naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 36-40

Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan empat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang ringan tangan dan kaki, mau memenuhi segala permintaan mereka sungguhpun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri. Beng Sin sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang di hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan bersikap seperti seorang majikan terhadap dirinya. Bahkan kadang-kadang dia me¬rasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai “anak monyet”! Pada suatu hari, dengan tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih “silat” yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil mengintai itu. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Su, mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak. Ketika itu, Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai. Ketika melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tak dapat menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru, “Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!” Sin Liong terkejut sekali, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari menghampirinya. “Hei, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?” Beng Sin berkata dengan mata terbelalak, “Apakah paman diam-diam mengajarmu?” Sin Liong menggelengkan kepala. “Ah, aku hanya main-main, Tee-kongcu.” “Ahaaaa, kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcuan segala. Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?” “Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengen perintah gihu.” “Sin Liong, aku melihat engkau tadi mainkan Heng-pai-hud. Dari mana kau dapat melakukan gerakan itu?” Kui Lin bertanya. “Li-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja...” “Ah, tapi gerakanmu tadi baik benar!” Kui Lan juga memuji. “Benar!” Kata Beng Sin. “Sebaliknya aku belum juga bisa melakukan gerakan jurus itu dengan baik.” “Gerakanmu sudah baik, hanya perlu dipercepat, kongcu. Terlalu lamban se¬hingga gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu se¬hingga ketika gerakan memukul itu di¬sambung gerakan menangkis, kurang tepat.” Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira. “Ah, begitukah? Biar kucoba!” Dan anak ini lalu bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan meng¬ubah gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan, dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik! “Horeeee...! Aku dapat melakukan¬nya dengan baik!” Dia bersorak girang sekali dan dua orang anak perempuan itupun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol. “Hei, apa-apaan kalian di situ?” tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang datang berlari ke tempat itu. “AH, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!” Beng Sin berkata sambil tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong. “Kaulihat, Sin Liong ternyata pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga gerakanku menjadi baik sekarang!” “Benar, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya, padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!” Lan Lan berkata. Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut ketika dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah daripada dia dan saudara-saudaranya. “Sin Liong, bukankah paman sudah melarangmuu untuk belajar silat?” bentaknya. Sin Liong menundukkan mukanya. “Aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat gerakannya.” “Dia benar, Bu-ko. Dia hanya me¬ngenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi gerakannya hebat. Dia bisa mainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik daripada engkau, Bu-koko!” Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri. “Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat?” dia mengejek. “Ahh, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat diambil dari gerakan-gerakan binatang, seperti harimau, bangau, monyet dan lain-lain?” bantah Beng Sin. “Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan-hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), Sin-kauw-pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain.” “Hemm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?” kembali Siong Bu mengejek. “Bu-koko, kenapa kau menghina Sin Liong? Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa,” tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu. “Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!” Lan Lan juga membela Sin Liong. Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, makin panaslah rasa hati Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak lagi karena biarpun dia dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin. “Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya,” katanya sambil meng¬hampiri Sin Liong. Beng Sin berseru girang. “Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-¬ko berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkaupun akan memperoleh kemajuan kalau mau berlatih dengan dia.” Sin Liong tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang anak perempuan itupun mengangguk, dengan gembira. Mereka suka sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu. Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggal¬kan mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya menjadi panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, “Kwa-kongcu, kau mau mengajarku?” Siong Bu menyeringai. “Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai, berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet lain yang belum kukenal.” Ucapan ini tentu saja bermaksud meng¬ejek dan Beng Sin mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong karena tidak jarang dia menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang. “Sin Liong, apakah kau takut? Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kaulayani Bu-ko!” Dia mendesak. “Benar, kauhadapi dia, Sin Liong!” kata Lan Lan. “Aku ingin sekali melihatnya!” sam¬bung Lin Lin. Sin Liong merasa tersudut, apalagi kini Siong Bu sudah menghampirinya dekat, lalu menggunakan jari tangan mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh berkata, “Kalau takut, kau ber¬lutut saja minta ampun tiga kali!” Marahlah Sin Liong. “Kwa-kongcu, terhadap setanpun aku tidak takut, apalagi terhadap engkau!” “Heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!” kata Beng Sin tertawa keras. “Dia memaki engkau setan!” Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani mem¬balas. Merahlah wajah Siong Bu. “Anak monyet! Berani kau!” Dan tangannya lalu memukul ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia memalingkan mukanya. “Plakk!” Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke belakang. “Eh, kenapa kau memukulktu?” tanyanya, matanya terbelalak heran. “Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat kalau bukan saling pukul? Nah, kau jaga ini!” Kembali Siong Bu menyerangnya dengan pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong. Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak menyangka bahwa “latihan” itu berarti saling pukul! Kini diapun lalu teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan, maka dia cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya, melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu. “Desss!” Karena cara Sin Liong me¬masang kuda-kuda tidak tepat, biarpun gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanam¬an tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya. “Bresss...!” Tubuh Sin Liong terpelanting roboh. “Hei, kenapa begitu mudah roboh?” Lan Lan berseru heran. “Hayo, Sin Liong, jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya dapat di¬hindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!” Beng Sin berseru. Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu Siong Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu biarpun amat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya maka mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan dan tendangan kaki Siong Bu. Empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak! “Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!” Lin Lin berseru marah. “Sin Liong, kenapa kau tidak membalas? Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?” Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan. Mendengar ucapan “diserang harimau”, seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya di waktu kecil ketika dia hampir mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia tidak perduli akan latihan ilmu silat, tidak perduli akan jurus-jurus ilmu silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari luar. Dengan cekatan dia meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet dan dia dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Ketika tangan kiri Siong Bu meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir saja Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan. “Brukkk...!” Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting. “Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!” Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung. “Eh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir,” kata Beng Sin. Akan tetapi Siong Bu tidak perduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan dan tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat meng-elak ke kanan kiri dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya. Betapapun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi, dan kemarah¬annya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya. “Anak monyet bocah hina!” Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk. “Bukk!” Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Anak ini biarpun sudah mem¬pelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan sakit, diapun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik! Sin Liong yang tadinya tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, ketika di¬jambak rambutnya, merasa nyeri sekali, maka dia lalu membuka mulut dan meng¬gigit daun telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan! “Heii, berhenti kalian!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan yang kuat telah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong mereka terpisah. Siong Bu terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya yang berdarah sambil berlutut di depan pamannya, sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis! Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. “Kenapa telingamu?” “Di... digigit... monyet cilik itu... aduhhhh...!” Siong Bu mengeluh ketika pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas gigitan. “Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kong-cu dan menggigit telinganya? Kalau tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!” Kui Hok Boan lalu menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. “Hayo berlutut kau!” Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu lalu mengayun ranting itu yang meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar ketika ranting itu menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa nyeri dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tidak nampak dia menangis. “Prat-prat-prat-prat!” Ranting itu menari-nari dan setelah melihat baju itu berdarah, baru Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya makin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan! “Kau bandel, ya? Kau berkulit tebal, ya? Ingin kuhajar sampai mampus?” teriak Hok Boan yang makin marah mengingat bahwa puteranya digigit daun telinganya sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh. “Ayah... harap ampunkan dia, ayah...!” Tiba-tiba terdengar suara Lin Lin meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong. Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu makin angkuh dan menghina Sin Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit. Biarpun kini lukanya telah sembuh, namun ujung telinganya masih berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh “anak monyet” itu! Kekalahan inilah yang lebih menyakitkan daripada luka di daun telinganya. Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biarpun dia sudah sering kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Karena sikap Sin Liong yang mengalah ini, maka hal itu me¬nimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan Siong Bu bahkan hampir menang, segera lenyap karena merekapun menganggap bahwa Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikian sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya. Pada keesokan harinya setelah perkelahian itu, dia dipanggil oleh Si Kwi. Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang wajahnya dengan penuh perhatian. “Sin Liong, aku mendengar bahwa kau berkelahi dengan Siong Bu?” tanya nyo¬nya ini dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu dan dalam keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus! Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya. “Dan engkau telah mencuri dan mem¬pelajari ilmu silat mereka?” “Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja.” “Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapapun.” Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, tetapi dia tidak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw dan dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran mengapa anak¬nya ini, yang sejak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja, dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya! “Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?” Tiba-tiba dia bertanya, pertanyaan yang digerakkan karena ter¬ingat akan Cia Bun Bouw. Tiba-tiba anak itu mengangkat muka¬nya dan Si Kwi merasa jantungnya ter¬getar ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu! “Ibu, katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?” Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. “Ahhhh...!” “Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua ta¬ngannya! Siapa dia, ibu?” “Ohhh... Liong-ji...!” Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia cepat menggunakan saputangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di atas kedua pipinya itu. Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. “Ibu, ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!” Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus rambut kepala anak itu. Sejenak tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw! “Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri.” “Ahh...!” Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. “Betapa kejamnya! Mengapa ibu?” “Itulah kalau orang belajar silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat memang biasanya keras. lbumu ini telah melakukan kesalahan maka hukum¬annya adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, jangan kau belajar ilmu silat, tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkat¬mu masih lunak ketika menghajarmu dengan cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang, jangan engkau layani siapapun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku, agar kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna.” Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil amat baik kepadanya, maka dia mengangguk. Lalu bangkit dan meninggal¬kan kamar ibunya. Sampai di pintu, dia menengok. “Ibu, apakah sampai sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya?” “Ahh...!” Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan hal itu. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggeleng kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah pergi. “Liong-ji...!” Sin Liong berhenti dan ibunya telah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia berkata, “Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heii, sudah kering semua...” “Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu telah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah sembuh.” Setelah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang di dalam gelap. Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani. Akan tetapi, sesungguhnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapapun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit sekali. Akhirnya dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggap sebagai seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki agar dia melawan. Akan tetapi, bukan dia takut kepada Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya. Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apalagi setelah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya. Maka pada suatu malam, diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui teman-temannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga! Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi bingung sekali. “Biarlah,” kata suaminya. “Sudah kuketahui bahwa dia terlalu banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tidak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang liar.” Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja? Si Kwi juga tidak berani membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan membujuknya sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari. Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat dugaannya, lewat tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya itu berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang amat besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat! Agaknya Sin Liong telah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah anak itu menjadi tampan berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, bebas dari kungkungan manusia dengan segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya dan permusuhannya! Melihat wajah yang tampan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia lalu teringat bahwa anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa berdosa, berdosa terhadap Sin Liong, terhadap diri sendiri dan terhadap Cia Bun Houw kalau dia membiarkan saja anaknya menjadi monyet! “Liong-ji...!” Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran. “Grrrr... grrrr...!” Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak melarikan diri. “Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu...? Sin Liong, anakku...!” Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun. “Ibu...!” Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan kini ibunya menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri. “Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu? Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu, anakku?” “Ibu...” Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, “Aku tidak meninggalkan ibu, aku meninggalkan mereka itu!” Suaranya mengandung kemarahan. “Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti meninggalkan ibu, anakku. Mari¬lah kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku.” Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Kemudian dia menggeleng kepalanya. “Tidak, ibu! Tidak, aku tidak mau kembali ke sana untuk menerima hinaan mereka!” Si Kwi merangkul dan memeluk anak¬nya, mengelus kepala anaknya. “Salahku, Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!” “Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh...” “Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu.” “Benarkah?” Sin Liong girang sekali. “Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia...” “Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!” “Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu...” “Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau memiliki bakat dan tenaga yang kuat.” “Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku?” Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari rumah tadi. “Pakailah ini dan mari kita pulang, nanti akan kuceritakan kepadamu siapa adanya ayahmu...” Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh harapan. Dia tidak membantah lagi, mengenakan pakaian itu, kemudian dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggauta keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda. Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya. Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan berkata, “Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya...” “Liong-ji...” Si Kwi memejamkan mata, membelai kepala anaknya yang rebah di atas pangkuannya itu. Biarpun anak itu lenyap sejak dilahirkan, biarpun dia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam guha itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu! Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Bun Houw, terutama matanya. “Angkatlah mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di dunia ini.” Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya itu, “Ayah saya... siapa namanya, ibu?” “Namanya adalah... Cia Bun Houw...” “She Cia?” Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk. “Engkaupun sesungguhnya she Cia...” “Dan ibuku...?” “Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku.” “Ahhh...!” Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis lagi. Tadipun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Setelah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau tiada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis! “Ya, dia sudah meninggal dunia, dia, adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula...” “Namanya, ibu? Siapa namanya?” “Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau engkau ada jodoh bertemu dengan dia...” “Di mana ayah kandungku itu tinggal, ibu?” Si Kwi menggeleng kepalanya. “Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu itu.” “Baik, ibu!” Sin Liong berkata penuh semangat. Dia lalu bangkit berdiri, memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. “Mulai sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya. “Sin Liong...” Si Kwi merangkulnya penuh keharuan. Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia tahu akan ke¬datangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai tanpa di¬ketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela pondok itu. Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang “keponakan” dari suamihya itu agar jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong. Melihat pembelaan dan perlindung¬an yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet. Dengan amat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat dan ternyata memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, di samping mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap me¬lakukan pekerjaannya sehari-hari, tidak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa dia adalah seorang “luar” dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak angkat, maka diapun “tahu diri”. Karena sikapnya ini, biarpun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, namun dia tidak menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidaksenangannya itu dan Sin Liong dapat bekerja seperti biasa. *** Setahun telah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat akan tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka lalu merasa bosan dan bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka berkejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang-kadang mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar. Memang, musim bunga telah tiba dan taman itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna. “Ah, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin,” kata Kui Lan sambil menuju ke puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman. “Benar,” jawab Kui Lin. “Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut. Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas.” Kui Lin berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok, dari atas pohon. “Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!” “Mana bisa, Lan Lan? Tempatnya begitu tinggi. Ngeri kalau harus me¬manjat pohon setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar.” “Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja? Sudah berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?” Kui Lan menegur. Kui Lin cemberut. “Memangnya ber¬selisih berapa sih usia kita? Tidak ada sehari, hanya beberapa menit!” “Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga yang layu itu.” Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun dan bunga gugur. “Kalian menginginkan bunga merah di atas itu? Biar kuambilkan untuk kalian.” katanya melihat dua orang anak perem¬puan itu kecewa karena tidak dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan. “Kau bisa mengambil bunga itu?” Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas. “Tentu saja bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!” kata Kui Lan dengan girang. “Lan Lan, bukankah ibu sudah me¬mesan agar kita menyebut koko kepada¬nya?” Kui Lin menegur kakaknya. Kini Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. “Huh, kau sen¬diri tidak mau menyebut cici kepadaku!” Sin Liong tersenyum. “Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih? Lihat, aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Kuambilkan yang berada di paling puncak!” Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat dan bagaikan seekor kera saja, dengan cekat¬an dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Dua orang anak perempu¬an kembar yang berada di bawah ber¬tepuk tangan dan berteriak-teriak me¬muji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri merryaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri. Semenjak kecil, manusia sudah me¬ngenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati. Betapa manusia ini selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita ten¬tang diri kita sendiri dan hal ini me¬nambah sukar bagi kita untuk me¬mandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita se¬bagai yang paling bersih! Sehingga kekotor¬an kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu. Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak ter¬lepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia lalu sengaja hendak memamerkan kepandaiannya! Bagi dia, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapa¬pun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, dua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah! “Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng. Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tidak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau ingat bahwa sebelum dia dapat berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Tak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi. “Engkau hebat, Sin Liong!” kata Kui Lin. “Kembang itu indah sekali untuk hias¬an rambut!” kata Kui Lan. “Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu,” kata Sin Liong. Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lalu memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik sekali mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil. “Kalian cantik sekali...” dia memuji. “Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kamipun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau¬ lakukan tadi!” Kui Lan memuji. “Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami,” Kui Lin menambahkan. Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi di mendengar sorak dan jerit kedua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuat¬nya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilaku¬kan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah. “Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!” tiba-tiba Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali. “Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya selalu gagal,” kata pula Kui Lin. Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia berkata dengan wajah berseri, “Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!” Dan diapun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu. Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan dua orang sumoinya itu, dan menyebut pula moi-moi, hati Siong Bu menjadi makin panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama setahun ini dia hanya menahan¬-nahan ketidaksenangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut kepada bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya. Iri hati selalu menimbulkan benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain dan menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, meng¬anggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak dari¬pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati. Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik me¬makai kembang di kepala, mereka tahu bahwa merekapun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang. “Wuutt... wuuttt...!” Dua buah benda menyambar. “Pratt! Prattt!” Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala. Bunga-bunga di kepala mereka tadi telah runtuh dan kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka keduanya lalu menangis. Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi be¬berapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Ketika mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia ter¬kejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alis dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tidak nampak seorangpun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur. “Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi.” Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu. “Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoiku? Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?” Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu telah menerjang dan menyerangnya de¬ngan pukulan ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindarkan pukulan itu. “Bukkk...!” dan dia terhuyung ke belakang. “Heeeiii, aku aku tidak...” “Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!” Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi. Setahun yang lalu, biarpun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia sudah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justeru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu. Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerak silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tidak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu. Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasannya yang didapat¬nya secara wajar dan otomatis itu. Andai¬kata dia tidak lagi terikat dengan gerak silat, kiranya dia akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia dapat mengandalkan nalurinya yang amat kuat untuk menghindarkan semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerak silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan ter¬banting roboh! “Heii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!” Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. “Sudah... sudah... kenapa berkelahi?” Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir. Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Biarpun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya. “Desss...!” Sin Liong terjengkang dan terbanting keras. “Sudah... sudah, jangan berkelahi...!” Kui Lin berseru. “Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!” Kui Lan juga berteriak. Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi juga ingin memamer¬kan kepandaiannya di depan kedua orang sumoinya, untuk menonjolkan kelebihan¬nya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoi¬nya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka. “Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!” bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu. Akan tetapi, bagi anak ini, dia lebih baik di¬pukul mati daripada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi dan dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak lagi menggunakan gerak silat. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali. “Plak! Dukk!” Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan. Namun, Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegang kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bus anak inipun terbawa pula terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah. Tiba-tiba terdengar bentakan, “Lepas...!” Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali dan melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya. Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biarpun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan. “Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?” Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk dan diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun How, akan tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan sinar liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk. Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya, “Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong?” Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, “Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi.” Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. “Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?” tanyanya dengan alis berkerut. Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakanpun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang sejak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri. “Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian?” “Tidak, ibu. Sama sekali tidak!” Kui Lin berkata. “Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?” Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara. “Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya.” Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata, “Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan...” “Kenapa kalian menangis?” Si Kwi memotong dan memandang kepada dua orang anaknya. “Kembang kami jatuh...” Kui Lin berkata. “Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong,” kata Kui Lan.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger