naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 321-350-

“Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!” Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu. Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruang¬an luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu me¬mandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para peng¬awal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggal¬kan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungan¬nya itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu min¬ta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apa¬lagi di depan para perajurit atau orang-orang lain. Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia meng¬hendaki, agaknya dia akan mampu mem¬bebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukan¬lah orang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu ter¬ancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagai¬mana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan! Han Houw kini tertawa dengan sikap¬nya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa. “Ha-ha, sungguh tak kusangka kita akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!” Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu. “Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan bersumpah menjadi kakak dan adik angkat,” kata Sin Liong dengan suara dan sikap dingin. Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya. “Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?” Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi. “Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?” Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan. “Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ah, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biarpun dia cantik manis, akan tetapi...” “Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kaubebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik.” “Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu.” “Lekas kaukatakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?” Sin Liong membentak marah. Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. “Liong-te, apakah engkau telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah ti¬dak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!” “Baikiah, Houw-ko, nah, lekas kata¬kan, apakah kehendakmu sebenarnya?” “Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sa¬ma dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu? Nah, aku amat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, karena menurut peng¬akuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!” Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang. “Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?” “Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kaucinta.” Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk berbantah tentang hal itu. “Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu.” Ketika dulu melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan. “Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu.” “Hemm...!” Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. “Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te.” Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pange¬ran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. “Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai sim¬panan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya.” “Ahhh...! Begitukah?” teriak Han Houw dengan girang. “Di mana adanya kitab-kitab itu?” “Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng.” “Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!” Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya. “Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!” Wajah yang tampan itu menjadi muram. “Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?” “Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu.” “Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!” “Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sam¬pai suheng marah kepadaku?” “Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!” “Eh, maksudmu?” Sin Liong meman¬dang tajam melihat sikap keras dan sua¬ra penuh ancaman itu. “Mari kaulihat sendiri!” Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawa¬nya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangan¬nya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan se¬tengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, sedangkan kedua pergelangan ta¬ngannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, se¬dangkan sepatunya telah dicopot dari ke¬dua kakinya. “Houw-ko, apa yang hendak kaulaku¬kan ini?” Sin Liong bertanya dengan wajah mengandung kekhawatiran. Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. “Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?” “Maksudmu?” Sin Liong membentak. “Berjanjilah bahwa engkau akan mem¬bantuku sampai aku diterima oleh Ouw¬yang Bu Sek!” “Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak mungkin dapat kulakukan!” kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia me¬nolak. “Kalau engkau menolak, terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!” Sin Liong terbelalak. “Tidak, tidak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!” “Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!” Pangeran itu dengan senyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kemudi¬an setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu. Dara ini menjerit dan menggulingkan tubuhnya. Biarpun tubuhnya masih setengah lumpuh, namun rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya. “Breeetttt...!” Sekali renggut saja baju Bi Cu terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus. “Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!” Sin Liong berseru dan sekali renggut, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu. “Kau maju, dia mati!” katanya tenang. Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak. “Aku sudah berjanji kepadamu maka kaulepaskan gadis itu, Houw-ko!” “Tidak, kau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya.” “Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kaulepaskan dia.” “Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!” Pangeran itu menyambung. Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya! “Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!” Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. “Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!” “Dan sekarang, kaubebaskan dia!” Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. “Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!” Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi. “Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar.” Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu, membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu. Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh. “Apa yang kaujanjikan tadi, Sin Liong?” Bi Cu berbisik ketika dia sudah terlepas dari ikatan dan kini memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, ka¬rena celananya sendiri tidak terobek. Dia tidak perduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat. “Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini.” “Dan kau?” “Aku tidak dapat ikut pergi.” “Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami malapetaka, kita se¬nasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan me¬ninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersama¬ku!” Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari. “Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini terkurung oleh pasukan. Engkau harus ambil jalan dari pintu, dan pergi biasa. Mereka tidak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku.” “Tapi...” Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan. “Ihhh...!” Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. “Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana.” “Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka.” “Tapi...” Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. “Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?” Sin Liong tersenyum. “Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar.” Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw telah menanti di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan kedua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut. “Nona, harap kaumaafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku...” “HOUW-KO! Hentikan ucapan seperti itu!” Sin Liong berseru marah. Pangeran itu hanya tersenyum dan mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di situ banyak sekali perajurit yang telah mengepung rumah sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar. “Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan,” kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping. “Tapi... tapi engkau...” Bi Cu berkata lirih. “Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan.” “Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!” kata Han Houw. Hampir saja Sin Liong lupa diri dan kedua tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri dan tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio sudah siap untuk menerjang apabila dia menyerang sang pangeran. “Houw-ko, engkau harus berjanji dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimanapun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!” Melihat sikap pemuda ini dan mendengar suaranya yang keras dan mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, “Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak buahku tidak akan mengganggu nona ini.” Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua perajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini. “Nah, pergilah, Bi Cu.” Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari situ melalui jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandang matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega. “Nah, kapan kita berangkat ke selatan?” tanyanya kepada Han Houw. “Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci.” Sin Liong tidak perduli lagi dan memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia telah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suhengnya itu. *** Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik. Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat. Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil! Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng! Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya ka¬rena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tum¬buh di dalam hatinya. Kalau dahulu ber¬sikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pen¬curahan kasih sayang seorang pria, se¬sudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali. Sikap dan pandang matanya terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, ter¬utama terhadap pria-pria muda dan tam¬pan, dan di dalam sinar mata itu ter¬kandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, mem¬buatnya selalu kehausan, haus akan belai¬an dan kasih sayang seorang pria! Pada¬hal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan se¬orang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong me¬ngatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman da¬hulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang di-anggap menyenangkan jasmani dan pe¬rasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut “maju”, “mulia”, senang, bahagia dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan se¬bagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpul¬an sosial, budaya, politik, agama sekali¬pun, disebut “maju” kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda! Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia kalau sudah berhasil me¬ngumpulkan banyak harta benda? Ber¬bahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh ke¬kuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagai¬nya lagi itu? Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian! Memang harus diakui bahwa semua ke¬muliaan duniawi itu, harta benda, nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan! Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita! Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita. Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka! Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka. Kita bisa saja menjadi seorang ber¬harta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu! Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkit¬kan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahah diri dan menanti saat yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu! Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali kaisar, memang pada umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan. Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini muda! Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar dan kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang amat mulia itu. Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah mengalirnya perkembangan kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas sampai ke seluruh dunia! Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda. Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat da¬lam sejarah. Demikianlah, tidak meng¬herankan apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan atau ribuan tahun sebelum¬nya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem¬nya, untuk secara bergilir atau berke-lompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman maupun di dalam kamar tidurnya. Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini di¬laporkan oleh pengawal kepada kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di tepi kolam ikan, memberi ma¬kan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali. Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki ta¬man, dan dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan mem¬beri isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar! Biasanya kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang ga¬gah perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio se¬bagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, melainkan sebagai se¬orang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya. Akan tetapi ketika itu dia belum begitu “matang” dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika melihat Kim Hong Liu-nio me¬masuki pintu taman dan melangkah meng¬hampiri tempat itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh perhatian dan penilai¬an! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya me¬nurun ke leher, ke arah dada yang mem¬busung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang mem¬besar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan. Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih mu¬suh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang memiliki kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan ben¬tuk tubuh yang menggairahkan! Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio lalu mem¬beri hormat, berlutut dan berkata, “Per¬kenankanlah hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain.” Kaisar Ceng Hwa tersenyum dan matanya tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang berlutut di depannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman. Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka lalu meninggalkan taman, berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum. Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kaubicarakan?” Kaisar berkata halus. “Ampunkan hamba yang berani minta untuk bicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka amat tidak baik kalau sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan tentang empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong.” “Oohh, tentang mereka?” Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik. Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, mem¬bunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Kalau yang membe¬rontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain. Dia lebih tertarik memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak. Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali dan dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut dan tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga kaisar yang duduk itu dapat melihat dari atas melalui celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung. “Ah, kenapa kau menangis, lihiap?” Kaisar itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apalagi melihat celah baju bagian atas itu. “Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada...” Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa “ada main” antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya, “Ah, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?” Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, melainkan karena pengerahan sin-kangnya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi. “Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia telah menjanjikan hal itu kepada hamba...” Biarpun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam. Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. “Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara.” Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda¬-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya! “Hamba... hamba mana berani...?” “Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!” “Ba... baik, sri baginda...” Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas nampak gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali. Kaisar lalu memegang tangan wanita itu dan menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beledu lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang amat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apalagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu. “Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap...” bisik kaisar. “Aihhh... sri baginda...” Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau. Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan terbelalak. Belum pernah selama dia mengenal wanita dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, juga dia merasakan getaran yang menggoncangkan jantungnya. Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pan¬dang dan diam-diam merekapun merasa heran mengapa kaisar kini bersikap demikian mesra dengan pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat, dan para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri karena mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak. Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sin-kangnya yang amat kuat, mudah bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usia¬nya belum ada dua puluh tahun itu. Dan semenjak hari itu, Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar, untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan untuk mengejar-ngejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi. Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan apabila tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan. Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tidak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya. Maka setelah dia berbasil memperoleh kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan mempergunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Namun wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu. Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan. Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu pula bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai! Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan yang kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri. “Ah, dia adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?” demikian antara lain kaisar membantah dan Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapapun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara. *** Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, menggelepar-geleparkan sayap yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya gesit sekali terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu. Terdapat dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat bersembunyi dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong! Semenjak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini. Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini telah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri. Kemudian, setelah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan memperoleh restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dia dengan kekerasan hatinya telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya. Barulah mereka menjadi suami ister! dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang ingin memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya! Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sayur-sayur sendiri untuk kebutuhan makan se¬hari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja ber¬belanja beras, bumbu, teh dan beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu. Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, na¬mun masih nampak muda dan gagah pe¬nuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, walau¬pun ada bayangan kekhawatiran mem¬bayang di wajahnya yang tampan. Tentu saja pendekar ini merasa gelisah kalau mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu. Suara derap kaki kuda tunggal me¬mecahkan kesunyian pagi hari yang ten¬teram itu. Dua orang pendekar itu ter¬kejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke situ, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat. Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walaupun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung ke¬kuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar inipun me¬ninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudlan berlari mengejar. Tentu saja mereka tidak begitu khawatir karena isteri mereka bukanlah orang-orang le¬mah, apalagi yang datang berkunjung se¬cara mencurigakan ini hanya satu orang saja. Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, dia sudah berteriak dengan suara lantang. “Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!” Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi sudah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap¬-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ. “Siapakah engkau dan mau apa?” Yap Kun Liong berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pende¬kar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat. “Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan me¬ngejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini.” Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara meng¬ancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong. “Siapa engkau?” Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. “Nama saya Lie Tek.” jawabnya cepat. “Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya. “Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mere¬ka ketahui.” Cia Bun Houw melepaskan cengkeram¬annya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan selengkapnya tentang mereka yang meng¬aku mata-mata yang disebar oleh Pange¬ran Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pange¬ran yang tidak setuju dengan sikap kai¬sar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil me¬rayu kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan menumpasnya, diam-diam telah be¬runding dengan para menteri tua dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai ter¬dapat oleh para pengejarnya. “Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak berani secara berterang, kare¬na Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri.” Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat. “Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako,” kata Cia Bun Houw. Mata-mata itu menjura dan berkata, “Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!” Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang. Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu! *** Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya. Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu. Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak me¬ngenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agak¬nya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu. Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh ter¬besar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan! Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi ke¬marahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan me¬ngalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini? Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, “Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?” Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, “Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!” Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, “Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tentu kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu.” “Pangcu,” kata Hai-liong-ong Phang Tek. “Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban.” “Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?” bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya. “Heh-heh-heh!” Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. “Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!” “Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!” Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban. “Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!” kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu. Kim-liong-ong Phang Sun sudah me¬nerjang si muka bopeng Tong Siok. Ka¬kek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuh¬nya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan. Ciauw Si yang me¬nonton terkejut sekali karena dia me¬ngenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri me¬nangkis. “Ting-ting-cringgg...!” Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri. “Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!” Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!¬ “Ehhh... ehhhh...!” Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini. Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main. Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main ka¬rena dara cantik ini benar-benar me¬miliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia men-duga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali mem¬peroleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang memperguna¬kan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang ber¬gulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek¬-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya. Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya ter¬desak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. De¬ngan girang Hai-liong-ong menubruk de¬ngan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan. “Tranggg!” Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan mem¬balas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut. Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak! Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu. Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus, “Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!” Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut. “Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!” kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan. Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk men¬cari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat ber¬guru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetul¬an melihat perkelahian itu. Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan me¬mandang kepada Lie Ciauw Si yang ber¬diri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keri¬ngat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut melihat muncul¬nya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengena¬kan topi bulu indah dan berpakaian me¬wah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya ber¬debar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. “Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang.” “Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka.” kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini. Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat. “Benarkan ji-wi sengaja melaku¬kan pengacauan dan menentang bengcu?” “Sama sekali tidak, pangeran!” jawab Gu Kok Ban tegas. “Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka.” “Hemm, benarkah itu, Ji-lo?” bentak pangeran. “Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...” Hai-liong-ong mencoba untuk membantah. “Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?” “Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib...” “Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?” “Hamba... hamba mengerti!” jawab Hai-liong-ong. “Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!” Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu. “Juga kepada nona itu!” kata pula Han Houw. Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas. “Sekarang pergilah dan tunggu perin¬tahku,” kata Han How. Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh ma¬jikannya. Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pa¬ngeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, ber¬sikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini! Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban, “Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai.” “Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah me¬ngenalnya dan baru sekarang kami ber¬temu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya.” “Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pende¬kar wanita yang gagah perkasa dan budi¬man!” Han Houw memuji, sikapnya seper¬ti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, “Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?” Dengan jantung berdebar karena me¬rasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suara¬nya halus, “Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang men¬campuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi.” Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan¬ santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya. DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, “Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!” “Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap,” kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak. “Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku.” “Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sung¬kan? Setelah pertemuan yang amat ke¬betulan ini, agaknya kita telah ditakdir¬kan untuk menjadi sahabat, apalagi meng¬ingat bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan,” kata Han Houw. Ciauw Si tersenyum dan tidak mam¬pu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si. “Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku ada¬lah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!” Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu. Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya. “Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya,” kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar. “Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut,” jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bah¬wa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa. “Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk se¬orang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi.” Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja ba¬han percakapan bagi pangeran yang me¬mang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan tidak langsung, se¬olah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini me-nyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan se¬orang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya. “Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku,” katanya sambil ter¬senyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia “terpaksa” oleh keadaan itu, “akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!” “Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap,” kata Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena diapun sudah tahu bahwa pange¬ran ini memiliki kepandaian yang amat lihai. Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, ma¬nis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang! Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran itu, dan beberapa kali dia me¬rasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu de¬ngan pandang matanya. Juga sang pange¬ran merasa betapa gadis itu tidak meng¬elak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi. “Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutama¬kan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatih¬nya semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk me¬ngenal ilmu silatmu, nona!” Ini merupa¬kan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai. “Ah, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pa¬ngeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata akan mendatangkan malapetaka.” Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, “Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan telah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona.” “Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini ma¬kin menggembirakan,” kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja. Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, “Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi.” “Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona.” Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh per¬hatian, sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah me¬ngenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, me¬lanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu. “Mulailah, pangeran,” Ciauw Si ber¬kata setelah berhadapan dengan pangeran itu, memasang kuda-kuda dengan gagah¬nya dan tersenyum manis, matanya me¬nyambarkan kerling maut yang mem¬buat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh mengherankan memang kekuasa¬an cinta asmara. Sekali Ciauw Si ter¬pikat, secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria me¬ngeluarkan kata-kata yang sifatnya meng¬goda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sam¬bil tersenyum manis! “Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan,” Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandai¬an dara yang telah menjatuhkan hatinya ini. “Hiaattt...!” Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka. “Haaaiiitttt...!” Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger