naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

pendekara sadis 20

“Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?” Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang! “Tentu saja, kongcu. Perahuku ini biarpun tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.” Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan ingin berlumba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!” Setelah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan meluncurlah perahu ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu! Di atas telaga itu masih sunyi. Namun, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mempunyai pesona tersendiri dan tentu akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seprang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut dan perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja. “Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.” “Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.” “Biarlah, aku justeru suka akan kesunyian.” Tukang perahu itu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, ke pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Setelah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini. “Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?” Kakek uang usianya sudah ada enam puluh tahun itu menatap wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, mengapa mesti mencari tempat sunyi?” “Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tidak akan puas sebelum memperoleh keterangan yang memuaskan.” “Tentang apakah, kongcu?” “Tentang orang yang bernama See-thian-ong...” “Ahh...!” Kakek itu menjadi pucat wajahnya dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang. “Tidak ada seorangpun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang mau menyusahkanmu? Karena itulah maka aku memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.” Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak tanya tentang apa?” “Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakannya?” “Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu, dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, bahkan pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan maka biarlah kalau didengar juga.” “Hemm, di manakah rumahnya, paman?” “Rumahnya tak jauh dari telaga, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia memiliki sebuah rumah besar, dan di sanalah anak buahnya yang puluhan orang banyaknya berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.” “Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?” “Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekeliling rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.” “Dan keluarganya?” “Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya... dia mempunyai belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak...” “Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang sekali karena dia telah memperoleh keterangan secukupnya. Setelah melihat banyak perahu-perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya sudah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu. Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu, ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka itu torkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesiran yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu. Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya suka mendekati perahu itu, diapun mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang amat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya. “Kongcu yang tampan... mengapa sendirian saja...” “Aihh... kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?” “Mari, kongcu... mari kami layani kongcu bersenang-senang... dengan kongcu, tidak usah bayarpun tidak mengapa...” “Aduh gantengnya...” Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, saputangan dan lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin, dibarengi gelak tawa genit. Melihat ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang muda lalu didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin. “Eh... eh... jangan nabrak...!” Tukang perahu tua berterian ketakutan. Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, maka sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar kalau hanya terguliung di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu! Melihat ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, mengira bahwa mereka itu tidak sengaja, maka diapun cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu dan menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung. Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya dapat patah! “Jangan, kongcu...!” teriaknya. Akan tetapi perahu itu sudah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan... perahu besar itu meluncur lewat perahu kecil, hanya selisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja. “Aduhh... kita selamat...” katanya. “Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!” Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Bergegas tukang perahu itu mendayung perahunya hendak pergi dari situ. “Jangan melarikan diri, paman. Biarkan mereka datang.” kata Thian Sin yang menjadi marah setelah dia tahu bahwa empat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya. Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, laripun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan. Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali. Sekali ini, Thian Sin tidak menggunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti sampai moncong perahu besar itu sudah hampir menyentuh perahunya, dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu memandangnya dengan mulut menyeringai girang. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh moncong perahu, dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling! Terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorangpun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa! Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tidak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu! “Eh, bagaimana bisa terjadi itu?” “Luar biasa sekali!” “Tentu ada setan air yang menolongnya!” “Ah, dia tentu benar-benar dewa kahyangan...!” terdengar seorang wanita penghibur berseru. Semakin ramailah keadaan di situ dan kini Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya hendak berlumba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik. Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu hendak menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!” “Wah, celaka, kongcu...!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat. Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada minggir cepat-cepat untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali. “Silakan, nona...!” “Silakan, siocia...!” Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu dan wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling! Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajahnya yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenymn ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin! Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar, bukan apa-apa, melainkan girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk dapat berhubungan dengan See-thian-ong tanpa menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong? Thian Sin segera mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!” Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira. “Aihhhhh...! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ah, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari... kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!” “Akan tetapi... perahu ini kusewa...” “Aih, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu...” kata si tukang perahu. “Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong ueng emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!” “Terima kasih... ah, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, kau cepatlah pindah ke perahu siocia...” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin. Pemuda ini tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu, So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya! Akan tetapi, mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu dan dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Meliat ini, semua orang berseru kagum den So Cian Ling tertawa. “Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin, juga tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andaikata dia tidak sedang mendekatinya karena dia ingin mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas. “HI-HIK, siapa takut kau tercebur?” So Cian Ling lalu mendayung perahunya dan melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan seperti mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru, “Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?” Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu segera mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar keras, bahkan ada yang terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil. “Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” Thian Sin berkata dan dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu. Perahu hitam kecil itu menjadi miring dan dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang terputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran! “Hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga. Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang menarik napas panjang dan menduga siapa adanya pemuda itu. “Pantas, kiranya sahabat So-siocia...” akhirnya mereka berkata-kata sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali. “Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba dia memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu. “Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?” “Kepadaku sih tidak, akan tetapi... eh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?” “Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong...” “Aih... jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek. Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang pernah ditemuinya dua kali dahulu itu. Dahulu, baik untuk pertama kalinya ketika dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya ketika dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Seperti langit dan bumu bedanya! “Hayaaa... apa yang kaulihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu. “Ah, tidak... hanya... ah, kenapa kau bilang aku pura-pura?” “Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?” Thian Sin terbelalak. Memang tadipun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian. “Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andaikata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?” “Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta...” “Berdosakah itu?” “Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Eh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?” Tiba-tiba dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi. Thian Sin merasa mendongkol juga ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa. “Eh, kenapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli melihat dia marah. “Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi. “Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?” “Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu...” “Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin. “Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita manapun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?” Wajah Thian Sin menjadi merah seperti udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?” “Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu tinggi sekali, engkau keturunan seorang pangeran, malah seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mujiiat dari Cin-ling-pai, dan engkau... engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya itu? Akan tetapi aku percaya dan aku... aku kagum, Thian Sin.” Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan ketika tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikitpun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua! Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah tergila-gila kepada Thian Sin, lalu mendekatkan tubuhnya sehingga terasa kehangatan tubuh gadis itu oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik, “Kau... kau takut...?” Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu. “Takut apa...?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, seperti bisikan saja. Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya dan nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya. “Engkau... pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau... eh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik...!” Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, walaupun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran. “Siapa takut kepada wanita? Huhh...!” Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?” “Tidak!” “Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?” Thian Sin makin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat ia enggan kalah oleh siapapun juga dan dalam hal apapun juga. “Mengapa tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan. Dengan bibir masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu berbisik, “Mengapa? Aih... karena kita saling menghendakinya, aku cinta padaku, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?” Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Diapun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu “dusun” dan “hijau”. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir tidak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin. Tanpa disadarinya lagi, dia telah dibawa rebah oleh Cian Ling dan juga dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekalipun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang amat pandai, amat manis dan yang agaknya tak mengenal puas. Setiap manusia di dunia ini, baik wanita maupun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan menjadi pendeta atau yang berpantang sanggama, sudah pasti akan sekali waktu mengalami hubungan pertama dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan. Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang pria bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita dapat menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan dapat mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya! Hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menyangkut kelamin sekalipun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, seperti hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak maupun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, manusia-manusia. Jodoh dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan. Demikian pula, hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu, sungguh sesat kalau menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam. Akan tetapi, segala macam perbuatan di dunia ini, kalau dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mencari kesenangan, sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal daripada kesengsaraan. Umpamanya, makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang patut membuat manusia bersyukur. Akan tetapi, kalau dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengelar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka terjadilah penyelewengan. Kita lalu makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Dan terjadilah akibat-akibat yang amat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita. Gairah yang ada dalam hubungan seksuil adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itupun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namung kalau kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalahgunakan berkah itu. Dan timbullah perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinaan-perjinaan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu berahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka. Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang telah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit-penyakit kelamin, dan sebagainya lagi. Kebijaksanaan sajalah yang dapat menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul kalau kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksuil ini. Dengan cinta kasih, maka segalanyapun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Sungguhpun hubungan seksuil merupakan sebagian daripada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan daripada kasih sayang dan kemesraam. Dan sebagai manusia tentu saja kita tidak mungkin terlepas daripada norma-norma kesusilaan, daripada hukum-hukum yang telah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksuil antara pria dan wanita barulah benar kalau dilakukan antara suami dan isteri yang sudah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andaikata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kitapun terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin. Kenikmatan memiliki kekuatan besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu. Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di atas danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan nikmat dan memabukkan. Cian Ling yang menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, mempergunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu berahi! Setelah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini, yang selain tampan, gagah dan menyenangkan, juga yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, timbul rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin ia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, melainkan juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya. Akan tetapi, setelah mereka tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang semakin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang sudah berpengalaman dalam hal bermain cinta. Maka, setelah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya minggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin. Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja dan tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, kalau dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan memiliki gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Aken tetapi, dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang selain menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong! Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan merekapun mendarat. Inipun adalah kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong. Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia tahu bahwa selain amat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir. “Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tidak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata. Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi dan dapat hidup subur, maka pandang rumput itu tebal sekali dan kalau diinjak rasanya seperti menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu. “Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini...” Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra. “Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi... bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku tentang dia, dia itu suka sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing untuk mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya. Cian Ling menarik napas panjang, seperti seekor kucing yang dipangku dan dibelai, karena Thian Sin dengan pandai menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu. “Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahh... dia suka sekali dan setiap hari, maksudku setiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampinginya. Dia... dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa...” Cian Ling menarik leher pemuda itu dan menciumnya... Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi. “Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu...” “Kau... kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk dan memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.” Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa. “Aihhh... ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.” Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?” Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thlan Sin, menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata, “Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.” “Bukankah sudah hanyak aku bercerita tentang dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti... seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar. Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak menggunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka diapun tidak memberi komentar atas hal itu. “Cian Ling, coba kaujelaskan. Dua macam ilmunya yang pernah kauberitahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khi-kang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sampai menggembung besar, dan ilmu tongkatnya, mana yang lebih berbahaya?” “Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak dapat menjelaskan secara terperinci, karena biarpun aku merupakan murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, tidak pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajar ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu akupun akan kalah olehnya.” “Sayang, aku ingin sekali tahu sampai dimana kehebatan dua ilmu itu.” “Aku hanya dapat memberi tahu bahwa ilmu khi-kang yang membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Kalau suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin dan segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan selain itu, juga dengan hembusan khi-kang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan mampu menahannya. Sedangkan ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayupun kalau berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Kemudian, gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?” Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia menjawab. “Cian Ling, engkau tentu sudah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?” Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan kenyataan yang membuat ia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum dalam hatinya. “Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia...” “Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, dan akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini mampu memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di empat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.” “Ahhh... untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang amat sukar, kekasihku.” “Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Siapa lagi yang dapat membantuku kecuali engkau dalam menghadapi suhumu itu.” “Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetgpi bagaimana aku dapat membantumu menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan dua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula... mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?” “Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?” “Hi-hik, kau cemburu?” Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta berahi mereka. Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suhengnya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya. Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, dan diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra daripada biasanya, bahkan sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik. Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali, pakaiannya kuning sederhana dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena dia dekat dengan sumoinya, maka tentu saja diapun tidak dilewatkan oleh Cian Ling dan antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila. Akan tetapi, kalau Cian Ling hanya menganggap suhengnya itu sebagai seorang diantara para pria yang pernah menggaulinya dan tidak begitu mendatangkan kesan di dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoinya ini, mengharapkan kelak sumoinya mau menjadi isterinya. Telah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia mencari-cari sumoinya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya memiliki kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoinya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguhpun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoinya itu untuk dirinya sendiri. Akan tetapi biasanya, kalau sedang bermain glia dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan juga paling lama sehari semalam sumoinya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam. Dan sekarang, telah dua hari dua malam sumoinya tidak pulang, maka timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoinya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoinya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoinya itu, maka ke situlah dia pergi. Ketika dia mengintai dan melihat sumoinya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa cemburu sekali. Sumoinya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik oleh pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu. Dan sumoinya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, ingin dia pada saat itu juga meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan kepada sumoinya. Oleh karena itu, dia menanti sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah, “Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan diapun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat daripada emas. Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suhengnya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh. “Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?” Menghadapi sumoinya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!” “Dia bukan musuh. Lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!” “Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw... telah...” “Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?” “Sumoi, suhu tentu akan marah...” “Suhu tidak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?” Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja, sikapnya tenang dan menanti perkemhangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya. “Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak senang melihat ini...” Dan setelah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat. “Suheng, kalau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu. Setelah suhengnya tidak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu dan menarik napas panjang. “Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia...!” Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.” “Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.” “Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.” “Apakah engkau takut?” “Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya...” “Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Kaumaksudkan dia mau mengeroyokmu? Jangan memandang rendah, Thian Sin. Guruku tidak pernah mengeroyok orang!” “Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.” “Hemm, engkau akan kalah.” “Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.” Cian Ling lalu merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!” Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk kepadanya. Dia dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu memiliki pengaruh terhadap See-thian-ong, bahkan suhengnya tadipun tunduk kepadanya. Dengan kewanitaannya yang memiliki daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling dapat menguasai suhengnya dan juga gurunya sendiri kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya gurunya dan pengganti orang tuanya, melainkan juga mengenggapnya sebagai kekasih. Dua orang muda itu seperti lupa akan segala, hanya menuruti gairah nafsu berahi dan mabuk dengan permainan cinta mereka. Mereka itu tiada ubahnya sepasang pengantin baru yang tahunya hanya makan minum dan bermain cinta. Cian Ling melayani kekasihnya dengan mencarikan buah-buahan, memanggang daging kelinci dan kambing hutan dan hubungan antara mereka menjadi semakin mesra saja. Dan pada keesokan harinya, ketika matahari meneroboskan cahaya melalui celah-celah daun pohon dan menimpa tubuh mereka, menhgugah mereka dari tidur nyenyak karena kelelahan, mereka terbangun dengan gembira dan dengan sinar mata saling pandang penuh kemesraan. Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak hati-hati, dia bisa benar-benar jatuh cinta kepada wanita cantik yang merupakan wanita pertama yang pernah memilikinya. Akan tetapi, setelah mereka mandi di sumber air dalam hutan dan sarapan pagi dengan daging panggang, tiba-tiba muncullah See-thian-ong yang memang sudah mereka duga sewaktu-waktu tentu akan muncul juga. Kemunculan datuk kaum sesat wilayah barat ini hebat sekali. Mula-mula terdengar suaranya, suara yang berat dan parau, namun yang datangnya entah dari mana, tahu-tahu terdengar suara itu seperti dekat sekali dengan mereka, memanggil nama muridnya. “Cian Ling... di mana kau...?” Mendengar suara ini, agak berubah wajah gadis itu. Betapapun juga, diam-diam dara ini memang merasa jerih sekali terhadap suhunya yang sakti, dan diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Mendengar suara ini, iapun tidak berani berayal lagi dan menjawab sambil mengerahkan khi-kangnya, karena ia tahu bahwa suhunya itu masih jauh, mungkin masih berada di luar hutan, “Teecu di sini, suhu...!” Berkata demikian, ia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berhati-hati. Pemuda itu tetap duduk di atas rumput, kelihatan tenang saja walaupun jantungnya berdebar tegang dan seluruh syaraf di tubuhnya telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba ada angin bertiup dari arah selatan. Thian Sin cepat memandang dengan penuh perhatian ke arah itu. Terdengar suara berkerosakan seperti ada binatang buas datang dari tempat itu dan nampak daun-daun kering berhamburan seperti dilanda angin ribut. Melihat ini, Cian Ling sudah menghadap ke arah itu sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil berkata, “Suhu...!” Pemberian hormat dari Cian Ling ini sederhana saja, tidak berlutut seperti kebiasaan murid terhadap gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa hubungan antara guru dan murid ini lebih akrab daripada guru-guru dan murid-murid lainnya. Thian Sin memandang penuh perhatian dan dia kagum juga ketika melihat bayangan seorang laki-laki tinggi besar datang dengan gerakan yang amat gagah dan tangkas. Apalagi setelah laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat itu, dia memandang kagum. Tidak seperti Pak-san-kui yang berpakaian seperti seorang kakek hartawan, See-thian-ong ini merupakan seorang kakek yang bertubuh tinggi besar dan gagah sekali. Usianya lebih muda daripada Pak-san-kui, belum ada enam puluh tahun, dan tubuhnya yang tinggi besar itu cocok dengan kulit mukanya hitam. Namun, bukan hitam buruk, melainkan hitam legam yang halus dan membuat dia nampak gagah, mengingatkan orang akan tokoh Thio Hwi, yaitu tokoh cerita Sam-kok yang gagah perkasa, dengan pakaian yang tidak terlalu mewah, mukanya yang hitam itu dihias sepasang mata yang lebar dan bundar, bersinar-sinar seperti mata harimau. Dari gerak-geriknya dan wajahnya terbayanglah kejantanan, kegagahan, kekasaran dan tidak suka berpura-pura. Rambutnya digelung ke atas, model rambut tosu dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat. Inilah See-thian-ong yang amat terkenal itu, pikir Thian Sin tanpa bangun dari tempat duduknya. Dia memang sengaja bersikap tak acuh untuk membangkitkan penasaran dalam hati datuk itu. “Apakah suhu datang karena dibakar oleh ocehan dari Ciang-suheng?” Cian Ling bertanya dan cara dara itu bertanya demikian terbuka juga menunjukkan bahwa ia memang sudah biasa bersikap biasa seperti itu terhadap gurunya. Semenjak kemunculannya, sepasang mata yang terbelalak itu, sungguh mengingatkan Thian Sin akan mata tokoh Thio Hwi, selalu menatap kepada Thian Sin yang masih duduk di atas rumput. Menurut cerita Sam-kok, sepasang mata Thio Hwi juga selalu terbelalak dan tidak pernah atau jarang sekali dipejamkan sehingga pernah ketika tokoh Thio Hwi itu berjaga sambil tertidur, sepasang matanya tetap terbelalak, membuat pasukan musuh ketakutan karena mengira bahwa orang gagah ini tidak tidur! “Ha-ha-ha-ha! Siapa mendengar ocehan orang? Aku hanya tertarik, mendengar dari suhengmu, bahwa putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw datang berkunjung! Dia itulah orangnya?” “Benar, suhu, dia adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia itu. Dia datang karena ingin berkenalan dengan suhu.” “Ha-ha-ha, yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak menyalahkan engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan nomor satu di dunia? Ha-ha, hal itu harus dibuktikan dulu. Orang muda, mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kaulayani aku barang sepuluh jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini.”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger