naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pdk lembah naga 11-15

Na Ceng Han adalah seorang kango-uw yang sudah banyak pengalaman, dan dia mempunyai pandangan yang bijaksana sekali. Andaikata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Selain ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, maka dia menerimanya dan dibawanyalah anak perempuan berusia setahun lebih itu pulang ke Shen-yang. *** Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, diapun sudah bercita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apabila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah. Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan isterinya itu adalah seorang peranakan Mancu sehingga sudah meng¬anggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya. Betapapun juga, isterinya itu ber¬sikap manis kepadanya sehingga dia ter¬hibur juga dan biarpun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya namun dia merasa cukup gembira, hidup, rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan kini isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot baru dan sebagai¬nya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja dari pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya. Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibentuknya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada waktu itu, isteri Bhe Coan kebetulan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya, jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi ke¬merahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum. Yang datang itu adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun namun gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau se¬orang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang laki-laki yang bisa me¬nundukkan hati wanita, seorang laki-laki petualang asmara! Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatutnya masih baru, biarpun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang kelihatan juga kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula. Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri, akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apalagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu. “Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?” Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang sepasang matanya yang tajam mengerling dari bawah. “Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan...” Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang. “Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Ah nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?” Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. “Ih-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik.” “Apa...?” Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. “Nona... eh, nyonya tidak main-main?” “Mengapa?” Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi. “SUNGGUH MATI siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... eh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf...” Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita daripada dikatakan masih kelihatan muda, apalagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini! “Ahh, kongcu terlalu memuji...” katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. “Suami saya memang berusia hampir empat puluh, akan tetapi sayapun sudah... eh, hampir tiga puluh tahun...” “Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!” Jantung nyonya itu makin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, “Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?” “Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapapun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh...” di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik “...melihat nyonya sebagai isterinya, saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih...” Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia meng-angkat muka memandang wajah itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali. “Dia bekeria di dapur, harap kongcu langsung masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan.” Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumah¬nya, langsung dia memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuh¬nya yang baru saja mendapat pujian se¬cara tidak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu dari seorang pe¬muda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihiat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasa¬kan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar. Sementara itu, sasterawan itu ter¬senyum mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata kagum, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah. Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia ber¬sikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita manapun yang di¬jumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci. Setelah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana ter¬dengar suara berdentang dan berdencing¬nya besi bertemu besi. Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara ber¬dencing itu berhenti, dan ketika dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang laki-laki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya berlepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Nampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu rumah samping dan melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk. Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan mem¬bungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikitpun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu, kemudian, setelah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu. Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak¬lah mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sastera¬wan itu. Sejenak Bhe Coan tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan dan pula utusan pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan memesan pedang! Biasanya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kwas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Maka dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu. Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. “Tadi saya diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?” Sepasang mata pandai besi itu ber¬sinar, tanda bahwa ucapan pemuda saste¬rawan itu berkenan di hatinya. Diapun terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan ber¬sikap angkuh dan merasa lebih tinggi daripada orang-orang kasar seperti dia, akan tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali. “Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ah, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja...” Kui Hok Boan tersenyum lebar, nam¬pak giginya yang putih bersih. “Bhe-twako, kiranya twako seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hor¬mat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang...” “Ahhh...!” pandai besi itu kelihatan berseri wajahnya mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. “Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?” Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tidak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran lalu berbalik dia bertanya. “Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?” “Hubungan baik sekali!” Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia. “Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?” Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan menghormat lagi kepada pandai besi itu. “Aihh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!” Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegan¬g kedua tangan sasterawan itu. “Lui-kongu, saya girang sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?” Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, “Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?” Bhe Coan mengangguk-angguk. “Benar... benar... itulah anak saya, itulah Bi Cu anak saya...” Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat! “Kiranya anak itu anak twako? Ah, selamat, twako. Anak twako begitu manis!” “Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ah, kongcu, mari kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu merupakan seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu...” Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor. Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu meng¬gandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah. “Kui-kongcu, perkenalkan, ini isteri saya. Ah, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat.” Kui Hok Boan menjura dan meng¬angkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, “Twaso, maafkan kalau saya mengganggu.” Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan diapun cepat-cepat menjura dan berkata, “Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya tentu saja tidak mengganggu.” “Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kausediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!” kata pandai besi itu dan Leng Ci bergegas meninggal¬kan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Diapun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung. Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya. Dan ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri. Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak dan masakan yang telah diselesaikannya. Dan setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pcmuda tampan itupun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan. “Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu luas sekah sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?” Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum. Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawa mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan kini dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya, “Saya sendiripun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!” Bhe Coam tertawa. “Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Diapun tentu heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, kalau kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang...” “Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?” Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu. Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alisnya lalu menjawab, “Sesungguhnya, pedang yang saya pesan bukanlah untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu...” “Ahhhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ah, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti.” “Benar, kongcu. Silakan makan seada¬nya, dan maklumlah, karena di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik.” Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, lalu kepada Leng Ci, “Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, menerima kedatangan saya sebagai se¬orang anggauta keluarga saja. Oleh karena itu, tidak enak rasanya kalau saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masak¬an-masakan ini. Kalau boleh, saya per¬silakan twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggauta keluarga sendiri?” Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apalagi dia adalah keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga dapat dipercaya. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah. “Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Kenapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat, dan memang seperti anggauta keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!” Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini lalu menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, “Silakan minum, Kongcu.” Bhe Coan mengangkat cawannya dan berkata, “Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!” Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, “Twaso, mana arakmu?” “Ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!” Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka. “Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya.” Hok Boan berkata, lalu sambil menuangkan arak lagi ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak. Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum dan setelah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah mulai dipengaruhi arak, tidak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan. Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di depannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika tiba-tiba kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya. “Ihhkk...!” serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu. “Eh, kenapa kau...?” Suaminya bertanya heran. Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab. “Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso.” kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu. Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Setelah minum dia memandang suaminya dan tersenyum. “Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya.” Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran. Kui Hok Boan tertawa. “Ha-ha, memang bagi yang tidak biasa minum, arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, biarpun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain.” Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah. Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. “Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa?” Sasterawan muda itu tersenyum. “Ha-ha twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok melihat sesuatu yang indah menarik...” kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang kini menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apalagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya! Nyonya itu tidak berani bergerak, takut kalau diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat semua bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian kerasnya sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya. “Sebaiknya aku menyingkirkan mang¬kok-mangkok kosong dan mencucinya.” Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi tentu saja kalaupun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bah¬wa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak. “Dan sayapun harus berpamit untuk mencari penginapan. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?” “Kurang lebih tujuh hari.” “Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini.” Kongcu itu bangkit pula dan men¬dengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja dan hanya berdiri memandang wajah tampan yang kini agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, adalah kemerahan wajah suaminya baginya me¬nambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang. “Kui-kongcu adalah seperti keluargaku sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu jadinya pedang itu,” katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik. “Kau setuju? Ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami...” “Ah, twaso dan twako sungguh budi¬man dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?” “Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...” kata Leng Ci. “Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau takkan menang, maka harap engkau suka menerima saja, tinggal di sini bersama kami agar kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke manapun untuk melewatkan waktu menganggur.” Kui Hok Boan menghela napas mem¬perlihatkan sikap kewalahan, lalu dia menjura den berkata, “Baiklah, kalau twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan.” “Ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu...” “Bhe-twako, sudah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan me¬nyebut kongcu kepadaku. Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku.” “Ah, mana saya berani?” “Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?” “Ha-ha, engkau pandai berdebat seperti twasomu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku.” Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang telah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang. Dan ternyata sastera¬wan muda itu dapat bersikap amat me¬nyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu. Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia makin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apalagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiup¬an suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Bahkan di waktu dia tidur dengan suami¬nya, dia sering membayangkan betapa akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih! Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk men¬dekati Hok Boan dan dia selalu meng¬hindar, sungguhpun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apabila bertemu dengan dia. Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas! Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya dan dia bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apapun juga! Demikianlah memang sifat nafsu apapun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keingin¬an memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman lalu yang dinikmati, dikunyah kembali seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya. Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan dinikmati nanti, menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu berahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita sehingga membuat kita mata gelap, tidak lagi perduli akan cara-cara yang bagaimanapun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar maupun cara yang kotor! Setelah tinggal di situ selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdenger suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya. Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Ketika dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata, “Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas...” Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, “Ah, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu...” Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya kepada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut. “Ah, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ah, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi saja tidur dan mengaso di kamarmu, siauwte!” “Agaknya... agaknya... begitulah.” Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegang kepada pintu. “Aihhh...!” Leng Ci bertertak kaget dan khawatir sekali. “Kau benar-benar sakit, kongcu...!” Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu “adik” seperti yang dilakukan sueminya. “Sebaiknya kita pangglikan tabib...” “Benar, kau kemballiah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti kupanggli¬kan tabib untukmu.” Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkel¬nya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali ter¬hadap sasterawan itu. Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan merebahkan diri di atas pembaringannya, mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat. “Biar kupangglikan tabib sekarang,” kata Bhe Coan. “Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh...” Dia menuding ke atas meja di kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar. Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja lalu mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan membuat corat-coret di atas kertas, lalu menyerahkannya kepada Bhe Coan. “Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali...” “Ah, kenapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twasomu?” “Ah, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja...” Leng Ci berkata dengan suara terharu. “Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikir yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat.” Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan lalu duduk di atas bangku dalam kamar. “Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte.” Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. “TIdak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu...” “Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan kepada twasomu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu.” “Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan twaso...” “Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia agar merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir.” Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu. Setelah langkah-langkah tuan rumah tidak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan tersenyum! Dia mengusap peluh di dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah di¬rencanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali. Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagai¬mana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali?

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger