naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 31

“Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!” Hendrik sudah benar-benar tergila--gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa. Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu. “Kaulihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona.” “Huh, biarkan aku mati!” “Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini.” “Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” Li Hwa membentak. Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya. Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, “Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku...” “Sssttt...!” Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba. “Nona, aku datang untuk menolongmu...” Pemuda itu berbisik dan berjong-kok di belakangnya. Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang--orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat. “Aku tidak minta pertolonganmu!” Pemuda itu menghela napas panjang. “Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus meno-longmu.” Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka be-lenggu itu dari kedua tangan Li Hwa. Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus menge-rahkan seluruh tenaganya. “Mengapa kau menolongku?” Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya kare-na bukankah di antara mereka terdapat permusuhan? “Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi.” Akhirnya, setelah lebih dahulu men-jauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku ka-rena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama. “Lepaskan aku!” Li Hwa meronta. “Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?” Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. “Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu.” Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuh-nya? Musuh negaranya? Ingatan itu me-ngeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalik-kan tubuh lalu melangkah hendak pergi. “Tahan dulu, Nona...!” Yuan de Gama cepat mengejar. “Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau -pergi begitu saja, tentu kau akan ter-tangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga...” “Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?” Tiba--tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok. Yuan de Gama terkejut, cepat ia me-nyambar tangan Li Hwa dan berkata, “Mari ikut dengan aku. Cepat...!” Kini mengertilah Li Hwa bahwa pe-muda ini benar-benar hendak menolong-nya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menye-linap di antara pohon-pohon dan kegelap-an malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu. AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik, “Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri.” “Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!” Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, “Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga.” Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak! “Engkau siapakah?” Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. “Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan...” “Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!” Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. “Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang...” “Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!” “Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona.” Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini! “Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?” Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. “Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat.” Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya. “Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?” “Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah...” Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu. Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, “Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!” Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik, “Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?” “Hemmm... percaya dalam hal apa?” “Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu.” Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk. “Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh.” Yuan tersenyum. “Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?” Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, “Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo.” “Ya Tuhan...!” Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. “Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?” “Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri.” “Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!” Yuan lalu menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya. Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang akan gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, “Heiii! Berhenti! Siapa di situ?” Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik, “Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya ke-padaku, kau menurut saja...” Empat orang penjaga berlari mende-kati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa, wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak, “Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?” “Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah meneri-ma perintah agar melakukan penjagaan keras...!” “Aku tahu!” Yuan membentak. “Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sung-guh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi. Hayo, manis...” Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai. Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki--laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah di-dengarnya, apalagi dialaminya! Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan ham-pir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia mak-lum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi! “Ha-ha-ha...!” Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa. “Heran sekali,” kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, “Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!” “Mengapa aneh?” bantah yang lain. “Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!” Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya. “Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa.” Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang. “Yuan de Gama...” Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih na-mun penuh perasaan. “Aku akan meng-anggapmu sebagai...” “Yaaa...?” “Seorang yang baik hati dan...” “Hemmm...?” “... sebagai seorang yang kurang ajar!” “Begitukah, Nona Li Hwa?” “Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu.” “Tidak usah berterima kasih!” “Dan untuk kekurangajaranmu...” “Kekurangajaran yang mana?” “... ketika kau... kau menciumku tadi...” “Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar...” “Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku akan...” “Yaaa...?” “Plakkkk!” Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu. “Nona, terima kasih atas kebaikanmu...” “Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu tadi.” “Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kautampar lagi sesukamu...” “Ehhh...” Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian. “Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona.” “Ihhh...!” “Terserah kepadamu kalau kauanggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa...” “Aihhh...!” Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu. “Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...” Yuan de Gama berteriak Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri. Mengapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik setelah Yuan menciumnya? Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cintanya kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina? Li Hwa berlari cepat dan pada ke-esokan harinya barulah dia dapat berte-mu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mende-ngar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri ka-rena kalah banyak dan kalah kuat, apala-gi setelah pemimpin mereka, dara perka-sa itu lenyap. “Pasukan mereka lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?” “Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona,” jawab seorang per-wira tua. “Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi peledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?” Para perwira lalu menceritakan beta-pa ledakan itu membuat tempat bekas rumah itu berlubang dan sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lu-bang, maka terjadilah perebutan dan per-tempuran di air yang menutupi tempat itu. “Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu?” Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbo-hong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu. “Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang telah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan sese-orang. Kami terpaksa mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena kalau dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang me-mimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andaikata ada Nona di sana, biarpun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia.” Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Dan pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk me-nyerang sarang pemberontak kurang kuat. “Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan me-laporkan kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan.” Akhirya dia mengambil keputusan dan pada pagi hari itu juga dia berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhunya, Panglima Besar The Hoo. Ke mana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas ketika bekas rumah berubah menja-di sebuah kubangan yang dalam dan ke-tika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksi-kan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang! Kun Liong cepat membiarkan dirinya ditelan air sungai dan dia terus merang-kak dan menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor karena mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong sudah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia memperguna-kan keadaan kacau-balau itu untuk me-larikan diri keluar dari kubangan. Kalau tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah melarikan diri keluar dari perkam-pungan itu. Akan tetapi, dia mengkhawa-tirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu setelah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan te-tapi sebelum dia dapat turun tangan menolong tiba-tiba muncul Yuan de Ga-ma. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan dia terus memba-yangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu ger-bang. Jantungnya berdebar tegang ketika dia menyaksikan dari tempat gelap beta-pa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya makin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia mempergunakan kegesitannya untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama. Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan dan mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya terharu ketika mendengar penga-kuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu! “Hemmm, Yuan, kau seorang laki--laki tolol!” Kun Liong berbisik sendiri. “Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri...” Dia lalu meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Kalau dia bersikap seperti Yuan mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri. Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biarpun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis--gadis jelita itu! Mata keranjang! Entah-lah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum? Bunga seruni, bunga mawar, bu-nga bwee, semua bunga tentu akan men-datangkan rasa suka. Demikian pula, se-mua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada se-seorang, dan sekali melekat berarti me-nimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus! Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus me-nyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang--ouw dan tokoh kaum sesat saling mem-perebutkan bokor emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebut-kan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik! Selagi dia berjalan scorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak ketika dirinya telah terkurung oleh bebe-rapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka. Si Kakek Gila Toat-beng Hoat-su, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pembe-rontak, kakek gila raja ular Ban-tok- Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat di-duga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi! Ketika melihat bah-wa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku tangan yang panjang merun-cing, dia cepat bertanya, “Apakah Lo-cianpwe yang bemama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?” Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran se-kali menyaksikan sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa nyawanya berada di ambang pintu maut, masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja! “Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!” kata Kwi--eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri ka-rena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, berta-nya, “Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apa-kah baik-baik saja? Dan mengapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?” Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, kemudian membentak, “Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!” Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, “Hemmm, para Locianpwe hadir semua, Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?” Tiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa! “Serahkan bokor!” Serentak mereka berseru. Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apalagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Namun dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring, “Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpemandangan begitu dangkal?” Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apalagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, “Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak.” Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka sudah bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, “Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mengambil dua buah pusaka Siauw-lim-pai, mengapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?” “Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!” jawab wanita itu. “Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Le Hwesio?” “Bukan kami yang membunuhnya!” “Niocu, mengapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, berikan bokor itu!” Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk! “Kwi-eng Niocu, terimalah...!” Kun Liong berseru dan melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ. “Eh-eh, perlahan dulu, Kwi-eng Nioeu!” empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar! Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, “Engkau ikut dengan kami!” Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andaikata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing. Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang yang dia ketahui alamatnya di antara mereka, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan kematian Thian Le Hwesio. Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia telah mengerahkan Thi-khi-i-beng yang belum lama ini dia pelajari dari Pende-kar Sakti Cia Keng Hong. “Plak-plak-plak-plak!!” Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong. “Auuuuhhh...!” “Heeiiii...!” “Aduhhh...!” “Lepaskan...!” Empat orang kakek itu terkejut se-tengah mati ketika mereka merasa beta-pa telapak tangan mereka menempel dan melekat pada tubuh pemuda gundul itu dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah beta-pa hawa sin-kang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu. “Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihh, panas...!” Kun Liong meronta-ronta. Dia sudah mempelajari Thi-khi-i-beng, sudah me-nguasai ilmu mujijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Biarpun dia telah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, namun begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sin-kang empat orang itu menero-bos memasuki tubuhnya, dia merasa ter-kejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat. Melihat keada-an Kun Liong, empat orang itu makin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sin-kang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu. Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sin-kang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak, kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi-i-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong. “Thi-khi-i-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa sin-kang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sin-kang itu dapat membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sin-kang, yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sin-kangnya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sin-kang yang membanjir itu ke dalam pusar, kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk lebih dulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu.” Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat dan napas empas-empis! Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong cepat meninggalkan tempat itu. Ngeri dia kalau sampai orang-orang itu mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sin-kang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya! Ia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sin-kang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa. Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho. Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itup dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramai-nya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberon-tak juga tentara pemerintah. Dasar kepa-la lagi pening dan bingung. Melihat pe-rang dia malah mendekati untuk menon-ton! Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas ta-wanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri. Kun Liong berdiri dengan tubuh ber-goyang-goyang seperti orang mabok ke-tika delapan orang perajurit itu menyer-bunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan me-nangkis. Terdengar suara nyaring berke-rontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sin-kang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang, terlempar dan roboh ping-san! Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghan-tam sebatang pohon di kirinya. “Desss...! Braaakkk...!” Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh! Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebe-lah kanannya. “Desss... krekk!” Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong penyesalan babwa kem-bali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pe-cahan batu sehingga batu-batu itu men-jadi hancur berkeping-keping. Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sin-kang yang “kelebihan”, sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti sege-rombolan setan mencari tempat tinggal. “Ihhh, bocah setan...!” Terdengar seruan perlahan dari belakangnya. Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis menggerakkan kedua lengan menangkis. “Bressss...! Hayaaaa...!” Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting. “Kun Liong, pengkhianat engkau!” Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan menggeleng kepala. “Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?” Dengan kedua pergelangan tangan di-belenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura kepada kakek itu. “Harap To-taihiap suka memaafkan saya...” “Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan teta-pi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibe-lenggu?” “Tio-lopek harap jangan mudah dike-labuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya.” “Ahhh...!” Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam. “Hayo katakan di mana kausembunyikan bokor itu!” Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong. Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek. “Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?” Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. “Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil bokor iti dan menyem-bunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepala-mu!” Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. “Masa bo-doh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepa-daku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tu-suk, mau bacok, terserah!” Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu! “Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kausimpan bokor itu, kau akan kubunuh!” “Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini...” “Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerah-kan tugas ini kepadaku!” Li Hwa berkata agak kaku. Kakek itu mengangkat pundak. “Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan pertempuran yang ber-langsung ramai. Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. “Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?” “Souw Li Hwa, apa yang kaukehen-daki?” “Katakan di mana kausimpan bokor itu!” “Simpan dulu pedangmu dan bersikap-lah manis!” “Tidak sudi!” “Aku pun tidak sudi memberi kete-rangan.” “Kau menantang?” “Kau yang keterlaluan!” “Kubunuh kau!” “Terserah!” Li Hwa dengan gemas menggerak--gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergu-lung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali! Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah “mengupasnya” bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga! Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. “Nah, sudah puaskah, kau? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, setelah eng-kau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu...” “Plakkk!” Pipi kanan Kun Liong di-tampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong. “Laki-laki ceriwis!” “Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!” “Apa? Mau membalas tamparanku?” “Bukan. Membalas karena engkau me-nelanjangiku.” Sepasang mata yang bening itu terbe-lalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. “Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!” Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah. “Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!” Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia berte-mu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya, “Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?” Kun Liong menarik napas panjang. “Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau si-kapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Se-orang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!” Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan meme-rintahkan perwira ini mengambilkan sepo-tong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerah-kannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan. “Li Hwa, kaulepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?” Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya ge-mas bukan main, Li Hwa terpaksa mem-buka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu. Kun Liong melirik pedang, meman-dang wajah dara itu dan tersenyum le-bar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seper-ti mengulur waktu. “Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik. Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal. “Nah, sekarang katakan di mana bo-kor itu.” “Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?” “Enak saja! Kalau aku sudah menda-patkan bokor itu, baru kau akan kubebas-kan.” “Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang ber-kumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...” “Lekas katakan di mana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut. “Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi--eng-pang...” “Apa? Kwi-eng Niocu?” “Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengu-rungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepa-danya.” “Kausengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kema-rahan. “Mengapa kau berikan dia?” “Karena aku menggunakan ini!” De-ngan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya. “Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo kata-kan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?” “Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah men-curi dua buah benda pusaka Siauw-lim--pai. Karena itu, biar sementara kutitip-kan bokor itu kepadanya.” “Kautitipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!” “Memang aku tolol, habis mengapa?” “Huh!” Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, meme-rintahkan perwira itu untuk mengumpul-kan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong. “Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah. “Wah, galaknya, Li Hwa, jangan kha-watir, aku tidak akan lari darimu, apa-lagi karena aku belum membalas per-buatanmu tadi.” Kun Liong tertawa ke-tika melihat belasan orang perajurit pe-merintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus. Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk mem-bantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberon-tak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri. Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya me-ngalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama--sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberon-tak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang diban-tu oleh orang-orang asing itu. Karena kini jumlah pasukan pemerin-tah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung ter-lalu lama dan pasukan pemberontak di-pukul hancur, banyak jatuh korban, ba-nyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersa-ma Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan me-ngumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat. Setelah perang selesai dan anak buah-nya sibuk mengurus korban, karena pa-kaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih peng-ganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu. Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci se-luruh tubuhnya, merasa segar dan gem-bira. Akan tetapi sambil menggosok-go-sok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hati-nya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemu-da asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan! Wajah ke dua ada-lah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan teta-pi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbul-kan kegemasan di hatinya, geram ke-cewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong. Kalau teringat akan bokor emas, ha-tinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi--eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya me-rupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada. Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah me-ninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena... dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong! Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai. Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa me-wakili gurunya dalam urusan besar seper-ti menumpas kaum penjahat dan pembe-rontak. Ketika The Hoo menerima lapor-an Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sen-diri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan penga-wal kepala yang lihai itu pun mengepa-lai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipim-pin panglima-panglima perang yang ber-pengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas per-mintaan Panglima Besar The Hoo! Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang. Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan... “Ihhh...!” Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa! “Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu. “Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!” Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. “Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?” “Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!” “Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.” “Apa... apa maksudmu?” Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam. “Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!” “Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!” “Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.” Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, “Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu. “Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!” Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak. Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa. “Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm...” “Celuppp...!” Li Hwa sudah berjongkok lagi. “Kun Liong... jangan... jangan kaugoda aku begini...” Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya. “Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kaulakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?” “Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu...” “Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!” Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil ter-senyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat kein-dahan tubuh seorang dara, biarpun ditu-tup-tutupi akan tetapi menambah kein-dahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger