naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 101--110

“Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlalu rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!” kata Lo-thian Sin-kai. “Lebih baik kalian pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!” Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang kena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya. “Biarlah, mereka ini perlu dihajar sampai tobat!” bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kai-pang menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kai-pang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan amat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu. Muka Kwi Eng sudah bengkak terkena tamparan dan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi. “Plakk! Dukk!” Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan Kwi Beng terpukul tongkat kakinya sehingga ketika dia hangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekat mereka adalah untuk melawan sampai mati! Pada saat itu, terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, “Sungguh tidak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa!” Semua orang terkejut dan menengok. Yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek ketika dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, sedangkan pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana tidak membawa senjata, dan kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan. Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian kedua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiripun berani menghadapi seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Kini, melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanyan, mendahului ketuanya itu dia menegur, “Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami?” Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. “Aku telah mendengar dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kai-pang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai buntalan tiga. Lumayan juga kepandaianmu mengemis, akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!” Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini. “Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kautebus mahal sekali!” Gadis itu ternyata lincah den jenaka sekali. Dia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. “Ah, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya? Berapa mahalkah tebusan kelancanganku? Sebungkus sayuran sisa? Ataukah beberapa keping uang tembaga?” Bukan hanya Hek-bin Mo-kai yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka telah berkali-kali mengalami penghinaan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, telah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot kebesaran namanya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main. “Perempuan kurang ajar dan lancang! Apakah kau bosan hidup? Siapakah engkau?” bentaknya. Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia, berkata, “Aku tidak ada waktu untuk bicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah?” Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi makin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemispun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya memandang dengan heran. “Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Nona siapakah dan...” “Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kai-pang! Engkau adalah ketua kai-pang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini, yang menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kai-pang hanyalah merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung pura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!” Kembali terdengar suara berisik ketika para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu dan anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam dapat mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya. “Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang belum diselidiki lebih dulu keadaannya merupakan tindakan yang amat ceroboh. Ketahuilah bahwa dua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Setelah mereka manantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka? Kaulihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua?” Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itupun tak mungkin akan dapat menandingi kakek itu. Maka dia lalu menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum. “Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum memiliki kepandaian berani menandingi ketua jembel ini dan mencari celaka sendiri?” Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran dan Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi makin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia dan adiknya amat direndahkan orang, dan diapun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapapun juga dalam urusan pribadi ini, apalagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu. “Kami tidak membutuhkan bantuan siapapun! Hayo, tua bangka kejam, lanjutkan pertempuran kita tadi, kami tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!” Dan Kwi Beng sudah menyerang lagi dengan nekat, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat. “Wuuuuuttt... plak!” Betapapun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling! Pemuda yang nekat ini sudah bergerak lagi, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu kedua tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi, kembali kakek itu meggerakkan tangan kirinya, menangkis den mendorong dan tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya. “Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat den membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan merupakan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!” “Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku dan kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam?” Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang oleh gadis cantik itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apalagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu. Mendengar ini, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang diakuinya sebagai adiknya tadi kinipun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut. “Ah, kiranya begitukah? Pangcu, kau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tidak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membelas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?” Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. “Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!” Dan tanpa menanti ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk. Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biarpun keadaan dirinya sudah babak-belur dan luka-luka, namun melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia lalu meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya. “Wuuuuttt... plakkk... desss!” Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main dan tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, kini membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng. Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya. “Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku.” Tiba-tiba gadis itu berkata halus. Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan sedang berhadapan dengan ketua kai-pang itu, dia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, setelah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat. “Adik Mei Lan...!” katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itupun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka (baca cerita Dewi Maut). Gadis cantik itu memandang kepadanya, tersenyum dan mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut telah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya. Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hui Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia “dioperkan” oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan “taruhan” antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut. Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan dan Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka kedua orang muda itu kini menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama. Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya karena guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri. Tentu saja begitu melihat Kwi Beng, Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidak sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tentu saja tanpa diminta, Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu. Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tidak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah “orang luar”, maka cepat dia berkata, “Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu telah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernam Tio Sun!” “Apa...?” Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun telah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kai-pang? Tentu saja berita ini membuatnya terkejut bukan main. “Pangcu, benarkan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu? Bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?” Mei Lan bertanya sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kai-pang itu. Ketua Hwa-i Kai-pang menegakkan kepalanya dan sambil memandang tajam dia menjewab, “Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, akan tetapi dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa.” Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kai-pang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi kalau memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapapun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka andaikata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa para pengemis inilah yang bersalah. Betapapun juga, dia harus membela Kwi Beng! Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkatap “Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia.” Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara kalau tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk. LIE SENG yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang kepada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, “Pangcu, aku pernah mendengar banwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?” Sepasang mata pangcu itu terbelalak. “Tentu saja! Bahkan kami telah berbutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian?” “Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai.” “Ahh...!” “Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kaubunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!” Kakek itu menarik napas panjang. “Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas...” “Jembel sombong! Engkau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!” Kwi Eng berteriak. “Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!” Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena sejak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. “Aku sudah bicara, dan bagaimanapun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!” “Bagus!” Mei lan berseru. “Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa.” “Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!” Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. “Siapa sih yang takut kepada kalian? Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!” Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, “Suci, biarlah aku menghadapinya.” Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. “Mulailah, lo-kai!” Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba. Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya. “Wuuuttt...!” Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi. Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil. “Sambutlah ini!” Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng. Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang tajam dan dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu. “Krakkkk!” Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata tajampun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan dan keheranannya berubah menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut! “Plak! Desss... bruuukkk!” Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng! “Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!” Kwi Beng memaki-maki melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya. “Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah.” Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran. Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali. “Bocah sombong, sambut ini!” bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis. “Dukkk!” Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu. “Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!” Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju. “Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?” Mei Lan tersenyum. “Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!” “Sambutlah, gadis sombong!” Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak. “Trakk!” Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu! Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh, untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan. Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya. Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus kakek itu menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Gin-kang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat. Dan lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw-sin-ciang seperti ini! Diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sutenya yang juga lihai bukan main! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan menghancurkan nama besarnya. Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya, Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi membunuh mereka. Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main. Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itup tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya. “Plakkk...!” Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua. Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan! Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada para pengemis lainnya, “Maju semua! Keroyok dia...!” Dan bergeraklah semua anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng! “Hemm, kalian benar-benar jahat!” Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa. Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek, “Jembel-jembel busuk benar-benar tak malu!” Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu! Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya. “Brettt...!” angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika! “Uhhh...!” Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring, “Semua saudara pengemis, mundur!” Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri. Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu, tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening. Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan! “Ahh...!” Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampal terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang, kakak beradik kembar itu. Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya. “Bagaimana rasanya kepalamu?” tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu. “Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu...” “Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang.” Mei Lan menegur. “Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?” Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan. “Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang.” Kwi Beng berhenti bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda. “Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?” Mei Lan bertanya. Kwi Beng mengangguk. “Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja. Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah.” Mei Lan mengerutkan alisnya. “Hemm, kurasa dia tidak berbohong.” Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran. “Tidak berbohong? Jembel tua itu...!” Kwi Eng berseru, penasaran. Mei Lan pembuat gerakan dengan tangan menyabarkan. “Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?” Kwi Eng menjawab, “Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai.” Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya. “Ahh...!” Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-angguk. “Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?” “Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya,” kata pula Kwi Eng. “Hemm, urusan dendam-mendendam!” Mei Lan kembali mengangguk-angguk. “Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalahfahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati.” “Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?” bantah Kwi Beng penasaran. “Dan iparku tewas bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?” Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang dan keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian, “Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang berpengaruh, Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali dan tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, kalau benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu saja diapun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kai-pang, maka tentu nasihat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan.” “Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi,” kata Kwi Beng seketika. Dengan cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia sudah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya! Di lain fihak, setelah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut mengapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu! Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaannya kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa. Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itupun dapat merasakan adanya kemesraan antara sucinya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada sucinya, dia pura-pura tidak tahu saja. *** Ui-eng-piauwkiok dengan tandanya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja setiap perusahaan apapun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran dan kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih maupun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak. Karena hubungannya yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tidak pernah diganggu penjahat karena hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang. Akan tetapi, biarpun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhinya! Kita ini hidup di dalam dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia. Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkioknya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih. Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu manusia masih menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia “tidak kalah” dari orang lain, penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita! Sejak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tua, guru-guru, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai kehormatan dan kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang bdrkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biarpun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata “sehat”. Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat! Keinginan menonjolkan diri agar “tidak kalah” oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, kalau kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau tidak ada perbandingan, tidak ada persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang! Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya terdorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati! Ciok Khun ini sebelum menjadi piauwsu, tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu dengan mereka. Dan setelah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya, atau, bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya! Beberapa kali sudah terjadi apabila ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya dan di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diambilnya kembali asal si pemilik barang suka “menyogok” para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri! Praktek-praktek pemerasan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, melainkan dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki kedudukan atau juga yang memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Betapa banyaknya dapat dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang, orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan, bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justeru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang demikianlah. Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apapun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendirilah, masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya perubahan dalam diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama diri kita tidak berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali. Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Kalau dia merasa iri hati, hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan para pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng-piauwkiok daripada dilindungi oleh bendera Gin-to-piauwkiok. Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena pernah Na-piauwsu menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungannya. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu adalah seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu. Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan untuk dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya. Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnyapun tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun. Hwa-i Kai-pang, biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi memiliki peraturan keras terhadap para anggautanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan diapun dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang oleh ketua Hwa-i Kai-pang sendiri. Setelah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka mempergunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik. Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biarpun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apalagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibukapun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat. Hawa udara yang sejuk nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han dan isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka. Suami isteri ini merasa suka kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah dan juga rajin sekali berlatih silat dan belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara. Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, sedangkan Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur. Kini, Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana amat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap. Dan kalau saja pada saat itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap. Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu sehingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka itu berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berkilauan putih. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang memimpin penyerbuan diam-diam itu. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya kecil seperti tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali, orangnya tinggi kurus dan mukanya seperti tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu sudah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu. Adapun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to-piauwkiok. Mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing. Malam itu memang dipergunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Dan tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai. “Lepaskan api sekarang!” bisik Ciok Khun setelah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka lalu mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger