naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

pdk ptl asmara 5

“Kau memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau dekat!” Kun Liong berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya ke pinggang anjingi itu. “Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!” Dia memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong tadi sudah habis. Karena merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan pada ekor dan leher anjingnya. Setelah anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main. Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu mengeiarnya dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergantungan di eker dan lehernya mengeluarkan bunyi gaduh. Kun Liong tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa ada sesuatu mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena mengeluarkan suara gaduh. Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut dan melompat ke depan. Tentu saja setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar. Makin kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara ngak-nguk dan berlari menabrak sana-sini. Mula-mula Kun Liong merasa gembira sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia terkejut. “Heiii! Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!” Dia mengejar ke dalam kamar yang pintunya terbuka, siap menerima omelan ayahnya yang tentu akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat itu. “Pek-pek... mari sini…!!” “Pranggg… prakk...!” Anjing itu meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, isinya tumpah. “Aduh, celaka…!” Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. “Haiii, suara apa itu...?” Mendenear seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di belakang gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan tengah. “Wah... sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!” Pendekar itu cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati dan menampung isinya yang tinggal sedikit. Sedangkan Pek-pek sudah keluar dari kamar itu melalui jendela. Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu menjenguk ke luar jendela. “Hemmm... Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan kelenengan. Haiii… Kun Liong…” Dia memanggil dan meloncat keluar dari jendela untuk menangkap Pek-pek. Kun Liong menggigil. Tak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi. Entah telinganya atau pantatnya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman, bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya! Ngeri menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat, melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke luar kota dan memasuki hutan! *** Selama dua hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat lagi kakinya berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa, dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran. Karena sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya dengan perjalanannya masuk keluar hutan di waktu dia pergi mencari bambu kuning dahulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Perutnya hanya diisi kalau sudah tak dapat menahan lapar, diisi apa saja yang dapat ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan daging kelinci. Untung baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo yang amat keras. Kaisar ini berusaha memperbaiki keadaan negara dan rakyat, dengan memberantas kejahatan, membasmi perampok-perampok sehingga pada waktu itu tidak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya, sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong akan bertemu dengan perampok. Harus diakui bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, telah melakukan banyak usaha keras untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Pertama-tama, untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh para pembesar korup sebagai sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di Nan-king dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu. Selain pembangunan yang mengandung seni bangunan megah itu dia pun menyuruh susun, perbaiki dan perkuat bangunan Tembok Besar di sebelah utara. Tembok besar ini dimulai pembangunannya dalam abad ke dua sebelum tarikh Masehi oleh Kaisar Chin She dari Kerajaan Cin yang kemudian mengalami perbaikan-perbaikan selama sejarah berkembang. Maksud pertama dari pembangunan Tembok Besar ini adalah untuk mencegah serbuan-serbuan bangsa asing dari utara yang sejak dahulu merupakan ancaman. Selain memerintah untuk memperbaiki dan memperkuat Tembok Besar, yang panjangnya lebih dari tiga ribu lima ratus kilometer itu, juga Kaisar Yung Lo melanjutkan pekerjaan besar membuat Terusan Besar yang dimulai penggaliannya oleh para kaisar Mongol di jaman Kerajaan Goan-tiauw yang lalu. Terusan ini menghubungkan Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho, terus ke utara sampai dekat kota raja Peking. Tentu saja untuk pembangunan-pembangunan hebat itu dibutuhkan banyak sekali biaya-biaya dan tenaga manusia, namun dengan kekerasan, pekerjaan raksasa itu dapat juga diteruskan. Bukan pembangunan-pembangunan saja yang diusahakan kemajuannya oleh Kaisar Yung Lo, akan tetapi juga perdagangan dengan luar negeri. Untuk keperluan ini, perlu dicari hubungan dengan negara-negara baru di luar lautan dan dia memerintahkan kepada seorang laksamana yang amat terkenal sakti dan pandai, yaitu The Hoo. Pada tahun 1405 mulailah The Hoo dengan pelayarannya yang terkenal, dengan armada yang kuat dan didampingi pembantu-pembantu yang sakti Ma Huan, tokoh Islam yang amat pandai dan sakti, Tio Hok Gwan, pengawal pribadinya yang lihai bukan main, dan masih banyak lagi jago-jago silat yang ahli. Armada ini menjelajah sampai ke Indocina, Sumatera, Jawa, India, Sailan dan sampai ke pantai Arab! Tentu saja tidak semua usaha Kaisar ini berhasil, bahkan usahanya memperkembangkan kebudayaan dan kesusastraan menimbulkan banyak kesempatan untuk korupsi. Akan tetapi harus diakui bahwa banyak pula hasilnya, di antaranya Tembok Besar dan juga Terusan Besar yang selesai dalam waktu sepuluh tahun, dan bangunan-bangunan lain di samping hubungan dengan negara-negara asing baru di sebelah selatan. Keamanan perjalanan Kun Liong melalui hutan-hutan pun merupakan hasil dari usaha pemerintah menekan kejahatan. Apakah lenyapnya para perampok dan maling itu benar-benar dapat dianggap sebagai hasil baik? Sukar untuk dikatakan dengan pasti, karena lenyapnya kejahatan-kejahatan kasar itu terganti korupsi yang merajalela di kota. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara yang halus! Semua perbuatan itu, baik yang kasar maupun yang halus, terdorong oleh rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang menyenangkan, dan takut akan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Pada hari ke tiga Kun Liong keluar dari hutan terakhir, menuruni lembah gunung dan tiba di luar sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali dan timbul harapannya di dalam dusun itu. Akan tetapi ketika melihat dua orang anak laki-laki pengemis berkelahi memperebutkan sepotong roti kering yang kotor, Kun Liong berhenti dan cepat melerai. “Eh, eh, kenapa berkelahi hanya untuk sepotong roti kering yang kotor?” Dia mencela. Dua orang anak laki-laki berpakaian kotor dan lapuk itu berhenti berkelahi ketika tiba-tiba roti itu sudah terampas oteh Kun Liong. Mereka itu sebaya dengan Kun Liong, pakaian dan sepatu mereka sudah koyak-koyak. Yang seorang berkepala gundul sedangkan yang ke dua amat kurus dan pucat. Kini keduanya menghadapi Kun Liong dengan mata melotot marah. “Kembalikan rotiku!” Si Gundul berteriak. “Tidak, itu rotiku, hasilku mengemis di dusun, dia mau merampasnya!” teriak Si Kurus. “Dia mendapatkan dua potong, sudah makan sepotong, sepantasnya yang sepotong itu diberikan kepadaku!” Si Gundul membantah. “Perutku masih lapar!” Kun Liong memandang roti di tangannya. Hanya roti kering yang sudah tengik sebesar kepalan tangannya dan sudah kotor pula. Roti begini diperebutkan. Tadinya ia ingitn membuang roti itu, akan tetapi mendengar keluhan mereka bahwa mereka lapar sekali dan sejak kemarin belum makan dia merasa kasihan sekali. “Dia mau merampas sendiri rotinya!” Si Kurus berseru. “Kurang ajar. Hayo pukul anak ini!” teriak Si Gundul dan mereka berdua yang tadinya berkelahi memperebutkan roti kering, kini maju mengerojok Kun Liong dengan nekat! Kun Liong adalah anak suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat, maka dengan mudah dia mengelak dan dua kali kakinya bergerak, membabat kaki mereka dan robohkan dua orang anak itu. Mereka mengaduh, akan tetapi bangkit lagi dan makin marah. “Sabarlah, siapa yang ingin merampas roti tengik ini? Aku hanya melerai, dan agar kalian berdua tidak berkelani. Roti sekecil ini tidak akan mengenyangkan perut, perlu apa diributkan dan dijadikan sebab perkelahian antara teman sendiri? Nah, kubagi dua. Makanlah dan tak perlu berkelahi!” Kun Liong membagi roti menjadi dua potong dan memberikan kepada mereka, seorang sepotong. Mereka memandang dengan mata terbuka lebar, akan tetapi menerima potongan roti itu dan memakannya dengan lahap. Tentu saja sekali telan sepotong kecil roti itu lenyap ke dalam perutnya yang kosong. “Kau siapa?” tanya Si Gundul dengan mulut bergerak-gerak, agaknya masih terasa sedapnya roti tadi dan masih ingin lagi. “Kau tentu bukan anak sini, dan bukan jembel,” kata Si Kurus, memandang Kun Liong dengan sepasang matanya yang lebar. Anak ini begitu kurusnya sehingga matanya kelihatan besar sekali. “Aku seorang pelancong,” kata Kun Liong yang enggan memperkenalkan diri karena kalau dia memperkenalkan namanya, tentu akan mudah bagi ayahnya untuk mencarinya. “Akan tetapi aku pun lapar sekali, mungkin lebih lapar daripada kalian.” Dua orang anak yang tadi berkelahi itu saling pandang. “Kalau begitu, kenapa kau tidak makan roti tadi? Engkau sudah dapat merampasnya dari kami.” “Uhhh, siapa sudi makan roti rampasan? Lebih baik mati kelaparan!” Kun Liong berkata cepat. Akan tetapi dua orang anak itu tentu saja tidak pernah mendengar tentang kebijaksanaan seperti itu. “Bodoh sekali! Kenapa lebih baik mati kelaparan?” Si Kurus bertanya. “Perut lapar sungguh amat menyiksa, seperti sekarang ini,” Si Gundul juga berkata sebagai tanggapan yang menentang pendapat Kun Liong tadi. “Kalau yang dirampas itu kelebihan makanan, masih tidak mengapa. Akan tetapi merampas roti dari orang yang kelaparan juga, benar-benar amat rendah dan hina! Di antara teman senasib seharusnya tolong-menolong, kalau mendapat rejeki seharusnya saling memberi dan membagi.” Kembali dua orang anak itu saling pandang, agaknya mereka dapat membenarkan pendapat ini dan keduanya mengangguk-angguk. “Lapar benarkan engkau?” Si Kurus bertanya, memandang Kun Liong dengan iba karena dia sudah terlalu sering merasakan betapa perih dan nyerinya perut kalau lapar. “Tentu saja aku lapar, sejak kemarin hanya mendapatkan daun-daun muda di dalam hutan itu, sedikit pun tidak ada buahnya, dan seekor pun tidak ku melihat binatang di dalam hutan itu. Sialan benar!” “Kalau begitu, mari kita mengemis makanan di dusun. Agaknya engkau tidak biasa kelaparan, bisa jatuh sakit. Kalau perut kami sudah kebal…” kata si Gundul. Kun Liong mengangkat hidungnya dan meruncingkan mulutnya. “Uhhh, tidak sudi aku mengemis! Mengemis tanda malas!” “Malas…?” Hampir berbareng dua orang anak itu bertanya. “Ya, malas. Dan kalian ini malas sekali. Untuk mengisi perut, harus dicari, bukan cukup dengan minta-minta saja.” “Bagaimana mencarinya?” Mereka bertanya lagi. “Bodohnya! Mencari, bekerja membantu orang lain dengan upah pembeli nasi.” “Kalau tidak ada yang suka mempekerjakan kami?” “Mencari sendiri, mengumpulkan kayu kering untuk dijual, menangkap binatang hutan. Eh, benar-benar kalian bodoh.” “Bagaimana caranya menangkap binatang hutan? Mengejar seekor kelinci pun amat sukar dan tak mungkin bisa ditangkap.” Kata Si Kurus. Wajah Kun Liong bersinar mendengar kata-kata “kelinci”. “Di mana ada kelinci? Tahukah kalian daerah yang banyak binatangnya? Hayo kuperlihatkan kalian bagaimana menangkapnya dan kita makan daging kelinci panggang! Atau kijang, atau apa saja yang ada.” “Binatang di hutan-hutan sudah habis diburu orang-orang dewasa. Yang kulihat hanya tinggal ular-ular saja di hutan sebelah timur itu,” kata Si Gundul. “Ular? Daging ular pun enak sekali!” kata Kun Liong gembira. “Hah?” Kedua orang anak itu terbelalak, akan tetapi Kun Liong sudah menyambar tangan mereka, diajak lari sambil berkata, “Hayo tunjukkan aku di mana ada ular!” Tiga orang anak laki-laki itu berlarian memasuki sebuah hutan yang pohonnya jarang. Tak lama kemudian mereka melihat seekor ular yang kulitnya berwarna hijau, membelit dahan pohon yang rendah. Melihat ular ini, Kun Liong menjadi girang sekali. “Wah ular itu beracun dan dagingnya enak sekali, hangat di perut dan rasanya gurih manis kalau dipanggang!” Dua orang temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular itu beracun. Kun Liong mangambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya. Ular itu mendesis marah, apalagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke arah kepala ular dan menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri. Tubuh ular itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong, akan tetapi jari-jari tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali. “Nah, sudah jinak. Ada yang membawa pisau?” “Aku mempunyai pisau kecil,” Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau kecil dari saku bajunya yang rombeng. “Lekas kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi.” “Ihhh, aku... aku tidak berani!” Si Gundul berkata. “Aku takut digigit,” Si Kurus menyambung. “Bodoh. Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu kulitnya terlepas.” “Kau saja yang mengulitinya,” kata Si Gundul ragu-ragu. “Dan kau yang mencari ular lain?” “Aih, siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri.” “Dalam keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor pun akan habis olehku sendiri, belum untuk kalian berdua!” kata Kun Liong. “Lekas kerjakan, aku akan pergi mencari lagi.” Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar, meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu. Ketika Kun Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, kesemuanya masih, hidup akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama. Dua orang anak itu terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil. juga menguliti ular pertama. Melihat betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Lion menjadi tidak sabar, minta pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah. Mula-mula dipenggalkan leher ular, kemudian kulit di bagian leher dibuka sedikit, dengan pisau dia menusuk daging setelah menyingkap kulitnya bagian leher, terus menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehigga tubuh ular tergantung. Setelah itu, dia “melepaskan” kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang melepas kaos kaki dari kakinya saja! Sibuklah dua orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biarpun mereka tadi merasa jijik melihat ular-ular itu, setelah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa, timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang. Setelah daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya, terutama sekali Si Gundul. “Wah, benar gurih dan manis!” serunya girang. “Lezat sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!” kata Si Kurus. Diam-diam hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara! “Mengapa kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?” “Orang tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, ketika pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat,” jawab Si Kurus. “Eh, apakah orang tua kalian penjahat?” Si Gundul menggeleng kepalanya. “Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Tidak membantu perampok dan menyembunyikan mereka, kami dibunuh perampok. Membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua. Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup.” Hemm, dibiarkan hidup untuk menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka akan kekerasan itu kini makin membenci perang dan pertempuran! “Mari, kalian kuajari cara menangkap ular agar kalian dapat mencari penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan hidup dan menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat.” Dua orang anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara menangkap ular. Karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang berani, maka dia mengajarinya untuk pertama-tama sebelum mereka tangkas menggunakan tangan, menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa. Akhirnya, dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka berhasil pyla “melumpuhkan” ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu. Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biarpun kalau terpaksa setiap hari makan daging ular! “Kalau makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit.” kata Kun Liong. “Daging ular mengandung obat dan panas, boleh dimakan sekali waktu, bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja?” “Mengapa ayam hutan?” “Ayam hutan paling suka makan ular dan kelabang!” jawah Kun Liong. “Malam ini kau tidur di mana?” tanya Si Gundul sambil mempermainkan ularnya yang sudah lumpuh. “Entah, apakah bisa bermalam di rumahmu?” “Wah, dia mana punya rumah!” kata Si Kurus. “Orang-orang seperti kami ini, boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan ditendang bersama makian.” “Eh, kita nonton saja, ayoh! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!” kata Si Gundul. “Ihhh! Dasar kau ini tulang jembel!” Kun Liong mencela. “Sudah diajari bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!” Ditegur demikian, Si Gundul menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah menganggap Kun Liong sebagai “gurunya”, guru menangkap ular. Si Kurus membela temannya. “Dia tidak bisa disalahkan, karena selama ini, dari manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Pula, kalau ada pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami.” “Hemm, kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?” tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali mengapa ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan! “Wah, mana boleh masuk? Kita akan dipukul!” kata Si Kurus.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger