naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 11

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunja pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung. Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu. Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong. “Heiiiiittttt...!” Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya. Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka. “Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?” kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus den melibat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya. Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan. Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat den beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kokebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja. Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang den tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat kni, Siangkoan Wi Hong tersenyum den pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah! Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Mereka dapat menduga pemuda itupun memiliki sin-kang yang amat kuat den dengan tenaga sin-kang yang memenuhi perut, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kangnya itu tidak jauh lebih kuat daripada tenaga dorongan kepala lawan, banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya. Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan diapun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan seluruh tenaga karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya makin kencang dan setelah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lalu meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu. Akan tetapi, begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong sudah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas! Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seolah-olah memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Maklum dia akan kelihaian pemuda ini, maka diapun cepat mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahah karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apalagi setelah kedua lengannya lumpuh tertotok itu. Akan tetapi, betapapun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya seperti direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil, dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, dia akan tewas! Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada delam bahaya, aplagi melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih mengerahkan sin-kang untuk membunuh kakek itu, sedangkan tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit. Thian Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya, menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu. “Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?” kata Thian Sin lirih sambir menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol. “Plak-plak-plak!” Tiga kali dia menepuk dan akibatnya sungguh hebat. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya dan dia kini berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang tadi tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin. Dia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa dingin sampai menusuk jantung. Maka dia terkejut sekali dan terpaksa melepaskan korbannya. Kakek itu begitu terlepas lalu terguling dan sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan! Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong cepat menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong. “Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja.” Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia sudah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, “Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia.” Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, “Loenghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa dengan sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu.” Kakek itu kini sudah terbuka matanya, tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan main. Tepukan-tepukan pada pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya dan sampai di kepalanya, membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka diapun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong. “Aku tua bangka yang tiada berguna memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap.” Maka diapun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Setelah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti. “Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh.” Dia menatap tajam kepado Han Tiong, lalu berkata. “Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah heberapa tahun yang lalu?” Han Tiong tahu bahwa kini tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Dengan tenang diapun berkata, “Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu.” “Dan aku adalah Ceng Thian Sin!” Thian Sin menyambung cepat. “She Ceng...?” Siangkow Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu. “Benar!” “Kalau begitu... mendiang Ceng Han Houw...” “Dia adalah ayahku!” “Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!” Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu sungguh lancang sekali memperkenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi pemerintah itu sungguh amat berbahaya. Maka dia cegat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong. “Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan.” Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, “Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!” “Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!” Han Tiong membantah dan menolak. Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. “Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asal orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang, putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, kedua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimanapun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!” Setelah berkata demikian sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali dan bermunculan enam orang dari pintu belakang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka. “Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira,” kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira. “Tapi, kongcug perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!” kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu. Sepasang mata Siangkoan Wi Hong biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba mendelik dan suaranya terdengar ketus, “Tolol! Kalian maju berenampun jangan harap akan menang!” Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama. Sementara itu, Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!” Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tidak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia mengangguk, akan tetapi berkata dengan suara penuh peringatan, “Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!” Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin. Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapapun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu. Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, “Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!” Si Tinggi Besar menjadi marah. “Serbu...!” dia memberi aba-aba dan lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan merekapun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka. Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang! Terdengar bunyi “krek!” setiap kali dia menangkis dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh den ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tidak dapat menyerang lagi. Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, sekali tangkis mematahkan lengan lima orang penyerangnya! Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar sudah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia sudah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin. Kalau dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini, akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini. Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menanti sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang. “Krokkk!” Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan... tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena kalau teman-temannya itu hanya menderita tulang sebelah lengan yang patah, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Terpaksa teman-temannya, dengan sebelah tangan saja, membantunya dan menggotongnya keluar dari tempat itu! Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Teringat dia akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu dan diam-diam diapun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, “Ah, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!” Akan tetapi Han Tiong sudah menjura kepadanya, “Saudara Siangkoan harap suka maafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita.” Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam diapun melakukan pilihan. Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunan ini lebih condong untuk menjadi segolongan dengan dia, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai dan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sedapat mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Tiong harus dimusuhinya! “Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat daripada kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah, dan aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!” Jelas bahwa kini pemuda hartawan itu menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong. Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan.” “Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?” “Terserah penilaianmu,” jawab Han Tiong tenang. Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. “Siapa bilang kami takut padamu?” bentaknya. “Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!” Thian Sin tidak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, “Tidak perlu kakakku turun tangan, akupun sudah cukup untuk menandingimu!” Biarpun hatinya menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapapun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapapun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya dan kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan semua orang. “Baik sekali, biariah kita main-main sebentar, Saudara Ceng!” Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya sudah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin! Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu laju seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan. “Dukkk!” Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar, dan pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang amat kuat dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu. “Dukk!” Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sin-kangnya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi. Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin. Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga inipun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah serang menyerang, saling pukul elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama makin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang kelau pertemuan antara kedua lengan itu amat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga. Setelah lewat lima puluh jurus dan belum dapat mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru benar-benar terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tidak kalah olehnya! Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas. “Brettt-brettt...!” Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang amat cepat dan aneh itu biarpun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya dan membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguhpun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka. Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas seperti itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan sebagai manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukan menghadapi manusia burung yang datang dari atas. Setelah berhasil merobek baju di kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan diapun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali. “Wuuutt... wuuuttt...!” Angin menyambar-nyambar hebat ketika dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur. “Sin-te, jangan...!” Han Tiong memperingatkan dan Thian Sin sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawan terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka diapun cepat mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Dengan ilmu silat yang tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung serangan-serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapapun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea sehingga terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu. Selain gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang amat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang! Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sin-kangnya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran. Ketika dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakannya. “Plak!” Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin. “Ahhhhh...!” Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sin-kangnya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan. Dalam kagetnya, pemuda ini mengerahkan sin-kang untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kangnya tersedot keluar. “Thi-khi-i-beng...” teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin sudah menyambar dan menampar punggungnya. “Bukkk!” Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang pada punggungnya itu biarpun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, namun telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlalu parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan. Melihat ini, Han Tiong cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat. “Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua,” katanya, kemudian dia memberi isyarat kepada adiknya dan mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu. Siangkoan Wi Hong masih terlalu kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia telah dikalahkan, maka diapun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai daripada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya. Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan diapun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak mempergunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita rugi sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesalpun tiada guna. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi. Dengan hati penuh rasa penasaran dan menyesal, hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya. *** Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, kini merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang amat indah di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, kini tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan! Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, telah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, segera berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia. Banyak memang terdapat mahluk hidup di dunia ini, namun, betapapun nyaring suara mahluk-mahluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah penuh dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar. Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, diapun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalaupun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat menikmati keindahan alam apabila kita tidak membanding-bandingkan, apabila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apabila di dalam pikiran tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita sendiri, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat pada jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku. Senja itu memang indah bukan main! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur, dapat menikmati keindahan senja itu sepenuhnya. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tidak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seakan-akan terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat. Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dilatarbelakangi warna kebiruan, biru yang mengandung kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuhing dan biru, warna-warna pokok, yang membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san. Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir. Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor mahluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak. Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi. Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian daripada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Sampai beberapa lamanya, mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mujijat memenuhi rongga dada. “Ah, tak terasa hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah nampak dari sini, Sin-te.” kata Han Tiong dan ucapan ini seperti menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana. “MARI, Tiong-ko,” jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona. Baru saja tiba di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi oleh beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya. “Berhenti!” bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid telah mengepung dua orang pemuda itu, “Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?” Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. “Agaknya saudara-saudara tidak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai.” “Eh, siapakah engkau...?” tanya pemimpin para penjaga itu sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu. “Kami datang dari Lembah Naga!” kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi. Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenal Han Tiong bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu. “Lembah Naga...?” tanya mereka gagap. “Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami.” kata Han Tiong. “Ohhh...! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong...?” Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, sedangkan beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka. Tak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw dan Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong sudah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu masih nampak sehat dan segar, sedangkan isterinyapun memiliki tubuh yang langsing dan biarpun rambutnya sudah banyak yang putih, namun garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger