naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 14

Pengacara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, lalu berkata dengan lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka dipersilakan kepada para pendekar muda yang mau menambah meriah pesta ini untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!” Ucapan itu tentu saja disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Kalau seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya! Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur inipun tidak ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju? Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang amat lihai. Apalagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu! Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang, “Thian Sin, kau duduklah!” Teringatlah Thian Sin bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tidak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka diapun lalu duduk kembali. Bin Biauw kelihatan kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, karena datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang mantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup tampan dan gagah, apalagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang dia yakin tentu berkepandaian tinggi sebagai putera Pak-san-kui. Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jerih untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri. Apalagi mereka yang duduk di bawah panggung, andaikata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekalipun, agaknya mereka masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di depan datuk itu, apalagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Pembicaraan atau pengatur acara tadi telah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia lalu angkat bicara lagi dengan sikap ramah, “Bin-loya telah mohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini hadir wakil-wakil dari tokoh-tokoh besar, bahkan ada wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya.” Mendengar ucapan itu, So Cian Ling bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suhengnya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning. Pria ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguhpun dara itu merupakan sumoinya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling amat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk! Betapapun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh akan kepandaiannya, maka dia dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, sedangkan So Cian Ling hanya ikut suhengnya untuk menambah pengalaman saja. Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak. Akan tetapi ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya ketika dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa... cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, melainkan terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah. Akan tetapi suhengnya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukan seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah. Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini amat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, ketika nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah. Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan. Bin Biauw juga memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia sudah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguhpun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong! Ciang Gu Sik maklum bahwa majunya itu diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia lalu memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, kemudian dia bicara, ditujukan kepada para tamu, “Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe menyebut nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini.” Setelah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata. “Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.” “Ah, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau untuk maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh.” kata Bin Biauw dengan gayanya yang lincah. Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya dan dia berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan memiliki tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!” Bin Biauw tersenyum manis, menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. “Silakan Ciang-sicu memilih senjata!” Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa-joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas. “Tar-tarr!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya. “Bin-siocia, saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali. Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!” Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan. “Tar! Tringgg...!” Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian mcluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping menyambar ke arah pundak dan sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang. “Hemm...!” Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannyapun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan! Melihat ini, murid See-thian-ong itupun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni dan joan-piannya sendiri terbuat daripada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Nampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak. Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan pengerahan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena pertandingan itu bagi mereka merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing. Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang pria yang mungkin menjadi calon jodohnya, melainkan hendak mempertahankan nama ayah dan juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu, sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian! Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tidak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas. So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suhengnya itu terus didesak dan dia merasa menyesal mengapa suhengnya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa dapat menandingi puteri Tung-hai-sian itu. Biarpun suhengnya eukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi dibandingkan dengan lawan, dia itu kalah senjata, dalam arti kata kalah ampuh senjatanya sehingga keunggulan senjata itu membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya. Memang kalau hanya lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suhengnya, akan tetapi kini jelas nampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suhengnya itu telah terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang! Dan semua orang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suhengnya itu tentu akan kalah! Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapapun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri lebih dulu dan setelah lawan menyerang tiga jurus, barulah dia mampu membalas dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru, “Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!” Bin Biauw menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, dan dia menjura. “Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur. “Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum. Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapapun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung. Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu. “Jangan kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-1ing-pai. Hemm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!” “Apakah paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik. “Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah oleh mereka yang duduk di atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah karena dia dan dua orang keponakannya, walaupun sudah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai! “Ah, di sinipun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu. “Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, aku tidak bisa tinggal diam saja!” “Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin. “Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai makin hancur lagi? Pula, kalau engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku.” Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira, “Siapa lagi di antara para pendekar yang ingin memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong telah ada waklinya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!” Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga itu setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu. “Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tidak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong berbisik. Tiga orang suheng itupun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka biarpun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Kalau hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali! “Kongcu, saat ini, soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!” Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan diapun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang amat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi dia harus melihat dulu kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak “Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui, berkenan untuk maju meramaikan pesta!” Mendengar ini semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing pedang, mereka bertepuk tangan. Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. “Paman Tung-hai-sian,” katanya dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut “paman” agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju kalau main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Biarlah saya nenemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.” Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.” Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, lalu menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fibak kami jangan djanggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula. “Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya,” kata Siangkoan Wi Hong sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw. Nona ini sejak tadi memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini karena pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang meremehkan! Pemuda ini amat angkuh terhadap wanita! Sungguhpun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan kepada wanita. “Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok. “Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku mainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayun benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi “tang-ting-tang-ting” yang berirama dan merdu! Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan mengira bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan kini yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat. “Silakan, nona!” Bin Biauw juga sudah menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apalagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi diapun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat mmggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Kini melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak. “Lihat pedang!” Dan pedangnya sudah menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagaikan halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan! “Bagus!” Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis. ”Trangg...!” kemudian diapun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu mainkan yang-kim, mainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah. Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing. Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa setelah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main! Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu ketika berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya. Memang hebat pemude itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah batin dan jantung lawan! Fihak lawan dapat digetarkan jantungnya lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan. Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seolah-olah mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali dan akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga. Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat, membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, kalau tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung! Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Ternyata kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya agar membiarkan kedua orang muda itu melanjutken pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, kini keadaannya menjadi terbalik dan kalau Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Biarpun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan gembira sekali! Maka diapun hanya menyerang tanpa mendesak, sungguhpun kini permainan Bin Biauw tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti menusuk-nusuk telinganya itu. TIBA-TIBA mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah, tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim. Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk dan kembali Siangkoan Wi Hong terdesak. Pada saat itu, Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. “Cukup... cukup... sudah mendekati seratus jurus!” Hebat sekali kakek ini, begitu dia “masuk”, dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, setingkat dengan ayahnya barangkali. “Maafkan kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura. Kembali Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” katanya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang, terdengar oleh semua tamu. “Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, kalau diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta.” Tung-hai-sian tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara sahabat-sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?” “Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sing “Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung.” “Aih, anak yang baik, jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apalagi yang berada di bawah panggung.” “Eh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!” “Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran, bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut. Mereka memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu? Sementara itu, mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya dan tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak. “Siangkoan Wi Hong, siapa takut padamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!” Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian terkejut dan juga memandang heran. “Apakah... apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanyanya. “Benar, saya Ceng Thian Sin adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu. Tung-hai-sian menjadi gembira sekali. Tentu saja sebagai seorang datuk persilatan, diapun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai. Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang telah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya. Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Biarpun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapapun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Ini saja sudah menarik perhatiannya dan dia segera mundur sambil berkata, “Silakan... silakan...!” Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, dan kalau tidak mungkin, mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian! Tapi sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut! Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak mengira bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang amat lihai itu. Kini dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi-i-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia menghadapi Thian Sin. “Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang. Thian Sin tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!” Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong? Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadipun dia sudah mengharapkan pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini untuk naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw segera melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong. “Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!” Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapapun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah! “Ah, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya...” “Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kauwakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kauwakili untuk menghadapi siapapun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan! Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, lalu memandang kepada Thian Sin. “Hemm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi hati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi-i-beng!” Mendengar disebutnya ilmu mujijat yang bagi kebanyakan orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah. “Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya. Thian Sin menjadi bingung setelah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa. “Akan tetapi... aku... aku tidak hendak melawanmu, nona...” Bin Biauw tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?” “Bukan... bukan begitu... tapi...” Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan gin-kang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata, “Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!” Thian Sin memandang pamannya dan dia tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Teringatlah dia bahwa dia datang sebagai “anggauta” rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia mengangguk. “Maafkan, paman,” katanya dan diapun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan tepukan tangan pada bahunya. Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh. Memang sejak tadi dia sudah menjadi marah. Pertama-tama, karena dia sebagai wakil, apalagi putera ketua Cin-ling-pai diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan “kelas rendahan” dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapapun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar. Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, dia tidak mungkin dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka kalau maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi-i-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Dia sendiri belum tahu bahwa ilmu mujijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apalagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia lalu meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu. Kini dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah dan juga para tamu. “Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang diantaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!” Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras sekali, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tidak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung! Akan tetapi, diam-diam diapun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, semakin banyak kini bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguhpun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mujijat Thi-khi-i-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu. Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Biarpun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, namun pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian! Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia adalah seorang pemuda yang amat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja dengan pandang mata sopan! “Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.” Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata. Melihat ini, Bin Biauw memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini! Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan kakinyapun tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali sinar pedang berkelebat ke arahnya, dia menggerakkan Hong-cu-kiam menangkis. “Cringgg...!” Tangkisan pertama itu mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itupun sudah menangkis di belakang tubuh pemuda itu. Terdengar bunyi berdencing nyaring berkali-kali dan nampak bunga api berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin seringlah pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tidak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke manapun sinar pedang Bin Biauw menyambar, selalu tentu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya. Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang dapat membentuk pertahanan yang seperti benteng baja kokohnya dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apalagi dia memang memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat. Makin lama, serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis terdengar bunyi “trangg...!” keras sekali dan tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan diapun menjura. “Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!” Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mengalah sebelum dikalahkan. Diapun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena betapapun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu. “Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang lihai sekali. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum. Diam-diam Kong Liang terkejut juga. Ilmu pedang ini menurut ayahnya, selama belasan tahun tidak pernah dimainkan di depan umum, apalagi dipergunakan dalam pertandingan, maka kini begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali. “Pandangan locianpwe amat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami.” “Bagus, bagus... dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu dan rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak.” Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Kalau tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah kepada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andaikata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andaikata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya diapun akan menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, setelah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, sudah cukuplah baginya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger