naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 16-20

“Ah, kenapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twasomu?” “Ah, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja...” Leng Ci berkata dengan suara terharu. “Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikir yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat.” Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan lalu duduk di atas bangku dalam kamar. “Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte.” Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. “TIdak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu...” “Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan kepada twasomu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu.” “Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan twaso...” “Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia agar merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir.” Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu. Setelah langkah-langkah tuan rumah tidak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan tersenyum! Dia mengusap peluh di dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah di¬rencanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali. Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagai¬mana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali? Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini karena dia adalah se¬orang ahli lwee-keh yang memiliki sin-kang amat kuat sehingga dengan memperguna¬kan sin-kangnya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, melainkan dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya! Sesungguhnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukan¬lah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sen¬dirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dia amat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat maupun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, kalau memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam. Akan tetapi, dia sendiri¬pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tidak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik. Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tidak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dan memang dengan modal yang ada pada dirinya, jarang sekali dia dikecewakan wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya! Beberapa bulan yang lalu, dengar kepandaiannya membujuk rayup dia berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, dan hampir saja dia ter¬tangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya. Akan tetapi Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita dan di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek¬-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauh¬kan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik. Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan dan isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja, hanya bohong belaka dan hanya diperguna¬kan untuk menarik perhatian mereka ter¬utama perhatian nyonya muda itu dan untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat. Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua. Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio amat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, akan tetapi ketika pada suatu hari dia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh guru¬nya. Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan daripada kepada urusan dunia. Maka dia dapat memaafkan muridnya dan tidak mem¬bunuhnya, apalagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya tidak melakukan kekerasan, tidak menggunakan ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja per¬buatan itu tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka diapun dengan hati berat mengusir dan tidak mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya disayangnya itu. Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatangkara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia seperti seekor burung liar yang terbebas dari kurungan! Semenjak kecil dia telah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang kaya dan dia diberi kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Setelah keluarganya tewas dalam kerusuhan perang, dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil murid oleh Go-bi-pai itu, dan disamping giat mempelajari ilmu silat tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera. Setelah dia diusir oleh gurunya, Hok Boan mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja dengan pengharapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya membuyar karena gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukarlah baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang memasuki gedung harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak muridnya di Koan-sui itu. Kini dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat, tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutken petualangan¬nya sampai berhasil. Tak lama kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi dan dengan pengerahan sin-kangnya, dia kini ber¬keringat dan mukanya pucat lagi. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan. Bhe Coan dan isterinya masuk ke kamar itu. “Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi tidak kelirukah? Menurut isteriku...” Bhe Coan memandang isterinya. “Kui-kongcu, tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya ber¬kata bahwa ini bukan obat penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu.” “Ahh... tukang obat kampungan... mana dia tahu...? Aku sudah pernah mengobati penyakit ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga mangkok sampai tinggal semangkok... dan sediakan arak yang keras... untuk campuran...” Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah, napasnya memburu dan keringatnya makin banyak. “Cepat masak obat ini!” kata Bhe Coan kepada isterinya den wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Lalu Bhe Coan mendekati tamunya. “Bagai¬mana siauwte? Berbahayakah keadaanmu?” Hok Boan memaksa senyum dan menggeleng kepala. “Jangan khawatir, twako... kalau berbahaya tentu aku juga tahu... aku, aku pernah mengalaminya, lebih hebat dari sekarang, tapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkanlah aku, lanjutkan pembuatan pedang itu agar tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso...” Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. “Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharap¬kan kesembuhanmu.” Dia lalu pergi dan tak lama kemudian terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul. Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang ber¬warna hitam dan seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat. “Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Mau diminum sekarang?” “Baik... baik...” Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. “Auhhh...” Dan dia hampir terguling. Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia me¬mejamkan matanya dan duduk. “Pusingkah, kongcu...?” Dia mengangguk dan membuka matanya “Ya, agak pusing, twaso...” “Mau minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya.” “Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukan obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan kalau sampai obat yang kaubeli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, bisa merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika...” “Ihhh...!” Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. “Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!” Kui Hok Boan tersenyum. “Akan tetapi obat itu tidak berbahaya sama sekali bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ah, aku hanya akan merepotkan twaso saja...” “Ah, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?” “Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku.” “Kalau cuma begitu saja, aku dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah tidak berbahaya obat itu?” “Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?” Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyak¬nya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali. “Aku akan mencobanya, kongcu.” “Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat.” Nyonya muda itu tanpa curiga lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak ¬manis dan memang bukan tidak enak, apalagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu. “Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso...” Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku dan memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali. “Bagaimana, twaso?” Hok Boan bertanya lagi ketika melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, matanya bersinar aneh. “Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh...” “Ah, kalau begitu cocok untukku!” Hok Boan bangkit duduk. “Tolong campur¬kan obat itu dengan arak seperti tadi...” Leng Ci bangkit berdiri dan menuangkan arak ke dalam mangkok, obat yang tinggal separuh itu, lalu mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia ber¬gerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandangnya. “Ahhh... panas sekali... panas...!” Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri. “Bagaimanap kongcu?” Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengen kha¬watir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya. “Panas, tolong bukakan kancing bajuku...” Hok Boan merintih. Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar ketika membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apalagi karena pemuda itu menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu. “Panas sekali...” kembali Hok Boan merintih. “Aku... akupun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu...” “Kalau begitu, kenapa tidak dibuka saja bajumu?” “Kongcu... ehh...?” Akan tetapi kedua lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul leher dan pinggangnya, dan tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta namun terlambat. Hok Boan memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena memang obat itu adalah obat perangsang! Nyonya muda itu memang sudah mempunyai hati terpikat dan menyeleweng terhadap Hok Boan. Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apalagi didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar jelas dari situ. “Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku...” Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan suka rela memasuki jurang perjinaan! Yang terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul. Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia amat hati-hati dan telinganya tidak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja! Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu dan menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya. “Suamimu sudah berhenti bekerja...” bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah rebah terlentang lagi ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu! Dengan tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya, dan ketika suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong itu keluar dari kamar. Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya, kalau dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apapun terhadap isterinya. “Bagaimana, Kui-siauwte?” tanyanya. “Wajahmu tidak sepucat tadi, agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat...” “Ah, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuh¬kan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat rawatan twaso, twako.” Bhe Coan tersenyum. “Ah, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan.” Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah mem¬buang kesempatan itu untuk bermain cinta, melakukan hubungan jina yang kotor itu. Mereka berenang dalam nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu berahi yang memabokkan. Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah. Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin dikejar nafsu ke¬inginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu berahipun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, makin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, makin kuat pula pendorong yang mem¬buat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan ingin mendapatkannya lebih banyak lagi. Leng Ci dan Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu berahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka seperti orang-orang yang kelapar¬an, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Kini mereka mulai berani saling bertemu di waktu malam, di waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan diam-diam Leng Ci menyelinap meninggal¬kan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, kemudian menyelinap kembali ke dalam kamar suaminya sambil mencebirkan bibirnya kepada tubuh suami¬nya yang tidur mendengkur! Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam, isterinya selalu menolak dia melakukah pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya. Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang diperhitungkan dengan tepat waktu pembakarannya dan pembenamannya di dalam air. Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu me¬mang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memper¬indah gagangnya saja. Dengan senyum di mulut Bhe Coan dengan girang membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena ke¬girangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena memang dia masih bekerja. Tiba-tiba, dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia! Akan tetapi ketika dia tiba di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, dan Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, meninggalkan kamar. Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya. “Leng Ci...!” panggilnya perlahan. Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. “Ada apakah?” “Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?” Isterinya tersenyum. “Hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok. aku melihat Kwi-kongcu mengigau dan bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku, geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku.” “Ahh...” Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya “Nah, kaudengar...?” Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok. Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang. Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum ketika menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, biasanya di waktu pagi isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apalagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biarpun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja. Sore hari itu Bhe Coan berpamit dari isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain. Setelah pandai besi itu pergi, biarpun kepergiannya itu tidak akan lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu. Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang sudah lama dikenalnya. Melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata, “Hemm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya.” Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, “Eh, Lao Tung, apa maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?” “Ha-ha-ha, pura-pura tidak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih untuk mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, demamnya orang yang berhati muda!” Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran. “Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?” “Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!” Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya ketika pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa. “Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?” Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab, “Benar-benar kau tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu berahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!” Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan biarpun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang namun hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang? Akan tetapi, dia melihat sendiri betapa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya. Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Wajah isterinya kini selalu gembira, sepasang matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya di waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah heberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya! Ketika tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang. “Ah, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!” katanya dan dia mengerling ke arah isterinya yang juga kelihatan berseri gembira wajahnya, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak, rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, agaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru bergantl pakaian di sore hari. “Terima kasih, twako. Sudah banyak baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako?” “Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte.” “Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga...” “Eh, siapakah anak ini dah mengapa kauajak ke sini?” tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu. “Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar,” jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sibuk bekerja di bengkel. Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinaan mereka. Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk dalam bengkelnya, maka mereka menjadi lengah dan lalai, kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan telah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang di landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, di dalam kamamya, Hok Boan juga menyambut kedatangan Leng Ci yang kelihatan segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul dan menangis! “HEH, mengapa menangis, sayang?” Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi. “Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan kita masih mempunyai waktu sehari ini.” “Kongcu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu. Besok... besok kaubawalah aku besertamu, kongcu...” “Hemm, mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan...” “Aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu?” “Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci.” “Kongcu... kaukasihanilah aku, bawalah aku besok...” “Ssstt... bagaimana besok sajalah.” Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segala, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam lagi dalam lautan nafsu yang bergelora. Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar ketika Leng Ci rebah terlentang, kepalanya berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya. “Kongcu...” “Hemm...” “Kalau kau tidak mau membawaku, aku ikan hidup seperti dalam neraka...!” “Ah, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci.” “Akan tetapi aku tidak cinta padanya.” “Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara sukarela?” “Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu...” “Kau memang manis!” Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangan! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus. Akan tetapi dia sendiri meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang! “Jahanam busuk kau orang she Kui!” bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar! Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu men¬coba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar dan tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu! Betapa bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu! Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Demikian tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan kini tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, sejak “sakit” itu tentu telah berjina dan bermain gila dengan isterinya! Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isteri¬nya tidak pernah mau melayaninya! Kiranya di waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjina di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri! “Bedebah, engkau layak mampus!” bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan. Akan tetapi, gerakan yang amat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan seperti seekor burung terbang saja ringannya. Sesungguhnyag munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukanlah semata-mata karena dia ingin memesan pedang, melainkan ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan. Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga pening¬galan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia ter¬ingat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menarik hatinya itu. Berita itu datang dari para perajurit yang pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti (baca cerita Dewi Maut). Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama karena memang tempat itu berada amat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya. Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di manapun, karena di manapun dia mengharapkan untuk bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas. Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Dilihat dari atas, Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga. Karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya. Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena mendatanginya melalui arah lain tidaklah mungkin mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari selatan inipun bukanlah merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya jalan dari selatan ini saja kelihatannya mungkin dilalui manusia, sungguhpun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Mengapa demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu amat berbahaya. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat kemudian menjadi korban pula, bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai. Memang berbahaya sekali daerah Padang Bangkai ini. Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik musim panas maupun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang ter¬jebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah dan lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu! Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan ternyata bahwa rumput di bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan ilalang setinggi orang dewasa dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara ilalang tinggi ini berliku-liku, bercabang-cabang dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu. Dan di tengah-tengah perjalanan antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang mengelilingi dusun ini sengaja dibuat Raja Sabutai dahulu, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho sehingga siapapun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan jembatan yang terdapat di situ, jembatan satu-satunya yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun. Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun. Melanjutkan perjalanan dengan perahu¬pun tidak mungkin, karena selain tidak nampak sebuahpun perahu di situ, juga andaikata ada orang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, sebelum tiba di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu. Beberapa tahun yang lalu, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka telah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, semenjak kepala pe¬rampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya men-jadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena selain keadaan yang berbahaya dari tem¬pat itu masih ditambah lagi ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi diapun ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati. Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tidak dapat mengharapkan hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena selain hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka tidak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, dan mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu. Maka, para perampok ini hanya “mencari nafkah” dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja. Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apalagi mendatangi dusun yang mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorangpun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuat para pe¬rampok itu merasa aman. Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datahg dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian. “Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai...” katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan. “Bukan main luasnya,” kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda dan sambil duduk di atas rumput, dia minum be¬berapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan baju¬nya yang lebar. Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san. Sebelum dia menuju ke utara, dia memang telah menyelidiki dan mempela¬jari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggauta pasukan tentara kerajaan yahg pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga (baca cerita Dewi Maut). Dari para anggauta pasukan ini dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai. Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang benar seperti yang di¬gambarkan oleh anggauta pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak sinar matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-¬macam warna di sepanjang padang yang luas itu. “Ada lorong kecil menujd ke selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa lebih dulu mengetahui keadaannya.” Demikian antara lain penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Setelah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas melihat ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari mana¬pun, sungguhpun tempat itu amat sunyi dan agaknya merupakan tempat yang aman. Ketika matahari telah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Di depannya kini terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang lain warnanya, ada yang merah, ada yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggauta pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka meng¬hisap darah dan menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi, melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercaya cerita itu. “Lebih baik menempuh bahaya di¬serang ular dan binatang buas,” pikirnya. Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilaiang yang tingginya seperti manusia dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger