naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

pdk sadis 9

Han Tiong tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka.” “Mengasihani orang jahat?” “Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit...” “Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?” Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat. “Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?” “Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat.” Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja, pada tujuh tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun. “Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun,” demikianlah pesan Cia Sin Liong. “Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.” Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar. Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri. Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampni ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa. Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang. Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah. Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dlhadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan. Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya, tidak suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati. Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk “menghukum” ayahnya sebagai pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya. Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali. “Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya. “Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin. “Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan pakaian, baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu benar dan tepat. Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka, dia tidak akan menang melawan kakaknya. Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya. Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu. Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap. Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng. Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu. Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seerang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali. Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali! Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah. Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk. “Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?” tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat. Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar. “Sampaikan ini kepada pengurus restoran!” Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini. “Hei, pelayan!” Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat. “Kongcu memanggil saya?” tanyanya. “Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman.” kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng. Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan. Pada saat itu, semua tamu yang berada di loteng itu, tidak kurang dari sepuluh orang banyaknya, semua pria, menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik, Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, selain cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihias dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya. Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lalu berlari kecil menghampiri lalu menjura dengan lemah lembut dan manis gayanya. “Ah, maafkan kalau saya terlambat, kongcu.” katanya dan dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. “Kalian tunggu saja di bawah,” kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya. “Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, wajar bagi seorahg wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias.” “Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya tidak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Eh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu...!” Pemuda itu hanya tersenyum. “Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu.” Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis. “Kongcu aneh, kenapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?” “Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini...” Mereka lalu bicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi “tamu” atau sahabat dari pemuda yang mewah itu. THIAN SIN dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen! Han Tiong sudah tidak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat dia memandang, pemuda itu tersenyum lebar dan mengangguk sedikit. Menyaksikan keramahan ini, mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu diapun memutar leher dan menghadapi kakaknya. Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari situ muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki terisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan dan diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang laki-laki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua. Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka ketika para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka dan mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka. “Hei, apa artinya ini?” Thian Sin berseru. “Maaf, kalian tentu telah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain.” kata Han Tiong sambil bangkit berdiri. Pengurus restoran itu menjura dan mulutnya menjadi semakin lebar seperti robek. “Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!” “Tapi... tapi... kami tidak mengenal dia,” kata Han Tiong. Pengurus restoran itu masih tetap tersenyum. “Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal amat royal, membagi uang seperti pasir saja.” Setelah mengangguk dan membungkuk, pengurus restoran itupun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan. Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, kemudian keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih nampak mengobrol dengan wanita cantik tadi, seolah-olah tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, diapun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah. “Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!” kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar. “Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya.” “Tapi... tapi kami tidak mengenal Anda...” “Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian, akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini dan akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi.” Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang sejak tadi mendengarkan saja kini berkata. “Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona...” Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum dan mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong. “Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?” Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri. Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai ketika membungkuk. “Ahhh, saya merasa amat terhormat sekali...” katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam. Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan penawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang begitu memikat sikapnya, sikap genit sungguhpun kegenitan ith halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar. Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan sungkan. Baik Han Tiong maupun Thian Sin bukan peminum arak dan biarpun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena orang itu sebagai fihak tuan rumah sudah menuangkan arak, terpaksa mereka mengangkat cawan dan meminumnya ketika Wi Hong berkata. “Silakan minum demi persahabatan kita!” “Saya telah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Maka saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.” Biarpun mereka belum berpengalaman, namun istilah “kembang daerah hiburan” itu mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentu pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan duduk semeja dengan seorang pelacur! “Nama saya Thian Sin,” kata Thian Sin dengan cepat. “Aih she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!” kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han Tiong. “Dan Anda?” “Saya bernama Cia Han Tiong,” jawabnya sederhana. “She Cia? Ah, kalau Cia cukup banyak, bahkan terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini keluarga Cin-ling-pai? Aha, tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?” “Kami berdua adalah kakak dan adik angkat.” kata Han Tiong cepat, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja dan dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi. Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya dan berkata, “Terima kasih... tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja.” “Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan.” Wi Hong ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang bercakap-cakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan saja. “Saya sendiri bukan orang kota raja,” antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya, “saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering pesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah, juga mempunyai sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara...” “Kami datang dari dusun, di utara kota raja...” “Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian, saya mempunyai kenalan baik yang duduk sebagai anggauta panitia ujian...” “Ah, sama sekali bukan!” kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian siucai (sasterawan)! “Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini.” “Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging dan sayurnya. Mari, jangan malu-malu!” Wanita itu dengan gaya memikat lalu menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur dan diletakkan ke dalam mangkok Thian Sin dan Han Tiong. Dua orang muda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa. “Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi, para pangeranpun merindukannya dan sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru turun dari sorga!” “Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, bisa remuk aku!” kata wanita itu sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah. Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena wanita itu ternyata selain ramah, juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lain dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati! Tiba-tiba semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng. “Tidak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!” Terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan. Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat. “Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!” katanya kepada Siangkoan Wi Hong. “Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa,” kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga. Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apalagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga agar jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka telah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walaupun mereka merasa tidak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja! Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru, tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini. Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton. “Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!” Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan. “Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat...” Wanita itu coba untuk memberi alasan. “Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!” “Siauwya, harap maafkan aku...” Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. “Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya...” “Apa! Kaukira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kaukira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti? Kalau tidak...” Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu. “Brakkki!” Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong. Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong. “Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!” bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu. “Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwapun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuroh keluar dengaw paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!” Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi “tring” sebagai penutup kata-katanya tadi. Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. “Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?” “Tringg...!” Yang-kim itu disentil kembali. “Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu...” “Tranggg...” “Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!” “Cringgg...!” Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu. “Bocah kepar... anghhh...!” Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya. “Aahhh... aukkk... kekkk...!” Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat. “Blukk!” Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dari mengelinding di atas lantai. “Hajar dia! Hantam dia...!” Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu. “Plok! Plok!” Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan daging itu tiduk masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap! “Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?” Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu. “Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!” Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu. Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa terhina dan malu sekali. Sing! Sing! Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua prang kakak beradik ini tadi telah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu! “Ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat! Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu. Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu! Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka, wajah mereka pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara “krek-krek-krek!” dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka! Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. “Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!” “Tring! Trang!” Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan. Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya. “Mari pergi!” Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. “Mengapa kalian tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat keperglan kalian.” Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi dari restoran itu. Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. “Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran kami...” “Aih, engkau ini kenapa sih?” Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya. “Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar” “Hemmm, aku tidak takut.” “Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah, tolonglah, kongcu!” “Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?” “Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar.” “Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?” “Benar, kongcu.” “Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dun daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!” katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu menyambutnya dengan sorak gembira. “Siang Hwa, mari bernyanyilah!” Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu. Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali dan terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa sulingnya, tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu. “Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?” pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan. “Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian,” Dan sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga! “Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka masih belum berpengalaman dan muda belia namun demikian tenang dan gagah perkasa pasti bukan anak burung biasa belaka setidaknya tentu anak burung garuda!” Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata amat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu terisi pujian bagi mereka berdua, namun sekaligus seperti telah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya. Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, mendengar nyanyian ini, timbul kegembiraan hatinya. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan diapun merupakan seorang yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, maka dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap yang menggembirakan dari Siangkoan Wi Hong itu. Bagaikan tak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian sederhana saja sehingga mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari suara Siangkoan Wi Hong tadi! Lemah lembut, ramah dan baik budi sebagai sahabat yang menarik hati dengan sumpit menyuguhkan hidangan berarti dengan sumpit pandai membela diri dengan yak-kim pandai menghibur hati membuat sajak dan bernyanyi memuji sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai!” Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, “Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!” Dan diapun minum arak secawan itu. Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberantannya dan tak lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali. Suasana di loteng restoran itu menjadi gembira karena para tamu yang diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, kini disuguhi nyanyian merdu lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena merekapun sudah mulai mabuk. Hanya Han Tiong yang nampak tenang dan serius, sungguhpun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Namun, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat tajam penuh selidik dan diapun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan indah sekali. Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan “dunianya” karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguhpun adiknya itupun, seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk. Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di tepi loteng dan menjenguk ke bawah menjadi pucat. Biarpun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi. “Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!” “Mungkin dibunuh!” “Dituduh pemberontak!” Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang, “Saudara-saudara semua, duduklah di tempat masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, karena akulah yang bertanggung jawab. Jangah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada di antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi...” “Aku... aku tidak sanggup... kongcu...” Siang Hwa menggeleng kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya dipasang baik-baik mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng. “Siangkoan-twako, biarlah aku yang bernyanyi,” tiba-tiba Thian Sin berkata. “Bagus!” Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira. “Kaisar dan para pembesar berpesta-pora dalam kemewahan gedung istana siapa berani mengganggunya? Kita rakyat biasa dengan hidangan seadanya bergembira ria apa salahnya? Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentera yang katanya pelindung rakyat jelata Hayaaaaa...!” Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya memakai pakaian seragam dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. “Jangan bergerak semua yang berada di loteng!” komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. “Siapakah di antara kalian yang telah berani memukul Ji-siauwya?” Sepasang mata komandan itu dengan tajam menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus. Sunyi di tempat itu setelah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab, “Akulah orangnya!” Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya. Tangan kanannya sudah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya sudah maju, siap membantu komandan mereka kalau dipertntahkan. “Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau kepadaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, lupakah engkau?” Sementara mata yang tadinya marah itu makin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat setelah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura. “Ah, kiranya Siangkoan-kongcu! Ah, maaf... akan tetapi mengapa kongcu...” “Hemm, puteramu yang tak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya.” Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan keren. Tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang tadinya keren memerintah itu kini berubah penuh permohonan. “Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami... kongcu tolonglah putera kami itu...” “Hemm, kalau aku tidak mengampuni mereka, apakah kaukira mereka itu sekarang masih hidup?” kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu. “Kongcu, sudah kuperiksakan tabib istana... katanya tidak ada harapan... keracunan hebat, tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja...” Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. “Kalau sudah tahu puteranya hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?” Dia membentak. Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan. Siangkoan Wi Hong mengangguk. “Baikiah!” Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring bunyinya ke atas meja. “Siang Hwa, kaubayar semua hidangan, dan sisanya untukmu.” Wanita itu mengambil kantung uang dan menjura. “Terima kasih, kongcu.” katanya dengan suara merdu. “Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula.” Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak sembarangan, sambil mengangguk dengan senyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandangnya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya seperti seorang perajurit memanggul tombak, dan jari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring. Tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang amat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan memiliki hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja. Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu bahkan seminggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan. Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta. Han Tiong mengajak adiknya meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu. “Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!” “Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main.” “Ehh...?” Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. “Kejam? Justeru sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong...” “Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan membuat kita kehilangan kewaspadaan. Kalau engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanya baiknya saja, sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Sebaliknya, kalau kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?” Thian Sin mencoba membantahnya, “Tapi... mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-weriang. Si Bopeng itu sombong sekali, dan dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah layak dipukul!” “Hemm, dan layak dibunuh pula?” Thian Sin tidak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak ada terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapapun juga, dia tetap membela, “Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andaikata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?” “Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andaikata terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya.” “Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!” “Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, betapapun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sin-kang yang kuat, dan agaknya kita masih akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!” “Ah, kita menolong orang jahat itu?” “Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger