naruto
naruto
Sabtu, 01 Desember 2012
pdk asamara 8
“Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!” Yan Cu berkata.
Akan tetapi pada saat itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka ditampari dan dirobohkan, menjadi terkejut sekali dan terpaksa mereka kini menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, disangka menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak!
Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diseling suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan mereka. Yan Cu melompat ke sana-sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok cukup membuat jari tangan itu memegang terbuka dan goloknya terlepas. Yan Cu menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu menggerakkan goloknya menghadapi para pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis terlempar ke sana-sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguhpun bukan merupakan luka yang parah.
Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok, dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima orang yang lain menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung tanpa berani bergerak! Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri! Pembesar ini tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal dan berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang akan tetapi nyata menyinarkan kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,
“Tangkap pemberontak itu!” Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba,
“Tahan semua...!!” Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khi-kang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin.
“Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk bertemu dan bicara denganmu!”
“Hemmm, perempuan tak berbudi!” Pembesar itu membentak karena merasa malu mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu, malu kepada para pengawalnya karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! “Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti suamimu dan engkau apalagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa lagi?”
“Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukuman pemerintah, akan tetapi mengapa engkau bicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun. Siapakah di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat? Baru sekarang ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut akan bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?”
“Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah jelas bahwa suamimu Yap Sinshe melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!”
“Sebutkah dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!” Yan Cu berkata, menahan kemarahannya.
“Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw.”
“Bohong besar!” Yan Cu berteriak, “Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku.”
“Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah.”
“Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?”
“Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!”
“Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kaubebaskan dia!”
“Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!”
Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!
“Toloooonggg… tangkap… ahhhh!” Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!
“Mundur semua!!” Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. “Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!””
Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran.
“Jangan bunuh aku...” ratapnya.
“Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!” Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur!
“Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak dia ke sini... cepat!!”
Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!
“Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut nyawamu!”
Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya dapat segera bebas.
Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,
“Aihhh, apa yang kaulakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau…”
“Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!”
Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap.
“Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat! Tolol kalian semua!” Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!
Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian!
“Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!”
Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.
“Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya.”
“Aku....?” Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.
“Ya, engkau...” Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.
“Mengapa aku...?”
“Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan...”
“Stoppp...!” Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya. “Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita...”
“Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama...” Yan Cu juga tertawa.
Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian menjadi penuh pengertian.
“Aihhh... apa yang kita lakukan ini…?” Yan Cu berkata lirih.
Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. “Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?”
Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan mendesak,
“Kalau memang mengerti, apa?”
“Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!”
“Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar.”
“Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!” Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. “Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!”
“Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?”
“Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?”
Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. “Hemm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!”
“Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!” Isterinya mencela.
“Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga...”
“Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?”
“Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?”
“Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!”
“Wah, celaka tiga belas!” Cong San memegang kepalanya.
“Mengapa?”
“Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!”
“Ihhhh!” Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.
“Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...” bisik Yan Cu.
“Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah...” terdengar suara Cong San lirih. “Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini… aih… mesra...!”
“Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!”
“Cinta tak mengenal usia...”
Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
“Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana.”
“Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya.”
“Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri.”
“Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku.”
“Apa maksudmu?” Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.
“Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri.”
“Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?”
Cong San menarik napas panjang. “Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!”
Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.
“Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?”
“Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu.”
“Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?”
Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.
“Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?”
Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
“Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya.”
Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih. “Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan.”
“Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!”
Cong San menarik napas panjang. “Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh.”
“Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong.”
“Ke mana?”
“Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san.”
“Keng Hong dan Biauw Eng…?”
Yan Cu mengangguk.
Hening sejenak. “Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka.”
Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau “raja” dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Daftar Blog Saya
naruto
naruto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar