naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 371--380

“Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” sambung Tong Siok. Biarpun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir. “Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!” Ouwyang Bu Sek sudah mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam. “Tidak ada pilihan lain bagi kami!” kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah. “Keparat, kalau begitu mampuslah!” Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang. “Suheng, jangan bunuh mereka!” teriak pemuda ini sambil berdiri di antara mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu. Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya! “Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu. “Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!” jawab Han Houw dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. “Aku adalah seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapapun, termasuk engkau!” “Eh, sute...!” Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, “Ingatlah, justeru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!” “Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasihatmu!” “Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku? Aku suhengmu, juga aku pembimbingmu...” “Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!” bentak Han Houw. Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya sendiri! “Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!” bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu. Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi “pagar” hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan. “Dess...!” Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya! Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus, dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw. “Sekarang aku akan membunuhmu!” bentaknya dan suaranya yang agak parau saking marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat. “Blarrrrr...!” Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu! Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan, ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan. Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan. “Buk! Bukk!” Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan. Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya. Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga! Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini. Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru, “Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!” OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat. Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu. Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting. Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukul¬annya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu, sebalik¬nya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau di¬lanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak. Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang. “Blukkk!” Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang. “Hukkkk... crotttt...!” Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi¬ bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu. Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi. “Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!” “Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi.” Han Houw membalikkan tubuhnya me¬mandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju. “Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian.” Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak mengira, bahkan hampir tidak dapat per¬caya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek. Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, “Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?” Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu. “Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pange¬ran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan meng¬hadap paduka,” kata Gu Kok Ban sambil tersenyum. Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, “Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?” Terkejut hati dua orang itu men¬dengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak kelihatan marah sehingga hati me¬reka menjadi besar kembali. “Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah.” “Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pem¬berontak-pemberontak yang menjadi buru¬an pemerintah?” Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, “Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijak¬sanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouw¬pun tahu belaka betapa semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang ga¬gah yang selalu membantu pemerintah membasmi para pemberontak.” Disebutnya nama Lie Ciauw Si mem¬buat wajah Han Houw kembali nampak berseri sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya, “Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?” Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. “Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap...” Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. “Aku tahu, dan aku¬pun bertanya untuk pergi menemui me¬reka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan untuk mereka...” “Ah, terima kasih, pangeran...!” Mereka berdua berkata dengan girang sekali. “Katakanlah, di mana adanya mereka kini?” “Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa melarikan diri lagi...” ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka. “Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?” “Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba...” “Suheng...!” Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, memandang kepada pange¬ran itu dengan keraguan yang mulai tim¬bul. Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat. “Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!” Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih merasa khawatir itu. “Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou...” Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu. “Desss...!” Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi. Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, “Manusia iblis berhati keji! Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu. Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!” Han Houw tersenyum. “Engkaulah yang akan pergi ke neraka!” katanya sambil melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau. Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu! Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu. “Desss...!” terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang, dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu. Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah mem¬bunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh Ouwyang Bu Sek untuk me¬nguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus mem¬bunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum! Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuh¬hya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu. Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalam¬nya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani me¬masukinya. Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kaki¬nya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap. Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak? Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu! Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak. Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu. “Sssssttt...!” Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan tenaga pada kedua jari itu terdengar suara “krekk” dan tulang leher ular itupun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya. “Jahanam!” Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil, tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga se¬lain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi. “Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!” Dia memaki-maki dan mencari-cari ke¬luar masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah ki¬tab kuno itu ternyata hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu? Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua. Lebih baik begitu, pikirnya dan diam-diam dia meninggalkan puncak pe¬gunungan itu. *** Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw¬-lim) amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani. Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut, berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat. Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia. Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang se¬tiap hari berada di tempat itu. Sedang¬kan murid-murid Siauw-lim-pai yang su¬dah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan tidak bertugas me¬ngembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang men¬junjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan ke¬pandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluar¬kan dari perguruan itu, tidak diakui se¬bagai murid lagi dan kalau ketahuan mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi. Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, Siauw-lim-pai selalu men¬jauhkan diri dan tidak mau tersangkut. Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan ke¬cerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarang¬an, menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan, ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan me-mikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang, ada pula yang membaca kitab dengan suara yang meng¬getar penuh penghambaan diri, akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas. Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya. Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan! Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita. Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung, bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu. Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersem¬bahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu! Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pan¬dang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat menghampirinya dan memberi hor¬mat sambil bertanya, “Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada ke¬perluan lain?” Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkan pada dirinya. Maka diapun cepat membalas penghormatan itu dan berkata, “Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.” Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang ter¬kenal. Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, “Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftar¬kan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu.” Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia mem¬bentak dan memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati. “Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.” Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara halus namun seketika wajah hwesio itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau benar pangeran, meng¬apa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu. “Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu...” Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang ber¬gegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu. Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali! Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya. Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar. Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh. Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu. Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seper¬ti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja? Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, “Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian merasa ter¬kejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pe-ngiring dan berita terlebih dahulu.” Da¬lam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu. Han Houw juga mengerti akan ke¬anehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, “Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang men¬jadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya.” Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka “locianpwe”, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda meng¬hormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka “losuhu” saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin mem-bingungkan dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sa¬ngat boleh jadi. Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. “Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini.” “Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?” Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu. “Suhu Thian Khi Hwesio sedang meng¬adakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurusnya de¬ngan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti paduka sampai datang mencari suhu?” Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak per¬duli. Dengan nada suara dingin dia ber¬kata, “Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak ter¬serah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio.” Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya. Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri, “Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke Siauw-lim-si kami?” Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, “Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?” Thian Bun Hwesio hanya mengangguk. “Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?” Thian Bun Hwesio tersenyum. “Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan me¬miliki ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya.” “Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang ter¬pandai di sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!” Han Houw berkata girang. Kenyata¬an ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia! Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara de-ngan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, “Pangeran, ketahuilah bahwa pin¬ceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar...” Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. “Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Mari¬lah, locianpwe!” Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua orang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. “Baik, ma¬rilah kita ke lian-bu-thia, pangeran.” Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ ter¬dapat belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan se¬bagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini se¬mua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi. Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang demikian besar dan ternama. Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir dan mereka se¬mua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suhengnya akan mem¬beri petunjuk kepada pangeran yang aneh ini. Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cu¬kup jangkung tegap, nampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu. “Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?” tanyanya dengan suara nya¬ring akan tetapi sikapnya hormat. Pange¬ran itu mengangguk. “Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari.” Han Houw tersenyum, “Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau lo¬cianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku.” Itulah merupakan tantangan, biarpun nadanya minta diberi pelajaran. Thian Bi Hwesio masih tersenyum. “Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat...” “Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe.” Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai! “Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!” Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. “Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?” Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar! “Pangeran,” katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, “hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan di¬maksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!” Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. “Apakah dengan lain kata locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji ke¬pandaian atau pibu?” Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke de¬pan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya ke¬ras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar. “Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!” Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu. “Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul,” kata Thian Bi Hwesio sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan. Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, “Pangeran, hamba¬lah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!” Sambil berkata demikian, hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum. “Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!” Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, “Nah, kauterimalah ini!” Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio! Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai. “Tukkk!” Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya. “Plakk!” Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol. Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh. “Sute, waspada...” bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw. “Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!” Thian Bi Hwesio berkata. “Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?” “Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, akupun tidak akan me¬maksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jago¬an nomor satu di dunia!” Dua orang hwesio tua itu sampai ter¬belalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan ber¬laku istilah bahwa setinggi-tingginya pun¬cak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini! Thian Bi Hwesio adalah seorang hwe¬sio yang jujur dan kasar, maka men¬dengar ucapan bernada sombong itu wa¬jahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lalu berkata, “Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan siapapun. Kami telah me¬nolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut.” “Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!” Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya. Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka. “Silakan, pangeran!” katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu. Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah! “Hiaaattt...!” “Wuuuuttt... ah!” Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar. “Wuuuuutttt...!” “Ehhh...!” Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar. KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya! Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikit¬pun untuk dapat memasukkan serangan¬nya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, me¬ngerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya! Bukan main kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim¬-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya, yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh. Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mem¬pergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan ilmunya yang he¬bat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia meman¬dang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung memperguna¬kan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. “Ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!” Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka, bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan. “Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami.” Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat. “Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!” Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya. “Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu.” “Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe,” Mulutnya saja menyebut lo¬cianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang. “Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw. “Uhhh...!” Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana! “Omitohud...!” Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu. Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya be¬berapa tahun lebih tua daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali. “Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka.” Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadap¬nya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah ke¬pada Siauw-lim-pai. Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru mereka¬pun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya. “Siapakah locianpwe?” “Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka.” “Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku.” “Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua yang bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang.” “Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah menguji kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku.” “Pinceng tidak berani.” “Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!” “Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak kalau suhu sudah pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?” “Thian Sun Hwesio, bicaramu ber¬cabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!” “Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan.” “Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga ke¬sehatan itu!” Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hati¬nya belum puas kalau dia belum me¬ngalahkan hwesio ini. Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu. “Begini¬lah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai.” Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio menggerak¬kan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar dan semua debu dan ko¬toran di dalam ruangan itu ikut berputar¬an seperti terbawa angin puyuh dan se¬mua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat “me¬nyapu” lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja menunjuk¬kan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini! “Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!” tantangnya dan dia sudah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi,” jawab pendeta itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding. “Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!” Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tahgan di depan dada. Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi kalahkan oleh Han Houw berkata, “Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!” Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pangeran itu benar-benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau¬ kira dia takut? Kauperiksa sapu itu baik-baik.” Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwe¬sio itu terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke bela¬kang. “Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pin¬ceng sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silat¬nya?” tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya. Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwe¬sio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran. “Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu,” kata Thian Bi Hwesio. “Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu,” sambung Thian Bun Hwesio. “Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat.” Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguh¬pun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati me¬reka dan menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat! Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar! Mereka lebih baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbul¬kan akibat yang amat hebat sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu Pange¬ran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum! *** Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan saputangannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk ber¬teduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk. “Aihhh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!” keluhnya dan dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri sedangkan lengan kanannya memegangi golok pada gagang¬nya, golok besar yang diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian diapun men¬dengkurlah, tidur dengan nyenyaknya! Pemuda itu bukan lain adalah Tee ¬Beng Sin, keponakan Kui Hok Boan yang tinggal di dusuw Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti kita ketahui telah meninggal¬kan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang melarikan diri karena mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Seperti telah dicerita-kan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu. Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat! Betapa hati pemuda gendut ini tidak akan berduka? Dia sudah setengah tahun meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil me¬nemukan kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biarpun dia tidak dipesan oleh Kui Hok Boanpun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan mereka. Kalau dia membayangkan nasib dua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali. Diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua orang dara itu! Memang menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini, akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baikpun nasib dua orang dara itu telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan dua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persejuan dari mereka sendiri. Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia sudah meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Beng Sin memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biarpun dia tadi tidur pulas, tak salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak kaget. Akan te¬tapi mengapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau mendengar apa-apa? Apakah dia mimpi? Tak mung¬kin. “Tolongggg... ohh, tolonggg...!” Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, menyusup-nyusup dan mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak. Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan. Nampak sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik sedangkan seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang laki-laki itu. “Keparat!” Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu. Lima orang laki-laki kasar itu ter¬kejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang besarnya, mereka lalu melepaskan gadis itu dan mencabut senjata masing-masing dengan sikap mengancam. “Jangan takut, nona, aku akan mem¬basmi mereka!” kata Beng Sin dengan sikap gagah dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu berlindung di belakangnya. Lima orang perampok kasar itu di¬pimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar dan sikapnya amat menakutkan, membayang¬kan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang besar sekali, besar dan berat, se¬imbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada yang golok, ada yang pedang atau tom¬bak pendek. Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya. “Hemm, kalian perampok-perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di siang hari, ya? Setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak dapat diberi ampun lagi!” Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Ketika dia melihat tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar daripada tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar dan agaknya tidak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak dan kelihatannya agak jerih. “Kawan...” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata seperti memberi isyarat rahasia. “Kita... kita bagi-bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami dan kau boleh mendapatkan orangnya.” Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi kemudian dia mencak-mencak dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Dia tentu disangka sebangsa pencoleng oleh kepala perampok itu! Ingin dia menghadapi cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng? “Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!” Dia memaki-maki saking jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya sendiri. “Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kaukira aku ini orang apa? Aku adalah seorang pendekar muda, tahu? Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan bicara!” “Wah, pendekarnya kok gendut amat...!” Terdengar seorang anak buah pe¬rampok berkata lirih. “Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!” kata orang ke dua. Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan sua¬ra berdesir-desir. “Taihiap hati-hati...!” bisik gadis itu dan Beng Sin yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut “talhiap”. Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya mempermainkan golok besarnya! Timbul pula keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu meng¬gerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat. “Kalian mau melawan? Bosan, hidup, ya? Nah, sambut ini!” Dia lalu mem¬bacokkan golok besarnya itu ke depan. Kepala rampok yang lebih biasa menaklukan korban dengan gertakan dari¬pada tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau dia sudah memutar peng¬gadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut! “Tranggg...!” Penggada itu terpental dan terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biarpun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran pertemuan senjata tadi. “Nah, ambil senjatamu, jahanam!” katanya dengan lagak gagah, sambil ber¬tolak pinggang lagi. Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu dapat menghancurkan batu karang sekali gempur dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi kini bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh empat orang anak buahnya. Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan saja, sama sekali tidak memiliki kepandaian berarti. Betapapun juga, kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot juga! Bukan main lega hati Beng Sin. Dia tertawa dan mengamang-amangkan goloknya ke atas. “Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku akan mengampuni kalian!” Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Sin. “Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu...” gadis yang manis itu berkata, juga ibunya menghaturkan terima kasih. Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya di menyentuh pundak gadis itu untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali. “Maaf... eh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian...” Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan. “Apa yang kalian cari?” tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti itu. “Kusir kami... tadi ketika perampok¬-perampok muncul, dia lari entah ke mana...” Beng Sin lalu berteriak nyaring, “Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok sudah pergi semua!” Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apalagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya. “Hayo lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!” kata Beng Sin dengan gagah. Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta, dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan kuda dan kereta itupun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya. Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa telah menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka. Suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal kiriman barang-barang atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciok-piauwsu ini be¬kerja pada piauwkiok (perusahaan peng¬awalan) yang bernama Hek-eng-piauwkiok di kota Su-couw di Ho-nan. “Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap. Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, tidak nyana hari ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung ada taihiap yang menolong kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar.” “Kalau ayah mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!” kata gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciok Sui Lan. “Eh... nona Ciok adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan penjahat-pejahat itu?” tanya Beng Sin. Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng Sin berdebar tidak karuan! “Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita...” jawab gadis itu malu-malu. “Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang.” “Ihhh, ibu...!” Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali. “Tentu... tentu paman Ciok lihai sekali ilmu silatnya,” Beng Sin berkata dan diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang! Wanita itu menarik napas panjang. “Sejak muda, suamiku paling senang de¬ngan ilmu silat. Dia seorang kasar, tai¬hiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok.” Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciok yang cukup besar, mereka di¬sambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciok-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauw¬su ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka di¬hadang perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah. “Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!” Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu. Beng Sin cepat membalas dengan menjura. “Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi?” Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka ber¬kenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya me¬nahan-nahannya. “Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjaidi seperti ke¬luarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga ka¬lau tidak mau tinggal di sini untuk be¬berapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyata¬kan rasa terima kasih kami,” Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa. “Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai.” Wajah Ciook-piauwsu berseri. “Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!” Dia berseru girang. “Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!” “Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?” Piauwsu itu menggeleng kepala. “Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu sliatmu. Harap kauperlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena sealiran.” Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk. “Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang...” “Bagaimana, lo-enghiong?” “Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kaulihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kaulihatlah baik-baik.” Ciok-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi ter¬dapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepat¬nya. Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isteri¬nya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya! “Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!” katanya setelah piauwsu itu menghenti¬kan permainan silatnya. Ciok-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, “Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari.” Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciok-piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciok-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni. Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciok-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir. Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari de¬ngan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab. Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumahg Ciok-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang selama beberapa hari sangat mem¬perhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, “Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tldak menjadi kecil hati.” “Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu.” “Begini, sicu. Hal ini sudah saya bi¬carakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah menikah?” Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia menggelengkan kepala. “Dan sudah bertunangan ataukah belum?” “Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?” “Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini.”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger