naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 412

“Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba...” Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik oleh kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. “Suamimu...?” “Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu... hamba tentu akan dibunuhnya...” Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. “Engkau lari darinya? Meng¬apa engkau lari dari suamimu?” “Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biarpun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak dapat menahan lagi dan hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan...” Semakin girang hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu de¬ngan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya dan membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain! “Pangeran...! Jangan...” Tentu saja sikap ini amat menyenang¬kan bagi Han Houw dan dia tersenyum. “Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujeblos¬kan ke dalam penjara!” Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng dan dibawanya ke dalam kereta. Tirai kereta ditutup dan dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja! Dapat dibayangkan betapa senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu. Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng4, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan diri kepada seorang pria lain, betapapun tampan, gagah dan tinggi¬nya kedudukan pria yang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan pe¬rasaan hancur. Inilah satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia dapat memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng. Diam-diam Sun Eng merasa heran betapa cintanya terhadap Lie Seng telah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu bahwa dulu, sebelum dia bertemu dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa girang bukan main bertemu dengan se¬orang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, dan berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya? “Eh, kenapa engkau menangis?” bisik pangeran itu di dekat telinganya setelah puas menciuminya dan melihat ada be¬berapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu. “Hamba... hamba takut...” bisik Sun Eng. “Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan me¬lindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!” kata Pangeran Ceng Han Houw ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota. Sun Eng digandeng turun setelah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah dan pangeran itu bersama Sun Eng disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan! Han Houw diberi kamar terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berduapun dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seolah-olah dia hidup dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pes¬ta untuk menghormati dan menyenangkan dia! Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika malam itu dia terpaksa harus melayani sang pange¬ran bermain cinta. Dia hanya dapat me¬nyerah, bahkan demi untuk tercapainya rencana yang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya daripada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengala¬mannya untuk menyenangkan pangeran itu. Pangeran Ceng Han Houw semakin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, “Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?” Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu. “Ah, pangeran... saya yang setiap hari menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang mengangkat tubuhnya sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... maka, tentu saja saya merasa amat berterima kasih dan girang...” Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain. Selir-selir se¬orang bangsawan atau hartawan pada waktu itu tidak ada yang berani me¬nentang kalau suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apalagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali kepada sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi. Sun Eng memang mengalami kehidup¬an yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah dan satu-satunya pekerjaan hanyalah ber¬sama para selir lain melayani sang pa¬ngeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran se¬hingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling di¬percaya oleh Han Houw. Mempergunakan saat-saat sang pange¬ran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, sewaktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat mem¬perkuat kepercayaan pangeran itu ke¬padanya sehingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran! “Aku adalah putera tiri Raja Sabutai yang besar!” demikian dalam “mabuknya” sambil membelai Sun Eng penuh gairah berahi Han Houw berbisik. “Dan aku menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago No¬mor Satu di dunia ini!” Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng dapat “menuntun” Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya. Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan. “Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?” Sun Eng merangkul manja. “Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain manapun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka.” Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. “Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!” “Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu...” “Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih.” “Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba...” Demikianlah, dengan segala kepandai¬an yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja. Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya merupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih. Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu. Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir lain. Di dalam hati Sun Eng terjadi keragu¬an akan hasil daripada semua pengorban¬annya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena keluarga itu adalah mu¬suh besar subonya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justeru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang me¬musuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran! Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia berkata, “Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam.” Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting. “Pangeran, bolehkah hamba ikut?” tiba-tiba Sun Eng berbisik. Pangeran menoleh dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir. “Hanya engkau saia yang boleh, aku percaya kepadamu,” bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu. Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya. “Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian,” katanya tenang. Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata, “Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu.” Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka adelah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok ¬menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul. “Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya.” Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?” Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. “Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap untuk membantu paduka.” “Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu...” “Baik, pangeran.” Melihat selirnya yang tercinta kelihat¬an kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, “Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Eh, baik¬nya kotak ini kaubawa dan kausimpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik.” Sun Eng menyembunyikan debar jan¬tungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, “Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka...” Di dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih. “Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah...” dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu. Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu. Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat laporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pange¬ran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu apabila Raja Sabu¬tai mengadakan serbuan! Dan betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakan selengkap-nya dalam pelaporan itu, tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah se¬lesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggal¬kan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Ber¬ubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya tarik ke¬wanitaan itu, kini berubah menjadi baya¬ngan yang amat gesit dan ringan. Selama menjadi selir terkasih Pange¬ran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat ting¬gi yang dianggap musuh oleh sang pange¬ran, karena pejabat itu merupakan pem¬besar-pembesar yang amat setia kepada kaisar. Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan di malam hari ber¬lompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar. Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, “Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara.” Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut. “Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw...” “Ahhh...!” Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik. “Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan.” Dengan singkat namun jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, “Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Se¬karang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri.” Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal me¬nerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat ber¬tanya. “Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?” “Hamba adalah seorang yang ber¬hutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin,” Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu. Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang! Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak. Ma¬lam itu juga para pembesar ini meng¬adakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari kaisar. Malam itu juga Pangeran Hung Chih me¬nerima berita itu berikut bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng. Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sen¬diri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung. “Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus maupun, kalau perlu kasar!” Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan meng¬atur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus. *** Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik. Men¬teri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia telah melakukan sesuatu demi ke¬selamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan! Akan tetapi di samping perasa¬an bangga bahwa dia telah mampu meng¬angkat namanya, memberi isi kepada na¬manya sehingga dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang men¬dalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dilakukannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi! Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada sebelum dia membuat jasa terhadap ke¬luarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor! Padahal, tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak merasa bangga, tidak merasa bahagia, se¬baliknya malah, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya. Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengor¬banan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebalik¬nya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah di-lakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sen¬diri “disulap” menjadi perbuatan “baik” demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang di¬lakukannya adalah suci. Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh¬pun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi ke¬senangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan ka¬dang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memper¬oleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar. Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindak¬an yang benar. Dan tindakan benar ada¬lah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindak¬an itu. Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya me¬nempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun dia telah “berjasa” ter¬hadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan! Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia ter¬lalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayang¬kan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri! Seketika pucat wajah Sun Eng, apa¬lagi karena dia mengenakan pakaian hi¬tam, wajah yang putih halus itu kelihat¬an sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu. “Bukankah engkau ini Eng-moi? Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?” Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mam¬pu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap. “Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin...” jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan ke¬luar maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu. “Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!” Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri. “Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!” Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan. “Minggir!” bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan. Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukul¬annya yang dilakukan dalam keadaan ter¬jepit itu amat dahsyatnya. Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw melihat pukul¬an itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wa¬nita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya! Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu ke¬pandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng, maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih jun¬jungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya. “Dukk!” Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han Houw. Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanan¬nya maka dia membalik dan dengan ne¬kat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan mak¬sud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di leher dan dia me¬ngerahkan seluruh tenaganya. “Plakk!” Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu. “Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?” bentak Han Houw dengan marah dan dia mengerahkan tenaga. Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk men¬cari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa. “Di mana kotak itu? Di mana surat itu?” desisnya marah. “Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...” Sun Eng menjawab sedapatnya saja. Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh. “Bawa dia!” bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu. Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya kepada kaisar dan kalau kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan. Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah. “Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!” Dia mengepal tinju. “Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kauserahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?” Han Houw membentak dan memandang tajam. Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu. “Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut,” kata Ceng Han Houw. “Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting, hayo kaukatakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku.” Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pange¬ran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar meru¬pakan pukulan bagi harga dirinya. Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya memper¬mainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita! Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng. “Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku...” Suara pangeran itu merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah. Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, “Bunuhlah aku... bunuhlah...” “Engkau minta mati?” Suara sang pangeran masih lembut. “Akan kuturuti, engkau minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sam¬pingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di mana¬kan engkau menyimpannya?” Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras. “Tidak akan kuberi¬kan, biar aku dibunuh sekalipun!” Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. “Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kaurasakan siksa neraka lebih dulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu ke-padaku!” Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat ke¬dua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang. Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tubub¬nya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu menggeletakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di bela¬kangnya, tidak tahu apa yang sedang di-lakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng. “Sun Eng, kaulihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tidak ingin bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!” Akan tetapi Sun Eng yang sudah me¬ngerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. “Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kaudapatkan kembali!” Suaranya penuh tantangan bah¬kan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pa¬ngeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya. “Keparat!” Ceng Han Houw memben¬tak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng. Tubuh Sun Eng tersentak kaget, ma¬tanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanan¬nya yang menderita nyeri luar biasa itu. “Masih belum mau mengaku?” Pange¬ran itu menarik obornya. Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, me¬mukul-mukulkan kaki kanan ke atas pem¬baringan. “Sun Eng, kalau kaki kirimu juga ku¬bakar, engkau takkan dapat bertahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu.” Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan dengan me¬mukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, “Bagiku tidak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar berguna sekali!” “Apa?” Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. “Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... eh, kepada siapa surat itu kauserahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?” Suara pangeran itu gemetar dan diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor. “Aaahhh...!” Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak dapat menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biarpun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit namun dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras. “Mengakulah! Siapa menerima surat itu?” Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini men¬jadi makin bengis. Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan setelah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan dan terkulai pingsan. Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya. Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran. “Celaka...!” Ceng Han Houw mengeluh. “Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia membayangkan bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!” “Ahhh...!” Tiga orang inipun menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan bingung. “Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ah, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!” Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. “Maka, kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?” “Satu-satunya jalan, dia herus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!” kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan lebat sekali, kasar seperti kawat-kawat baja. Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam. “Dia keras kepala dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku,” kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal. “Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!” kata orang Mongol itu. “Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Kalau engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!” kata sang pangeran penuh geram. “Lebih baik jangan sampai dia mati dulu, mungkin dia masih berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti,” Hai-liong-ong memperhatikan. “Pendapat itu benar, pangeran,” sambung orang Mongol yang lebih tua. “Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati.” Ceng Han Houw mengangguk-angguk. “Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, bahkan mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kaubawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mengaku!” katanya kepada orang Mongol brewok itu. “Harap paduka jangan khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita bandel!” Orang Mongol itu tersenyum lebar, lalu menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang nampak membusung karena kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Lalu dia melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman. HAN HOUW kini berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. “Sebaliknya kalau Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, paduka malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu terjatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka.” Hai-liong-ong Phang Tek menggeleng kepala. “Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andaikata benar surat itu ke tangan kaisar, paduka tidak perlu gentar atau tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka sudah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andaikata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!” Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau memanggilku dan memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?” Akhirnya dia bimbang lagi dan suaranya membayangkan kegelisahan. “Harap paduka tidak khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu adalah surat aseli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu aseli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba.” “Ah, bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!” Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri. “Bukan hanya itu saja, pangeran. Andaikata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sukarnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!” “Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasihat negara kalau gerakanku berhasil!” teriak sang pangeran dengan girang. Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena kini sang pangeran tidak segelisah tadi setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu. Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan pura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar. “Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik,” demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku berlogat asing, “dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran, untuk menyiksa, bahkan membunuhmu kalau engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu.” “Aku tidak tahu...!” Sun Eng berkata singkat. “Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau seka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona.” “Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!” Sun Eng menantang marah. Habislah kesabaran Gaulanu dan dia menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. “Perempuan tak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku kalau engkau tidak mau mengaku!” Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Dan dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, juga perkosaan. Bukankah dia sudah membiar¬kan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng! “Aku tak perduli!” bentaknya. Wajah brewokan itu menyeringai. “Ha, ¬kaukira hanya diperkosa satu kali saja? Hemm, kau tidak tahu laki-laki apa Gau¬lanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan kalau aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!” Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejainkan matanya tanpa mau menjawab lagi. “Brettttt...!” Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi ketika merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar. Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti telah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi. Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak perduli lagi, yang dipermainkan seolah-olah bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sudah terjadi atas dirinya, sampai tiba-tiba pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas. “Plakkk!” Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu. “Phuh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat daripada dengan perempuan macammu!” Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, “Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Biarpun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik dan tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha!” Gaulanu keluar dari dalam kamar akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Dia memang sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja. Ada tangan-tangan dan muka seperti serigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tidak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi! Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki, “Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya kalau masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia hidup!” Gaulanu meninggalkan kamar itu dan kini Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar. Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan dalam kamar di mana Sun Eng seperti seekor domba yang direjang oleh banyak serigala buas! Bahkan lebih buas daripada serigala, karena binatang buas apapun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan. Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih ter¬lentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini su¬dah tidak ada lagi pengawal yang ber¬gairah untuk memperkosanya. Mungkin juga belasan orang pengawal yang ber¬tugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua. Kini mereka makan minum dan menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang-kadang mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali da¬ging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk. Muka wanita yang cantik itu sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belalan-belaian kasar. Para pengawal makan minum sambil ter¬tawa-tawa dan bersendau-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor. Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia da¬lam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanya rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu ber¬sama detaknya jantung, bersama denyut¬nya darah. Tiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin dicurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan mem¬bawa perasaan nyeri yang sukar dilukis¬kan itu, rasa nyeri itu secara anehpun tidak terasa lagi olehnya. Yang ada ha¬nya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini kalau tidak dirasakannya sendiri. Itulah perasaan tubuh yang mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan? Pangeran Ceng Han Houw yang menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku biarpun telah diperkosa secara bergantian, pen¬deritaan yang tiada taranya bagi seorang wanita. “Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!” Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap dalam hatinya mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu. Seorang wanita yang selain cantik manis, pandai sekali dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, dan masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, bukan kepada dia ditujukannya kesetiaan dan cintanya itu. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali! Dengan hati kesal dia menggerakkan tangan. “Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini agar jangan sampai dia lolos. Dan ini, kauminumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini.” Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu sambil tersenyum menyeringai. “Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak menggunakan ini saja?” Dia mengacungkan tinjunya. Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk. “Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main...” “Aku tahu,” kata pangeran itu kesal. “Engkau heran mengapa aku bersusah payah menggunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?” Gaulanu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain dan diapun melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri ke dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat laksana bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorangpun pengawal. Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong! Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali ketika kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang amat menggelisahkannya karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya! Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, dan dia sendiri telah lebih dulu ke kota raja sehingga ketika dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya. Dalam keadaan bingung ini Lie Seng lalu kembali ke selatan dan dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng telah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu! Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kan¬dungnya dan Yap Kun Liong, di Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula. Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demi¬kian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini melakukan perbuatan nekat yang amat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. “Saya tahu bahwa dia melakukan ini karena merasa rendah diri, karena men¬jadi isteri saya tanpa persetujuan keluar¬ga, juga tidak secara sah! Dan dia kini hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikitpun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?” Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Mereka memang menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas menjadi isteri keponakan mereka itu. Di dalam hati mereka kini tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tidak enak sekali. “Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya,” kata Bun Houw dengan tenang. “Akupun akan ikut pergi,” kata In Hong, juga dengan tenang. Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka diapun merasa be¬tapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi me¬nolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus ikut pula bertindak dan tidak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keingin¬annya hendak ikut pergi. Mendengar penurutan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apapun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela kalau puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina! Seperti itulah macamnya “cinta” yang berada dalam batin kita! Kita meng¬anggap bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak diwujudkan dengan ke¬inginan melihat anak itu berbahagia SESUAI dengan keinginan kita! Kita se¬lalu hendak mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pen¬dapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan ber¬bahagia kalau dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu. Semenjak anak kita masih kecil, kita ingin mengaturnya, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita ingin melihat anak kila menjadi “anak tauladan” seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan. Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita gariskan itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorangpun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi “anak tauladan” seperti yang digariskan orang tua, duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk de¬ngan sopan, bicara lemah lembut, ter¬tawapun “diatur”, bernyanyi kalau disuruh nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap se¬perti itu. Dia ingin bebas gembira. Na¬mun apa daya, orang tua “yang amat mencintanya” itu mengajarkan lain, menghendaki lain. Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali¬pun, selama kita masih dapat menguasai¬nya, kita akan selalu membuat anak kita sebagai jembatan untuk mendapatkan ke¬banggaan dan kesenangan. Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodohpun kita selalu mau ikut campur, berdiri terdepan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Selera dan pandangan anak kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka. Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang “anak penurut” dan setiap orang tua akan membenci anak yang “tidak penurut”, maka kitapun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini. Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta kalau kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri? Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang yang palsu sebagai yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekalipun! Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama. Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan kepada Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng. Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, “Memang tepat sekali kalau kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, karena kota raja merupakan tempat berbahaya sekali dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, kiranya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga dan melindungi anak kalian Kong Liang di sini.” Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya. Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini memperoleh kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan seperti seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya sehingga peronda itu sama sekaii tidak mampu bergerak maupun bersuara. “Katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!” Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya. Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja se¬hingga penjaga itu ketakutan setengah mati. Ketika totokan pada lehernya di¬buka dan dia dapat bersuara, dia men¬jawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar. “Di... di... kamar tahanan... di belakang...” “Hayo antar kami!” Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang. Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama. Maka, setelah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memper¬oleh berita tentang Sun Eng, sungguhpun berita itu amat menggelisahkan hatinya. Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pe¬ngawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ dan bersendau-gurau. Sendau-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan kepada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan. “Ngekk!” sekali menggerakkan tangan¬nya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng sudah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi. Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti betapa hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlaku¬kan seperti itu. Mereka sendiripun me¬rasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan merekapun ikut menyerbu, bah¬kan Bun Houw sudah mencabut pedang¬nya yang mengeluarkan sinar emas kare¬na itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang. Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia telah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu. Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya. Bun Houw mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pe¬dangnya. Terdengar bunyi nyaring dan golok itu patah. Ketika tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku! Gaulanu mengeluarkan teri¬akan panjang akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian karena tadi orang inilah yang mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bah¬wa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, maka pukulannya itu dilakukan dengan sekuat tenaga, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan be¬tapa dahsyatnya. “Desss!” Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar dan diapun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah. “Eng-moi...!” Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, meng¬goyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan. Sementara itu, beberapa orang pengawal sudah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosanya se¬cara bergantian dan kasar tanpa me¬ngenal kasihan sedikitpun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat! “Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan lari, kami lindungi!” kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng lalu memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar. Benar saja, teriakan-terlakan para pengawal sebelum tewas tadi telah men¬datangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada sinar emas berkelebat, tiga orang terdepan roboh dan yang lain menjadi terkejut sekali. Apalagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawartan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam. “Kejar...!” “Pukul tanda bahaya!” Sebagian daripada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam is¬tana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan setelah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua. “Celaka, ada yang melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!” kata Hai-liong-ong yang segera ikut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang sudah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal dan bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari. Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi marah sekali dan dia memerin¬tahkan para pengawalnya untuk terus mencari ke seluruh kota raja. Dia me¬rasa dipermainkan sungguh. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang telah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa merekapun tidak karena tidak ada se-orangpun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat tiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu! Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati. Sementara itu, dengan menggunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sukar bagi tiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja. Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu. Lie Seng terlalu berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, sungguhpun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami penyiksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan. Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan, kemudian mereka bertiga lalu mempergu¬nakan tenaga sakti mereka untuk meng¬obati luka-luka dalam tubuh Sun Eng dan akhirnya wanita itu mengeluh siuman. Begitu siuman, Sun Eng mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng lalu merang¬kulnya dan ikut menangis. “Eng-moi... ah, Eng moi... mengapa kaulakukan semua ini...?” Dia meratap di dekat telinga kekasihnya. Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Se¬jenak mata itu kosong karena kesadaran¬nya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini ¬sampai akhirnya pandang mata itu ber¬henti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya. Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu men¬jadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah me¬ngenali Lie Seng. “Eng-moi...! Kau telah selamat...!” Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam. “Lie Seng koko... kau... kau...” “Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!” kata pula Lie Seng dengan suara gemetar. “Koko...!” Kini Sun Eng yang teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati dan bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, menjerit dengan jantung rasanya seperti disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak. “Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapapun juga, semua itu telah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami...” Yap In Hong yang keras hati itupun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa sejak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu. Sun Eng menahan isaknya, dan dengan muka basah dia menoleh ke arah, subo¬nya, kemudian memandang wajah suhunya. “Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?” Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. “Mengapa, Sun Eng?” Dia mencoba ter¬senyum. “Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu.” “Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?” “Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Kami tahu sekarang betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...” kata Yap In Hong. “Dan kami tidak membencinya, Sun Eng.” Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya. “Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya...” “Apa maksudmu, Eng-moi? Percaya¬lah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung...” Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk dan Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu. Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali kedua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak dan ditutupkan pada luka-luka itu lalu dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati. “Subo, terima kasih...” kata Sun Eng lirih sambil memandang subonya yang dahulu dianggapnya seperti ibu sendiri. In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ah, betapa buta manusia kalau sedang dipengaruhi oleh amarah dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, setelah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa sesungguhnya selama menjadi muridnya, Sun Eng amat baik kepadanya! Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugjkan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan menujukan seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja? Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu? Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak ter¬hadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan ajukan kepada diri sendiri! Melihat betapa keadaan kekasihnya sudah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi telah dimasak oleh In Hong, sesuap demi se¬suap ke mulut kekasihnya. Sun Eng me¬nerimanya seperti anak kecil, dengan pandang mata tak lepas dari wajah ke¬kasihnya, dengan mata yang masih ber¬linang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi. Setelah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata, “Eng-moi, maukah engkau se¬karang menceritakan segalanya kepada¬ku?” Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, “Koko, sebelumnya kaumaafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku telah membuatmu banyak pusing dan duka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Ma¬ka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya.” Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sudah diduga Lie Seng sedikit banyak tentang hal itu. “Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri ba¬ginda kaisar dan merampas tahta kerajaan.” “Ahh...?” Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tak mengira bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar. Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyer¬buan mereka untuk merebut tahta kera¬jaan. “Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lalu kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Kemudian aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksa... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai matipun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku...” “Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!” Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya. “Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka...” “Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau telah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah...” Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang didengarnya, lalu dia menggeleng kepala keras-keras. “Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu...” “Eng-moi, apakah engkau masih tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?” Lie Seng memohon, “Aku mintakan maaf kepada¬mu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,” “Dan kamipun mengharapkan maafmu, muridku!” kata Yap In Hong. “Ah, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu dan subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang...” “Sekarang engkau makin agung bagiku, moi-moi, aku makin mencintamu...” “Tidak! Ingat, koko, aku telah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya dan aku telah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan...” “Cukup! Aku tidak perduli akan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukannya itu karena engkau hendak mengorek rahasianya, dan engkau melakukan hal itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!” Wajah itu memandang dengan pucat dan sepasang matanya meredup. “Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan...” “Jahanam mereka! Sudah kubunuh mereka semua!” Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah. “Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikitpun juga lagi bagimu, aku... aku...” “Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biarpun engkau menjadi bagaimanapun juga!” “Koko...!” Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang dan mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini! Perasaan hati Sun Eng seperti di¬remas-remas rasanya. Dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia akan mati dengan hati tenteram, karena dia telah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang amat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bah¬kan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekalipun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biarpun dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, biar¬pun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina! Dia men¬jadi serba salah sekarang! Mana mung¬kin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa men¬jadi gila. Mengapa dia melakukan kegila¬an semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana. “Koko...!” Dia hanya dapat mengeluh. Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena kedua telapak kaki¬nya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan kalau malam saja, sedangkan di waktu siang mereka ber¬sembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, me¬lainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh. Tiga hari kemudian, mereka ber¬sembunyi di lereng gunung kecil, di dalam gua yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wa¬nita bekas murid mereka itu tidak men¬derita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi mengapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang si¬nar kebiruan seperti orang keracunan! Lie Seng amat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai gua bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, “Eng-moi, eng¬kau kenapakah?” “Koko...” dan Sun Eng tersenyum, “Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu...” “Eng-moi...!” “Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?” Yap In Hong juga berseru kaget. Mereka bertiga merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan. “Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali...” “Eng-moi...!” “Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kaucinta... aku kotor dan hina...” “Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu...” “Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?” Cia Bun Houw juga bertanya dan memandang tajam. “Apakah engkau keracunan?” Sun Eng mengangguk. “Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian...” “Eng-moi...!” Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini. “Sun Eng, mengapa engkau tidak me¬ngatakan kepada kami kemarin dulu?” Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia ter¬kejut sekali karena perasaan tangannya bertemu dengan hawa yang amat dingin! “Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati dan aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko...” “Eng-moi...!” Lie Seng merangkulnya dan menangis. “Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!” Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi dan pernapasan Sun Eng, akan te¬tapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bah¬wa racun ini dari macam yang paling jahat. Apalagi sekarang, bahkan kemarin dulupun kalau tidak mendapatkan obat pemunahnya sukar untuk menyembuhkan...” “Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... kalau hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku...” Sun Eng terkulai dan pingsan. Tiga orang pendekar itu berdaya upa¬ya, akan tetapi Sun Eng tetap tak sadar sampai menjelang tengah hari dia meng¬hembuskan napas terakhir dalam pangku¬an dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepas¬kan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu. Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang me¬reka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong. “Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggal¬kan tempat ini,” kata Cia Bun Houw de¬ngan suara membujuk. “Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi,” Yap In Hong menyambung. “Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita.” “Pergilah kalian, paman dan bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh hi¬dupku, kebahagiaanku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri di sini bersamanya, dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak. Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas pan¬jang. Sejenak mereka memandang pe¬muda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw berkata ke¬pada isterinya. “Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan kehilangan kekasihnya itu akan mem¬buat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng telah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng mengalami kematian karena hendak membela keluarganya.” “Maksudmu dengan keluarganya ada¬lah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?” Yap In Hong menegas¬kan. Suaminya mengangguk sambil me¬narik napas panjang. “Dia sudah dewasa, biarkan dia mem¬pertimbangkan semua itu. Dia harus sa¬dar bahwa kita semua melakukan segala¬nya itu demi kebaikannya, dan andaikata itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng.” Cia Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata, “Isteriku, sekarang kita ha¬rus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang telah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng telah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tidak harus membiarkan dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, dan kelak anak kitapun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng telah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak ber-khianat terhadap kerajaan itu.” Yap In Hong mengangguk. “Dan andai¬kata usaha Sun Eng itu gagal dan segala jerih payahnya yang telah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu sia-sia, kita pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!” “Akupun berpikir demikian, sungguhpun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!” Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, memper¬gunakan ilmu mereka yang tinggi se¬hingga mereka dapat melakukan perjalan¬an cepat sekali dan pada senja hari mereka telah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para pen¬jaga. Malam telah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka telah banyak dikenal orang berhubung dengan fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata, “Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang meng-hadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali.” Mendengar ini, komandan jaga ber¬gegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting dan membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, segera dia berkata, “Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga agar ja-ngan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!” Cia Bun Houw dan Yap In Hong di¬persilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal ber¬dua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak mengkhawatirkan sesuatu. Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus ketika dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian me¬reka cepat menjura dengan sikap hormat. “Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?” Cia Bun Houw bertanya. Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, karena dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walaupun pakaian mereka sederhana saja. “Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?” “Benar, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru men¬diang Sun Eng itu.” “Mendiang...? Ah, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw...” “Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi meninggal dunia,” kata Yap In Hong.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger