naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 30

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, “Kun Liong...” Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, berulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yaog disenanginya! Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, “Kun Liong...” Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik, “Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau men-jadi murid seorang datuk kaum sesat...” “Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?” Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya, “Bi Kiok, apakah engkau cinta kepada-ku?” Gadis itu menarik napas panjang. “Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong.” “Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku.” “Heh? Mengapa?” “Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan...” “Tapi... tapi... kau telah menciumku!” Kun Liong tersenyum pahit. Presis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Biarpun yang mencium dan yeng dicium sama-sama rela dan suka? “Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?” “Kun Liong...!” Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya. “Bi Kiok, jangan menangis...!” Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang mene-tes di pipi. “Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menya-kiti hatimu. Aku lebih suka berterus terang daripada membohongimu.” Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, ke-mudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong. “Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin, juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Adapun ten-tang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan...” “Ssssttt...!” Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok. Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, “Pemberontak yang berada di dalam guha! Keluarlah!” “Ssst...!” Kembali Kun Liong membe-ri isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak. “Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!” Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha. “Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kaukarang cerita lain.” Bi Kiok menggeleng kepala dan kem-bali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. “Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!” Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah, memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-per-wiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali. Gadis itu takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu. Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, “Tangkap dan belenggu dia!” “Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?” Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara dan ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul. “Jadi engkaukah ini...?” Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong! “Engkau Kun Liong!” Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menge-nal nona yang dagu dan lehernya mem-buat dia terpesona itu. “Nona... siapa-kah...?” Dara itu merengut. “Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan la-ngit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan se-gala macam pemberontak dan orang ja-hat!” “Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!” “Kou terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kausangkalkah itu?” “Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantar-kannya ke tempat bokor... ehh...” Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor. Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. “Tangkap dia!” Gadis itu membentak. Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak, “Mundurlah kalian!” Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang! “Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Pemberontak rendah!” “Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, kata-kan sebab-sebabnya dan apa kesalahku!” “Pertama, kau berhaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kaupun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!” “Apa...? Bokor emas milik... suhumu...?” Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!” Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali! “Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?” “Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!” “Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!” Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai. Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara. Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa! Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu. “Heii, jangan...!” Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak meng-elak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seru-annya, karena golok itu sudah menyam-bar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. “Krookk!” Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang! “Mundur semua!” Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah. Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa! “Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain mela-wan?” Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya. “Banyak sebabnya,” kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. “Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua kare-na agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong.” “Bawa tali ke sini!” Li Hwa meme-rintah. Seorang perwira datang berlari mem-bawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membe-lenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong. “Bawa seekor kuda ke sini!” Kembali dia memerintah. Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, “Sekarang kaunaiklah ke kuda ini.” “Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!” Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu. “Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?” Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong. “Kwan-ciangkun, kautuntun dia!” katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu. “Aihh!” Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia melon-cat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu. “Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?” Li Hwa membentak marah. “Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku.” “Manusia aneh dan gila!” Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu. “Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu,” kata Li Hwa. “Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu...” “Bohong! Siapa percaya omonganmu?” “Percaya atau tidak terserah.” “Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su.” “Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu.” “Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?” “Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya.” “Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?” “Karena... perjanjian!” Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu. “Kau cantik, Li Hwa...” Li Hwa mendengus. “Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, se-orang penjahat golongan hitam yang ca-bul dan hina!” “Wah-wah-wah, mengatakan kau can-tik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis ba-gaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?” “Jangan mengatakan apa-apa!” Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya meng-angkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mah-luk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh! “Hayo jawab!” Setelah agak lama ber-diam, Li Hwa membentak. Dengan ta-ngan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu ter-sentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda se-hingga biarpun dia yang dibetot ke de-pan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya! Dia diam saja. “Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjuk-kan kepadaku!” Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepada-nya. “Mesam-mesem jual lagak kau! Dita-nya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?” “Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepa-daku bahwa aku jangan mengatakan apa--apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih ke-hendakmu, Nona cantik?” Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh me-ter. “Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?” “Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo.” “Kalau sudah tahu, mengapa kau be-rani kurang ajar?” “Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurangajaranku?” “Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!” “Lagi-lagi itu! Habis kalau memang-nya engkau cantik jelita...” “Sudahlah... sudahlah!” Li Hwa ber-kata kewalahan. “Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu.” “Kaupimpin pasukanmu melalui sepan-jang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang--ho yang airnya tidak begitu dalam, ba-nyak batu-batu besar.” Li Hwa mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini” Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemu-kan bokor itu. Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceri-takan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemu-kannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan me-nyembunyikannya di tempat itu. Li Hwa merasa terheran-heran men-dengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhu-nya juga menyebar orang untuk mencari-nya karena suhunya khawatir bahwa ka-lau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu di-temukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun! “Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak me-laporkan ke kota raja?” Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. “Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau.” “Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberon-tak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpi-sah dariku setelah kami berhasil menye-lamatkan seorang gadis yang tentu kau-kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya.” Li Hwa membelalakkan matanya. “Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya.” “Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis.” “Hemm... gadis lagi!” “Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!” Tentu saja yang dimaksud-kan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya. “Engkau memang mata keranjang!” Kun Liong tertawa. “Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?” “Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?” “Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian...” “Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?” “Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?” “Di mana dia sekarang?” Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu. “Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?” “Kita lihat saja nanti keputusan pe-ngadilan di kota raja.” “Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?” “Tentu saja!” “Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?” “Aku tidak percaya ceritamu.” “Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?” “Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat.” “Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa.” Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas. “Plakkk!” Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong! Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal seaneh ini! “Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya.” Li Hwa menjadi merah sekali muka-nya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong. “Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?” Kun Liong berkata dan melepaskan pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa! Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat “menangkap” dan menempel telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu. “Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ...” Li hwa mengerutkan alisnya. “Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke dalam dusun itu.” Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri! Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. “Basmi para pemberontak!” Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menja-di sarang para pemberontak yang berse-kutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu ter-jadi dalam jarak dekat, senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk me-ngisi mesiu itu kurang praktis, maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata ta-jam bertemu! Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pe-dangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh. “Dar! Dar!” Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut! “Singggg... trang-trang...!” Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata ja-lang. “Sungguh hebat...!” Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak kaku, “Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!” “Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhia-nati negaranya?” Li Hwa membentak marah. “Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban da-lam perang ini. Mari kau ikut saja ber-samaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!” “Mampuslah!” Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan. Hendrik Selado terkejut, silau mata-nya melihat sinar pedang yang bergulung--gulung itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah menge-rahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia memper-tahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri! “Keparat, hendak lari ke mana kau?” Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan pengejaran. Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat se-kali dan biarpun berhadapan dengan pe-muda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu. Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter dalam-nya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tan-pa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing. Selagi Kun Liong berdiri bingung ba-gaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia meli-hat Hendrik lari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, “Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?” Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat menduga bahwa pe-muda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, “Li Hwa, hati-hati...!” “Darrr... blungggg...!” Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini. “Bokor...! Di situ...!!” Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi. Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan. Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu. Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel. “Heran sekali ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya.” Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya. Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi, Hendrik tidak tampak batang hidungnya. Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik da-tang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, “Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!” Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis! Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu de-ngan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh ping-san. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat ke-cantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu. Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum. “He, kau sudah sadar, manis?” Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den membentak, “Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!” “Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah...” Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut. “Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang...” “Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!” Li Hwa berteriak lagi. “Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?” “Persetan dengan kamu!” Li Hwa memalingkan mukanya. “Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!” Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa. Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas. “Auuuughhh... aduuuhhh...” Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh--aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan! Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger