naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 21

Thian Sin bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang mempunyai sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang. Tentu kakek ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tidak akan memandang rendah dan akan mengeluarkan kepandaiannya. “Locianpwe, sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang mengharapkan petunjuk darimu.” Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah menggeterkan dunia kang-ouw itu. Nah, bersiaplah, orang she Ceng! Biar muridku menjadi saksi siapa di antara kita yang lebih unggul, aku, See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!” Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik hati banyak wanita. Akan tetapi, sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju menghadapi suhunya dan berkata, “Suhu...!” “Eh, ada apa manis?” “Jangan suhu mencelakakan dia...!” “Ha-ha-ha, kau khawatir aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng deripada dia.” “Tapi aku... aku cinta padanya, suhu.” Sepasang mata yang sudah lebar itu terbelalak. “Kau...? Cinta...? Uh, betapa bodohnya. Bukankah sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan? Bahwa cinta hanya mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti.” Dengan kasar dia lalu menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping. Terpaksa Cian Ling meloncat ke pinggir dan memandang dengan alis berkerut karena betapapun juga, ia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari gurunya. Dan ia masih belum puas dengan pemuda itu, tidak ingin kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya. Kakek itu menggerakkan tangan yang memegang tongkat dan benda itu menancap di atas tanah sampai setengahnya. “Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan podangmu, orang muda.” Manusia sombong pikir Thian Sin. Diapun tidak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan pedangnya, bukan dicabut melainkan mangeluarkan berikut sarungnya dan diapun menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah. “Locianpwe, aku datang untuk minta petunjuk, dan dalam adu ilmu haruslah terdapat kejujuran dan keadilan. Kalau locianpwe tidak menggunakan senjata, akupun masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu.” Kakek itu semakin terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai, seperti yang telah kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!” “Aku yang muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!” Sikap Thian Sin yang selalu mengalah ini sungguh merupakan tamparan bagi See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkat lebih tinggi, dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah kepadanya! “Bocah sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!” bentaknya dan sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah dan memang inilah yang dikehendaki Thian Sin. Dia tidak ingin kakek itu main-main, melainkan memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat diukurnya. Setelah mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan kedua lengannya yang berkulit hitam berbulu panjang dan besar itu menyambar dari kanan kiri, kedua tangannya dengan telapakan tangan terbuka menyambar dari kanan kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin! “Parrrrr...!” Kedua tangan itu saling bertemu ketika Thian Sin dengan gerakan lincah sudah melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap dan tahu-tahu kedua tangan itu telah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan terbuka menusuk ke arah lambung! “Hemm...!” Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh amat ganas dan cepat, sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat. Diapun lalu mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua lengan itu dengan kedua tangannya. “Plak! Deass...!” “Ahh! Inikah Thian-te Sin-ciang?” Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua lengannya yang disaluri penuh tenaga sin-kang itu dapat terpental terkena tangkisan pemuda itu. Maklumlah dia bahwa berita yang didengarnya tentang pemuda ini tidak kosong belaka. Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga murid-muridnya yang paling pandai sekalipun. Thian Sin tidak mempedulikan seruan kakek itu dan diapun cepat membalas serangan lawan dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan sekarang dia memiliki kesempatan untuk mempergunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh. Dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong cepat menjaga diri, mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia tidak yakin mengenal ilmu silat itu. “Apa ini? Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini... hemm, pernah aku mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?” Thian Sin mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Kakek itu semakin kagum, karena semua ilmu itu dikenainya sebaggi ilmu silat yang benar-benar amat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat masing-masing itu. Thian Sin juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk yang telah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu. Maka dia mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan kagum sekali. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu dan berdiri dengan kedua kaki dan tangan terpentang lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada kakek itu. Melihat kakek itu berdiri dengan dada terbuka, dan melihat betapa menyusul suara teriakan itu, tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu telah mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut sebagai Ilmu Hoa-mo-kang. Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul. “Blukk...!” Pukulan tangan kanan Thian Sin yang menggunakan sepenuhnya tenaga Thian-te Sin-ciang itu tepat mengeng dada dan telinga Thian Sin seperti mendengar suara tambur dipukul dan tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung terbawa oleh kembalinya tenaga Thian-te Sin-ciang melalui tangannya dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik mematahkan tenaga yang membalik itu. “Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu dengan ilmuku, orang muda? Dapatkah engkau melawannya?” See-thian-ong tertawa pula, puas dan girang hatinya melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya. “Locianpwe, ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah.” Setelah berkata demikian, pemuda itu menerjang ke depan lagi, dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tidak terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, lalu bagian tubuh yang turangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya. “Ah, kau memang cerdik!” Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang terserang itu. Akan tetapi karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, otomatis tangannya membalas serangan dari samping. “Blunggg... desss!” Ketika tangan Thian Sin dengan kekuatan menyambar ke arah pundak untuk membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar punggung Thian Sin. Tubuh pemuda itu terpelanting dan bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi untung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tubuhnyapun menjadi kebal, terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak terluka, sungguhpun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak! “Ha-ha-ha!” See-thian-ong tertawa girang dan bangga. Thian Sin menjadi penasaran dan juga marah. Dia sudah menerjang lagi, menusukkan telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan. Kakek itu menaikkan tubub dan miring, sehingga kembali pukulan itu luput dan mengenai dada, dan pada saat itu kakek itu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram tengkuk dan punggung Thian Sin dengan jalan merangkulnya seperti seekor beruang. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan keras. “Aughhhhh...!” Kakek itu terkejut bukan main karena begitu kedua tangannya mencengkeram, tenaga Hoa-mo-kang itu memberobot keluar melalui kedua tangannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu! “Thi-khi-i-beng...!” teriaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya seperti bola terisi penuh angin yang bocor, mengempis kembali dan seluruh tenaganya lenyap sehingga dengan sendirinya tenaga sedot Thi-khi-i-beng juga tidak berguna lagi dan terlepaslah kedua tangan yang melekat itu. Kakek itu cepat melempar tubuh ke belakang dan sebelum pemuda itu dapat menyerangnya, dia telah bergulingan ke arah tongkatnya dan meloncat lagi, dengan tongkat di tangan! Mukanya berubah merah sehingga menjadi semakin hitam, dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Peristiwa tadi, dalam segebrakan ketika dia dikejutkan oleh Thi-khi-i?beng, sungguh merupakan tamparan baginya. Biarpun dia belum dapat dikatakan kalah, namun segebrakan tadi menunjukkan bahwa fihak lawan lebih unggul! Tak mungkin dia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda remaja seperti itu. “Orang muda she Ceng, engkau memiliki banyak sekali ilmu tangan kosong yang hebat?hebat, bahkan Thi-khi-i-beng yang baru sekarang kusaksikan sendiri sempat mengejutkan hatiku. Nah, aku sudah terlanjur memegang tongkat, mari kita main-main dengan senjata!” Thian Sin maklum bahwa kakek itu tentu akan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang menurut Cian Ling merupakan ilmu simpanan kakek itu yang amat hebat di samping Ilmu Hoa-mo-kang tadi. Dia tadi sudah tahu akan Ilmu Hoa-mo-kang yang amat dahsyat, akan tetapi dengan Thi-khi-i-beng, dia akan dapat menghadapi Hoa-mo-kang sehingga dia tidak perlu lagi takut terhadap ilmu kakek itu. Kini, kakek itu akan mengeluarkan ilmu simpanannya, maka hal itu baik sekali baginya untuk menguji karena sebelum dia mengambil sikap keras untuk menentang See-thian-ong ini, dia harus lebih dulu dapat mengukur sampai di mana kelihaian lawan. Maka diapun meraih pedang berikut sarungnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan di lain detik sudah nampak sinar perak berkilauan ketika dia mencabut Gin-hwa-kiam dari sarungnya. “Aku akan melayani locianpwe dan mohon petunjuk,” katanya dengan sikap merendah. Akan tetapi karena tadi dalam gebrakan terakhir dia merasa dirugikan, kini meLhat sikap merendah itu bagi See-thian-ong seperti ejekan saja, maka sambil mengeluarkan bentakan keras diapun mulai menyerang dengan tongkatnya. Tongkat itu terbuat dari kayu biasa saja, akan tetapi begitu digerakkan oleh tangan yang besar dari See-thian-ong, berubahlah tongkat itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi aneh, juga gerakan-gerakannya amat aneh. Tahu-tahu ujung tongkat itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sehingga ketika Thian Sin menangkis dan mengelaknya, ujung tongkat itu secara berantai telah melakukan tiga belas kali totokan sambung menyambung ke arah jalan-jalan darah maut di sebelah depan tubuh lawan! Thian Sin terkejut bukan main. Tidak keliru keterangan Cian Ling. Memang ilmu silat kakek ini menjadi luar biasa hebatnya setelah dia memegang tongkat! Belum pernah dia melihat ilmu tongkat sehebat ini, dan ujung tongkat itu tergetar menjadi banyak sekali. Inilah yang membuat ilmu tongkat kakek itu amat berbahaya, karena ujungnya yang tergetar dan kelihatan menjadi banyak itu sukar diketahui mana yang aseli dan mana bayangan-bayangannya. Hal ini membuat tongkat itu amat berbahaya. Juga Thian Sin teringat akan ilmu Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang pernah dipelajarinya dari ibu kandungnya. Siang-bhok Kiam-sut juga memiliki dasar yang membuat sebatang pedang kayu sama ampuhnya dengan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi gerakannya jauh berbeda dengan ilmu tongkat kakek ini sehingga dia tetap belum dapat menyelami dan dalam gebrakan pertama itu, dia terdesak hebat. Thian Sin berlaku hati-hati sekali, memutar pedang Gin-hwa-kiam dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang mengandung daya tahan amat kuat untuk melindungi dirinya dari ancaman bayangan ujung tongkat yang amat cepat itu. Melihat betapa ilmu tongkatnya yang amat dibanggakan itu kembali dapat mendesak lawan, kegembiraan See-thian-ong bangkit lagi. Dia mulai tertawa-tawa dengan girang dan sengaja menggunakan tongkatnya untuk mempermainkan lawan. Memang hebat sekali ilmu tongkatnya itu. Tongkat itu di tangannya itu seolah-olah hidup dan menyambar-nyambar dari segala jurusan. Memang, dengan mengandalkan daya tahan Thai-kek Sin-kun, Thian Sin masih dapat melindungi dirinya seperti terkurung benteng baja. Akan tetapi tidak mungkin dalam suatu pertandingan dia hanya membela diri saja tanpa membalas serangan. Namun, setiap kali dia membalas, bahkan telah dicobanya Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, tetap saja setiap kali dia menyerang dia malah hampir saja celaka kena disambar tongkat sehingga kembali dia harus cepat-cepat berlindung dalam gerakan Thai-kek Sin-kun untuk menyelamatkan dirinya. Memang benar dia telah mempelajari Siang-bhok Kiam-sut, tetapi ketika dia mempelajarinya, dia masih kecil dan dasar kepandaiannya belum matang sehingga ilmu itupun kurang terlatih, atau kurang dapat dikuasai inti sarinya. Sesungguhnya, ilmu silat apapun juga mengandung daya guna sendiri-sendiri dan hanya kematangan dalam menguasai suatu ilmu itulah yang membuat ilmu itu menjadi berguna dan kuat. Andaikata Thian Sin sudah benar-benar menguasai Siang-bhok Kiam-sut dengan sempurna, belum tentu dia akan merasa terdesak oleh Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dimainkan oleh See-thian-ong itu. Ilmu silat hanya merupakan dasar gerakan saja yang mengandung unsur-unsur menyerang atau membela diri. Ketangguhan seseorang bukan tergantung sepenuhnya dari macam ilmu silatnya, melainkan tergantung kepada dirinya sendiri, kepada kematangannya menguasai ilmu yang dimilikinya itu. Tidak dapat dikatakan mana yang lebih kuat antara Siang-bhok Kiam-sut dan Giam-lo Pang-hoat, akan tetapi kalau yang dimainkan Siang-bhok Kiam-sut itu Thian Sin yang masih mentah dalam ilmu itu, dan yang mainkan Giam-lo Pang-hoat adalah See-thian-ong pencipta ilmu itu, tentu saja Thian Sin kalah jauh! Buktinya, dahulu tokoh Cin-ling-pai yang merupakan pendiri Cin-ling-pai dan orang pertama yang menguasai Siang-bhok Kiam-sut, dengan pedang kayu harumnya dan ilmu pedangnya itu belum pernah bertemu tanding! Kepandaian manusia memang ada batasnya, atau lebih tepat lagi, kemampuan manusia untuk menguasai suatu kepandaian akan ilmu pengetahuan adalah terbatas sekali. Kalau seseorang menghendaki agar dia menjadi ahli dalam suatu ilmu, dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan pikirannya untuk mempelajari dan memperdalam ilmu itu. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau memang pada dasarnya ada minat dan rasa cinta terhadap ilmu tertentu itu. Jadi, syarat bagi seorang ahli membutuhkan tiga dasar, yaitu bakat, minat dan cermat. Bakat dalam arti kata kecenderungan kemampuan alamiah terhadap ilmu tertentu itu, dan bakat ini seolah-olah terbawa lahir oleh seseorang sehingga sebelum dia itu tahu apa-apa tentang suatu ilmu, dia telah memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain apablia dihadapkan pada ilmu itu. Minat adalah rasa cinta atau rasa suka akan ilmu yang dipelajarinya itu karena tanpa adanya minat atau rasa tertarik atau rasa suka ini, tentu saja dia tidak akan bersemangat mempelajarinya. Kemudian yang terakhir adalah cermat, atau ketekunan dalam mempelajarinya. Bakat memudahkan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu, minat mendatangkan gairah belajar, dan cermat menuntun kepada ketertiban belajar. Ketiganya ini digabungkan menjadi satu, maka akan berhasillah seseorang menjadi ahli. Satu saja di antara ketiganya ini tidak ada, akan sukarlah untuk menjadi ahli dalam arti kata yang sedalam-dalamnya. Thian Sin adalah seorang pemuda yang memiliki bakat besar sekali dalam ilmu silat. Ketika masih kecil sekali, hal ini dapat nampak. Begitu belajar, secara naluriah gerakannya sudah cekatan dan patut. Dan dia memang mempunyai minat yang besar sekali terhadap ilmu silat. Akan tetapi, pengalamannya membuat dia dalam usia muda sudah dijejali oleh banyak sekali ilmu silat tinggi sehingga dia tidak sempat untuk mematangkan satupun di antara ilmu-ilmu itu. Oleh karena ketidakmatangan inilah, maka begitu dia berhadapan dengan lawan yang sudah matang ilmunya seperti See-thian-ong ini, dia menjadi kewalahan dan terdesak terus. Cian Ling yang sejak tadi mengikuti jalanannya pertandingan, memandang gelisah setelah melihat pemuda itu terdesak hebat oleh tongkat gurunya. Tadi ketika dua orang itu bertanding dengan tangan kosong, berkali-kali Cian Lin menahan seruan kagum melihat betapa pemuda itu bukan saja dapat menandingi gurunya, bahkan mampu mendesak dan bahkan pada gebrakan terakhir gurunya itu nyaris kalah! Akan tetapi, setelah kini gurunya menggunakan tongkatnya, ia melihat betapa Thian Sin terdesak hebat dan sinar pedang perak itu semakin lama menjadi semakin kecil dan suram, didesak dan dihimpit oleh sinar tongkat di tangan suhunya yang terus terkekeh-kekeh dengan senang. Ia sudah mengenal gurunya, mengenal kekejaman hati gurunya yang tidak mengenal ampun itu. Tentu saja ia merasa amat khawatir akan keselamatan Thian Sin. Ia belum ingin kehilangan pemuda yang amat menyenangkan hatinya itu. Melihat betapa gurunya tertawa-tawa dan mendesak terus, bahkan beberapa kali ia melihat ujung tongkat gurunya itu menghajar pangkal lengan kiri dan paha kanan kekasihnya, Cian Ling tidak mampu lagi menahan hatinya. “Suhu, jangan celakai dia...!” “Ha-ha-ha, dia belum kalah, heh-heh, bukankah begitu, orang muda?” Kakek itu mengejek. Akan tetapi dia sungguh kecelik kalau mengira bahwa Thian Sin mengaku kalah. Pemuda ini memang sudah terkena pukulan beberapa kali, akan tetapi dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya kebal dan hanya terasa kulit dagingnya saja memar, akan tetapi tidak sampai menderita luka parah dan dia masih terus dapat melakukan perlawanan tanpa pernah mengendur sedikitpun juga. Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan itu, dia menahan kemarahannya. “AKU memang belum kalah, locianpwe!” katanya. “Ha-ha-ha, agaknya kalau belum mampus engkau tidak akan merasa kalah!” Kakek itu memutar tongkatnya lebih keras dan Thian Sin terkejut sekali karena tanpa dapat dihindarkannya lagi, dadanya kena ditotok atau didorong oleh tongkat itu yang bergerak secara aneh sekali. “Dukk...!” Dia tidak terluka parah karena tenaga Thian-te Sin-ciang melindunginya, akan tetapi guncangan oleh totokan yang amat keras itu membuat napasnya seperti terhenti dan dia terpelanting. “Thian Sin...!” Cian Ling berteriak, akan tetapi pemuda itu sudah bangkit kembali. Thian Sin maklum bahwa kalau dia hanya menggunakan ilmu-ilmunya yang biasa, dia takkan mampu menang. Teringatlah dia akan ilmu peninggalan ayah kandungnya. Tidak percuma selama ini, terutama ketika berada di rumah Pak-san-kui, dia mempelajari ilmu ayahnya itu dengan tekun, terutama sekali gerakan dari Ilmu Hok-te Sin-kun. Kini, melihat kakek itu sambil tertawa-tawa menubruknya lagi sambil memutar tongkat, tiba-tiba Thian Sin mengeluarkan pekik melengking, dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik! Kedua kakinya dengan gerakan aneh menendang-nendang menyambut tongkat, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar, tangan kanan yang memegang pedang menggerakkan pedang membabat kaki lawan. Dia hanya menggunakan kepala saja untuk menunjang tubuhnya yang sudah berjungkir balik. “Eh...?” Kakek itu terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkatnya bertemu dua buah “tongkat” lain berupa kaki pemuda itu dan merasa ada sambaran angin dahsyat menyerang dari bawah. Dia cepat meloncat, akan tetapi tidak sempat mengelak dari hantaman tangan kiri Thian Sin. Pemuda itu tadi mencengkeram, akan tetapi melihat lawan meloncat, lalu mengubah cengkeramannya menjadi pukulan dengan tenaga Hok-liong Sin-ciang yang dahsyat. “Dessssss!” Perut kakek itu terkena pukulan. Memang kakek itu cepat mengerahkan sin-kang melindungi perut, namun tenaga Hok-liong Sin-ciang itu adalah tenaga mujijat maka tubuhnya terlempar dan terbanting roboh dengan keras sekali! “Heiii...!” Saking kagetnya kakek itu berseru heran, akan tetapi ketika dia bangkit berdiri, mukanya menjadi merah saking marah dan malunya. Dia telah terpukul roboh! Dan diapun pernah mendengar akan ilmu-ilmu aneh dari Pangeran Ceng Han Houw, maka dia menduga bahwa ilmu jungkir balik tadi tentulah ilmu ayah pemuda itu. “Itulah jurus peninggalan ayah kandungku, locianpwe!” Thlan Sin berkata dalam keadaan tubuhnya masih berjungkir balik, merasa girang bahwa jurus ilmu-ilmu silat peninggalan ayahnya demikian ampuhnya sehingga dapat membuat kakek tangguh itu roboh. “Aku belum kalah!” teriak See-thian-ong dan diapun sudah menerjang lagi, lalu disambungnya dengan kata-kata yang penuh getaran aneh, “Berjungkir balik seperti itu tentu membuat kepalamu pening!” Tongkat itu sudah digerakkan lagi dan kini kakek itu menyerang dengan hati-hati. Thian Sin menyambut dengan kedua kakinya dan mulailah dia melakukan ilmu silat aneh dari ayah kandungnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan main. Benarlah kata-kata kakek itu tadi, berjungkir balik seperti itu membuat kepalanya terasa pening! Akan tetapi, dia segera teringat bahwa tidak biasa dia merasa pening kalau memainkan Ilmu Hok-te Sin-ciang, dan tahulah dia bahwa kepeningan itu datang dari pengaruh ucapan kakek itu. Sebagai anak angkat dan murid seorang sakti seperti Pendekar Lembah Naga, tentu saja Thian Sin sudah pernah digembleng oleh ayah angkatnya itu tentang bagaimana harus menghadapi kekuatan yang tidak wajar cepat dia mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking dan segera kepeningan kepalanya itu menjadi lenyap dan dia dapat menyambut serangan lawan dengan baiknya, bahkan dia dapat membalas dengan serangan dari atas menggunakan dua kakinya, dibantu oleh kedua tangannya dari bawah. Kembali kakek itu terkejut. Dia dapat merasakan getaran tenaga khi-kang dalam lengkingan suara pemuda itu yang membuyarkan pengaruh sihirnya terhadap pemuda itu, dan kini dia kembali kewalahan menghadapi ilmu jungkir balik yang aneh itu. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh seperti orang membaca doa atau mantera, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Sin ketika melihat betapa tubuh lawannya itu perlahan-lahan lenyap! Mula-mula nampak suram-suram dan makin lama bayangan kakek itu menjadi semakin tipis. Sukar baginya untuk melawan bayangan yang hampir tidak nampak ini dan terpaksa dia meloncat dan berdiri di atas kedua kakinya lagi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi, kini bayangan lawan itu sudah tidak nampak lagi walaupun gerakannya masih terasa dan tertangkap oleh pendengarannya. Thian Sin kaget dan berusaha mengerahkan khi-kang sambil membentak. Namun sia-sia belaka, kakek itu benar-benar telah menghilang dan masih terus menghujani dengan serangan. Thian Sin berusaha mengandalkan pendengaran telinganya untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tidak mungkin dia dapat melawan orang yang pandai menghilang ini, yang memiliki ilmu tongkat demikian aneh dan lihainya. Setelah berhasil mengelak dan menangkis beberapa kali akhirnya lehernya tertotok keras sekali. Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, tetap saja dia terpelanting keras dan merasa nanar. Dia cepat mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng untuk menjaga diri dan membalas pukulan lawan, akan tetapi tiba-tiba pundaknya tertotok dan ternyata yang menotoknya itu adalah tongkat yang diluncurkan dan karena tongkat itu tidak dipegang orang, maka tentu saja Thi-khi-i-beng tidak dapat menyerap apa-apa dan jalan darah thian-hu-hiat tertotok dengan tepat dan keras, mengakibatkan tubuh pemuda itu menjadi lemas dan lumpuh sama sekali! “Ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau terpaksa harus mengakui keunggulanku, orang muda!” Kakek itu tertawa dan kini kakek itupun dapat nampak kembali oleh Thian Sin. Pemuda ini memandang dengan sinar mata penuh penasaran. “Locianpwe telah menggunakan ilmu siluman!” katanya memprotes. “Ha-ha-ha, dan sekarang aku akan membuatmu menjadi siluman tanpa kepala!” kata kakek itu yang segera memungut pedang Gin-hwa-kiam yang terlepas dari tangan pemuda itu, agaknya bermaksud untuk memenggal kepala Thian Sin. Kakek ini melihat pemuda itu merupakan seorang lawan yang amat berbahaya dan kelak dapat mengancam kedudukannya, maka dia mengiambil keputusan untuk membunuhnya saja. “Suhu, tahan...!” Cian Ling sudah menjerit dan gadis ini sudah menubruk tubuh Thian Sin, melindunginya dari ancaman gurunya. “Suhu tidak boleh membunuhnya!” “Heh-heh, siapa yang melarangku dan mengapa tidak boleh?” “Suhu, dia datang untuk mengadu ilmu dengan suhu sebagai orang muda minta petunjuk, bukan sebagai musuh. Adu pibu batasnya hanya kalah atau menang, dia sudah kalah mengapa harus dibunuh? Dan ke dua, suhu tidak bisa membunuhnya karena aku cinta padanya!” “Ho-ho-ha-ha-ha! Cintamu hanya sedalam kulit, dan apa susahnya mencari pemuda yang lebih ganteng daripada dia? Dan aku membunuhnya bukan karena bermusuhan, melainkan mengingat bahwa dia telah memberontak, pernah membikin kacau di Su-couw dan di Lok-yang. Kalau aku membunuhnya, bukankah itu berarti kita akan memperoleh jasa telah membunuh seorang pemberontak?” “Hemm, See-thian-ong, harap locianpwe tidak bicara tentang pemberontakan! Siapakah yang memberontak! Antara locianpwe dan aku ada persamaan bukan? Memang aku telah menyiksa si busuk Phoa-taijin itu, orang macam dia mana ada harganya dijadikan sekutu? Akhirnya hanya akan mencelakakan sekutu-sekutu saja. Locianpwe, kalau locianpwe, Pak-san-kui Locianpwe dan juga Lam-sin, bersama-sama dengan aku membantu kekuatan dari utara, bukankah kita merupakan persekutuan yang lebih kuat lagi? Mendiang kakekku, Raja Sabutai di utara juga memiliki pasukan yang kuat dan aku dapat mengumpulkan mereka kalau waktunya tiba. Akan tetapi, jangan mengira bahwa kata-kataku ini hanya untuk melindungi nyawaku. Kalau locianpwe mau membunuhku silakan, aku bukan orang yang takut mati.” Sejenak kakek hitam tinggi besar itu tertegun. Kakek ini paling suka akan kegagahan dan kejujuran dan memang dia sudah kagum sekali terhadap kegagahan pemuda ini. Akan tetapi dia juga khawatir akan kegagahan yang kelak akan mengancam kedudukannya itu. Tiba-tiba dia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Kekalahannya melawan pemuda itu terutama sekali karena pemuda itu memiliki ilmu jungkir balik tadi, ilmu yang pernah didengarnya menjadi ilmu simpanannya mendiang Pangeran Ceng Han Houw. “Ceng Thian Sin, di dunia kang-ouw dikenal dengan istilah balas membalas budi dan dendam-mendendam. Nyawamu berada di tanganku, dan kalau sekali ini aku mengembalikan nyawamu, lalu apa yang dapat kauberikan kepadaku sebagai balasannya?” Thian Sin adalah seorang pemuda cerdik dan diapun tahu bahwa kelemahan satu-satunya bagi para datuk ilmu silat seperti Pak-san-kui dan juga See-thian-ong ini, kalau bukan kedudukan tinggi tentu juga ilmu silat. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, “Locianpwe, apakah yang dapat kuberikan kepada locianpwe? Harta milikku hanya pedang itu, dan beberapa macam ilmu silat yang telah dikalahkan olehmu.” “Ha-ha-ha, memang ilmu apapun yang kaukeluarkan, tidak mungkin engkau dapat menandingi See-thian-ong! Akan tetapi, di antara semua ilmu itu, aku tertarik sekali melihat ilmumu jungkir balik tadi. Nah, bagaimana kalau engkau memberi tahu padaku tentang ilmu jungkir balik itu sebagai pengganti nyawamu?” Thian Sin menarik napas panjang. “Ilmu itu adalah peninggalan dari mendiang ayahku, Ceng Han Houw dan merupakan ilmu pusaka. Akan tetapi karena locianpwe dapat dikatakan orang sendiri, biarlah kuberikan kalau locianpwe hendak mempelajarinya. Bebaskan aku, dan kitab ilmu itu akan kupinjamkan kepada locianpwe.” Girang sekali hati kakek itu. Dia bersikap memandang rendah ilmu itu padahal sebenarnya dia ingin sekali mempelajarinya. Dengan cepat tongkatnya bergerak dan bagaikan seekor ular mematuk, ujung tongkat itu dua kali mengenai leher dan pundak Thian Sin, dan pemuda itu seketika dapat bergerak kembali. “Thian Sin, engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan pemuda itu. “Dan engkaupun ikut bertanggung jawah, Cian Ling. Maka engkaupun berjasa dan engkau boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab itu, Thian Sin.” Thian Sin segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata, “Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka bagiku maka aku hanya dapat meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja. Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.” “Ha-ha, tentu saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!” katanya sambil membuka-buka kitab itu. Thian Sin memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling. “Apakah selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling bertanya. Gurunya tertawa. “Tentu saja! Dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap di balik pohon-pohon. “Untung engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya. Thian Sin balas merangkul dan menarik napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling. Engkau telah menolong dan aku berhutang budi padamu, entah bagaimana dapat membalasmu.” “Ihh, masa kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis, dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmupun aku rela, kekasihku.” Demikianlah, melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan See-thian-ong bahkan telah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Diapun tahu bahwa kalau datuk itu tidak mempergunakan sihir, dia akan mampu melawan dan menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang amat berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka, jalan satu-satunya untuk dapat mengalahkan datuk barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya. Semenjak hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, di mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus rumah gedung guru mereka. Ciang Gu Sik, murid kepala yang telah lama jatuh cinta kepada Cian Ling, tentu saja merasa mendongkol, cemburu dan panas hatinya melihat betapa pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui oleh gurunya. So Clan Ling semakin tergila-gila kepada Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya ia menjadi tidak peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya, baru sekali ini ia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu berahi belaka, melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu. Karena inilah, maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia dapat menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat “menghliang” itu, Cian Ling lalu berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya. Dia sendiri memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan membuat laki-laki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya. Akan tetapi ilmu sihir mempengaruhi pikiran orang lain ini akan terbentur batu kalau berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu sihir dari See-thian-ong yang sifatnya mempengaruhi pikiran orang lain dan membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran, dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khi-kangnya. Akan tetapi, ilmu sihir membuat dirinya lenyap dari pandangan mata lawan itu berbeda lagi dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhunya, ilmu itu tidak mudah dimiliki orang, melainkan dapat dimiliki melalui pertapaan bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang amat berat. Ilmu itu termasuk ilmu hitam, yang berdekatan dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan. Ketika Thian Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, Cian Ling mula-mula menjadi bingung sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu. Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku berani mempelajarinya? Dan aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.” Thian Sin kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku penasaran dikalahkan suhumu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat menghadapi dan menandinginya. Kalau engkau tidak dapat memecahkan rahasia ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?” Karena takut kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya. “Heh-heh-heh, apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran itu untuk bersenang-senang? Kenapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua Bangka?” Cian Ling merangkul leher kakek itu. “Aih, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah sebelum aku berdekatan dengan pria manapun juga, suhu yang merupakan pria pertama dalam hidupku? Suhu merupakan suhuku, orang tuaku, juga cinta pertamaku. Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan aku sudah rindu sekali kepadamu, suhu.” Dengan amat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Dan dengan amat cerdiknya, setelah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam hati kecilnya memang datuk ini amat sayang kepada Cian Ling, gadis ini membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan. “Aku melihat ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ah, kalau saia aku dapat memiliki ilmu itu... betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka rebah berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai rambut suhunya yang panjang dan sudah bercampur uban itu. “Heh-heh, bukankah sudah kukatakan bahwa mempelajarinya amat sukar dan juga memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah cukup.” “Tapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu setelah menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.” “Ha-ha-ha-ha, siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku dapat mengalahkannya? Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu Hok-te Sin-kun telah mulai dapat kukuasai, tanpa ilmu menghilang sekalipun dia akan mudah dapat kutundukkan!” “Tapi... tapi aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!” “Untuk apa?” “Bayangkan saja betapa senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru dan menyaksikan pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.” Ucapan gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikianiah anggapan orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, senang sekali. “Ha-ha-ha, sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dahulu, ketika aku haru saja berhasil memiliki ilmu itu, akupun suka memasuki kamar pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan kalau aku tertarik, aku lalu menggunakan si pengantin pria setelah membuat dia tidak berdaya. Ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku. Tapi, mempelajari ilmu itu sungguh tidak mudah. Mana mungkin engkau dapat bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan, menjauhi pria?” “Suhu, kalau aku tidak dapat mempelajari setidaknya aku harus dapat menghadapi ilmu itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti itu? Ih, betapa mengerikan kalau dipikir. Coba bayangkan, andaikata sekarang ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik. Gurunya merangkuinya dan tertawa. “Andaikata begitu, habis mengapa? Paling-pailing dia akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang yang mampu mempergunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian Ling.” “Tentu saja, bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana kalau aku sedang merantau sendirian dan bertemu dengan orang yang memiliki ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?” Akhirnya, setelah menggunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling memperoleh rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang ia berpisah dari suhunya dan segera menemui Thian Sin yang sudah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga. Karena ia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, Cian Ling juga menjual mahal. Ia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum ia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar. “Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah dan sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.” Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti sampai lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk dalam kitab itu, bukan memperoleh yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri! Setelah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantar oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.” Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, kenapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?” “Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya. “Ho-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku telah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.” Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, “Kalau aku tidak mau melayanimu, bagaimana, locianpwe?” “Hemm, kalau engkau tidak mau melayanikupun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu.” “Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?” “Ha-ha-ha, kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia mempelajari kitab-kitab pemuda itu, Thian Sin sudah mampu dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? “Kalau kau menang, tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling.” “Dan kalau aku kalah?” Thian Sin bertanya. “Kalau kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!” Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dahulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!” Setelah berkata demikian, Thian Sin lari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya. Setelah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan lebih tidak senang lagi hatinya melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin. Tidak mengapa baginya kalau muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia tidak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia amat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang amat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai daripada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik. “Gu Sik...!” Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring. Muridnya yang setia itu segera lari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.” “Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku den kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoimu akan ikut pergi bersamanya?” Pria muda berwajah pucat itu menarik napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga ia lemah dan mudah dihanyutkan oleh perasaannya, harap suka suhu memaafkannya.” “Ha, engkau selalu membela sumoimu.” “Memang teecu amat mencintanya dan teecu telah menghargai sumoi daripada nyawa teecu sendiri.” “Bukankah itu juga suatu kebodohan?” “Memang, tapi teecu tidak berdaya...” “Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sutemu, juga undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan dan dia sudah berjanji kalau kalah akan menjadi pembantuku!” Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoinya! “Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang memeliharanya.” “Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang.” “Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya. Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, ia berkata dengan suara khawatir, “Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apalagi setelah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia telah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kauandalkan.” Thian Sin tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhumu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!” “Tapi, sungguh amat sukar untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah... sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu...” “Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku.” “Dan kalau engkau menang?” “Aku akan meninggalkan tempal ini!” “Dan engkau akan mengajak aku, bukan?” Thian Sin menggeleng kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.” “Tapi... aku... aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin... ah, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu...” Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja.” Wajah Cian Ling berubah agak pucat. “Aku... aku akan kehilangan...” Hampir ia menangis. Gadis ini sejak kecil hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah ia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum ia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini lain sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu. Thian Sin tersenyum ramah kepadanya. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu. Bagaimanapun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimanapun juga, akan membosankan. “Tidak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita bersilang, dan kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita akan saling bertemu, karena bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.” Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan dan bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu dan murid-murid suhunya, juga diantara mereka ia melihat banyak orang-orang kang-ouw di Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhunya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan? “Hati-hati... mereka adalah orang-orangnya suhu...” Cian Ling berbisik. Tak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan sepasang mata yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira. Memang hatinya gembira, karena dia melihat betapa banyak juga orang kang-ouw berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan banyak orang. Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apalagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai! Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia telah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan mampu menundukkan lawan kalau pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan. Melihat kakek raksasa itu, Thian Sin melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan memiliki kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan keroyokan untuk menghadapi lawan. Bahkan mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Setidaknya, kakek yang tentu banyak akalnya itu karena banyak orang yang menyaksikan, akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan. “Locianpwe See-thian-ong telah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini, aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, dan kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu agar dipegang orang lain dan siapa menang berhak menerima kitab itu.” See-thian-ong tertawa bergelak, senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di depan orang banyak betapa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dipelajarinya. Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan menggunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya, mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang bisa membahayakan dirinya. “Ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sekarang engkau berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau telah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa dengan sia-sia. Bagaimana kalau engkau mengaku kalah, berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar terdengar oleh semua orang. Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tidak mau dipengaruhi kemarahan. Dia memandang ke sekeliling dan melihat, betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran. Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu. “Locianpwe, kalah menang dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang kalau sudah dibuktikan. Maka, harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.” “Ha-ha-ha, kitab-kitab macam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat. Melihat itu, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, melainkan demonstrasi kekuatan khi-kang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke manapun dia suka. “Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi. Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam! Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Ia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang. “Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!” kata See-thian ong dan kini mengertilah Cian Ling mengapa suhunya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu. Kiranya suhunya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia telah dapat mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka diapun tidak mau banyak bicara lagi. “Awas serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Kedua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat. Namun, kakek tinggi besar itu telah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat sekali sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya. Thian Sin hanya mainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan setelah beberapa kali mereka saling serang dan mengadu lengan, Thian Sin sudah mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang. Juga ilmu silat yang membuat kedua lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus saja, disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecohkan lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Hal ini membuat lawahnya penasaran. Justeru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan. “Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!” Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang amat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya. Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, dan cepat dia bersiap-siap menandinginya dan sudah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini. Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lain merupakan pancingan dan juga gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga dalam jurus itu. Akan tetapi kenyataannya berbeda sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan “kosong”, dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik! Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Biarpun dia dapat meloloskan diri, namun sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api! “Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang! Akan tetapi kini kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlalu mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang telah dipelajarinya, walaupun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, namun amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia telah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini! Betapapun juga, dia penasaran. Ketika Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa diapun depat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga cepat berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, kembali dia kecelik dan setelah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya inipun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini! Ketika Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya namun tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan. Maka diapun tidak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, maka dia mengira bahwa saat inilah yang terbaik untuk mendahului lawan. Maka begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi segera kakek itu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dulu datangnya daripada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung. “Desss...!” Jalan darah di pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tidak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mujijat dari sin-kang yang diperolehnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar! Terkejutlah semua orang yang hadir di situ! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting dan terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula. Akan tetapi, kakek itu tidak percuma disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Wajahnya yang berkulit hitam itu mula-mula agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali ketika darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya. Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar. “Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tidak hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.” Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo-pang-hoat yang dahsyat itu. Angin bersuitan dari segala penjuru ketika dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu amat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan. Terjadilah pertandingan yang amat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang-kadang keduanya lenyap dan nampak hanya bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh. Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka kini kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang amat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara terkejut ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, namun gerakannya masih dapat tertangkap oleh telinga mereka. Thian Sin hanya mengandalkan ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis, kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak. “Bukk!” Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting. “Ha-ha-ha...!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih den mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu. “Ahhh...!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun! Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis diapun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat. “Desss...!” Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya jungkir balik itu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras dan tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung. Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, telah menerjang Thian Sin dengan menggunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini, Thian Sin tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu. “Thian Sin, tunggu...!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suhengnya dan gurunya sudah bendiri di depannya menghadang. Melihat gurunya memandang kepadanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi. “Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali. “Suhu...!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan melihat gurunya melangkah maju mendekatinya. “Plakkk!” Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong monyambar pipi kanan wanita itu, membuatnya terpelanting keras. “Engkau pengkhianat! Engkau telah membuka rahasia kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?” “Suhu, aku... aku cinta padanya...” “Tidak peduli engkau cinta padanya, engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak lagi hidup!” See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang-kadang menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut dan mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor. “Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya. “Trang...!” Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikapnya melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apalagi melawan dengan senjata. Akan tetapi, See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tidak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunyapun tidaklah aneh. Apalagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik inipun kadang-kadang meniadi kekasih gurunya itu! “Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan diapun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga. “Suhu, jangan bunuh sumoi...!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan dan dengan senjata ruyungnya diapun membantu sumoinya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoinya itu. Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan biarpun kini ada Gu Sik yang membantu sumoinya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat dan beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut. See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati kareana dikhianati muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak disangkanya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani pula menentangnya. Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega, pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, melainkan dipergunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoinya itu dari ancaman senjata See-thian-ong. Dihadapi dua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apalagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar dan di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling. Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoinya dan menghalangi suhunya. “Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoinya. “Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhumu pula? Hendak membela pengkhianat?” “Suhu, teecu mencintainya.” “Karena dia cantik dan muda?” “Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.” “Kalau begitu, aku ubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.” “Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi “krek-krek” dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk. Dengan demikian, biarpun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi sudah tidak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat. Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan cukup kuat tulang yang tersambung lagi. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, biarpun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali. Cian Ling menjadi penderita cacad dan ia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, dibandingkan dengan wanita biasa, ia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, ia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa. Menerima hukuman seperti itu, yang amat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoinya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouwpun bubarlah, tidak ada yang berani bicara, apalagi membicarakan kekalahan datuk itu! Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani bicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di depan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu. Setelah luka-lukanya akibat hukuman suhunya sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa ia harus menjadi isteri suhengnya itu. Ia menerimanya setengah terpaksa, karena kalau ia menolak, ia tahu bahwa gurunya tentu tidak akan mengampuninya dan akan membunuhnya. Melawanpun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhunya merupakan hal yang amat tidak mungkin. Ke manapun ia melarikan diri, akhirnya ia tentu akan tertangkap juga. Kalau saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu ia tidak takut menghadapi suhunya. Akan tetapi, Thian Sin meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa ia menerima keputusan itu. Dan ke tiga, karena ia melihat kenyataan betapa Cian Gu Sik, suhengnya itu, benar-benar amat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah dan tubuhnya, bukah sekedar cinta berahi seperti yang selama ini ia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi. Thian Sin melarikan diri dengan hati girang. Dia telah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, karena dia menganggap belum tiba waktunya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya. Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa benar-benar kuat, barulah dia akan turun tangan, membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya. Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah merupakan kemenangan tipis, belum mutlak. Maka dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya secara sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan kalau mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw! Maka, dengan hati mantap, Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himlaya!

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger