naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 401-411

Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlalu besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu. “Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?” tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah sinar api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru. “Mudah saja, aku membeli dari seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh seperti tubuhmu.” “Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?” “Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok.” “Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?” tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. “Kaumaksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?” “Mengapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil...” “Ihh! Jangan ceriwis kau...!” Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar. “Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah...” “Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kaugugah aku, biar aku yang berganti menjaga dan engkau tidur.” Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah. “Kenapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!” “Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?” Sin Liong bertanya, bingung karena tidak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam. “Kau membiarkan aku tidur semalam dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?” Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku kejam dan kaumaafkan aku, Bi Cu.” Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan mememegang kedua tangan Sin Liong. “Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!” Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung dan dia hanya senyum-senyum gugup saja. “Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat.” “Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah kepada diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak dapat bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ah, kaumaafkan aku, Sin Liong.” Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! “Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku laki-laki.” “Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, kalau aku yang ber¬jaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, akan celakalah kita...” “Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tidak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja.” Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong. Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia menggenggamnya dan berbisik, “Jangan takut, ada aku di sini.” “Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!” Suara Bi Cu juga gemetar. “Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?” Ucapan ini seperti meniupkan api dalam semangat Bi Cu, membuat matanya bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Diapun menggenggam keras tangan pemuda itu dan diapun berkata, “Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersama¬mu Sin Liong!” Ucapan dalam saat yang berbahaya itu menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja dan keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya. “Kejar, cari dan tangkap mereka!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan. Suara teriakan itu menyadarkan me¬reka berdua dan Sin Liong cepat meng¬gandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. “Lihat, ke sanalah kita harus pergi!” Wajah Bi Cu berubah pucat. “Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sukar, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sinipun nampak jurang-jurang dalam!” “Justeru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Ke barat terus melalui dusun-dusun dan tanah datar, amat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, apa¬iagi mereka mengejar dengan berkuda.” Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah di¬lalui manusia. Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, “Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!” Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. “Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau mengambil jalan ini, Sin Liong?” “Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi.” Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam! “Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus menggedongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!” Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang me¬nyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah. “Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?” Terdengar bentakan dan ketika Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang yang berpakaian pang¬lima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat. “Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!” Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja. “Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!” katanya. Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik. “Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan.” Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya. Dara itu merangkul lehernya dari belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan secepatnya. Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yan¬g luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar! Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai daki puncak itu! “Wah, tidak ada jalan lari lagi!” katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. “Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kautunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu.” “Tapi... tapi... aku harus membantumu!” “Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian.” “Kalau kau kalah...?” Sin Liong menggerakkan pundak. “Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas...” “Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!” seru Bi Cu. “Aku tidak akan kalah, akan tetapi kaupenuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?” Sin Liong memegang kedua pundak dara itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidup¬nya dan dia meragu untuk dapat menang¬kan mereka berlima, ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya! Hal ini menimbulkan keharuan hatinya dan dia lalu menunduk den mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul den terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut. Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudah¬an mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali. Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga den memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda dan cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Setelah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu. Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak “melindungi” Sin Liong. Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa. “Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kausangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!” Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan. “Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?” Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani. Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh. Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi. “Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kaukuasai. Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah ke-turunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!” “MANUSIA she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!” terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma. “Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!” terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja. Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman. “Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!” panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula. Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai. Hati siapa tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan dan mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga amat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka! “Chan-ciangkun, kautangkap orang di belakang batu itu!” Han Houw berseru keras. “Baik, pangeran!” Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia girang menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa. Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia telah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apalagi kini dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati! Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung dan kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu? Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut lalu tertawa bergelak ketika mengenal gadis itu. “Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!” Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun lalu menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekaii, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu. “Kerbau bau, lepaskan aku!” bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar. “Plakk!” Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu. Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan main. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini! “Perempuan liar kau!” Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu! “Keparat!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar lagi, entah untuk memukul lagi atau menangkap. Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka diapun cepat menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya sehingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya. Namun Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang. “Krekk! Krekk!” Panglima Chan mengeluarkan rintihan bercampur teriakan kaget. Kedua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri. “Desss!” Tubuh perwira tinggi itu terpelanting dan terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu! Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada saat Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong! Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, telah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio telah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi. Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, sedangkan si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengandalkan gin-kangnya, meloncat tinggi dan menyerang dari atas menggunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam segebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat! Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam, sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya, membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong menggunakan kedua tangannya untuk mengangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali, dan selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking dan tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang se¬dang sibuk menghadapi serbuan tiga o¬rang lihai itu. Sekali ini Sin Liong men¬jadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di bela¬kangnya, hanya sejauh satu tombak, ada-lah jurang yang amat dalam. Maka ter¬paksa sekali dia menangkis lagi, berdiri dengan tegak dengan kedua kaki ter¬pentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang amat dah¬syat menyambar dari kedua telapak ta¬ngannya, menangkis semua serangan itu. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus tali¬nya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang di¬satukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang! “Sin Liong, aku ikut...!” Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan menggunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong. “Bi Cu...!” Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya. Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka ber¬dua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil meman¬dang langit. “Ha-ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, akulah sekarang Pende¬kar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lem¬bah Naga!” Dia menepuk-nepuk dada sendiri sambil tertawa-tawa. Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Biarpun dia seorang pangeran, na¬mun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apalagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi! Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu berahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu! *** “Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis.” Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu. Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. “Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko...” Dia terisak-isak. “Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko...” “Sudahlah, Eng-moi, berapa kali eng¬kau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka.” Sun Eng merangkul dan mereka be¬rangkulan. Lie Seng menciumi wajah ke¬kasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya de¬ngan penuh kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bo¬san untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam. “Hanya maut yang akan dapat me¬misahkan kita, Eng-moi!” Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. “Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku...” “Sudahlah, Eng-moi, jangan merendah¬kan diri sendiri.” “Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak me¬lakukan sesuatu untukmu, untuk keluarga¬mu, bukan untuk mengangkat diri, me¬lainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku...” Lie Seng mengecup bibir itu dan ber¬tanya dengan suara main-main, “Habis, apa yang akan kaulakukan, sayang?” “Entahlah, koko, entahlah. Akan te¬tapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!” Wani¬ta yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng. Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan. “Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?” ter¬dengar Sun Eng bertanya halus. “Kita akan ke Yen-tai!” “Yen-tai di timur itu, di pantai?” “Benar, Eng-moi, kita ke sana.” “Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?” “Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suami¬nya di sana. Suaminya seorang peng¬usaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa mendapatkan pekerjaan di sana.” Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa ¬sucinya itu. “Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan.” Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw ¬dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andaikata tidak tentu diapun akan termasuk “keluarga besar” dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau ¬pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri. Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali kedatangan sutenya. Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri? “Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?” ketika mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir. Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya! “Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping...” “Ehhh...?” Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara. “Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?” “Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... eh, ada apakah?” Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak. “Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute,” kata Mei Lan. “Mereka sekarang telah pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu.” Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya. “Mereka diserbu musuh? Ah, lalu... mereka kini berada di mana?” “Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang.” Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal. “Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!” katanya. Diam-diam Sun Eng merasa geli¬sah sekali dan juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia! “Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercaya¬an suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok sucimu ini?” Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini. “Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku.” Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. “Sute, apakah yang telah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!” Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, “Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu...” “Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar),” Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, “Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng.” Sun Eng bales memandangg kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, “Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam.” Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu den masuk ke dalam kamar Mei Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa den berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka. “Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami.” Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata “menggoda” itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri. “Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kauperlukan, dan untuk engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin.” Lie Seng menarik napas panjang. “Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak, bagi kami sama saja!” Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat. Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam. “Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan demikianlah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan enci nasib Lie-koko...” Dan menangislah Sun Eng. Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhunya sendiri? Akan tetapi, kalau mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang. “Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut. Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemu¬dian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi. Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan se¬nang hati mau menolong sutenya dan dia setuju sepenuhnya kalau suaminya mem¬beri pekerjaan yang layak kepada sute¬nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu. “Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kaumaafkanlah kami berdua, sute.” Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng. Penyambutan yang amat baik ini ma¬kin mengharukan hati Sun Eng. Dia me¬rasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarga¬nya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar¬pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh de¬ngan kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri! Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang sudah lalu, menim¬bulkan penyesalan, rasa takut, dan se¬bagainya. Bahkan telah kita terima se¬bagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan per¬buatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan te-tapi, benarkah ini? Beharkah bahwa pe¬nyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang? Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasa¬nya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sen¬diri, penyesalanpun akan makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, se¬telah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu me¬mentingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk pe¬rut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demi-kianlah! Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala ma¬cam kesenangan yang memiliki muka gan¬da sehingga senang dan susah tak terpisah¬kan, lalu timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena aki¬bat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan ke¬senangan itu! Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran. Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuat¬an itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang me-lenyapkan kesesatan-kesesatan itu! Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini ha¬ruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan. *** Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan. Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampah dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan. “Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya,” bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya. Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk. Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak¬lah curiga seperti isterinya dan menyam¬but kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan. “Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang dari mana dan hendak mencari siapa?” tegur Souw Kwi Beng dengan si¬kap ramah. Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan si¬nar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Sepasang mata yang men-corong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum¬ saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, akan tetapi pandang mata ini aneh se¬kali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, se¬olah-olah sinar mata itu menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya! Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melain¬kan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, lalu terdengar dia bertanya de¬ngan suara langsung dan lantang, se¬dikitpun tidak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang tidak pernah dikenalnya, “Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?” Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, melainkan merah karena marah. “Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!” Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal. “Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?” Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu. “Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?” Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya. Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. “Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku.” Makin kaget kedua orang suami isteri itu. “Siapakah engkau manusia sombong?” Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan lebih dulu sebagai sandera dan baru setelah keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi.” Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia sudah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. “Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apapun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Ke tiga, andaikata benar engkau pangeran, akupun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!” “Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apalagi terhadap wanita secantik engkau...” “Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!” Yap Mei Lan sudah membentak dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil namun yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu. “Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” kata Han Houw yang memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini hebat sekali, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak amat cepatnya, kadang-kadang berputar seperti gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seolah-olah telah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan! “Bagus sekali...!” Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis. Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama! Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan memiliki dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Dan di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, diapun mewarisi khi-kang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan. Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat! Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggauta keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, maka biarpun kini yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tidak berani memandang ringan. Maka diapun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya. Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan diapun lebih banyak bertahan daripada menyerang, karena dia ingin sekali melihat lawannya ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera. Melihat betapa isterinya agaknya belum juga mampu mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain. Maka dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang-sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan kadang-kadang menyelingi dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya. “Hemm, bagus!” Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira. Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan maupun tenaganya, namun memiliki ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang telah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main. Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya. Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu dipergunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang. “Plak-plak-plakkk!” Han Houw terhuyung dan biarpun dia berhasil menangkis, namun serangan itu amat hebatnya, membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit dan cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh. “Ha-ha-ha!” Han Houw tertawa dan diapun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi. Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut dan terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu. “Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikkanmu tentu aku akan bersikap manis kepadamu.” Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. “Manusia busuk!” bentaknya dan diapun sudah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, “Manusia dari mana berani mengacau di sini?” Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw. “Ehh!” Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat dan menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyapok dan ketika kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau tidak segera disambar lengannya oleh Mei Lan. Lie Seng terkejut sekali melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi dan betapa mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apalagi dia melihat sendiri betapi sucinya dan suami sucinya tidak mampu mengalahkannya. “Pengacau, siapakah engkau?” bentaknya. “Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk menangkap aku katanya!” kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi, hatinya besar dengan munculnya sutenya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Kalau sutenya ikut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini. Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si pernah menyebut-nyebut pangeran ini, bahkan menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu mampu mengundurkan pasukan pemerintah! “Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?” tanyanya meragu. “Benar, dan siapakah engkau, ke¬pandaianmu boleh juga.” Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, sebaliknya dia malah menegur, “Kalau begitu, mengapa engkau hendak menang¬kap suciku ini? Apa salahnya?” “Ha-ha, agaknya orang-orang Cin-¬ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah.” “Hemm, mana aturan demikian? Kalau memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menang¬kapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru di¬tuduh saja pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andaikata be¬nar mereka melakukan hal-hal yang di¬anggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Kalau hendak me¬nangkap, harus ada surat kuasa atau su¬rat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap!” Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum dan meragu. “Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?” “Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw itu seorang yang baik dan gagah, akan tetapi kalau benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!” Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tidak akan membangkang lagi karena akupun tidak ingin menggunakan kekerasan!” Setelah berkata demikian, dia menjura dan mem¬balikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu. Para tetangga yang berkerumun di depan, melihat perkelahian itupun lalu bubar karena mereka tidak berani men¬campuri. “Mari kita bicara di dalam!” kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung ke¬sungguhan dan diliputi kegelisahan. Setelah tiba di ruangan dalam, me¬reka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. “Pa¬ngeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sen¬diri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!” Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci¬nya itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu mengalahkan pangeran ini! “Bagaimanapun juga, kita akan me¬lawannya, suci! Biarlah aku akan mem¬bantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak berlagak!” kata Lie Seng, masih merasa terkejut. Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.” Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir. “Jadi, bagaimana sekarang baiknya?” tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri. Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada di situ bersama sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada. “Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...” katanya terengah. “Aku... aku mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini...” Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja. “Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah.” Lalu dengan singkat dia menceritakan tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak. Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, “Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?” “Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya.” “Ohhh...?” Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. “Habis, bagaimana baiknya?” “Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi,” jawab Lie Seng. Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka merasa tegang dan khawatir. “Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus melarikan diri?” akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran. “Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pe¬merintah, tidak ada jalan lain...” kata suaminya. “Tapi, engkau sudah begitu royal de¬ngan hadiah-hadiahmu kepada boleh di¬bilang semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kauberikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!” isterinya mencela. Souw Kwi Beng menarik napas pan¬jang. “Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Ten¬tu kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat di sini tentu tidak dapat menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan...” Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai. “Saya tidak dapat bicara banyak dan lama,” kata orang itu setelah dipersila¬kan duduk. “Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pe¬megang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!” Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang. “Nah, tidak urung begini jadinya,” kata Souw Kwi Beng, “itulah jalan satu-satunya. Isteriku, ce¬patlah berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan.” Yap Mei Lan nampak gelisah. “Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?” “Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pe¬merintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku...” “Mari kalian ikut saja bersama kami!” kata Souw Kwi Beng. Lie Seng menggeleng kepala. “Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kitapun akan segera pergi hari ini juga.” Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya berpelukan dan menangis. “Enci, hati-hatilah di jalan...” Sun Eng berkata. “Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal...” Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamamya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan terharu hatinya. Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang untuk mengatur perusahaannya. Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam. Teringatlah dia kepada Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja. Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng! Kanda Lie Seng tercinta. Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku se-lamanya cinta padamu dan kenekat¬anku sekali inipun karena cintaku kepadamu. Yang mencinta selamanya, Sun Eng "ENG-MOI...!" Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu? Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti. Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik. Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ah, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu? "Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya! Tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja? Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya. Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa! Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selatu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri! Demikianlah, dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng sehingga pria inipun sampai tidak memperdulikan lagi semua benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apapun! Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudah dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan. Pangeran Ceng Han Houw menjadi kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tidak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin agar terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana diapun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana. Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke utara karena dia hendak kembali ke kota raja. Akan tetapi dua hari kemudian, ketika kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Kusir kereta tentu saja menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apalagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek sehingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu dan dia sudah meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup akan tetapi keadaannya memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan. Han Houw membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Ketika tubuh itu membalik, dia terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus sekali dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut dan lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah. Usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakalan yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak! Cepat Han Houw meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengeta¬huannya yang cukup tentang keadaan tu¬buh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya amat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itupun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mu¬lut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itupun amat indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam. Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, “Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati...” “Hemm, engkau masih muda dan can¬tik, kenapa ingin mati, nona?” Wanita muda itu menangis sesenggukkan. “...lebih baik mati daripada hidup merana... aku akan tersiksa...” “Hemm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekalipun takkan berani meng-ganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut bersamaku, nona.” Wanita itu bangkit duduk dengan le¬mah, matanya yang seperti hendak ter¬pejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. “Kau... kau... siapakah...?” Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. “Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!” “Aduhh...! Ampunkan hamba...!” Wanita itu cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw. “Siapa namamu?” “Hamba... hamba she Sun bernama Eng...” Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah. “Maukah engkau ikut ber¬samaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?” Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger