naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 56-61

“Hemm, jadi kalian berlima ini pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal dengan ilmu Ngo-heng-tin? Kabarnya kalian adalah perampok-perimpok dari Heng-san, benarkah?” Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang terkenal. Ketika mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka kini mereka menjadi pembantu-pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu saja mereka menjadi malu dan marah. “Kami adalah Heng-san Ngo-houw, kami sudah siap membela pangcu kami, silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio.” “Suci, biarlah aku menghadapi mereka!” Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu. Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan diapun meloncat keluar dan mengikuti Han Houw. Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sutenya ini paling suka bertanding silat! Memang sudah pandai sutenya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi karena memang memiliki bakat yang amat hebat, akan tetapi sutenya yang baru berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan berbahaya. “Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya.” “Biarlah, suci. Aku tidak takut.” “Dan aku akan membantu Han Houw!” tiba-tiba Sin Liong berkata. Kim Hong Liu-nio terkejut dan menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini sungguh lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu saja! Dan berlagak hendak membantu segala. “Minggirlah engkau!” bentaknya. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-houw sambil berkata, “Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya suteku berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan suteku maju bersama, jadi dua lawan lima? Aku ingin melatih suteku dan kalian merupakan lawan latihan yang baik sebelum aku membunuh kalian.” Tentu saja lima orang itu menjadi makin marah karena ucapan itu jelas mengandung pandangan rendah sekali terhadap mereka. “Majulah!” bentak orang tertua di antara mereka, “Majulah kalian berdua, ditambah beberapa orang lagipun tidak mengapa!” “Suci, menurut suci, di antara mereka ini, pemegang senjata mana yang paling berbahaya?” Han Houw bertanya, sikapnya tenang. “Lima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti juga sute telah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya dengan pedang, tentu saja masing-masing mempunyai kelemahan sendiri. Engkau tentu masih ingat bahwa melawan pemegang senjata panjang harus merapat, sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang.” “Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau mereka maju bersama...” “Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan gin-kang...” Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu silat! Maka mereka lalu bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu, kemudian terdengar mereka berseru hampir berbareng, “Lihat senjata!” Dan mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan! “Cring-cring-cring...!” Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw telah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar, sedangkan dua batang senjata lain telah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan gerakan mereka benar-benar amat luar biasa. “Jangan tangkis, elakkan, pergunakan gin-kang dan lindungi diri dengan sinar pedang!” terdenger Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu. Han Houw mengerti bahwa sucinya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin. Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima orang itu. Kiranya memang ada unsur ngo-heng di dalam gerakan-gerakan mereka yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat. Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang dimiliki oleh lima orang itu tidak begitu kuat. Inilah kelemahan mereka. Andaikata mereka itu terdiri dari orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat kelemahan lawan, maka dia tersenyum dan berkata kepada sutenya, “Sute, kau sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Pergunakaw gerakan Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!” Han Houw mentaati perintah sucinya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda, melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa memperdulikan yang lain. Tiga orang lainnya tentu saja berdasarkan silat Ngo-heng-tin, telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu, akan tetapi nampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini telah membentuk benteng yang menghadang tiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Terpaksa kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu. Mereka kini terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka ketika mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat bertemu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apalagi karena anak itu memang mengerahkan sin-kang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-hiat Mo-li sendiri! Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya. Kiranya Ceng Han Houw benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok dua orang yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan melakukan totokan-totokan pada jalan-jalan darah maut mereka! Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung! Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu, ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, setelah mengerahkan seluruh kepandaiannya, baru dapat mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja. Melihat gerakan sabuk merah dari Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau wanita itu menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan, akan tetapi agaknya wanita itu benar-benar hendak “melatih” sutenya dan membiarkan sutenya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu hanya untuk mencegah tiga orang itu mengeroyok. Dan melihat ini semua, tanpa bertandingpun tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukan lawan Kim Hong Liu-nio dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan menyerahkan nyawanya. Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song Kam. Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu, akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio, tentu anak itupun merupakan seorang anggauta keluarga atau anggauta rombongan. Maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggauta Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang mengurung tempat itu, kemudian dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw. Ketika dia mencari-cari dengan pandang matanya di antara pengeroyokan anak buah Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam. Ke manakah perginya ketua Jeng-hwa-pang ini? Orang yang cerdik ini setelah melihat anak buahnya menyerbu, lalu dia meloncat dan menyelinap di antara anak buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu. Para pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang telah turun tangan mengeroyok, tentu saja cepat menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan sengit. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan dan menangkap Sin Liong. “Eh, kau mau apa?” Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu. “Diam kau, dan kau ikut saja bersamaku!” bentak Gak Song Kam sambil mengangkat tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-pang ini melarikan diri. Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam, “Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!” Para anggauta pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, Gak Song Kam berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. “Tahan dia itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!” Kiranya, setelah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur, membiarkan tujuh belas orang pengawal itu menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang karena kini pasukan telah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong. “Celaka, suci. Dia melarikan Sin Liong!” Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada saat itu mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak itu, dan menundukkannya. Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang jauh berbeda. Han Houw diam-diam mengagumi dan merasa suka sekali kepada Sin Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari anak-anak biasa, apalagi sikap Sin Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak itu. Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang perajurit anggauta pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya dan mereka berlari-larl mengejar! Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu telah menyebar bubuk berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin berserakan di sepanjang jalan dan juga terbawa angin tersebar sampai jauh. Ketika tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu berkelojotan di atas tanah sambil kedua tangan mencekik leher sendiri. Mereka telah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu! Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang dan pada saat itu, Gak Song Kam melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, terdengar ledakan dan nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan. “Jangan kejar! Kembali...!” Kim Hong Liu-nio berseru, namun terlambat karena belasan orang perajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan! “KEPARAT!” Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. “Sute, jangan ikut mengejar!” teriaknya kemudian tubuhnya melesat, ketika tiba di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sin-kangnya menahan napas, lalu meloncat seperti seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song Kam dia tidak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu telah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh. Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi anak itu dalam waktu enam bulan akan mati juga. Pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liongpun dia masih sanggup. Maka setelah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia lalu membalikkan tubuh kembali kepada sutenya yang telah menantinya di dalam kereta. Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggauta Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang, hampir dua ratus orang anggauta pasukan tewas karena orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan. Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar untuk mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, namun cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besarpun takkan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apalagi seorang anak kecil seperti Sin Liong. Malam telah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah di punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri lalu menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek bertubuh tinggi tegap yang kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, seperti seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari muka kakek yang sedang menangis itu. Watak anak itu memang aneh sekali. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidakadilan dengan penuh keberanian dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apapun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba kepada orang lain, maka begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan. “Paman, mengapa engkau menangis demikian sedihnya?” tak tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan. Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis makin keras lagi, seolah-olah pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang telah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak, “Bocah setan! Mereka telah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biarpun aku belum dapat membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!” Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali, tubuhnya lecet-lecet dan babak belur terkena duri-duri ketika dia diseret dan dia sama sekali tidak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur. “Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina ke tempat ini!” seperti orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat muka, maka sinar bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kelam dan seperti muka setan! “Paman, apa yang akan kaulakukan kepadaku?” Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya? “Ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kaulihatlah!” Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas kepala di bawah, lalu dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu! “Ha-ha-ha, sudah kaulihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!” Setelah berkata demikian, Gak Song Kam kembali melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa di waktu kecilpun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang tadinya dianggap sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas. “Ibuuuu...!” Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh sampai saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba saja dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok. “Ha-ha-ha-haaaa...!” Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang berduka melihat “musuhnya” tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya! “Ibuu... ah, ibuuu... bu-hu-huuuh...!” “Ha-ha-ha-haahhh...!” Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti berlumba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara ketawa Gak Song Kam yang merasa terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini. “Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus sampai arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!” Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur! “Bukk!” Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek dan Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala dan wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa. Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah. “Aduhh...!” Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa “cess” seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup sampai ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking nyerinya, seketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi tubuh ular yang membelit kakinya itu ketika dia mencengkeram, ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati! “Cesss...! Aduhhh!” Kini tiba-tiba pahanya tergigit sesuatu dan rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang telah melempar bangkai ular merah itu menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, sungguhpun bangkai ular itu masih hangat, tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit. Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu, akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum dia menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya. Rasa dingin yang amat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu telah mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi memperdulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah itu, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dan dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya ditelan perlahan-lahan oleh ular besar ini. Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja. Seperti telah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang amat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun Hui-tok-san ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justeru mempunyai sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati. Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san, maka begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat, maka seketika ular-ular itu mati, tidak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong. Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biarpun lima ekor ular meran itu telah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin seperti membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, dia mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur. Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justeru memiliki sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau racun ular merah itu yang telah memasuki tubuhnya lebih banyak atau kurang sedikit saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justeru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut. Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini telah buyar dan punah, sebaliknya racun lima ekor ular merah itupun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san! Akan tetapi, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan dan mengeluh. Dan pada saat itu, terdengar suara mendesis-desis dan seekor ular yang besar dan panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu dan bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan! Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah dua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia mulai sadar dan telah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar! Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi melainkan pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh keliaran ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis dan membuka mulut akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulutnya dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan dan kemarahan dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak perduli dan menggigit terus, menggigit terus! Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekalipun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apalagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu. Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat apabila menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain mahluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia maupun antar mahluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang lemah batinnya, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau mahluk lain lebih menderita daripada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia. Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya menegangkan dan menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton. Akan tetapi, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuh memandang dan mengangkat obornya dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja, akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling sahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet! Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya “ratusan” ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia lalu membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul! Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik dan dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus. Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut tubuh yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, dan menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pohon. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh. *** Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya ketika dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas. Sin Liong sama sekali tidak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara monyet-monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa akan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia. Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup. Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik. Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justeru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-olah menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur dalam bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan dapat terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian? Apakah justeru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia? Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Akan tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang kesemuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebanyak dan sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu makin mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran kesenangan inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan! Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang! Ingin senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, karena keinginan yang dihalangi menimbulkan marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi. Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin kalau kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan! Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri. Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan segala hal yang telah lalu maupun yang akan datang. Kalau lapar mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, kalau mengantuk tidur, kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanya tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula. Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali masa lalu. Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang tampan berkejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang menimbulkan rasa ngeri. Tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguhpun hal ini sama sekali tidak disadarinya. Dan tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak memperdulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat pohon-pohon yang berbuah. Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian mengejutkan bagi rombongan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka semua seketika berhenti bergerak dan semua dahan-dahan pohon yang tadinya bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai dan gembira itupun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin berlindung. Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia sudah meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan merekapun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik. Biarpun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai bicara seperti manusia yang telah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi amat luas dan lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun binatang-binatang itupun mempunyai cara saling berhubungan melalui suara. Oleh karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apapun, sudah tentu mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka. Demikian pula dengan suara-suara pekik monyet, suara itu mempunyai makna-makna tertentu dan karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Ketika tadi mereka mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan hebat, menghadapi bahaya besar, kemudian pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu sedang berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau! Harimau merupakan raja hutan yang amat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, kalau bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan. Akan tetapi, tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah sering kali ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan timbul kesetiakawanan besar di dalam hati anak manusia ini. Maka, begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka merekapun cepat mengejar dan mengikuti Sin Liong. Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas menggigit. Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke depan, langsung menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor harimau yang panjang. “Bukkk!” Biarpun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, akan tetapi Sin Liong sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya. Harimau itu meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya, mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah. Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, akan tetapi Sin Liong juga memekik-mekik nyaring. Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya menarik perhatian harimau lain. Dari balik semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang! “Aughhh...!” Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi dengan sigap dia lalu membalikkan tubuhnya, dan menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu. Sin Liong telah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan dan pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah. Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang berada di lain tempat, mendengar suara-suara itu dan merekapun berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua ekor harimau itu. Dua ekor binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, akan tetapi akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan. Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lain, diapun menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, sedangkan monyet-monyet lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri. Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Mungkin karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya daripada ilmu silat monyet yang telah ada dalam partai-partai persilatan besar. Dia dapat bergerak dengan kecepatan laksana monyet aseli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan. Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia. Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet lain, hanyalah menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan. Kini dia tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, kalau sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara kembang-kembang, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga mereka tidak dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi. Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan mari kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui, keluarga Kui Hok Boan mengalami malapetaka besar ketika isterinya dari orang she Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan. Biarpun hatinya merasa cemburu dan marah ketika mendengar kenyataan bahwa isterinya pernah bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada isterinya yang tangan kirinya buntung itu. Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita manapun hanya terdorong oleh nafsu berahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di antara wanita itu terdapat dua orang wanita yang melahirkan keturunannya, yaitu dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai keponakan. Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi dan mempunyai anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya telah aman tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya dan dia dapat hidup sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah baik-baik. Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya malapetaka sehebat itu! Isterinya tewas dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat lihai dan sampai bagaimanapun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatangkara, malah kini dibebani dengan empat orang anak tanpa ibu! Kedukaan kehilangan isterinya itu agaknya tidak akan menjadi terlalu berat bagi Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apalagi sekarang dia merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati. Akan tetapi yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi agak bingung. Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat orang anaknya dan hartanya, akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan lenyaplah semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah Naga. Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan sehingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah dari semua itu, timbullah duka. Bagaimanakah terjadinya ikatan itu? Mengapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar maupun tidak kepada semua itu? Ikatan timbul apabila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan itu di dalam ingatan, lalu ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau isteri, dengan keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, dan timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah mengikut kita itu! Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah. Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati. Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan harta bendanya yang sekiranya dapat dibawanya. Diapun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari Raja Sabutai. Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup sederhana. Kesederhanaan hidup membentuk watak mereka menjadi sederhana pula, keinginan merekapun sederhana. Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak amat menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang penting bagi mereka hayalah tanah-tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan, sungguhpun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai. Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang tetangga yang datang untuk membicarakan perintah pengosongan Lembah Naga, empat orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong. “Aku bersumpah kelak akan membunuh wanita iblis itu!” Lan Lan berkata sambil mengepal tinjunya. “Aku juga!” kata Lin Lin sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya. Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-laki yang melihat keadaan mereka itupun merasa berduka. Akhirnya Siong Bu berkata, “Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku akan membantu kalian. Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina itu!” kata Siong Bu penuh semangat. “Kasihan sekali Sin Liong,” Beng Sin berkata pula. “Entah bagaimana nasibnya di tangan iblis itu.” Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tak mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan Lin Lin! Jadi “anak monyet” itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan ini, saudara tiri seibu! Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong karena iri hati, menarik napas panjang dan dia berkata, “Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku kagum sekali kepadanya.” “Dan dia putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!” kata Beng Sin. Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya. Kakek ini tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya penuh cambang bauk sehingga kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?” Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin Lin sudah menjawab, hampir berbareng, “Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!” Kini Siong Bu cepat bertanya, “Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberitahukan kepada paman bahwa lopek datang...” “Heiii...!” Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan kedua langannya yang besar itu telah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya. “Kalian ikut bersamaku!” katanya kepada dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu mengelak itu. “Lepaskan mereka!” Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu. Kakek yang mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut, berusaha untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras! “Kau jahat...!” Beng Sin berseru dan juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling. “Lepaskan aku...!” “Ayah, tolonggg...!” Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali. Kakek itu terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka, mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali. Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak dan berusaha mengejar. “Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!” Demikian mereka berteriak-teriak. Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun yang menjadi tamunya, terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman. “Apa yang terjadi? Mana Lan Lan dan Lin Lin?” teriaknya melihat kedua orang anak laki-laki itu menangis. “Dilarikan orang... ke sana...” Siong Bu menjawab. “Seorang kakek brewok... dia menculik mereka...” Beng Sin juga berkata dan mukanya yang bulat itu mewek-mewek. Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman, melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu. Sampai cuaca menjadi gelap, dia tidak berhasil menemukan jejak orang yang menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak buahnya dan bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkatnya tinggi-tinggi dan berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari. Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu? Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat telah terkenal juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya para pembesar untuk mendidik anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw maupun liok-lim, kaum golongan sesat maupun golongan bersih. Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka kepada orang muda yang selain lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu. Memang Hok Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu. Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan amat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia telah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya. Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apapun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan hasilnya sungguh hebat bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tidak ada seorangpun yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya! Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, biarpun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya. Akan tetapi, dia tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Namun, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Setelah dia hampir lupa akan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dia menganggap pemuda itu tentu telah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu kini telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu bernyala kembali, luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga. Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan. Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam. Oleh karena itu, dia segera menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuh-musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya! Semalam itu, Ciam-kauwsu menghentikan larinya, bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan saputangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya, mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, terus ke timur. Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, ketika dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari atas pohon dan ketika dia menoleh, pada saat itu ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu! “Ehhh...!” Ciam-kauwsu yang sedang lari mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, tidak sempat mengelak dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan lain adalah Sin Liong! Seperti telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih bayi bersama gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, bahkan pembungkus kepalanya telah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya agar gerakannya menjadi leluasa. Dia hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, namun karena pikirannya menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger