naruto
naruto
Sabtu, 01 Desember 2012
asmara 15
“Byuuurrr...!” Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu.
“Isteriku…! Di mana engkau…? Apa yang telah kaulakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku… aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku…!” Dan Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.
“Byuuur…!” Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang! Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia tidak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.
Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu, membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak bergerak-gerak lagi, setengah tidur setengah pingsan!
Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya! Benarkah untuk menyelamatkan suaminya? Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Gui-kauwsu membela isterinya mati-matian terhadap penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya diperkosa siucai itu, timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya. Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang nekat pula terjun dan mengaku cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan isteri kauwsu itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.
Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan diri tanpa pamrih itu. Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Adakah cinta mendatangkan derita? Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia, berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan. Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Kalau sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi!
Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari telah naik tinggi, Kun Liong bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah.
Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya. Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang mengembung besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!
Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu!
Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus sungai yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Seorang diri saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini. Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya. Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhimya dia tiba di darat yang berbatu-batu.
Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar sekali, dikelilingi batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu. Ketika dia meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapapun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!
Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini. Mudah mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apalagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan dapat melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan mengingat tempat persembunyian bokor emas!
Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi? Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia ini, namun mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam? Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya.
Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai. Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan di pinggangnya tergantung ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok.
“Benarkah dia lewat di sini?” tanya Si Brewok kepada yang termuda.
“Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa buntalan yang berat.” kata yang muda.
“Seorang tosu mempunyai apa sih?” tanya Si Tinggi Besar.
“Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!” Si Brewok menegur. “Kita sedang menanti datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan.”
“Masa seorang tosu?”
“Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?” kata yang muda. “Nah, itu dia...!” sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon.
Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, di punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.
Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!
“Mengerti akan orang lain adalah bijaksana
mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!”
Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.
“Siancai…, Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto (saya)?” Tosu itu bertanya setelah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan.
“Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!” Si Brewok membentak.
“Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapapun juga, apalagi kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal...”
“Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!” Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa.
“Aihhhh...” Tosu itu menggeleng kepala. “Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!”
Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, “Totiang tentu akan dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami.”
“Apa? Pinto tidak mengerti...”
Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun.
“Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!”
Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu. “Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?”
“Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?” bentak Si Brewok heran.
“Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!” kata temannya yang muda.
“Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?” kata yang tinggi besar.
“Tangkap saja mereka berdua!” Si Brewok membentak. “Hayo kalian ikut bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?” Dia sudah melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah melolos pedangnya ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.
Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil tersenyum. “Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku.”
Kun Liong menggeleng kepala. “Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang.”
“Hayo jalan, jangan banyak mengobrol” Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata,
“Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa ditodong-todong?” Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah, sudah membuat gerakan hendak menyerang. Akan tetapi Si Brewok membentak dan melarangnya. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak dari situ.
Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong. “Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja.”
Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap. Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada lain orang dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya? Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya!
“Tidak mungkin!” Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.
“Apa yang tidak mungkin?” Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.
Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan dan akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing, tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak. Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat. Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga! Ketika dua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lain berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan golok.
Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan, “Siancai… tempat apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto menjadi tangkapan pasukan asing?”
“Jangan bicara ngawur, Totiang!” Si Brewok membentak. “Engkau menjadi tamu dari Ui-hong-pang!”
“Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?” Kakek itu membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!
“Kita ini mau diapakan, Totiang?” Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya,
“Engkau takut, Nak?”
Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab, “Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?”
Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.
“Kau… dari kuil mana?” Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, “Aku bukan seorang hwesio!”
“Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!” bentak Si Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.
Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat beberapa orang yang tidak seragam pakaiannya, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.
Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua daripada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka.
“Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!” katanya dengan suara lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.
“Terima kasih,” kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa-apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.
“Siapakah nama Totiang?” Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.
“Eh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu,” jawab kakek itu.
“Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?”
“Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti.”
“Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!” Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.
Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, “Apa artinya ini? Siapa kakek dan bocah ini?”
Si Brewok menjadi pucat. “Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia ber uang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu.”
“Bodoh! Lekas periksa buntalannya!”
“Sudah diperiksa, Pangcu!” Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.
“Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?”
“Bu... bukan... Pangcu...”
“Habis, apa isinya?”
“Batu-batu karang dan akar-akaran!”
“Plakkk!” Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah. “Sialan! Apa yang kalian lakukan?”
“Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu…?”
“Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!” Si Brewok dan dua orang temannya pergi seperti anjing-anjing dibentak.
Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, “Mengapa kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?”
“Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih darah. Pinto sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto ditangkap.”
“Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?”
Kun Liong sudah mengetutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul merupakan sebutan yang amat menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia akan keadaannya yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab, “Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel.”
Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba dia sadar akan keadaan dirinya. Memang dia keras hati. Kalau dia menuruti kemarahannya dan mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, juga kakek yang tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.
“Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan kami tahan.”
“Akan tetapi...” tosu itu membantah.
“Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!”
Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk mengiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh ketenangan itu. Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning, dan ujung-ujung tombak mereka.
Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian.
“Engkau siapakah?” Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersamadhi, bersila dan punggungnya lurus tegak.
Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu seperti dua ekor ular hiam bergerak.
“Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian dijebloskan di sini?” Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan.
Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong. “Sombong engkau, ya?” katanya tak senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang.
“Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung, apakah sudah baik?”
Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit.
“Totiang, engkau awas sekali!” serunya kagum.
“Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!”
Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak itu, kemudian mengangguk-angguk. “Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tidak boleh banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat.”
Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak ltu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!
“Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?” tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab.
“Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya.”
Kun Liong mengepal tinju. “Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya itu bukan manusia baik-baik!”
“Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?” tosu itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.
“Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Ketika aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!” Ucapan ini dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi heran karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu?
“Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?” Kun Liong bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!
Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya. “Mana mungkin ayahku menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pemah mengumpulkan uang haram!”
Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat. “Wah, ayahmu hebat!” Dia memuji.
“Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu, aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan kalau Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke akarnya!”
“Siapa sih gurumu?” tanya Kun Liong.
“Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku melakukan perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!”
Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan bertanya halus. “Nona kecil, apakah suhumu she The?”
Anak itu berteriak heran. “Bagaimana Totiang bisa menduga?”
“Benarkah?”
Anak itu mengangguk.
Tosu itu menarik napas panjang. “Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhumu.”
“Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhuku?”
Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu kembali menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Sungguh kebetulan sekali kejadian ini... siapa, kira aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu, Nona. Dan karena engkau murid The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu.”
“Mengapa Totiang?”
“Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan, membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, maka dia melalui muridnya membalas dendam dengan jalan menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang ke sini.”
“Tikus-tikus tak tahu diri!” Li Hwa berseru, “Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Daftar Blog Saya
naruto
naruto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar