naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 46-50

“Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?” “Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana,” kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw. “Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku mempunyai urusan vang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?” “Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba.” “Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kauajak serta, kauantarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng.” “Ahhh...!” Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. “Hamba... hamba... mendengarkan...” katanya. “Aku mendengar bahwa waktu ini, kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong.” “Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?” Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. “Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku.” Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan, “Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!” “Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!” jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan. Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin “melatih” sutenya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu. *** “Sin Liong...!” Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda. “Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!” kembali Hok Boan berteriak. Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu. “Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini...” Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu. “Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!” Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi. “Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?” bentak Hok Boan. “Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kauandalkan? Hayo siapa??” Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir. “Kau tidak lekas berlutut minta ampun?” kembali Hok Boan menghardik, makin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi. Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apalagi minta ampun. “Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!” Hok Boan membentak dan dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin memandang dengan mata terbelalak! Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar. “Di mana Siong Bu?” tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. “Suruh dia ke sini!” “Dia tidak ada ayah,” jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng. “Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman,” kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan. Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Hok Boan kepada Siong Bu, dan makin marahlah dia kepada Sin Liong. “Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!” bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengar bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya, bertubi-tubi. “Hayo berlutut!” bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis. “Tar-tar-tar-tar!” Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apalagi berlutut minta ampun! “Tar-tar-tar-tar-tarrr...!” Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang! Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka. “Ayah... jangan pukul dia...!” Lan Lan berkata dengan suara terisak. “Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!” Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis. Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah! “Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia...” anak gendut itupun minta ampun sambil berlutut. Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegung terheran dan agak bingung. “Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!” Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak. “Siong Bu! Ada apa...?” Hok Boan bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran. “Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana...” Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan. Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut! “Bicaralah yang jelas!” bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. “Apakah yang telah terjadi?” Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata, “Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah, dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis...” Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya, “Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?” “Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!” Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut. “Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau mudah sekali ketakutan, Siong Bu...” “Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?” Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela. “Apa katamu...?” bentaknya. “Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang...” Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, “Siapakah she Cia...?” Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu uslanya kini sudah bertambah sebelas tahun! Cepat! Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut, “Aih, kitanya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!” Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya. “Siapakah yang she Cia?” kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut! Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut. “Tidak... tidak ada yang she Cia...” kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya. “Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?” Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan. “Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?” “Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian?” Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia? Kenapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut! “Hayo katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!” Wanita itu kembali melayangkan pandang matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki dan sedikitpun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa punggungnya pecah-pecah kulitnya dan berdarah! Lalu dia menoleh kepada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio mendapatkah akal. “Hayo katakan, kalau tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!” katanya sambil menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang sudah merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini menggigil kedua kakinya den mukanya menjadi pucat sekali. “Bukankah engkau tadi yang bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, kalau tidak, telingamu ini akan kucabut putus!” Berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-geleng kepala tak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran den juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat terhadap dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa sekarang, biarpun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat! “Harap jangan ganggu dia...!” Tiba-tiba Hok Boan berseru dan melangkah maju menghampiri wanita itu. Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan, tersenyum dan mengangguk-angguk kepada Hok Boan. “Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya? Kaukira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga kalau aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?” “Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak mempunyai hubungan dengan musuh-musuhmu...” “Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?” Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biarpun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah. “Apa yang akan dilakukan orang kalau keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!” katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit. “Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kauwarisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kauhadapi seranganku, apakah engkau dapat bertahan sampai sepuluh jurus?” “Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio...” “Cukup! Kau lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!” Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai daripada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya tidak akan kalah. “Ke mana kau?” Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu. Melihat ini, terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka apapun. “Kouwnio, engkau terlalu mendesak orang!” Hok Boan berseru marah melihat keponakannya, yang sebetulnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu. “Hemm, ini adalah Hek-wan-hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai, bukan? Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek...” Kim Hong Liu-nio berkata sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu. Hok Boan terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya, akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak perduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan lihai sekali, diapun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh. “Ehh? Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk membunuh aku? Hemm, kau harus dihajar!” Memang Hok Boan telah menggunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya telah mengenal ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya dari samping. “Plakk!” “Aughh...!” Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! “Berani kau melukai suamiku?” Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja datang. Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan tetapi diapun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jerit dua orang anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi. Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah semenjak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali. Tidak perduli wanita itu utusan Raja Sabutai, kalau kini mengganggu keluarganya, harus dilawannya. Maka dia sudah membentak marah dan menerjang wanita itu dengan pedangnya! Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu dia adalah seorang ahli menggunakan siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung, dia hanya mempergunakan pedang tunggal, akan tetapi dengan menguasai Ilmu Im-yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat. Apalagi karena Si Kwi terkenal dengan gin-kangnya sehingga dahulu dia pernah mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang amat cepat seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian merah. Maka kini serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali. Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya berkata mengejek, “Hemm, ilmu pedang apa ini yang kaupergunakan?” Dengan amat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang dan gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi. “Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?” Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, melainkan mengangkat sedikit tangan kirinya. “Cringgg...!” Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil belasan buah banyaknya. Gelang-gelang kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main! Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan diapun menghentikan serangannya. “Kenapa kau menyerang suamiku?” demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya. “Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu kami sekeluarga yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio,” kini Hok Boan berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tidak akan mampu menghadapi wanita ini. Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Maka lebih baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah. Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, “Siapakah orang she Cia?” Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini. “Orang she... Cia...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?” tanyanya dengan wajah berubah pucat. Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. “Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?” tanyanya, suaranya penuh ancaman. Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut nyonya buntung. Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang sehingga dia tidak memperdulikan sebutan itu. “Aku tidak tahu, di sini tidak ada yang she Cia!” jawabnya tegas. Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, “Siapakah orang she Cia di sini?” Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. “Tidak ada... tidak ada yang she Cia!” jawabnya dengan suara tegas pula. Juga kepada laki-laki ini, Kim Hong Liu-nio memandang dengan tajam. Kemudian dia menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Adik manis, siapakah orang she Cia di sini?” Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, “Tidak tahu... tidak ada she Cia...” Kim Hong Liu-nio berpaling kepada Lin Lin, yang menundukkan muka. “Dan kau, nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?” Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab, “Tidak tahu, tidak ada she Cia.” Kim Hong Liu-nio terus memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tidak ada harganya bagi dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali, “Kau, bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini?” “Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!” Beng Sin menjawab gagap dan tegas, lalu menundukkan mukanya. Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita itu, kini ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya. “Sekarang engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?” Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, “Aku tidak tahu. Di sini tidak ada orang she Cia!” Setelah berkata demikian, cepat dia menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong. Kembali Sin Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapapun juga, keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini mendatangkan perasaan sedemikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri di punggungnya lenyap tak terasakan lagi! Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang amat mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang karena dia yang sejak dahulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu terkandung ancaman maut mengerikan. Senyum itu melebar sehingga nampak sekilas pandang gigi putih kemilau di balik belahan bibir merah basah itu, lalu bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia, “Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa, baru kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tidak akan menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!” Cepat bagaikan kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit. “Akulah orang she Cia!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras. Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh kemarahan. “Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang kaucari-cari!” Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong lengan mata bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong seperti mata anak naga itu. “Liong-ji...!” Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa. Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main dan baik ibu angkatnya maupun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu. “Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku.” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali sehingga Si Kwi terbelalak dan tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui Hok Boan, sedikitpun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak lain! “Benarkah engkau she Cia?” Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat keberanian anak ini. “Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri tidak mampu menandingimu!” Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong pendiam dan tidak banyak bicara. “Maka engkau tentu mau mengatakan pula mengapa engkau mencari orang she Cia?” “Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!” jawab Kim Hong Liu-nio. “Mengapa? Apa salahnya orang-orang she Cia?” tanya pula Sin Liong. “Anak kecil mau mampus kau tahu apa! Bersiaplah untuk mampus!” “Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tidak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan? Kalau kau memang gagah berani, hayo kauhadapi ayahku dan juga she Cia, barulah seimbang!” “Monyet kecil, siapa ayahmu?” Kim Hong Liu-nio membentak marah. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki. “Dan kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku? Ayahku adalah pendekar paling hebat di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!” Kim Hong Liu-nio hampir tak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan terdengar bunyi “prakk!” ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin. “Liong-ji, jangan banyak bicara!” Si Kwi memperingatkan anaknya. “Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!” “Huh, karena berada di sini maka kau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutkupun engkau takkan mampu. Aku menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu, biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu. Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka engkau ini tidak ada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beranimu hanya mengganggu orang-orang lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!” “Liong-ji...!” Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di depan wanita ini! Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang berani bicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghinanya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan kemarahannya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa! “Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tidak dapat membunuh ayahmu dan nenek moyangmu, aku tidak mau mmakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!” Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai mengkal sekali hatinya dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang. “Bres!” Kaki wanita itu kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai dengan pengerahan sin-kang, kaki itu amblas sampai hampir selutut dalamnya! Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman! “Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau mau tahu!” Kata Sin Liong sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu. “Ahhhhh...!” Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi kaget setengah mati dan terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong. Tentu saja dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw, meremang bulu tengkuknya. “Bohong!” Kim Hong Liu-nio berseru. “Macam engkau ini anak Cia Bun Houw? Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan kira engkau akan boleh menakut-nakuti orang dengan nama Cia Bun Houw yang kauakui sebagai ayahmu!” Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. “Dan kau bilang bohong untuk menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi awas, aku mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai kau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran kalau kau sudah menggelinding mampus di depan kaki ayahku!” Diam-diam Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun Houw, sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga? Bukankah anak ini katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan? Akan tetapi melihat sikapnya, anak ini jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak seorang yang luar biasa. Membunuh anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya akan selalu merasa penasaran, dan memang seperti dikatakan anak ini tadi, membunuh anak ini sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan, bahkan menodai nama besarnya sebagai seorang gagah perkasa. Tangan kirinya sudah diangkat, siap untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi tangan itu turun kembali. Bohwat (kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang luar biasa ini. Akan tetapi dia teringat akan sesuatu, lalu dia mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan anak ini sampai dia yakin betul sebelum dia turun tangan. “Eh, anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui itu, katakan siapa ibumu!” Kim Hong Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama gurunya itu, yaitu musuh utama yang bernama Cia Bun Houw, berjodoh dengan seorang pendekar wanita sakti yang menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang bernama Yap In Hong. Akan tetapi dia tidak tahu apakah mereka itu terus menjadi suami isteri ataukah tidak karena kabarnya belum pernah mereka itu menikah, atau belum pernah pernikahan antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereke itu tidak direstui oleh ayah pendekar Cia Bun Houw itu. Akan tetapi jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Anak itu dengan suara lantang berkata, “Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi ibu kandungku itu meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita yang sakti karena dia dahulu adalah murid mendiang Hek I Siankouw.” “Ahhh...!” Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget dan memandang kepada Si Kwi dengan mata terbelalak lebar. Wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh itu sekali ini tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia memandang bengong kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol. Si Kwi menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik tanpa ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah Si Kwi dan tanpa mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia menujukan pertanyaannya kepada Sin Liong. “Anak setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu? Siapa yang memberi tahu kepadamu?” “Kau berani bilang bohong? Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku sendiri! Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku, katakanlah saja terus terang!” Kini wanita itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh sekali, agaknya seperti orang terheran-heran, “Liong Si Kwi, benarkah itu?” Si Kwi menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara lirih dia berkata, “Benar... ibu kandungnya... sudah mati...” Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-anaknya yang berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara ketawanya aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu agaknya geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia menggunakan ujung sabuk merah menghapus air matanya! “Hi-hi-hik, Liong Si Kwi, kaukira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya? Jadi, ketika engkau berjina dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu dibuntungi sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini? Ah, kiranya engkau melahirkan keturunan Cia Bun Houw!” “Ehhh...?” Kui Hok Boan terkejut bukan main. Rahasia itu sama sekali tidak pernah didengarnya dari isterinya, maka diapun memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak. Liong Si Kwi merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu telah terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw (baca cerita Dewi Maut). Mukanya menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya telah diketahui orang, dia lalu berkata, “Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar sakti Cia Bun Houw!” “Ibu...!” Sin Liong berseru, akan tetapi pada saat itu nampak segulung sinar merah berkelebat dan Sin Liong terguling roboh ketika dia hendak lari kepada ibunya, karena dia telah terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh pundaknya. Agaknya wanita itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung sabuk merah itu hanya membuat anak itu terguling. Lalu kelihatan asap mengepul dan ternyata wanita itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan mengangkat kayu salib ke atas kepalanya. “Liong Si Kwi, karena engkau telah melahirkan anak ketutunan Cia Bun Houw, maka engkau terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk menebus dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!” “Tidak...! Jangan...!” Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan tetapi kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting. Si Kwi maklum bahwa percuma saja mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri tidak akan ada gunanya, maka karena dia masih memegang pedangnya, dia lalu berteriak nyaring dan tiba-tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu. “Bagus, dengan begini kau patut mati sebagai keluarga Cia!” kata Kim Hong Liu-nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan kecewa kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang dikatakan oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh musuh yang dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai! “Cringgg...!” Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai gelang. “Ihhh...!” Si Kwi menjerit karena tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu, dia merasa pergelangan targannya tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali rasanya dan tanpa dapat dicegahnya lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh sesaat itu melepaskan gagang pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai! Terdengar wanita itu tertawa, akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan tangannya. Terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku merupakan ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang amat hebat karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya! “Hemm...!” Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan gugup sama sekali, bahkan memandang rendah. Tangan kiri yang memegang sebatang hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang memegang kayu salib bergerak cepat ke atas dan menyambar ke bawah. Dan ternyata bahwa paku-paku itu semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib itu, dan hebatnya, semua paku-paku itu menancap di bagian ujung kayu yang bertuliskan huruf Cia! Wanita itu bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih daripada itu, dia mampu membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah keluarga marga atau she Cia!

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger