naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 41-45

Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu. “Plak! Plakk!” Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu, Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya. Hemm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus, “Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku dan aku yang turun tangan. Mengapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah? Engkau mencari penyakit.” Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan lalu pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka diapun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah. Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayang dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka kepada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong. Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apalagi ketika mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggap menggoda dua orang anak perempuannya. “Anak monyet itu memang tak tahu diri!” bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar. “Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!” Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu. Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, diapun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, “Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?” HOK BOAN amat mencinta isterinya ini, maka biarpun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Kini, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, “Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi kalau engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!” “Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tidak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa salah. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajar silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani terhadap Siong Bu? Urusan ini adalah urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa kita seolah-olah membela murid masing-masing?” Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya. “Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, lalu datang-datang memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali.” Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya. Mendengar ini, Hok Boan makin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiripun tahu bahwa puteranya itu Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya, “Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran kepada keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi makin liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar agar dia menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya.” Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta sauaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah. “Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong.” “Hemm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya agar dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang.” Setelah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang. “Sin Liong...!” Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok Boan sudah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu. “Sin Liong...!” Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan. *** Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin. Biarpun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan kalau pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan. Dia memasuki hutan besar itu dan duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi. Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi makin panas. Terbayang dalam ingatannya ketika Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil dia dibawa dengan paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, tidak ada hubungan darah daging sama sekali dengan paman dan bibinya, bahkan anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya. Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya telah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja diapun tertidurlah. Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, mengira bahwa bibinya yang datang mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar benar, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia mengintai. Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit seperti beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu. Siong Bu kini mengalihkan perhatiannya, memandang orang ke dua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum. Siong Bu merasa terheran-heran. Memang banyak sudah orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka itu semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak. “Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?” anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu. “Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti mencemarkan nama sucimu ini.” Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran dan kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadi dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Selain pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO. “Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?” Wanita itu menarik napas panjang. “Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama sucimu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan sucimu, jangan bertindak ceroboh, sute.” “Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu membuang-buang waktu belaka?” anak laki-laki itu mencela. “Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, juga ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Beberapa orang musuh menantang sucimu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini.” “Apakah mereka lihai, suci?” “Ah, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja.” “Suci, biarkan aku menghadapi mereka!” “Bagaimana nanti sajalah...” Pada saat itut terdengar bentakan nyaring. “Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!” Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohonpohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itupun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar. “Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah sejak tadi mereka itu bersembunyi di balik pohon-pohon itu?” Siong Bu terkejut. Kiranya anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itupun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan. Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi mereka dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh, “Jadi kalian inilah yang mengirim surat tantangan agar aku datang ke tempat ini?” “Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw?” Anak laki-laki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian. Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. “Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya.” Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah. “Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi, tanpa dosa sama sekali, dua orang keponakanku telah kaubunuh, hanya karena mereka itu she Tio!” “Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!” kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diamblinya dari punggung. “Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!” Tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam. “Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!” kata orang ke lima, juga marah sekali. “Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?” “Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu.” Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang. Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tidak sudi mengeroyok seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan. “Kim Hong Liu-nio, suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!” bentak kakek itu sambil melangkah maju. “Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja,” kata anak laki-laki itu dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati. Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju dan membentak. “Biariah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!” Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk. “Nanti dulu!” kata anak yang tampan itu. “Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kauberitahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan.” Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. “Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!” bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher! “Hemm... kasar sekali, suci!” anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan. “Dukk...!” Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut! “Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!” anak itu berkata mengejek. Tentu saja si muka hitam menjadi makin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam segebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun! “Bocah keparat!” Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat, kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, sedangkan kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, “Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw-pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis begini, tentu dia menyusul dengan tendangan, nah baiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?” Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya. Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia cepat meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul! “Bagus, sute, memang tepat perhitunganmu!” Wanita cantik itu memuji sambil mengangguk-angguk. “Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih ada empat ekor lagi yang lain!” Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dalam dua gebrakan saja! Saking marahnya sampai dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri, mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor kerbau marah, mendengus-dengus. “Wah, tadi berlutut sekarang menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima penghormatanmu!” Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menolak. Melihat kehebatan anak laki-laki ini, diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila! Siong Bu terkejut bukan main. Dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lwee-kang yang dipusatkan di kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan remuk tulang-tulang dadanya. Biarpun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan kini melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak dan merasa tegang. Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu memandang dengan sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah. Bagaikan seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang menjadi lawannya itupun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah meluncur dekat tiba-tiba anak itu menggerakkan tanga kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan jari-jari tangannya. “Crokk...!” Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika! Empat orang temannya menjadi kaget bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, wanita cantik itu tidak memperdulikan mereka, cepat menghampiri sutenya dan dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih kembali. “Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh? Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan serangan dengan kepala adalah yang yang memiliki lwee-kang kuat, apakah kau lupa lagi? Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar. Untung bahwa lwee-kangnya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat saja, bukankah engkaupun akan menderita luka biarpun kau berhasil membunuhnya?” Anak laki-laki itu mengangguk. “Aku telah keliru, suci, mengharapkan petunjukmu.” “Lihat baik-baik. Nah, kaulontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi kepadaku!” Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu dan sambil mengerahkan tenaga, dilontarkannya mayat itu ke arah sucinya. Mayat itu meluncur dengan cepat ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan ketika kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat. “Crokkk!” Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak. “Nah, kaulihat, sute? Kalau kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lwee-kangnya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi amat kuat. Sebaliknya, kalau kau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung.” Tadinya empat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali. “Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?” bentak Twa-sin-to Kui Lokg kakek berusia enam puluh tahun lebih yang pendek gemuk itu. Goloknya yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. “Jangan lawan dengan tangan kosong, gunakan pedangmu!” tiba-tiba wanita cantik itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok. ”Srattt...!” Nampak sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itupun telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak kebiruan, gaganngya berukir tubuh naga dan ronce-ronce merah berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang. Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, maka dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan. Kini dia dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia marah sekali dan ingin dia cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan seluruh perhatian dan memusatkan tenaga dan kepandaian untuk menghadapi Kim Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu. Dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samodera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan dada dan memandang permainan lawan dengan penuh perhatian. “Awas, yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak aseli lagi, namun masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!” tiba-tiba wanita cantik itu berseru ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok. Diam-diam si gemuk pendek ini kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa telah menguasai Lo-han-to, ilmu golok yang amat hebat dari cabang persilatan Siauw-lim-pai itu dengan baik, kini disebut pecahan yang tidak aseli lagi! Memang dia bukan murid langsung dari Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira telah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah) memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai yang hebat, gerakannya gagah bersemangat dan biarpun digerakkan dengan lambat, namun mengandung lwee-kang yang amat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti ombak. Akan tetapi, Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu, dia sudah menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar seperti kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu. “Itulah jurus Yan-cu-tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu sifatnya, sute, jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!” kembali wanita itu berseru. Anak itu menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengar bunyi trang-tring-trang-tring nyaring sekali dan kemanapun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak. Memang tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, karena itulah maka wanita itu tadi mengingatkan sutenya untuk tidak melupakan yang bawah! Maka begitu kakinya bergerak menendang, tiba-tiba anak itu membalikkan pedangnya menyambut kaki yang menendang. “Ehhh!” Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang sehingga dia agak terhuyung. Mukanya berubah dan keringat dingin membasahi leher karena dia mengingat betapa hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin buntung oleh bocah lihai ini. Dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang lagi dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. “Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal itu. Akan tetapi ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi hati-hati terhadap tangan kirinya!” kembali wanita itu berseru dan makin marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak aseli, kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja dan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing dan bersuitan ketika dia menyerang dengan dahsyat. Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan kedua kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan cara yang aneh, dan semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan, ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Anak itu lebih mengandalkan gerak kakinya menghindarkan semua serangan-serangan daripada menangkis, sungguhpun kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai menjadi makin heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang, sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung bajunya belum pernah! Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, kini telah mencabut pedang mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar merah dan teguran suara halus wanita itu, “Jangan kalian berani mengganggu sute yang sedang berlatih!” Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut sekali melihat sinar yang panjang seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu. “Wuut-wuut-wuuttt...!” Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar merah itu melibat tiga batang pedang. “Ouhhhh...!” Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biarpun mereka tadi sudah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu. “Terimalah!” Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan, tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu meluncur ke depan, menuju ke arah pemiliknya masing-masing! Tiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi lontaran pedang dan belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan pedang-pedang itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada yang tertembus perutnya. Mereka roboh berkelojotan dan tewas! Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh, kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang “berlatih” di bawah hujan sinar golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok. Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu! “Sute, sekarang latih serangan pedangmu!” tiba-tiba wanita yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru. Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya. “Tranggg...!” Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan). Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar, membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas menyerang! Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya dingin, cepat dia meloncat dan menyapok ke belakang. Akan tetapi, anak itu menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk saja! Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat menangkis pedang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu. “Awas, sute!” Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring. “Huiiiihhh!” Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui Liok. “Aughhh...!” Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak itu. “Desss...!” Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika! Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan saputangannya yang halus dan berbau harum. “Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau sasaranmu kautujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain kali engkau lebih cermat lagi.” Anak itu mengangguk. “Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali.” “Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh mencoba!” Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu. Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan “Huuihhh...!” seperti tadi. Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia tersenyum. “Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!” “Nah, engkau harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apabila engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa perhitungan. Sekarang, cabutlah pedangmu. Aku melihat ada beberapa gerakan inti yang kurang tepat tadi, maka sebaiknya kauperhatikan seranganku dan lawanlah dengan pedangmu sebaik mungkin!” Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab, wanita itu telah menggerakkan sabuknya. “Wirrr... suitttt...!” Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya. “Wessss...!” Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat sekali. Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya. Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam! Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring seorang pria, “Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!” Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus, “Merangkaklah ke sini!” katanya dengan nada merendahkan. Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar, bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya. Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang membawa bungkusan, lalu bertanya, “Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh apalagi?” Orang itu menjura dengan hormat, “Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama.” “Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah pergi!” bentaknya. Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya. “Eh? Kenapa, suci?” tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti itu. “Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute.” “Ah, keparat!” Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi itu. “Sute, jangan...!” Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehinggi lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah. Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu. “Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?” “Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!” Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar. “Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima langkah dari sini.” Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan. Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, “Kau lihat, sute.” Dia menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! “Racun yang dioleskan di bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat.” Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu! “Capppp!” Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan tenaga, leher ular itu putus! “Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!” Wanita itu mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam doos besar itu. Doos inipun tertutup. “Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!” Anak itu berseru, tadi kaget menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya. Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum. Akan tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan sehelai kertas yang sebagian hangus. Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ. JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN. Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar kehijauan itu. “Sungguh berbahaya...” katanya ngeri. “Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau).” “Siapakah mereka itu, suci?” Wanita itu menarik napas panjang. “Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar.” “Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?” Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Seperti juga halnya lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini.” Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi seorang wanita yang bukan main saktinya. “Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?” “Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku,” jawab sucinya dengan sikap tak perduli. Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya telah membunuh lima orang. Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain yang membela tiga she itu dan terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di baglan papan atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja. Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya, karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah. “Suci, sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she itu?” “Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang.” “Dan sampai kapan berakhirnya? Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh?” Anak itu merasa betapa tugas ini benar-benar gila! Wanita itu menggeleng kepala. “Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute.” “Aku akan membantumu, suci.” Sucinya menggeleng kepala. “Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak takut.” Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata, “Kalian antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya.” Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi. Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke rumah pamannya! Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh utama dari wanita tadi? Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia. Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali. Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai? Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut). Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal. Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya, dia lalu “memperlihatkan” kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil! Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu dan sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa! Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja! Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu. Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya! “Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?” Nenek itu mentertawakan. Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut. “Kalau locianpwe mendidik saya dan menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?” Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. “Hendak kulihat dulu bakatmu!” Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik! “Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!” akhirnya dia berkata. Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, “Engkau masih perawan?” Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk. “Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang kautemukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!” Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka. “Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ, dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!” Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya. Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. “Hi-hi-hik, sekarang kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini.” “Su... suheng...?” “Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu?” bentak nenek itu. “Hayo lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga.” Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya. “Eh, Kim Hong, mengapa engkau menringgalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?” sri baginda berkata dengan halus. “Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepadanya beliau sekarang juga...” Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut “subo” kepada nenek itu. Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li lalu berkata, “Eh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi.” “Sumoi...?” “Heh-heh, dia itulah sumoimu!” “Kim Hong...?” Sabutai terbelalak. Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata, “Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai...” “Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid apa kau ini?” Tiba-tiba nenek itu membentak. Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya, “...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid...” Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. “Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?” “HUUH-HUH-HE-HEH! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!” Raja Sabutai mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya.” Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya. Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih. Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang. Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai! Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaitu Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan. Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Ketika dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang sebetulnya mempunyai darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja liar. Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi. Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaiskiri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya. Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng, dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini. Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri. Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkatat “Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau telah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku?” Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua! Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. “Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?” Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, “Kim Hong, engkau adalah seorang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng.” Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut “sute” kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan pandai membaca dan menulis pula! “Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?” “Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?” “Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?” “Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?” “Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda.” “Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?” “Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undargan itu nanti setelah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran.”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger