naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 18

Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari “orang she The” yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur! Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya! Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Mengapa lima orang? Kun Liong dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang “dilindungi” itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barangkali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu? “Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?” Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan. “Singgg…!” Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! “Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?” “Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?” Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, “Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah memusuhi kami?” Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara lantang, “Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!” “Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!” Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan. Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok. Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya. Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja. Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap. Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat. “Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!” Lim Hwi Sian berkata sambil menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu. “Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita.” Tan Swi Bu juga berkata. “Kata-kata yang baik!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang! Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, “Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?” Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. “Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!” “Cih! Keparat bermulut lancang!” Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan. “Ihhhh… iblis keparat!” “Sumoi, tunggu dulu!” Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka, “Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?” “Ha-ha-ha-ha!” Kiang Ti tertawa bergelak. “Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!” Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian. Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, “Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!” “Bocah lancang mulut!” Kiang Ti membentak. “Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!” Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian. “Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!” Ouw-siucai berkata dan menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu. Dua orang ini melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tidak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat. “Hiaaaattt!” Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya. “Cring! Tranggg!!” Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat. Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat. Biarpun ilmu pedang dara itu amat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda, “Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!” Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot. “Biadab…!” Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya. “Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!” Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali, siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai. “Ouw-twako… lekas robohkan dia dan bantulah aku…” Terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya. “Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!” Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan! “Ouw-siucai sastrawan keparat!” Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian. Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang! “Ehhh…!” Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan “hwesio” muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. “Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?” Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong. Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem. “Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang lalu?” Kun Liong menegur. “Bukankah banyak kitab kuno yang kaubaca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar malah makin gila!” Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. “Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!” Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu! “Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!” Dia membentak. “Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?” Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. “Wah-wah…!” Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi kau… Si Gundul bocah tukang perahu itu…?” “Wuuuuttt, plakkk!” Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong. Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur! “Bocah setan, kau bosan hidup!” Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima tahun. “Bukkk! Auuuuwww… duhhh…!” Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi. “Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat, perlu dihajar!” Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang. “Plenggg!” Dan dia terguling! Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru dalam ilmu silat sakti ini! Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong. “Trangggg!!” Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu. Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya terdengar suara “buk!” dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk! Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali! Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata, “Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?” Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu menjura, “Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!” “Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!” kata pula Tan Swi Bu. “Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini celaka di tangan siucai busuk tadi!” kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum. Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia berkata, “Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah perlu tanpa menengok lagi. “Eh, sungguh aneh!” kata Tan Swi Bu. “Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!” kata Poa Sut It menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa. Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap pemuda itu seorang hwesio! “Biarlah aku minta maaf kepadanya!” katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan. Kedua orang suhengnya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan. “Tai-hiap, tunggu dulu…!” Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku “tai-hiap”! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini. “Kau… kau mau apakah menyusul aku?” tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung. “Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap…” “Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap, baik ejekan maupun pujian.” Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung. “Habis disuruh menyebut apakah aku ini?” “Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!” “Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja.” “Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang…” “Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak… tidak adakah maaf bagiku?” Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, “Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya… eh, malu karena kepalaku…” “Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan… hem… baik sekali bentuknya!” “Sesungguhnyakah?” “Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh…” “Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel.” “Kun… Kun Liong, aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?” “Hemm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kauperkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!” “Eh, engkau tahu…?” Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan. “Setan gundul tentu saja tahu segala!” Mata yang jernih itu terbelalak. “Engkau aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun…” “Teruskan saja! Ha-ha, memang aku gundul. Nih, halus bersih, kan?” Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. “Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya.” “Siapa yang jijik? Aku senang melihatnya. Memang, lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tak pemah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya.” “Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?” Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan kedua pipinya berubah kemerahan, apalagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu! “Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku telah kautolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu.” “Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?” “Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?” “Sumpah?” “Sumpah apa?” “Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?” “Aku bersumpah!” “Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian.” “Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, katakan, apa permintaanmu itu?” “Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm...” “Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu.” “Hwi Sian, aku ingin kau... eh, mencium gundulku satu kali saja!” Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah akan tetapi matanya mengeluarkan sinar aneh, tersipu dan berseri. “Dekatkan kepalamu,” katanya lirih. Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa kira, dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian. Dara itu tanpa ragu-ragu memegang pinggiran kepalanya dengan kedua tangan, lalu menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya! Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya dan membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah dengan tubuh masih agak membungkuk sambil berkata, “Kau baik sekali... uppphh...” Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam! “Ehhh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tidak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini...” “Ihhh... hu-hukk...” Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong! “Hwi Sian...!” Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan. Kun Liong tidak berani mengejar, merasa malu sekali kalau sampai peristiwa tadi diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum kalau teringat betapa Hwi Sian telah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya dengan pertemuan bibir mereka tanpa sengaja. Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegembiraan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan. “Bruuuusss!!” Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan. Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main. Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini telah dikenalnya. Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggauta Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suhengnya. Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu enam puluh tahun lebih, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki. Yang mengejutkan hati Kun Liong dan yang membuat dia mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir ayahnya ketika hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok! "NAH, itulah dia setan cilik gundul!” Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. “Dialah yang terlihai di antara mereka!” Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut. Dengan tegak dia berdiri, membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, “Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?” Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Biarpun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya dapat menangkap lebih jelas lagi, membuat dia yakin bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun. Yang membuat dia heran adalah karena dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tidak dibuat-buat dan sikap tenang seperti ini dalam keadaan dikurung lawan hanyalah sikap seorang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan tidak merasa bersalah. “Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar.” Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jerih benar? “Biarpun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!” kata Kiang Ti. “Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?” Tosu itu kini bertanya. “Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kaulakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!” “Siancai...!” Loan Khi Tosu mengerutkan alisnya. “Engkaulah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia putera Yap Cong San di Leng-kok!” “Ehhh...?” Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, “Akan tetapi bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu murid Siauw-lim-pai?” “Bukan murid Siauw-lim-pai lagi,” kata Loan Khi Tosu. “Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai.” “Tapi... ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!” Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya. “Benar, dan karena itulah maka kita tidak akan membunuhnya, hanya menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, kita dapat memancing tenaga bantuan ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga...” Mengertilah para teman tosu itu dan serentak mereka lalu menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis. “Eh, eh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Antara kita tidak ada urusan apa-apa!” Namun, percuma saja dia berteriak teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Biarpun semua pukulan itu meleset karena otomatis sin-kangnya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, namun kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apalagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong. Dia sendiri tidak tahu mengapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sin-kang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sin-kang istimewa dari bekas Ketua Hoa san pai itu! Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan! “Hiiittt!!” Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu setelah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua. Mulailah dia mainkan Ilmu Silat Pat hong sin kun dengan teratur dan dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika dia mainkan ilmu ini, dalam beberapa gebrakan saja serangannya membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya! Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apalagi membunuh, dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawan roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bangkit kembali. Kalau saja setiap pukulannya disertai tenaga sin-kangnya yang istimewa, agaknya sekali terkena pukulannya, tiap lawan itu tentu takkan mudah untuk bangkit kembali! Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini, luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biarpun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai. Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya lebih tajam menangkap setiap gerakan daripada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia menggerakkan tongkatnya pada saat yang tepat dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan darah di pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat! “Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan hukum lagi? Di mana perikemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian akan hukum dunia dan akhirat?” Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih mampu meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain dengan suara mulutnya. “Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu kejam melebihi iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kaupakai hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!” “Bukkkk!!” Untung Loan Khi Tosu masih ingat bahwa pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-kauw, kalau tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan sin-kangnya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah, nyeri bukan main rasanya sampai menembus ke tulang sumsum. Biarpun demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. “Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kauincar…” “Desss!!” Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, biarpun amat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dadanya, menghentikan napasnya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger