naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 361--371

“Cringgg!” Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu! “Awas, Eng-moi!” Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini me¬loncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng. “Dukk!” Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim¬-liong-ong juga terpental ke belakang! “Eh, kau boleh juga...!” Kakek kecil pendek ini berseru. “Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!” Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main. Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini. Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat! “Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah kalian!” Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang tempo hari! “Eh, kau mau apa? Mengantar nyawa?” “Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!” bentak Lie Ciauw Si, dara itu. “Si-moi...!” Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin. “Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?” “Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?” Kini dia mengenalnya dan merasa heran. “Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?” Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan, memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura. “Maafkan kami, kami mentaati perintah,” katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin. Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata, “Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!” Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin berkata, “Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?” “Tapi... tapi gadis itu...” “Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!” Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi. Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. “Koko...!” Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat menahan air matanya yang mengalir turun. “Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!” “Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!” Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu. “Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!” “Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!” “Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!” “Koko, siapakah enci yang manis itu?” Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewa¬sa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia meng¬gapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si. “Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kucerita¬kan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak iparmu)!” “Aihhh...!” Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. “Engkau sungguh cantik, so-so...!” “Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!” kata Sun Eng tertawa. “Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu semenjak engkau meninggalkan kami, koko!” Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar ke¬pada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How. “Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?” CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang mengandung. “Dan ke mana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?” tanyanya. “Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?” Ciauw Si menggeleng kepalanya. “Memang tadinya ibu dan bibi Hong her¬maksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tem¬pat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping.” “Di Yen-ping? Siapakah dia?” “Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelaniatkan dia dan kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tem¬pat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan.” “Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?” Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman. “Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana.” “Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?” “Tadinya aku hendak pergi ke kota raja...” “Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota raja? Apakah mencari celaka?” “Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw...” “Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang me¬nyelamatkan kami tadi? Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cin¬cin pangeran itu?” Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. “Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepada¬ku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi.” “Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?” “Aku dapat menduga niat yang bijak¬sana dari adik Ciauw Si,” tiba-tiba Sun Eng ikut bicara. “Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi kedudukannya, yang memiliki cin¬cin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?” Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, “Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada engkau, Seng-ko! Memang duga¬annya itu tepat sekali!” Lie Seng tersenyum bangga. “Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?” Mereka tertawa gembira. “Karena pertemuan ini, biarlah ku¬antar kalian ke Yen-ping lebih dulu men¬jumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng.” Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat. “Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...” Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya. “Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi,” sambung Ciauw Si. Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, “Mari kita pergi! Memang aku ingin se¬kali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!” Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut. Sun Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan. Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan di masa lampau. *** Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berempat jarang keluar dari rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu a¬gung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua inipun merasa amat gelisah dengan ada¬nya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa ber¬hutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima me¬reka dengan penuh kehormatan dan me¬nyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang me¬ngandung itu melahirkan. Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tidak pernah ber¬hubungan dengan orang luar kecuali ha¬nya dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para ang¬gauta perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu. Ketika Ciauw Si datang kembali ber¬sama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng se¬bagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mere¬ka. Kemudian, tiga orang muda ini lang¬sung memasuki rumah yang menjadi tem¬pat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu. Empat orang itu telah duduk di ruang¬an lebar dan mereka sudah merasa gi¬rang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka de¬ngan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah pucat, lalu menjatuh¬kan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih, “Suhu... subo...!” Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Ber¬ubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga! “Mau apa kau ke sini?” bentak Bun Houw. “Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!” bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut. Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng me¬loncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan meng¬hadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar. “Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!” katanya sambil mengangkat kedua tangannya. “Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!” bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakan¬nya hendak melindungi gadis yang di¬anggap telah mencemarkan nama baiknya itu! Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. “Paman dan bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!” Cia Bun Houw dan Yap In Hong ter¬kejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw ber¬seru, “Apa yang kaukatakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan...” “Aku tahu, paman. Akan tetapi hen¬daknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!” “Apa...?” Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng. Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah bangkit pula dan bertanya dengan gelisah, “Apakah artinya semua ini?” “Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!” “Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu...” “Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina...” “Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!” bentak Lie Seng dengan marah. Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun berwibawa dia berkata, “Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik,” sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, “Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si.” Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu. “Si-moi, jangan pergi!” Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, dan akan terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya. “Si-moi engkau sudah dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka blarlah engkau ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan blarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!” Mendengar ucapan kakaknya dan me¬lihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang amat menegang¬kan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat. Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bah¬wa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang. “Seng-ji, apakah artinya semua ini?” Akhirnya dia bertanya dengan suara ge¬metar dan biarpun pertanyaan ini diaju¬kannya kepada puteranya, namun pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut. “Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri.” Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka. “Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor...” “Murid durhaka!” In Hong membentak Sun Eng. “Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?” Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, “Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng...” “Heh?” Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. “Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?” Lie Seng mengangguk gagah. “Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli! Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!” “Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan perempuan rendah ini!” Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dari puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. “Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kauceritakan kembali agar dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu.” Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu. Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula. “Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...” bisiknya. “Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...” dia sesenggukan. “Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!” kata Cia Giok Keng. Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu berkatalah dia kepada keponakannya itu, “Seng-ji, engkau tentu tahu bukan sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya.” “Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya.” Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini. Kembali Bun Houw meragu. Betapa¬pun juga dia merasa sayang kepada ke¬ponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah men¬ceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang ke¬busukan orang lain. Mellhat keraguan adiknya, Giok Keng berkata, “Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia mengerti!” Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata, suaranya lirih, “Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku, dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti seperti pelacur saja...” Dia berhenti sebentar, “aku pernah menceritakan ini kepada ibumu...” “Cukup!” Cia Giok Keng membentak “Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?” Dia mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu! “Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku...” “Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?” “Ibu, kami saling mencinta...” “Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!” “Ibu...!” “Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!” Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan. “Tidak, enci, biar aku yang meng¬hajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!” kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit ber¬diri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. “Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!” bentak¬nya. Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan marah. “Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!” “Ibu! Itukah perbuatan yang mem¬bahagiakan? Tidak, ibu malah akan meng¬hancurkan kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!” Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, “Kau tenanglah...” “Lie Seng!” Bun Houw membentak keponakannya. “Begitukah sikap seorang gagah? Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?” “Paman, cukup segala omong kosong ini!” Lie Seng membentak, mukanya merah, matanya liar. “Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?” “Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga...” “Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!” “Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?” “Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!” “Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui...” Giok Keng makin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya. “Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang yang kucinta!” Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, “Eng-moi, mari kita pergi!” Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Song yang benar-benar telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng. “Seng-ji... ah, Seng-ji...!” Cia Giok Keng menjerit don ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali. Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata, “Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!” Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. “Paman Cia Bun Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kaukira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Kalau engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!” Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya. “Paman, jangan...!” seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng, Bun Houw tertegun dan bingung. “Houw-ko...!” Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan keliatan limbung. “Hong-moi...!” Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. “Kau... kau kenapa, Hong-moi...?” “Aku... perutku...ah, sakit...!” Cia Giok Keng cepat menghampiri. “Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan melahirkan...!” Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya lari pergi dari tempat itu. “Seng-ji...!” Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya. Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, diapun menangis menyaksikan kedukaan ibunya. Dara ini sejak tadi mendengarkan semua peristiwa itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri. Betapapun juga, ibunya telah dituduh pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak ibunya tentu membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Kalau dia kelak menghadap ibunya bersama Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya, dia ngeri membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya. Demikianlah, pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apabila manusia terlalu mementingkan diri sendiri masing-masing. Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara apabila melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya! Namun, sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas kalau perjodohan itu dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu! Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang lain sama sekali tidak berhak mencampurinya! Orang-orang tua yang bliaksana, yang benar-benar mencinta anaknya, tidak akan mementingkan perasaan hatinya sendiri, tidak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian. Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu berahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas daripada selera sendiri. Dan semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya! Kita sudah condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati kepada diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan dan bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku. Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka, mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini! Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini! Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di situ tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada diri sendiri untuk mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua haruslah mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia anaknya memilih dengan membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu berahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Namun, apabila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu! Beberapa hari kemudian setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di tepi sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal. Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian setelah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanamya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Phngeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak. *** Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu. Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hash ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pa¬kaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan. Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio! Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bu¬kan main setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi diapun tidak me¬ngenal In Hong, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan pe¬nyelidikan. Sungguh tak disangkanya bah¬wa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tidak ada se¬orangpun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pen¬dekar itu menggunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar. “Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!” katanya sambil tersenyum mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat! Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jerih. “Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar. Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul! “Cring-cringgg...!” Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang. “Plak-plak-plakk!” Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi. In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan. “Plak! Plakk!” Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening. “Hik-hik, mampuslah engkau!” Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghan¬tamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut! Namun pada saat itu nampak bayang¬an putih berkelebat dan tiba-tiba muncul¬lah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu di¬desak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya. “Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!” bentaknya dan sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis. “Dukkk!” Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi? Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya. “Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sangat menyesal tidak sem¬pat untuk melarikan diri, karena pende¬kar itu sudah menerjangnya dan me¬ngirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukul-an merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh. Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas me¬ngumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk me¬mulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena pukulan yang lang¬sung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan ma¬rah di hatinya. Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempat¬an selagi dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu. “Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis betina ini!” katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri. “Bukk!” Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang! Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras. Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya. “Plakkk!” Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat! Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu terdengar teriakan, “Jangan bunuh dia...!” Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu. Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongan¬nya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandung¬nya dan pembunuh kakeknya itu di ta¬ngannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya meng¬apa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu. Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang! Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang men¬jadi musuh keluarganya itu. “Dukk!” Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio. “Desss!” Kembali Sin Liong menang¬kis dan sekali ini pertemuan tenaga an¬tara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan me¬larikan diri! Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san. “Engkau...?” bentaknya. “Engkau melindungi iblis itu...?” “Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...” jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai! “Bocah keparat, kau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah mengirim pukul¬an ke arah dada Sin Liong. “Desss...!” Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan. “Houw-ko, jangan...!” In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya. Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya! Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya. “Dukk!” Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu! “Bocah setan...!” Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. “Aku tidak ingin berkelahi denganmu!” katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat! Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. “Tahan, jangan berkelahi...!” Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat! KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw. “Larilah kalian! Lekas, larilah!” tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan, menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu! Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit, diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air bah menyerang itu. “Mari kita pergi cepat!” Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya. Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan. “Engkau hendak lari ke mana?” Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua tangannya menyerang. “Plak! Plak!” Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat. Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sunguh anak yang amat luar biasa sekali! “Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!” Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu. Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus. “Sungguh aku tidak mengerti anak itu!” Kata Bun Houw sambil menggeleng kepalanya. “Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita.” Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat mainkan Thai-kek¬-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te.” “Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!” Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara dengan serius. “Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan,” kata Yap In Hong. Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pastikan untuk mengejar mereka? Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw ma¬sih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya. *** Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melin¬dunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han Houw, pange¬ran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajar¬an ilmu silat tinggi itu. Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek men¬terjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi. “Suheng,” pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, “aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?” Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit “Heh-heh-heh-heh, sute, engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!” Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini. “Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau.” “Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau.” “Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau.” “Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?” “Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu.” “Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!” Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. ”Aku akan menghadapi bahaya itu kalau suheng sudi memberi petunjuk.” “Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?” Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. “Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng.” Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sutenya, lalu berkata, “Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu.” Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. “Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat bertemu dengan suhu.” “Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute.” Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya. Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada. Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan! Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus. “Suhu, teecu mohon petunjuk...!” Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran. Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, ke¬lihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin. Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal itu dengan jelas¬nya! Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan “kosong” sungguhpun kekosongan yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya sendiri. Orang yang ¬memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah “bertemu” dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini! Setelah merasa “bertemu” dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu saja dia menghubungkan ini dengan “kemunculan” bayangan suhunya yang, secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa “bayangan” Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan “bayangan” yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing. Keinginan akan sesuatu, betapapun “sesuatu” itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, pada¬hal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nya¬ta maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan kha¬yal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni! Seorang tua akan mengatakan, “Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!” kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan “yang lebih tinggi”. Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan kesera¬kahan yang tak kunjung habis, sekarang¬pun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri! Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik¬ apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan? Semenjak “pengalamannya” yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu “memanggil” datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu! Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek. Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan ta¬ngannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha. “Cuiiittt...!” Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu. “Byarrrr...!” Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu. “Desss...!” Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu. Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu. “Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak¬-gerak tertiup angin. Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh ke¬pandaiannya berada di tangan suhengnya! Kalau ada orang lain yang kelak mem¬pelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat menge¬tahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab ter¬jemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu me¬lompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni pun¬cak tertinggi itu untuk kembali ke pun¬cak di mana suhengnya tinggal. “Suheng...!” Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru. “Suheng Ouwyang Bu Sek...!” Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali. Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, “Aku datang, sute...!” Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya, “Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?” Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng.” Kakek itu terkekeh girang. “Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan...” “Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu.” “Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut...” Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan se¬suatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cu¬kup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh ke¬nyataan bahwa dia dapat mengikuti suhengnya itu dengan amat mudahnya, ber¬loncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar sekali, kakek itu berhenti dan ber¬kata, “Di dalam guha inilah kusembunyikan kitab-kitab itu.” “Biar aku yang mengambilnya, su¬heng!” “Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kau¬tunggu di sini, biar aku yang mengambil¬nya.” Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw menanti di luar guha sambil me¬nahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan kalau kakek itu yang meng¬ambilkan untuknya, pikirnya. Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, “Ouw¬yang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!” “Celaka, ada orang datang! Kita tun¬da dulu urusan kita ini!” kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya. “Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!” kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu. Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, “Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah menghadap!” Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, “Aku telah menanti di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!” Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan. Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, “Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan.” Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, “Kalian berdua berdirilah!” Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, “Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?” Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, “Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!” Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar, “Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!” “Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?” Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab. “Kami... kami tidak tahu...” Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata. “Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?” Kakek itu berkata mengejek. Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu. “Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!” “Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan. Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, “Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?” Mata yang lebar itu makin terbelalak. “Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman. Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, “Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami.” Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si. Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. “Kalian bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!” “Ouwyang locianpwe...” “Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?” “Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah. Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. “Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!” Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah. “Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawan!” Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan. Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis. “Takkkk!” Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas. Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental! “Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini pegal-pegal minta dipijati!” Ouwyang Bu Sek berkata. Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang. “Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!” Ouwyang Bu Sek berseru, dan tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah. “Cuhh! Cuhhh!” Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek! Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka! Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, “Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!” Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka. “Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!” Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat. “Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?” tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang. “Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger