naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

petualang asmara 2

Kun Liong sudah melupakan pertemuan dan percakapan dengan pencari kayu tadi. Hari terlampau cerah, hutan terlampau indah untuk diganggu kenangan peristiwa yang tidak ada artinya itu. Cahaya matahari pagi yang keemasan, dengan garis-garis putih yang hidup dan mengandung kehidupan karena di dalamnya tampak jutaan benda kecil yang bergerak-gerak, berselang-seling dengan pohon-pohon besar kecil dengan dahan dan cabangnya yang mencuat ke sana sini dengan bebas. Indah bukan main! Dia sudah tahu bahwa tidak jauh dari situ, tepat di tengah-tengah hutan, di bagian yang agak tinggi merupakan anak bukit, di sana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak berpenghuni lagi. Sudah beberapa kali dia bermain-main di kuil itu, dan ke sanalah sekarang dia menuju. Ada serumpun bambu kuning berbelang-belang hijau di belakang kuil tua itu dan dia ingin mengambil sebatang bambu yang indah itu. Menurut kata ayahnya, bambu itu adalah sejenis bambu ular yang kuat dan tebal, lubangnya hanya kecil saja dan bambu itu sendiri, yang sudah tua, kulitnya mengkilap dan besarnya sama dengan lengannya. Hatinya yang gembira itu berubah ketika ia tiba di depan kuil tua karena dia mendengar suara hiruk-pikuk dari dalam kuil! Kun Liong teringat akan cerita Si Tukang Mencari Kayu, maka dia cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon depan kuil sambil mengintai. Terdengar olehnya suara bentakan-bentakan seperti orang bersilat dan bertempur, kemudian disusul suara teriakan-teriakan mengerikan dan dari pintu kecil yang tak berdaun lagi, yang terbuka menganga, tampak tubuh dua orang terlempar dan terbanting ke atas tanah depan kuil itu. Lemparan itu kuat sekali sehigga dua batang tubuh manusia itu bergulingan dan akhirnya terhenti tak jauh dari tempat Kun Liong bersembunyi, tidak bergerak-gerak lagi. Kun Liong dari tempat sembunyiannya memandang dengan mata terbelalak. Dia sering mengikuti ayah dan ibunya mengobati orang sakit, dan sering pula melihat orang mati. Kini, melihat letak tangan, kaki, kepala dua orang laki-laki setengah tua yang terlempar tadi, tahulah dia bahwa mereka berdua itu sudah tak bernyawa lagi! Kun Liong tidak takut atau ngeri melihat orang mati, akan tetapi dia merasa penasaran sekali. Siapakah yang begitu kejam membunuh orang begitu saja di pagi hari seindah itu? Pembunuh yang amat kejam, hal ini dia ketahui dengan mendekati dan memeriksa dua mayat itu yang ternyata tewas dengan mata mendelik dan di dahi mereka tampak bekas jari tangan berwarna putih! Biarpun pelajaran ilmu silatnya belum setinggi itu, sebagai putera suami isteri pendekar, Kun Liong dapat menduga bahwa pembunuh kedua orang ini mempunyai ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Tiba-tiba dia mendengar sesuatu dan cepat menyelinap kembali, bersembunyi di dalam semak-semak. Kiranya suara itu adalah suara tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, bertopi caping lebar dan berjalan menuju kuil dengan cepat sekali. Mereka berhenti di dekat mayat dua orang itu, memandang sebentar kemudian seorang di antara mereka berkata perlahan, “Si Iblis itu benar-benar berada di dalam kuil.” Dua orang temannya mengangguk dan tangan mereka bertiga meraba-raba gagang pedang, kemudian ketiganya dengan gerakan cepat dan ringan lari memasuki kuil tua. Kun Liong tertarik sekali menyaksikan apa yang akan terjadi di dalam kuil. Akan tetapi, untuk mengikuti mereka tadi begitu saja, dia tidak berani karena dia mengerti bahwa akan terjadi hal-hal yang hebat. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Dengan menyelinap di antara semak-semak dan pohon-pohon, dia mengambil jalan memutar, menuju ke belakang kuil. Tembok belakang yang melingkari kuil tua itu sudah ambruk, maka bagian belakang kuil itu tampak jelas. Kun Liong sudah sering mengunjungi tempat ini maka dia hafal betul. Dengan hati-hati akhirnya dia dapat bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning. Kini bambu-bambu kuning yang sudah banyak yang tua dan mengkilap itu tidak diperhatikannya lagi karena perhatiannya tercurah ke sebelah belakang kuil dan dia memandang dengan jantung berdebar tegang. Kiranya tiga orang tadi sudah berada di halaman belakang kuil, berdiri dengan sikap tegak dan bersiap-siap menghadapi seorang kakek yang aneh! Kun Liong dari balik daun-daun dan batang-batang bambu kuning, mengintai penuh perhatian. Kebetulan sekali kakek aneh itu tidak membelakanginya benar duduknya sehingga dia dapat melihat muka kakek itu dari samping. Dia seorang kakek yang berpakaian serba putih, hanya merupakan kain panjang membelit-belit tubuhnya yang tinggi kurus. Rambutnya sudah berwarna dua, digelung ke atas model sanggul para tosu (pendeta beragama To), kedua kakinya memakai kaus kaki dan sandal pendeta. Tosu yang usianya tentu tidak kurang dari enam puluh tahun ini duduk bersila di atas sebuah benda yang aneh. Benda itu berbentuk bunga teratai, berwarna putih. Bunga logam putih yang terletak di tengah halaman dan di sekeliling kakek itu tampak goresan di atas tanah yang bergaris tengah tiga meter lebih. Agaknya kedatangan tiga orang petani bertopi caping lebar itu tidak dipedulikan tosu yang duduk bersila sambil memejamkan mata memangku sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira tiga kaki. “Totiang, harap maafkan kalau kami datang mengganggu totiang yang sedang beristirahat dalam kuil tua ini.” Seorang di antara tiga orang petani itu, yang memelihara cambang melintang di bawah hidung, menjura sambil mengeluarkan kata-kata yang nadanya sopan menghormat itu. Tosu tua itu membuka kedua matanya dan terkejutlah tiga orang itu melihat betapa mata tosu itu hampir tidak tampak hitamnya. Mata seorang buta, atau setidaknya tentu lamur! “Siancai…! Sam-wi ada keperluan apakah?” “Kami kebetulan lewat di dalam hutan dan di depan kuil kami melihat dua orang yang telah menjadi mayat. Setelah itu kami telah mendengar di kota bahwa sepekan yang lalu, di dalam hutan pohon pek di selatan kota, juga terdapat mayat lima orang dengan ciri yang sama, yaitu dahi mayat-mayat itu terdapat tanda tapak jari tangan putih. Totiang yang berada di dalam kuil ini tentu mengetahui sebab kematian dua orang di luar kuil itu. Maukah totiang memberitahukan kepada kami?” Sejenak kakek itu hanya memandang ketiga orang tadi penuh perhatian, seolah-olah kedua matanya dapat melihat dengan jelas. Biarpun tiga orang itu merasa yakin benar bahwa dua buah mata yang maniknya yang sudah menjadi putih itu tidak dapat melihat dengan baik, mereka merasa tidak enak dan diam-diam bulu tengkuk mereka meremang ketika sepasang mata itu ditujukan kepada mereka sampai lama tidak pernah berkejap! Kemudian, sepasang mata itu dipejamkan, kakek itu lalu membuka mulutnya dan bernyanyi! “Bunga suci, Teratai Putih di tengah lumpur, tetap bersih, Siapa saja hendak mengotori berarti mencari mati sandiri! Jika ada yang melanggar garis lingkaran pemisah dia akan menjadi korban Pek-tok-ci yang sakti!” Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka memandang ke arah garis lingkaran yang melingkari tempat duduk aneh kakek itu. Si Cambang Melintang melangkah maju selangkah, di luar garis lingkaran dan dia membentak sambil mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang kawannya. “Tosu Pek-lian-kauw, kami telah mengenal engkau! Menyerahlah, kami adalah petugas-petugas pemerintah yang bertugas menangkap Loan Khi Tosu tokoh Pek-lian-kauw!” Tosu lamur (setengah buta) itu kembali membuka matanya dan tersenyum “Kiranya tiga ekor anjing pemerintah! Pinto (aku) memang Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw. Habis kalian mau apa! Pinto tetap takkan mengganggu kalian asalkan tidak melanggar garis lingkaran. Hal ini sudah menjadi pegangan pinto!” Setelah berkata dernikian, kakek itu mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya pada bunga teratai putih dari logam yang didudukinya. Terdengar bunyi nyaring berirama kemudian bunyi ketukan itu dijadikan irama mengikuti nyanyian kembali dinyanyikan oleh Si Kakek yang aneh. Akan tetapi berbeda dengan tadi, suara yang menyanyikan lagu ini terdengar menggetar dan melengking menusuk telinga! “Tahu akan kebodoban sendiri adalah waspada, tidak tahu mengaku tahu adalah sebuah penyakit, yang mengenal kenyataan ini berarti sehat! Sang Bijaksana berpikiran sehat melihat penyelewengan seperti apa adanya karenanya takkan pernah sakit. Siancai...!” Kun Liong yang bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning, terkejut bukan main ketika mendengar suara nyanyian itu. Dia mengenal kata-kata nyanyian itu sebagai ujar-ujar dalam kitab To-tik-khing yang banyak berubah, akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya itulah! Suara itu amat tidak enak bagi telinganya, melengking tinggi rendah dan seolah-olah kedua telinganya ditusuk-tusuk jarum! Yang lebih hebat lagi, tiga orang yang sudah mencabut pedang itu, kini berdiri terhuyung-huyung, tidak dapat berdiri tegak dan mereka itu kelihatan ragu-ragu untuk menyerang karena muka mereka pucat sekali dan tubuh mereka agak menggigil! Kakek itu mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas bukan orang baik, pikirnya dan karena diapun tidak akan mampu berbuat sesuatu, untuk mengganggu kakek itu diapun lalu membarengi kakek itu, bahkan mendahuluinya sedikit, bernyanyi. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah lagu pengemis tadi. Maka terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini. “Langit di atas bumi di bawah tahu akan kebodohan sendiri mengapit ketidakadilan adalah waspada! perut lapar minta makan tidak tahu mengaku tahu minta kepada siapa adalah sebuah penyakit! ayah sendiri pun belum makan yang mengenal kenyataan ini semua kelaparan berarti sehat.” Baru sampai di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itupun sudah menerjang maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan tubuh mereka tidak lagi pucat seperti tadi. Tanpa disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah itu. Mereka sebetulnya adalah perwira-perwira petugas keamanan yang melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika tosu tadi bernyanyi, dia mempergunakan khi-kang mengerahkan sin-kangnya dan suaranya itu merupakan serangan yang amat hebat. Bagi orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia dapat mempergunakan suara untuk mencelakakan lawan, seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi. Suara dapat menyerang melalui pendengaran, mengusik hati mengacau pikiran dan menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan membunuhnya tanpa turun tangan! Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih bebas, atau setidaknya belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia dewasa, biarpun suara itu amat tidak enak didengarnya, namun Kun Liong tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar sebagai petani-petani itu. Kemudian tanpa disengajanya, hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khi-kang dalam nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya sendiri! Hal ini membuat tiga orang tadi pulih kembali keadaannya dan mereka lalu menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger