naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 425

SIN LIONG tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas kematian kong-kongnya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan kembali dan menolong Bi Cu sampai selamat. Barulah dia akan mencari musuh-musuhnya kemudian. Musuh-musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus dibalasnya untuk kematian kong-kongnya, dan Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu kandungnya. Tapi, sekarang yang paling perlu adalah menolong Bi Cu. Maka Sin Liong lalu melanjutkan perjalananya dengan secepatnya menuju ke Lembah Naga. Kalau tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan biarpun dia tidak bernafsu, namun dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang ditangkap dan dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk menolong Bi Cu. Oleh karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya den harus makan agar jangan sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti. Dua hari kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa Bangkai yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit di sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu. Inilah tempatnya! Di sinilah dia terlahir den dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan pohon-pohon besar di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya, seperti sahabat-sahahat lama yang kini mengelu-elukan kedatangannya kembali dengan melambai-lambaikan ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup angin. Teringat dia akan gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua itu, naik sedu-sedan dari dadanya berhenti di tenggorokan, membuat dia memandang termenung ke arah hutan-hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan itu untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia berada di sekeliling tempat ini, seolah-olah seorang perantau yang telah lama pergi kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua bayangan kehidupannya di waktu dahulu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Bi Cu membuyarkan semua itu. Keharuan dan kegembiraan yang dirasakan tadi lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan keselamatan Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki hutan kecil di luar Lembah Naga. Akan tetapi, kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi sekali ini bukan berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang amat dikenalnya itu, melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi kepada orang pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya sambil tersenyum manis itu. Ceng Han Houw! Akan tetapi, Sin Liong tidak terpengaruh oleh senyum manis itu. Kemarahannya sudah menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lalu berkata dengan suara kaku dan penuh kemarahan, “Houw-ko, kalau sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu, biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!” Lalu dengan sikap mengancam dia mendekati pangeran itu. Han Houw tersenyum, senang hatinya mendengar betapa pemuda perkasa itu masih menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan Hek-hiat Mo-li yang mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama sang pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia telah dibikin roboh terguling-guling oleh pe¬muda itu. Bahkan ketika ditanya oleh sang pangeran bagaimana pendapatnya tentang tingkat kepandaiannya dan ting¬kat kepandaian Sin Liong, Hek-hiat Mo¬-li menjawab bahwa sang pangeran masih lebih unggul, sungguhpun tidak banyak selisihnya! Berita ini membuat Han Houw girang sekali dan makin besar keinginan untuk dapat menarik Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya. Maka, cepat dia menyambut dan makin gembiralah hatinya mendengar betapa Sin Liong, dalam kemarahannya, masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih tidak melupakannya bahwa mereka ber¬dua pernah mengangkat saudara. Ceng Han Houw membelalakkan kedua matanya dan memperlihatkan sikap ter¬heran-heran, lalu mendekati dan mem¬buka kedua lengannya sambil berkata, “Aih-aih...! Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap diriku, Liong-te? Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan adik kandung saja dan kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin menyusahkanmu?” Sin Liong teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang, maka dia berkata dengan suara dingin, “Hemm, tidak perlu membujuk lagi, pangeran! Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan nyaris membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan omongan manis, bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebas¬kan Bi Cu.” Kembali terdengar ancaman dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi menyebut Houw-ko, melainkan pa¬ngeran, karena hatinya sudah panas dan marah sekali. Pangeran Ceng Han Houw tersenyum, “Ah, engkau salah mengerti, Sin Liong. Peristiwa yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati. Akan tetapi kalau menganggap aku ber¬salah, biarlah aku minta maaf. Tahukah engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu? Dan aku sengaja menyuruh bekas suci dan suboku untuk mencarimu sampai dapat! Kemudian, untuk menebus semua kesalah-fahaman itu...” “Engkau menyuruh culik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!” Sin Liong berseru dengan penuh kemarahan. Ceng Han Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. “Tenang dan sabarlah, Liong-te. Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, dia menjadi tamuku yang terhormat. Dengar¬lah baik-baik lebih dulu. Memang aku menyuruh suci untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar engkau menyusul ke sini. Akan tetapi bukan dengan maksud buruk, sama sekali tidak, Liong-te. Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan lain untuk membujukmu...” “Hemm, engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk me¬maksaku. Akan tetapi sekali ini, jangan harap engkau dapat memaksaku melaku¬kan sesuatu, Houw-ko. Bukan engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku, bebaskanlah Bi Cu baik-baik dan biarkan kami pergi, kalau tidak, aku akan mengadu nyawa untuk menyelamat¬kannya, dengan taruhan selembar nyawaku!” “Ahh, engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku tahu, aku su¬dah mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia sudah saling jatuh cinta. Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu sendiri!” “Apa...? Apa maksudmu...?” Sin Liong tentu saja terkejut sekali dan merasa heran mendengar ucapan itu. Dia memandang tajam penuh selidik karena hatinya bertanya-tanya permainan apalagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan licik ini. Ceng Han Houw tertawa. “Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi juga adik iparku. Ketahuilah bah¬wa aku telah menjadi cucu mantu dari mendiang kong-kongmu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.” “Ahhh...?” Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan meng¬anggap pangeran ini hendak menipu dan membohonginya. “Tentu engkau tidak percaya, akan tetapi sebentar lagi engkau akan bertemu sendiri dengan piauw-cimu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang telah menjadi suami dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?” Diam-diam Sin Liong terkejut bukan main, dan teringatlah dia akan pertemu¬an antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si ketika dia sedang mengantar pangeran itu untuk mencari Ouwyang Bu Sek. Ketika itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie Ciauw Si yang membela ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang dihajar oleh dua orang bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itupun dia melihat hubungan anta¬ra kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri! Dia tahu siapa Lie Ciauw Si. Ke¬tika dia ikut kong-kongnya di Cin-ling-san, dia sudah mendengar tentang keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguh¬nya adalah keluarganya. Kakeknya, mendiang Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Cia Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia Giok Keng mempunyai dua orang anak, yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri! Memang benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauw-cinya sendiri, dan kalau kini piauw-cinya itu menikah dengan pa¬ngeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak angkat¬nya, melainkan juga kakak iparnya sen¬diri! Betapapun juga, dia masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami piauw-cinya? Andaikata benar demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan ke¬licikannya untuk menipu piauw-cinya itu! Melihat Sin Liong mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian me¬mandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat men¬duga apa yang diragukan oleh adik ang¬katnya itu, maka dia lalu berkata, “Liong-te, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan kehidupanku. Ketika aku dan Si-moi saling jumpa, seperti engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkaupun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suciku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku lalu mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itulah, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apalagi karena hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!” “Hemm, memberontak?” Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pa¬ngeran itu. “Ah, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman, Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, melainkan hendak menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan membantuku, dan demikian pula kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku kalau saatnya tiba. Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago nomor satu di dunia. Setelah itu, aku menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw dan kita mengadakan gerakan orang gagah sedunia menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau akan suka membantu pergerakan kami ini.” Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut bukan main, akan tetapi dia belum sepenuhnya dapat percaya apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu aneh baginya. “Aku tidak perduli tentang itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih ke¬padamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapapun tidak mengganggu selembar rambut Bi Cu.” Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang telah diduganya hal ini. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya. “Liong-te, tentu engkau belum percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Marilah, adikku, mari kita menemui piauw-cimu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di Istana Lembah Naga.” Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru! Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit yang bersenjeta lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah Naga. “Lihat, adikku, bukahkah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika meng¬adakan perjalanan bersama?” Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan pangeran kepadanya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam dia mengkhawatir¬kan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kong-kongnya itu. Mengapa wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam pangeran ini, pikirnya heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang amat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan amat ketat¬nya, penuh dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan maupun yang menjaga sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak. Diam-diam dia terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu, agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu. Dan kenyataan inipun agak melegakan hati¬nya, karena seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga? Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang amat dikenalnya walaupun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu di waktu dia tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara mereka adalah Bi Cu! Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kuda¬nya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Juga Bi Cu sudah berlari cepat ke depan menyambut. “Sin Liong...!” “Bi Cu...!” Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat. “Sin Liong... ah, Sin Liong...!” Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia. Kalau saja tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri pula Ceng Han Houw yang ter¬senyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan kebahagiaan mereka dan kerinduan hati masing-masing. Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak sehat, dan pakaiannya rapi, rambutnyapun rapi, sungguhpun wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia tidak pernah dapat melupakan Bi Cu dan selalu mengkhawa¬tirkan keselamatannya. “Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah, Si-moi.” Mereka berempat lalu memasuki ista¬na itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah me¬reka tiba di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong lalu menjura kepada pangeran itu dan berkata, suaranya terharu, “Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, maka terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam ke¬adaan baik dan tidak terganggu.” “Siapakah akan membohongimu. Liong-te? Apalagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya adalah cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?” Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong lalu menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan ber¬kata merendah, “Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?” Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorangpun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kong-kongnya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kong-kongnya itu, termasuk Thi-khi-i-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, mengapa masih juga belum ada yang tahu? “Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku telah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagai¬manakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapa¬kah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tidak seorangpun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?” Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, akan tetapi dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya lalu berkata lirih, “Sesungguhnya rahasia ini takkan kuceritakan kepada siapapun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor sehingga diketahui orang. Maafkan, lihiap, aku tidak dapat menceritakan duduknya perkara, karena ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw.” Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya marah kepada pendekar itu. “Maka, kalau sampai urusan ini dibicarakan dan rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!” Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tidak menyenangkan, “Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kong-kong. Kalau engkau putera kandung paman Bun How, berarti kong-kong Cia Keng Hong adalah kong-kongmu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Mengapa engkaupun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?” Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tidak ingin menonjolkan diri sebagai ke¬turunan Cin-ling-pai yang terkenal se¬bagai keluarga gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran na¬ma besar Cin-ling-pai?” Diam-diam Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia dapat menduga bah¬wa tentu ada rahasia yang mungkin me¬nyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai ke¬luarga Cin-ling-pai. Selain itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu begitu saja bahwa anak itu adalah pu¬tera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mengakui hal itu? Tiba-tiba Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang tidak senang kalau disinggung soal ke¬turunannya, padahal selama ini Lie Cia¬uw Si sedemikian ramah dan baiknya, segera berkata, “Ah, apa sih artinya keturunan? Bagiku, biar Sin Liong itu putera raja ataupun anak pengemis sekali¬pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?” Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga se¬ketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturun¬an itu tadi. “Ha-ha-ha, memang tepat sekali ucap¬an nona Bhe. Dan ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!” Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu me¬nerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan girang dan balas meng¬hormat. Sin Liong adalah seorang pe¬muda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si amat akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka diapun kena dibujuk. Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlak¬sananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam diapun tidak mempunyai maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa. Mereka berempat lalu makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Diam-diam Sin Liong merasa heran mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk ikut pula berpesta. Dan diapun masih bingung apa yang akan dilakukannya kalau dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ. Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya. “Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi suatu perjuangan yang amat penting yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat dan kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang ke¬laliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu.” Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang tajam mencorong. “Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?” “Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian kalau engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Akan tetapi, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tidak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?” Diam-diam Sin Liong terkejut. Pange¬ran ini sungguh amat cerdik dan ber¬pemandangan tajam sehingga tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikir¬kannya. Dia lalu mengangguk dan ber¬kata. “Aku berjanji takkan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan sya¬rat bahwa merekapun tidak boleh meng¬ganggu aku dan Bi Cu seujung rambut¬pun.” Pangeran itu tersenyum dan diam-diam diapun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini. “Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami.” Tiba-tiba wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, “Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tak mungkin kami tinggal sekamar!” “Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!” Bi Cu juga ber¬kata, mukanya merah sekali dan dia me¬nunduk. “Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untuk¬ku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu.” Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasih¬nya itu, akan tetapi hal ini sudah di¬mengerti oleh semua orang. “Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah.” kata pangeran itu sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong amat “takut” terhadap wanita, dan sampai kinipun, biarpun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan “pelanggaran”. Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau. Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ. Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing dan merekapun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu. “Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri.” “Ihh!” Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. “Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apapun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?” “Memang benar, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekalipun, tanpa engkau di sampingku, leblh baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu.” Sin Liong merasa terharu sekali dan memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. “Kita takkan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa akupun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku.” Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka tinggal duduk seperti itu, tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening dan sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu. Akhirnya Bi Cu berbisik, “Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita ber¬ada di sini. Betapapun baiknya pangeran ini, namun jelas bahwa dia hendak mem¬pergunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku.” “Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan...” “Enci Ciauw Si? Ah, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknyapun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh...” “Bukan memberontak, Bi Cu, melain¬kan berjuang melawan kelaliman kaisar...” “Itu kan alasannya! Betapapun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita ikut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!” Sin Liong menggelengkan kepala. “Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali...” “Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... eh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di depanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!” Sin Liong menggeleng kepala. “Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak ter¬hadap kerajaan begitu saja dengan mak¬sud memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau.” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Biarpun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk mem¬bantu, akan tetapi membantu untuk me-lakukan penjagaan dan dalam menghim¬pun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan.” Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Setiap pemberontak¬an, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasarl oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan me¬ngemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaik¬an dari yang memberontak. Semma ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud ter¬capai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk mem¬bantu gerakan mereka itu. Dan hal se¬perti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu! Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankan segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya? Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang. Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tidak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan selain mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih, bahkan dia mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri, wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil! *** Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan rasa tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran! Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke manapun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja sendirian. Kalau dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera! Betapapun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar. Dia bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekorpun monyet yang mengenalnya. Padahal dahulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tidak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buan pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya. Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang amat sunyi itu, kadang-kadang membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu. Dia sudah mengajak Bi Cu beberapa kali mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana dan di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayatnya tentang ibunya yang buntung sebelah tangannya, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir karena hubungan antara ibu kandungku dan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biarpun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap...” Bi Cu merangkul dan mencium muka yang muram itu. “Sin Liong, engkau anak terang anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak perduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!” Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali. Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu diapun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Diapun ingin sekali tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw. Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan diapun tidak sudi¬ bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu ataupun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya! Terhadap Bi Cu, apapun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Kalau tidak, diapun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu kepadanya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak memperdulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya. Senja telah mendatang dan biarpun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, na¬mun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya se¬suatu yang tidak beres ketika dia me¬masuki sebuah hutan kecil di luar Lem¬bah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil ber-sembunyi. Dia tadipun ketika pergi me¬nuju ke makam ibunya, masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan ber¬sembunyi itu hanya berguna untuk men¬jaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya. Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikitpun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang malam secara bergilir, penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembag Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu, tidak terjaga? Ke mana perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu? Sebagai seorang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali. Sin Liong dengan gerakan ringan sekali lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba, dia menahan seruan heran melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas? Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua! Ada musuh menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai sajalah yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi. Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya dua orang itu sedang menanti malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main. Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sedang duduk di atas rumput, bersila, dan agaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar. Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya! Sin Liong mengenal bahaya, maka diapun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak, “Robohlah!” Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan sungguhpun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga. “Duk! Aihhhh...!” Wanita itu agak terhuyung dan mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung. Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali. “Desss...!” Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apalagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka kini teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, ibu tirinya, isteri ayah kandungnya! Di fihak Cia Bun Houw, diapun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang telah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw! “Engkau...?” Cia Bun Houw membentak dan Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya mendengar ini. Dia memandang dan sekarangpun dia teringat kepada Sin Liong. “Eh, kiranya setan cilik ini berada di sini?” Diapun membentak marah. Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi diapun merasa tidak senang melihat ibu tirinya, apalagi mendengar dia disebut setan cilik! “Harap ji-wi segera pergi dari sini!” katanya kemudian, “Di sini amat berbahaya.” Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. “Dan engkau sendiri?” “Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini.” “Bocah lancang!” Cia Bun Houw membentak marah. “Kaukira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?” “Bocah setan ini memang perlu dihajar!” Yap In Hong berseru karena diapun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang telah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu! Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. “Pergilah... pergilah...!” “Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!” Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi, Sin Liong dengan sigap dan cepatnya mengelak, memutar tubuhnya dan tahu-tahu diapun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat. Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya. Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Sama sekali tidak pernah terdesak malah, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya! Bahkan ketika kedua orang suami isteri yana amat lihai itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan ke¬kebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi-i-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seru¬an kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini! Tentu saja Sin Liong harus mengerah¬kan seluruh tenaga yang ada pada dirinya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pe¬ngeroyokan dua orang yang demikian sak¬tinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena betapapun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama! Maka mereka itu seolah-olah hanya “berlatih” saja, sungguhpun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apalagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong! Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biarpun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka dan kalau sampai Sin Liong terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan. Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan main. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinyapun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sukar baginya untuk mem¬peroleh kemenangan, apalagi harus me¬layani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang. Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguhpun da¬lam gerakannya itu telah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mem¬pelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Itu adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu. Melihat ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka ketahuan. Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah agak berat, apalagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu. Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking, nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu luar biasa sekali, mengandung tenaga khi-kang kuat sehing¬ga beberapa orang pengawal terguling roboh. Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar me¬reka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu dan merasa jerih untuk pergi mengejar sendirian saja, lalu tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah. “Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap.” Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu tahu bahwa dia dianggap adik ang¬kat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga. Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, “Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu.” Sin Liong lalu menceritakan pertemu¬annya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan suami isteri itu melarikan diri. “Ah, ayah kandungmu dan ibu tirimu?” Bi Cu bertanya kaget sekali. Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tak disangka¬nya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pa¬ngeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka. “Liong-te, aku mendengar dari pasu¬kan penjaga bahwa senja tadi muncul ayah kandungmu dan ibu tirimu...” “Harap engkau tidak menyebut-nyebut tentang ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!” Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi! “Ah, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat di masa ini telah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Kenapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka se¬cara baik-baik dan mempersilakan mere¬ka masuk sebagai tamu-tamu agung? Kau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?” Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pan¬dang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu dan tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah. Han Houw kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi diapun girang melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia ke¬padanya sehingga pemuda ini, untuk men¬jaga keamanan di situ, tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, melainkan karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka. Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus tetapi mengandung tegur¬an dan penyesalan, “Liong-te, mengapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ah, aku sudah mengutus orang menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menye-rang mereka.” Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentu me¬ngandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Maka diam-diam dia me¬rasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan ber¬arti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana. “Maafkan, Houw-ko dan lihiap.” Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci ke¬pada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu. “Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi curiga dan menyerang mereka. Terjadilah perkelahian kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek dan pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri.” “Sudahlah,” pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapapun juga, dia agak jerih terhadap suami isteri itu. “Semua itu terjadi karena salah sang¬ka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!” Pangeran itu menyebut dua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya begitu sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi ke¬luarganya. Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia! Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si! Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di ista¬na Pageran Ceng Han Houw. Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan me¬ninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa berduka sekali itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi! Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, kemudian mereka menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai telah dibebaskan daripada tuduhan memberontak dan tidak lagi menjadi buruan pemerintah. Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka sudah berjanji dengan Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw. Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu melakukan penyelidikan tentang kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong! Setelah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan tentang Lembah Naga yang terjaga ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar. Mereka berdua sendiri masih menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong. “Bocah setan itu benar-benar lihai sekali,” kata Yap In Hong. “Sungguh luar biasa bocah seperti itu memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!” “Dan juga kepandaian mendiang ayah!” kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. “Aku sendiri sebagai putera tunggal ayah tidak mewarisi Thi-khi-i-beng, juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnyapun tidak. Yang mewarisi hanyalah kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu kini mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!” “Dia telah menggabung ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!” “MEMANG benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada becah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita sendiri dipergunakan untuk melawan kita dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali, dan kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali.” “Sudahlah, tidak perlu kita gelisah dan khawatir. Bagaimanapun juga, dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga.” Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang mata dengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya telah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya. Semua tokoh kang-ouw yang “merasa berkepandaian” diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jagoan nomor satu di dunia ini! Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi merekapun tahu bahwa akan terjadi keramaian lain yang sama sekali tidak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Hen Houw si pemberontak itu. Mereka menanti saat penentuan itu de¬ngan tenang dan waspada. *** Telah terlalu lama kita menginggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Setelah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang telah menjadi nikouw, sedang¬kan ayah kandungnya sesungguhnya ada¬lah Kui Hok Boan, maka nama lengkap¬nya tentu saja bukan Tee Beng Sin me¬lainkan Kui Beng Sin! Hal ini merupakan kenyataan pahit bagi Beng Sin karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka kepada orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu! Dengan hati perih sekali setelah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hi¬buran di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu. Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan seorang di antara dua puteri kembar ayah kan¬dungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, seayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, telah menantinya dengan penuh ha¬rapan. Dan apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan meriah sekali. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatahpun kata, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah sekali, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lalu melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang! Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyam¬but pemuda itu dengan girang, dan me¬reka mendengarkan dengan wajah serius ketika Beng Sin menceritakan segala yang telah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa kalau dia mau menjadi ke¬luarga mereka ini, dia harus mencerita¬kan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri. Yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, “Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri...” Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu dan isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang men¬celakakan Lan Lan dan Lin Lin, tentang pertempuran yang terjadi di antara me¬reka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata, “Engkau tidak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian mem¬perebutkan kebenaran adalah sudah ja¬mak.” Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya telah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu dan dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok. Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga kagum. Pemuda calon mantunya ini benar-benar seorang yang amat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Jauh lebih baik mempunyai seorang mantu yang jujur seperti ini daripada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan sikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri! “Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!” Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. “Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?” “Tenangkan hatimu, Beng Sin,” kata calon ayah mertuanya. “Kedua orang adikmu itu telah selamat.” “Eh? Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?” Biarpun agak malu-malu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu. “Mereka telah diselamatkan oleh ka¬kak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka se¬perti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka.” Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bah¬wa Lan Lan dan Lin Lin selamat. “Ah, tentu Sin Liong yang menyela¬matkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?” Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang. “Benar, dan mereka kini telah mem¬beli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh ke¬betulan sekali dan mudah untuk menge¬sahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan.” Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia meng¬geleng kepala. “Saya tidak akan mengunjungi ayah...” Suami isteri itu saling pandang, ke¬mudian Ciok-piauwsu berkata, nada sua¬ranya bersungguh-sungguh, “Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengece¬wakan hati kami dengan melesetnya pan¬dangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi dan bijak¬sana. Akan tetapi, semua itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hen¬dak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri.” “Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih...” “Cukup, Beng Sin!” Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. “Kami tidak ingin mendengar ke¬burukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya? Dia sekarang... ah, sakit parah...” “Ahhh...?” Beng Sin terkejut. “Benar, Beng Sin,” sambung ibu mertuanya. “Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit.” Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpah¬kan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya. “Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka.” Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauw¬su ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk “di¬jalankan” sehingga modal itu dapat meng¬hasilkan keuntungan dan tidak akan ha¬bis dimakan menganggur begitu saja. Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga ter¬haru. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis. “Sin-ko...!” Kui Lan terisak. “Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?” Kui Lin juga menangis. Beng Sin tidak dapat menahan runtuh¬nya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini. “Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...” katanya berulang-ulang. Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah! “Kami diselamatkan oleh Liong-koko,” kata Kui Lan. “Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini,” sambung Kui Lin. Sukar bagi mulut Beng Sin untuk ber¬tanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahu¬kah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata, “Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko...” Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, “Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko,” kata Kui Lan. “Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko me¬mang jahat dan dia tewas dalam per¬kelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah...” “Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia...” Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri. Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka. “Bagaimana... ayah...?” tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. “Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?” Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi...” “Tetapi bagaimana?” Beng Sin men¬desak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti. “Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia...” “Seperti anak kecil, atau seperti o¬rang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko,” Kui Lan menyambung. Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya. Terharu bukan main hati pemuda ge¬muk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tu¬buhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pem¬baringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya. “Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk,” kata Kui Lan. “Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?” Kui Lin mengingatkan. “Beng Sin... Beng Sin... anakku...” kata orang tua itu lirih seperti berbisik. Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata. “Ayah...!” Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah? “Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, se¬perti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh...” dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil! Beng Sin terkejut dan momandang de¬ngan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar. “Dia selalu begitu...” kata Kui Lin berbisik. “Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur.” Beng Sin menggeleng-geleng kepala¬nya. “Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu...” “Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?” kata Kui Lin meragu. “Betapapun juga, itu merupakan pe¬lajaran bagi kita. Ayah kita pernah me¬lakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat,” kata Kui Lan. Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak se¬nang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesal¬an yang tiada habisnya, timbullah rasa iba. Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya pe¬nyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sen¬diri? Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula per¬buatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin le¬mah dan tumpul selalu berada dalam ke¬adaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayang¬an kesenangan, dan kalau sudah meng¬hadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenang¬an. Baru setelah kesenangan yang di¬nikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedas¬an dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyang¬kal kenyataan yang benar ini? Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini! Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya! Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis! *** Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu. Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil. Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong. Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain. “Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh...” keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si. “Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?” Cia Bun Houw bertanya ke¬pada encinya, “Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah men¬jadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!” Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang, “Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!” Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus, “Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menya¬lahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan.” Tiga orang pendekar lainnya meng¬angguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mere¬ka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak da¬hulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurut¬kan perasaan hati sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggal¬kan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger