naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 460

“Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!” teriak pula Lam-thian Kai-ong. Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan peme¬rintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara kegagalan itu adalah Cia Sin Liong! “Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula?” “Mengapa tidak? Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah su¬kar hidupnya?” kata Lam-thian Kai-ong. “Bohong!” tiba-tiba Bi Cu berteriak, “Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rak¬yatnya, apalagi rakyat miskin.” “Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!” “Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin men¬coba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!” kata Kim Lok Cinjin. “Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!” kata pula si Raja Pengemis. Sin Liong tersenyum. “Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar,” kata Sin Liong sambil menjura. Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu? Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suheng¬nya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak penga¬laman, dia tentu tidak akan mau me¬nimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerak¬an pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya. “Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak dela¬pan kali kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu.” Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah. “Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang ber¬salah, aku akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada se¬orang anak kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!” “Bagus! Itu artinya menantang kami!” kata Si Raja Pengemis yang sudah meng¬gerakkan tongkatnya melakukan penyerang¬an yang amat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, me¬lakukan serangan kilat ke arah Sin Liong. Sin Liong cepat mengelak sambil ber¬loncatan ke sana-sini. “Hem, kalian me¬mang sudah tidak dapat diperbaiki lagi,” katanya dan diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Tongkat butut di tangan Raja Penge¬mis itu menyambar ganas, namun hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput. “Darrr!” Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah! “Singgg...!” Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini. Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-¬kang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat dipergunakannya untuk me¬nangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka! Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. “Ciu-enghiong, kenapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!” “Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah.” “Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka?” Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan me¬mandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut. “Eh, twako, kau mau apa?” “Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah...” Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya be¬tapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong. “Cia-taihiap, pinto mengaku kalah...” kata tosu itu. “Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah...” Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi dari situ tanpa menoleh lagi. Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata, “Ah, sungguh tak pernah ku¬sangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap...” Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. “Twako, kenapa engkau begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah seorang manusia.” Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. “Ah, Sin Liong... sungguh tak pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!” Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu. “Mari kita lanjutkin perjalanan, seben¬tar lagi malam akan tiba dan kita se¬baiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam,” kata Ciu Khai Sun. Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol dan makan ma¬lam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong, “Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi?” Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong ter¬senyum dan menjawab singkat. “Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupa¬kanmu, Ciu-twako.” Mendengar ini, Na Tiong Pek me¬loncat bangun dan wajahnya berseri gem¬bira. “Wah, kalian akan menikah? Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?” Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lalu tersenyum lega. “Na-twako, kami... berdua saling mencinta...” pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya. “Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasar¬kan cinta kedua fihak, baru dapat di¬harapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!” Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang ta¬ngan bekas suheng itu. “Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman.” Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang. “Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri.” Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira. *** Setelah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak. Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main. “Liong-koko...!” Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak dan berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang disayangnya ini. “Kalian baik-baik saja, bukan?” tegurnya. Setelah pertemuan tiga orang yang gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong menyalam Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi bernama Kui Beng Sin, dan memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek. Dalam perkenalan ini, terjadi hal yang amat menarik, yaitu pertukaran pandang mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka berdebar tidak karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selamanya belum pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah! Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin dan dua orang adik kembarnya. Sambil meng¬gandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Tujuh orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan. Tiba-tiba Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, “Di manakah ayah kalian? Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk menemuinya?” Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedang Beng Sin segera bangkit berdiri sambil berkata, “Dia beristirahat di dalam. Marilah kalau kalian hendak bertemu, kuantarkan. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu kita ini.” Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku telah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak maukah kalian memaafkannya?” Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar pembunuh ayah kandungnya, sudah banyak kebencian di dalam hati Bi Cu menurun, bahkan ada rasa tidak enak kalau sampai dia harus turun tangan membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapapun juga, dua orang dara kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat tidak enak baginya. Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia makin merasa canggung dan tidak enak, dan dia tidak berkata apa-apa dan memblarkan Sin Liong yang menjawab. “Beng Sin, antar sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang.” Beng Sin mengangguk lalu menarik napas panjang. “Menyedihkan sekali... dan kalau keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan pernikahanku?” Mereka tiba di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di situ dan Beng Sin me¬nuding ke kamar itu. “Dia selalu berdiam di kamarnya.” Kemudian dia membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu. Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung. “Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah,” kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu. Sin Liong dan Bi Cu terkejut melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan tiba-tiba pria itu bangkit berdiri, memandang kepada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan, “Ampunkan aku... ampunkan aku...” Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan, “Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!” Dan dia sudah memasang kuda-kuda. “Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk,” Beng Sin berkata dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung hidup! “Mari... mari kita pergi...” kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong dan pemuda ini merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi Cu sama sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih belum puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata dengan suara halus. “Paman Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan yang telah kaubunuh itu!” Bibir Kui Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, “Bhe Coan... Bhe Coan...” Lalu kembali dia menjatuhkan diri dan berlutut. “Ampunkan aku... ampunkan aku...!” Sejenak kemudian dia sudah meloncat bangun dan seperti tadi dia memasang kuda-kuda dan berkata, “Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!” “Mari kita pergi!” Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia sudah menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu. “Kiranya ayahku telah berdosa pula kepada nona, maka biarlah aku yang mintakan ampun dan menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk memaafkannya,” Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut! Cepat-cepat Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya dan membangunkannya. Sin Liong merangkulnya. “Beng Sin, engkau sungguh seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu tidak mendendam, bahkan kami kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh lebih menderita daripada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas dendam.” Beng Sin menghela napas. “Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia hanya minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk.” “Apakah setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu?” “Kadang-kadang dia keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman di belakang rumah, tak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu, kamarnya dan taman bunga.” “Sudahlah,” kata Bi Cu. “Mari kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara dengan gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua.” Mereka lalu kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak bicara dengan asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biarpun baru saja berkenalan, agaknya nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan, dan antara Tiong Pek dan Kui Lin! Lan Lan dan Lin Lin menjadi girang sekali ketika mereka melihat Sin Liong dan Bi Cu kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin kelihatan gembira. Mereka lalu memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu sibuk untuk menjamu para tamu mereka dan tujuh orang muda-mudi itu makan minum sambil ber¬cakap-cakap dan bersendau-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa cocok satu sama lain bertemu dan ber-cengkerama. Akan tetapi, selagi mereka bergem¬bira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari belakang rumah. Sin Liong yang ter¬cepat di antara mereka sudah meloncat dan lari masuk, terus menuju ke belakang, diikuti oleh yang lain-lain. Dan di tengah-tengah taman bunga di belakang rumah itu kelihatanlah pemandangan yang mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya meng¬geletak pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita luka hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuat¬nya muntah darah. Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua orang itu tidak tertolong lagi. Pedang kakek brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui Hok Boan membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali. Lan Lan dan Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. “Dia ini yang dulu menculik kami!” teriak Kui Lin. Sin Liong juga ingat akan pengalaman¬nya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu terdapat seoranq kakek brewok yang me¬larikan Lan Lan dan Lin Lin dan ke¬betulan dia melihat hal itu, maka diapun menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan Kui Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi kawan-kawannya. Bahkan monyet betina yang menjadi induk¬nya, yang merawatnya ketika dia masih bayi, tewas oleh kakek brewok ini. Maka dia cepat mendekati, monotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan¬nya, lalu bertanya, “Mengapa kau membunuh paman Kui Hok Boan?” tanyanya. Orang itu terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. “Aku... Ciam Lok... puas sudah dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan ditinggalkannya...” dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini, nyawanya menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu. Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu mengurus jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun. Sin Liong dan Bi Cu tinggal di Su-couw, ikut membantu keluarga Kui yang mengurus pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini telah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga membantu sampai selesainya pemakaman. Kemudian, Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw untuk pergi ke Cin-ling-san. Di tempat ini, mereka disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira sekali. Sampai beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap dan saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya dari kecil sampai dewasa. Beberapa bulan kemudian, atas per¬setujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu dirayakan dengan amat meriah karena di¬hadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw di empat penjuru, dan juga dihadiri pula oleh banyak tokoh-tokoh besar dari pemerintah di kota raja! Bahkan Pangeran Hung Chih sendiri berkenan hadir! Semua tamu memandang dengan gembira dan harus mengakui bahwa pasangan pengan¬tin itu memang tepat dan cocok sekali, apalagi melihat betapa dari dua pasang mata pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih kalau mereka saling pandang. Tidak semua cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu, akhirnya menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama dan setiap pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apabila rumah tangga mereka didasari dengan cinta kasih. Apapun di dunia ini, baik yang oleh umum dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah dan mudah diatasi apabila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih. Yang umum menganggap kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang umum menganggap sebagai kesengsaraan akan terasa ringan apabila dihadapi oleh sepasang suami isteri yang saling mencinta. Beberapa bulan kemudian, pengantin muda dan masih baru ini menghadiri pernikahan yang diadakan di Su-couw, yaitu sekaligus tiga pasang pengantin dirayakan pernikahannya, antara Kui Beng Sin dengan Ciok Siu Lan, Cui Khai Sun dengan Kui Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin! Demikianiah, cerita ini berakhir dengan catatan bahwa suami isteri Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari Istana Lembah Naga, hidup berbahagia di tempat sunyi itu. Harapan pengarang, semoga cerita Pendekar Lembah Naga ini dapat menghibur hati para pembatanya di waktu senggang dan mengandung manfaat bagi pembukaan kesadaran dan kewaspadaan kita bersama. Sampai jumpa di dalam cerita “Pendekar Sadis” yang merupakan cerita sambungan dari cerita ini. T A M A T Lereng Lawu, Agustus 1976

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger