naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 23

“Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo. Nenek itu menarik napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih. Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi dan barulah di tengah perjalanan, keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggauta Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong menghela napas panjang. “Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi mengapa ia menjadi datuk kaum sesat?” Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru. “Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beritahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!” Kemudian, nenek itu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, ia merasa penasaran dan juga berduka. Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan, Han Tiong tidak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin. Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang amat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu. “Ayah dan ibu harap pulang dulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum bertemu dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!” “Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?” “Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, kalau tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Kita sudah berkumpul sekeluarga sekarang, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.” “Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimam nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku akan mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.” Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam merekapun bangga akan cinta dan setia hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus, “Ah, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?” Gadis itu sejak tadi menundukkan mukanya saja. Ia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapapun juga, ia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang amat menyayang adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas iapun menjawab, “Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya... dalam keadaan berkabung ini... saya... belum dapat berpikir tentang pernikahan...” Suami isteri itu menarik napas panjang dan merasa kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja telah kehilangan segala-galanya, orang tuanya, rumah dan harta miliknya. “Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menanti kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.” Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga. *** Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia berhasil mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, walaupun kemenangannya itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri ketika hendak dikeroyok. Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu kalau ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dicita-citakan ayahnya dahulu. Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya dahulu bahwa mendiang ayahnya mempelajari ilmu-ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab itu dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi yang belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja. Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu, dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya. Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan dan kedinginan yang amat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia amat tergesa-gesa mencari tempat perlindungan dan dari bawah, dilihatnya sebuah mulut guha di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil mencapai guha itu dan setelah dia berada di dalam guha, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut guha sambil mengeluarkan suara mengerikan. Lewat kurang lebih satu jam, setelah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin memperhatikan guha yang telah menyelamatkannya itu. Guha itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia masuk ke dalam dan ternyata guha itu membelok ke kiri. Ketika dia masuk terus ke kiri, di sudut guha itu, dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan kedua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat. Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, kenapa tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itupun masih lemas, belum kaku, belum beku. Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walaupun amat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguhpun tiga perempat mati. Thian Sin segera mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah. Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenal bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan... guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinyapun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya! Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianowe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat. Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara, “Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku... hemmm...” Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lalu dihiburnya dengan pendapat bahwa itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu? Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai sebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah daripada hasil tanamannya sendiri. Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lainnya di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma inipun hanya menjadi pengetahuan mati belaka, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja. Orang sudah tahu bahwa menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan. Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Demikian seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat... Putusnya rantai ini adalah pada kita sendiri! Seseorang menghina saya. Itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah dan memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, dapat menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lain lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita. Akan tetapi, kalau orang itu menghina saya dan saya hanya mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan, tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tidak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itupun pytus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita, inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya. Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri inipun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja agar kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan? Tidak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannnya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tidak disengaja untuk berbaik-baik, melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih kepada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih daripada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin. “Locianpwe, teecu mohon petunjuk...” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin telah bertemu dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.” Kakek itu menarik napas panjang melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ah, apa artinya nama? Kalau orang-orang nacan aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?” “Ah, ada, lociahpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering. Kakek itu segera menyambar roti dan daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu dapat menghabiskan seperempat potong saja. Diapun menyerahkan guci air yang diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara. “Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau mendatangkan kehidupan lagi bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang amat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?” “Locianpwe, terus terang saja, teecu merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan selain mencari guru-guru yang pandai, juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.” Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha, akupun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertama di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).” Mendengar ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin berjumpa dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.” “Oho, sungguh menarik. Coba kauceritakan lebih jelas lagi, barangkali aku akan dapat menolongmu.” Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lalu bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata, “Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ah, hal itu mudah saja. Setiap orangpun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.” “Locianpwe, kalau begitu teecu mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.” Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuahpun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering! “Mudah saja... ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau dapat memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?” “Untuk minta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.” “Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?” “Teecu sudah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.” “Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?” “Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.” Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekalipun bisa mati! Tapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan guha ini, bersamadhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, dan mengulangi mantra, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.” “Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?” “Bodoh, siapa pernah melihatnya? Bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia akan muncul.” Demikianlah, mulai saat itu, Thian Sin bertapa di dalam gua di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Bersamadhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan kepada banyagan seorang kakek yang sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, dan bibirnya terus sampai ke hatinya, membisikkan mantram terus-menerus, diulang-ulang. Mantram adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau yang dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang amat hebat bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apalagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri. Dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat “bertemu” dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk kepadanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga samadhi dengan jungkir balik. Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam guha itu, bukan hanya menyempurnakan latihannya atas ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya ketika melawan Pak-san-kui dan See-thian-ong. Di samping ini, diapun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni gua itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati. Enam bulan lewat dengan amat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan guha turun dari puncak. Akan tetapi, kalau orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran. Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah aikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek. Gerak-geriknya lebih halus daripada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja! Tujuan pertama adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu yang kini menjadi raja, Raja Agahai, adalah seorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu! Maka, tanpa ragu-ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, melainkan mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir dan pegunungan, hutan-hutan lebat. Perjalanan yang amat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja. Di manapun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya. Karena itu, maka sebentar saja namanya menjadi amat terkenal sekali dan mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan Thian Sin memang pantas disebut Pendekar Sadis. Di luarnya, dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun, juga ramah-tamah gerak-gerik dan tutur- sapanya, amat tampan wajahnya. Juga suara suling yant ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang manapun juga. Akan tetapi, kalau dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami malapetaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu cacad dan tersiksa hebat! Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah sepekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga disebut Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu, ketika dia pesiar sepekan lamanya, diapun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal. Bahkan ketika dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya dan para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka dan nama itu sudah menimbulkan kegemparan. Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, sungguhpun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya. Pada pagi hari itu, setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lalu keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan seperti seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya. Ketika dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya dan membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan dan memandang penuh perhatian. Biasanya, Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang suka bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tidak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri. Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu. Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan membentaknya, dan dari percakapan mereka, Thian Sin dapat mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja. Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, setelah dua orang itu memasuki rumah perjudian, diapun lalu menyelinap di belakang rumah besar itu dan di lain asat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja. “Ayah, aku takut...” Dara remaja itu berbisik ketika ia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu. “Hussshhh... tidak apa-apa, jangan takut.” “Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ah, di sana banyak orang, semua laki-laki...” “Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan masuk penjara...” Dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping bukan ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum melihat kakek itu dan menegur, “Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan ini... ia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling. “Benar, di mana cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu. “Terus saja, dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai. Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tidak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan. “Siapa di luar?” terdengar suara berat di dalam kamar. “Saya... saya A Piang...” Kakek itu menjawab. “Hemm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu. “Saya datang... eh, mengantar anak perempuan saya...” Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang diantara dua penjaga itu. “A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?” Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, lalu menjawab, “Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!” “Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu. Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal. Dia seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampak kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apalagi ketika dia memandang kepada gadis itu. “A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, akan tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian. “Empat puluh lima tail... loya...” “Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?” “Saya... saya sudah memberi tahu pembantu loya... saya butuh enam puluh tail... dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi... dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan...” “Sebulan? Dan anakmu sudah mau?” Kakek A Piang menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin... kau dengar sudah... kautolonglah ayahmu, kau hanya bekerja di sini satu bulan lalu kujemput pulang, nak. Kaudengarlah dan taati semua perintah loya ini... maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara...” Kui Cin, gadis itu, mengangguk. Tentu saja ia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apalagi hanya satu bulan, tentu saja ia sanggup. Sejak kecil ia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini.” “Nah, anak saya sudah mau, loya. Ia anak yang berbakti dan baik...” “Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Ia harus mentaati semua perintahku. Ia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang kuperintahkan. Mengerti?” “Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?” “Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras di sini.” “Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!” kata majikan itu. A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak membawa sisa uang itu pulang, melainkan langsung saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu. Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan. Akan tetapi, segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lalu lambat laun menjadi kebiasaan yang tak mudah dilepaskan... Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala. Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang paling besar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk mengejar kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya dapat diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk menambah kemenangannya itu sebanyak mungkin. Dan di dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembangbiakkan menjadi amat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besarpun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, biarpun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat dua orang teman baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah. Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan karena kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat setelah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus. A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia telah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi. Kui Cin berusaha sedapat mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi, kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang dan akhirnya, semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumahpun digadaikan! Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan, merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah. Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apapun juga akan dilakukan untuk memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar. Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi. “Kalau sudah tidak punya apa-apa kenapa berani berjudi terus dan berani hutang?” Demikian tukang pukul mengancamnya. “Kalau engkau tidak mampu mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau anak dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan dalam penjara!” Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu. “Aku... aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan...” A Piang meratap. “Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu.” “Aku tidak mempunyai keluarga...” “Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!” “Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku... ah, kasihanilah aku, berilah kesempatan...” “Seorang anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik. “Empat belas... lima belas tahun.” “Bagus, engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si tukang pukul mata juling itu. Sepasang mata A Piang terbelalak. “Apa? Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!” “Siapa bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikannya untuk selama satu bulan, atau menyewakan selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.” “Apa... apa maksudmu?” “Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar... eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan.” “Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?” “Berapa kau butuh?” “Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini... anakku tentu mau menolongku, dia anak baik...” “Kalau begitu, bawalah besok pagi-pagi anakmu itu ke sini menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.” Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya. A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini sudah kecanduan judi, dan di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan ada timbul pikiran bahwa kalau anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentu dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu! Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu : Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalan dan menang. Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lahi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnyam, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya, latar belakangnya, sebab-sebabnya. Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Ia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan mahluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Ia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan iapun siap untuk melakukan pekerjaan betapa beratpun untuk membalas budi. “Siapa namamu?” terdengar pria itu bertanya. Kui Cin sejak tadi berdiri sambil menunduk, dan kini ia memberanikan diri menjawab lirih. “Nama saya Kui Cin, loya.” “Coba angkat mukamu dan pandang aku.” Kui Cin merasa malu-malu dan takut. Lebih baik dia disuruh bekerja berat daripada menerima perintah ini. Akan tetapi iapun segera mengangkat mukanya memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang pria yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar seperti menelanjanginya. “Ke sinilah kau, Kui Cin.” Gadis itu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, ia seperti mendapat firasat buruk, seolah-olah merasa ada bahaya mengancamnya. Setelah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, ia berhenti dan menunduk. “Majulah mendekat.” “Di... di sini saja, loya...” “Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apalagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, iapun melangkah maju beberapa tindak sampai ia berdiri dekat di depan laki-laki itu. “Engkau manis...!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya. “Ah, loya...!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar. “Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!” Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Lalu ia mundur dan menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak...! Tidak mau...!” Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum. “Hemm, ingat engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?” “Tapi... tapi... saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apapun akan saya lalukan, bukan... bukan ini...” “Taat tetap taat, dan inipun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!” “Tidak...! Tidak...!” “Hemm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apapun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!” “Tidak...! Ohh, ayaaahh...!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu. Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam. “Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta main kucing-kucingan!” kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin. Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu sudah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya. Kui Cin menjadi pucat mukanya dan ia berusaha lari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya semakin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itupun sudah cukup bising dengan suara orang. Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula. Biasanya, tidak akan lama gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu akan mampu mengelak terus. Mereka itu yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, dan suara-suara lain yang cukup menimbulkan gairah mereka. Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, malah kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jerit mengerikan. Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan mulutnya tersenyum. Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol di bagian dahinya. Melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan main karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya. Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding dan kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia berseru, “Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!” Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan dan tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah membuat mereka penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiripun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya roboh terguling! “Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang amat kejam!” Pemuda itu mencokel dengan kakinya dan sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian nampak sinar berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu. Darah bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, mandi darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu! Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tidak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya gerakan golok itu, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak. “Memetik buah daripada kejatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang kauperkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan. “Taihiap... ampunkan saya... ampunkan saya... engkau boleh mengambil berapapun banyak uangku, tapi jangan... jangan membunuhku...” Dan seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar... Pendekar Sadis...!” Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan. “Celaka, mati aku...” tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah. Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang amat kejam. Dan tadi dia sudah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin! “Ampun... ampunkan...” Dia meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum. “Betapa seringnya engkau sendiri mendengarkan ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kauperkosa, dan pernahkah engkau mengampunkan mereka? Engkau malah semakin bergairah dan semakin senang kalau mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kauterima!” Golok itu menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar dan majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok dan buntung! Tentu saja kecil sekali harapan hidup lagi bagi orang ini. “Kau keluarlah dari sini dan pulanglah.” kata Thian Sin kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan dan karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu dan dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi! Sebelum tiba di ruangan itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak, “Siapa engkau? Apa yang terjadi?” Dan seorang diantara mereka telah lari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka diapun berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata. “Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya. “Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka telah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?” “Bunuh penjahat ini!” teriak seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin. Pemuda ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi di lain saat terdengar teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itupun sudah roboh semua. Dan, sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka. Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar. “Pendekar Sadis...!” “Pendekar Sadis...!” Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Gempar di situ. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Dan sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu. Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu demi satu, dan sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, citau telinga. Pendeknya tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan. Dalam waktu singkat saja pertempuranpun berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih dan memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, lalu terdengar dia membentak halus. “Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!” A Piang yang sejak tadi mepet di tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut. “Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!” Pedangnya bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi, “Bawa uang ini untuk modal bekerja, dan ajak anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubiking buntung!” A Piang tidak dapat mengeluarkan suara karena seluruh tubuhnya menggigil, dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, dan dia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar. “Semua orang boleh pergi!” kata pula Thian Sin dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar. Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, menyimpannya dalam bungkusannya sendiri karena dia teringat bahwa bekalnya tinggal sedikit, kemudia dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa para tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan. Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak nampak lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebenarnya dia tidak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu. Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat. BIARPUN rumah-rumah judi itu mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam “pajak” kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam “perlindungan”. Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah. Kalau para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibuyangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tidak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanya tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut. Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar akan peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding. “Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini lihai sekali ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya berupa jarum-jarum beracun. “Nanti dulu, kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang kuterima dari barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu kabarnya telah dibasmi olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan.” “Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang. “Tapi, Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir gagal,” kata orang pertama Si Kecil Bongkok. “Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, merekapun dengan mudah jatuh dalam rayuan Ang Bwe-nio. Kalau sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan. “Sebaiknya kitapun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat segera turun tangan,” kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini. Pemilik rumah penginapan segera dihubungi dan diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu telah dipersilakan keluar dan tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu. Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan diapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan, kalau perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya. Sore itu, setelah mandi, dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua telah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.” “Ah, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan. Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya daripada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah. Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat, “Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang amat baik. Oleh karena itu, perkenalanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.” “Ah, membikin repot saja...” kata Thian Sin, akan tetapi hatinya sudah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan cekatan mereka membersihkan meja dalam kamar itu dan mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampak seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut. Tak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum dan membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai ia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan. “Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, termasuk keponakan saya, merasa kagum kepada taihiap yang sudah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi. Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itupun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.” Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin. “Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap...”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger