naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 12

Biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biarpun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat diapun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapapun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya. Cia Bun Houw dan Yap In Hong ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik. Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini telah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran dan ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa. “Aih, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang? Bagaimana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?” “Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua,” jawab Han Tiong dengan sikap hormat. “Han Tiong, siapakah pemuda ini?” tanya Cia Bun Houw dan dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, sinar mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang berlutut di dekat Han Tiong itu. “Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sesungguhnya diapun masih keluarga sendiri, karena dia adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin.” “Ahhh...!” Yap In Hong menahan seruannya. Cia Bun Houw juga terkejut dan terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. “Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?” Kemudian disambungnya dengan suara lirih, “Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?” Thian Sin memberi hormat. “Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayab-bunda saya.” Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. “Mari, mari kita bicara di dalam...” kata kakek dan nenek itu dengan ramah dan merekapun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu. Setelah mandi dan makan malam, baru kedua orang pemuda Lembah Naga itu dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menanti kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang sudah disuruh duduk bersama Thian Sin, segera bertanya, “Kong-kong, di manakan adanya Paman Cia Kong Liang? Kenapa sejak tadi saya tidak melihatnya?” “Ah, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit,” jawab Cia Bun Houw. Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan sambil memandang kepada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru. “Bukankah... beliau itu... nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu... sudah begitu sering kumendengar tentang beliau dari ibu...” Dia berhenti bicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi. Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. “Sungguh baik sekali kalau engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah kalau engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya.” Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan suatu hal yang amat membahagiakan hati Cia Bun Houw dan isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu. Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa membela suaminya sampai darah terakhir. “Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!” demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw. Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan diapun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa dalam pandangan mereka, dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanyalah seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya adalah kematian seorang pemberontak yang sudah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita perkasa yang setia dan mencinta suaminya! Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup bersama suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini telah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin. Sebaiknya kita mengikuti perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Adapun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Sebagai putera tunggal, tentu saja Cia Kong Liang sejak kecil digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dan sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan penggabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun). Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak menggunakan pasir beracun, melainkan kepandaian itu dapat dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendeknya, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan dipergunakannya sebagai senjata rahasia, merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan. Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah akan tetapi juga tidak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian! Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, melainkan agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguhpun usianya sudah dua puluh dua tahun. Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah manengok suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan di pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai. Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih satu bulan lebih lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walaupun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat. Yap Kun Liong yang dahulu terkenal sekali sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi (baca cerita Petualang Asmara), kini telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itupun masih kelihatan sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu seperti orang yang tidak sehat. Yap Kun Liong dan isterinya merasa gembira sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya tenang akan tetapi alisnya berkerut, “Kong Liang, tentu saja kami merasa gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, di samping kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena sebelum urusan kami selesai, engkau datang. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini.” Pemuda itu memandang wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya. “Paman, urusan apakah yang merisaukan hati paman dan bibi berdua?” Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apaiagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Agaknya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang menimbulkan kesukaran. Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidaktenteraman juga.” “Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat, dan aku telah siap menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini telah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbul pertentangan di antara kami.” Tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya. Kong Liang sudah mendengar bahwa bibinya ini memiliki watak yang keras di waktu mudanya, dan agaknya, biarpun sekarang sudah tua, namun kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya sudah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan. “Paman dan bibi, apakah yang telah terjadi? Musuh siapakah yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?” Yap Kun Liong memandang isterinya, kemudian menoleh kepada keponakannya dan berkata, “Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kaubacalah sendiri.” Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu dan membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman dan bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Lalu dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia membaca surat itu, wajahnya sema sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia membaca sekali lagi. Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng akan mati berikut semua mahluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang! Tertanda, KETURUNAN PADANG BANGKAI. “Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?” Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat. Yap Kun Liong menghela napas. “Siancai (damai)... sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudah diduga bahwa mereka ini tentulah keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu (baca Cerita Dewi Maut), dalam suatu pertandingan ketika kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami telah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi dan bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak mengira bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang.” Kembali kakek itu menarik napas panjang. “Aku tidak takut!” tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. “Biarpun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkahpun menghadapi musuh!” “Aihh... sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita,” Suaminya menghibur. “Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja hal ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Kalau musuh datang, blarlah saya yang akan menghadapi mereka!” kata Kong Liang dengan sikap gagah. “Engkau tidak perlu ikut campur, anakku.” “Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya.” Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biarpun kami berdua sudah tua, namun karena kami selama ini hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang.” “Tapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!” Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. “Sejak ribuan tahun kita dibuai oleh khayal seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana, hasilnya? Sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan.” “Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!” “Demikianlah pendapat kaum pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sesungguhnya? Berhasilkah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan? Kurasa tidak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat dan kita menentanghya lalu membunuhnya! Berarti kitapun menjadi pembunuh yang tiada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!” “Tapi, paman!” Kong Liang membantah. “Biarpun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, akan tetapi seorang pendekar membunuh justeru untuk menolong orang lain terbebas daripada kejahatan selanjutnya!” Yap Kun Liong tersenyum. “Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar dan kami berdua dulupun beranggapan demikian, bahkan bibimu masih sukar melihat kejahatan betapa tidak benarnya anggapan seperti itu. Apapun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula.” “Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar rakyat dapat hidup dengan tenang dan makmur?” “Kejahatan memang dapat ditundukkan oleh kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dahulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, datang untuk menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lain! Kebencian lain. Perdemalan tidak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam bernyala di hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas dan damai macam itu hanya sementara saja.” Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali dan akhirnya dia bertanya. “Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?” Yap Kun Liong tersenyum. “Jangan tanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanyalah penyadaran lewat batin, agaknya hanyalah cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, kalau menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini.” Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. “Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi kalau mereka itu datang dan hendak membunuh paman dan bibi berdua?” Akhirnya dia bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran. “Jangan engkau sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarkan aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan agar mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini.” “Hemm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?” Cia Giok Keng bertanya penasaran. “Tenanglah, biarkan aku menghadapi mereka. Kita lihat saja narti bagaimana perkembangannya. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik.” Karena Yap Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinyapun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa gembira sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya gembira karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu merupakan seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia amat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi. Malam itu Yap Kun Liong tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya musuh-musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Kalau mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim dulu peringatan, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri. Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, malam itu beberapa kali bangun dan keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekitar pondok sunyi itu, kemudian lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga. Pada keetokan harinya, pagi-pagi sekali puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus kabut. Hawa cukup dingin dan suasana amatlah sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di timur, akan tetapi cahayanya sudah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak. “Kukuruyuuuuukkk...!” Tiba-tiba keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, namun yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai permulaan tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari. “Kukuru... kokkk!” Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah. Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersamadhi. Dia dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang putus di tengah-tengah tadi, mengerti bahwa hat itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali. Tiba-tiba terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, tiba-tiba gonggong itupun terhenti tiba-tiba dengan bunyi “kokk!” dan suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang lalu turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam, memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya dan dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tidak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar dan berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Ketika dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing! Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya telah datang! Dan, sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan, mula-mula mereka membunuh ayam-ayam dalam kandang kemudian membunuh anjing yang agaknya dapat mencium kedatangan mereka tadi. Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas sekali. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak. “Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!” terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang. “Bagus sekali, orang she Yap telah siap menerima kematian!” terdengar suara wanita yang nyaring dan berturut-turut, dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang! Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun, pakaiannya terbuat dari sutera yang halus namun potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat, rambutnya digelung dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas. Seorang dara yang manis sekali dan diapun sama sekali tidak kelihatan seperti orang jahat karena selain manis diapun berwajah ramah penuh senyum, sungguhpun pada saat itu dia memandang kepada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian. Adapun tiga orang lainnya adalah laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan den kekerasan. Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar di tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, sedangkan yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek inipun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka. Kalau dara itu hanya tersenyum dan memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, “Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!” Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya agar jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka. “Cu-wi berempat telah datang,” katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, “dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?” Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga. “Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang untuk membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!” kata dara itu dengan suaranya yang nyaring. “Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!” kata kakek yang telinga kirinya buntung. Yap Kun Liong mengangguk-angguk. “Memang, tidak perlu kusangkal bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami dan tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andaikata kami gugur ketika mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga akan mendendam dan sakit hati atas kematuan kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tidak ada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar dan bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat daripada perbuatan mereka sendiri dan bahkan dapat dijadikan contoh agar nona sendiri tidak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?” “Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!” bentak kakek bertelinga satu. “Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?” bentak kakek berjenggot panjang. Yap Kun Liong tetap tenang, “Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut akan kematian lagi. Tanpa kalian bunuhpun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini.” So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan diapun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu dapat menyelamatkan diri. Anak perempuan ini akhirnya menikah dengan seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat. Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tewas oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan di dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Dan kebetulan sekali ayahnya adalah anak buah See-thian-ong dan pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan lalu dia diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, biarpun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek den nenek angkatnya itu. Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang terisi ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu mereka lalu terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Akan tetapi pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan mereka itu ketiganya ditundukkan dan menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu tiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang telah ditemukan tempat tinggalnya oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu. “Nona So, kalau memang nona masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan daripada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku dan aku tidak akan melakukan perlawanan.” Mendengar kata-kata ini dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang begini agung sikapnya dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan. Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tua bangka pengecut!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong. Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sin-kang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mujijat Thi-khi-i-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya. Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka diapun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sin-kang yang melindungi tubuhnya. “Bukkk!” Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sin-kang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Sejak tadi, Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan main dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda telah menangkis pukulan dua orang kakek itu. “Plak! Plak!” Dua orang kakek itu terkejut merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah. “Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?” Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung. Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biarpun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san dan kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu! Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, dan cepat mereka menangkis serangan ke dua itu. Sementara itu. dengan terheran-heran, Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga sudah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu. “Bagus, kalian hendak menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong. Pemuda ini cepat mengelak dan balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak. “Manusia-manusia berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali dan membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang. Mula-mula, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu, kemudian mereka merasa khawatir sekali melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu untuk kemudian terheran-heran ketika melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka mengenal pukulan Thian-te Sin-ciang! Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong dan Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri dan dia mulai mengenal Han Tiong. “Eh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya. “Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang. Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka diapun menjadi girang sekali melihat bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri. Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu memiliki ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong. Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena ternyata dua orang pemuda itu biarpun bertangan kosong, mampu menghadapi dua orang lawan yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masib mengerutkan alisnya dengan khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiripun pantang untuk melakukan pengeroyokan. “Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya. “Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terialu memandang rendah kepada Han Tiong. Maka diapun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat daripada gerakan pedang lawan. Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini. Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi menyambar dengan ganas dan ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang dan melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya. “Plakk!” Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya. “Sin-te, jangan bunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sinpun ditarik kembali. Pada saat Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat kesempatan baik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar. “Desss!” Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang dan pedang itupun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan diapun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi. “Plakk!” Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itupun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu. Kakek itu bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, sepertl juga kakek yang terpukul pergelangan tangannya itupun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin dapat bertempm lagi setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah. Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia sangat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sutenya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati. “Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut pedangnya. Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya, yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan dua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia sudah meloncat ke depan dan memegang lengan Han Tiong. “Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!” “Paman,” kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula. Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan menyuruh mereka berdiri dan mereka semua kini menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung. Kakek itu menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!” Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, biar dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekalipun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka diapun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya. Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah mainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat! Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yan mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang. Maka, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali kalau dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger