aku” yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan. Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya. Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk. Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri. *** “Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!” “Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?” puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya. “Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan.” “Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?” “Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaahmu.” Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kauingat akan hal ini.” Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Ia tahu benar akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu. “Pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.” Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. “Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.” Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya. Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. “Percayalah, ibu, aku selama ini banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang kaya.” Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!” “Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!” Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali. Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu.” Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya. Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan. Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.” Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya. Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan. Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau kaum pendekar, dikirimi undangan. Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja. Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik. Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seeker harimau. Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahung juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik. Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas. Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam. Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai. Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal. Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu. “Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.” Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya. “Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya. Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian. Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkatat “Mulai saat ini, Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.” Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar. Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!” Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!” Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk inipun mengundurkan diri. Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?” Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu. “Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu! “Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.” Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah. “Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapapun juga.” “Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!” Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya. Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang. “Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali. Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi. Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat. “Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.” “Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindarkan Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjedi seorang penakut?” Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit. “Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas, apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.” Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah. “Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani, katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!” Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?” Dan nampak sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itut menahan serangan puterinya. “ANAKKU, hari ini adalah hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang. “Hemm, anaknya jauh lebih gagah daripada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan ia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi. Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa. “Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!” Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tidak gentar menghadapi wanita itu walaupun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya mantunya yang dia tahu amat lihai, apalagi di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar dan diapun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu diapun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger