naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 28

“Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan te-tapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepa-daku!” Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarah-an. “Yap Kun Liong! Jadi kau... kau ha-nya mau mempermainkan aku?” Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa- pun juga. Sebelum aku menciummu, bu-kankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?” “Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kaulakukan tadi...” “Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?” “Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kaulakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!” “Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan de-ngan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilaku-kan dengan kerelaan kedua pihak...” “Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!” Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul. “Kau aneh sekali...” “Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghina-ku!” “Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh...” Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang--kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot meng-elak dan menangkis. “Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah eng-kau sudah gila?” “Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!” Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran. “Waaahhh... celaka! Nah, kaulihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!” Kun Liong terpaksa melempar diri ke bela-kang dan bergulingan, kemudian melom-pat bangun dan melihat Hwi Sian benar--benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri! “Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?” Hwi Sian mengejar. “Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!” Dia mengerahkan gin-kang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil menge-pal tinjunya. Setelah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan. Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata, “Hwi Sian, jangan menangis. Kaumaafkan aku kalau memang kau ang-gap aku bersalah.” Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya makin menjadi-jadi! Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia me-narik napas panjang, lalu berkata, “Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat meng-hinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubo-hongi, bukan?” Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong menge-luarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu menghapus pipi yang ba-sah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini seperti me-remas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepa-lanya di atas pundak Kun Liong! “Sudahlah Hwi Sian,” Kun Liong mengelus kepala gadis itu, “Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?” “Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?” “Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu.” Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat bu-ruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali! “Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka ber-bohong apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?” Hwi Sian memandang bingung. “Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku...” “Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?” “Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... eh, baik hati. Aku suka kepa-damu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!” “Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada se-seorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, ketika aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku...” “Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang dan memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku saja.” “Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tidak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cin-ta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir.” “Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?” “Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib ter-lalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian.” “Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?” “Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat se-tangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, kita akan menyesal dan kecewa. Nah, mau-kah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!” Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Semenjak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama se-kali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasihat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu berahi. Adakah tadi nafsu berahi yang mendorong sehingga dia me-rasakan nikmat dalam pelukan dan mene-rima ciuman Kun Liong? Tiba-tiba Kun Liong memegang ta-ngannya. “Eh, ada banyak orang datang berkuda!” Mereka bangkit berdiri dan menoleh ke belakang. Benar saja, tak lama kemudian muncullah serombongan orang ber-kuda. Kun Liong terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek--bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai. “Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!” Hwi Sian berseru marah dan juga kaget. “Hwi Sian, mari kita lari!” Kun Liong berbisik. “Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suhengku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka aku yang kebetulan dapat membongkar raha-sia mereka. Aku harus lawan mereka!” Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari me-nyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat dan menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hen-drik pemuda asing. “Pemberontak hina!” Hwi Sian mem-bentak marah. Diserang secara tiba-tiba dengan dah-syat, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, berguling-an lalu meloncat bangun. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencarimu, Nona!” katanya sambil mencabut sebatang pedang. “Tangkap dia!” Panglima itu memben-tak dan dua orang perajurit lalu meng-gunakan pedang mereka menubruk. Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biarpun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Ketika dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya me-raih. Seorang perajurit berteriak, tubuh-nya terjengkang dan pedangnya terampas dan di lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur ja-tuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian! Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk de-ngan pedang rampasannya dan dalam be-berapa gebrakan saja dia telah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi. “Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!” Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Tubuhnya sudah me-langkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan. “Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!” Tiba-tiba tampak bayangan ber-kelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu. Kun Liong sejak tadi sudah melihat dan siap untuk mem-bantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan dapat melayani pengeroyokan para perajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi meli-hat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pe-muda itu, menghadangnya dan mencela-nya. Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan, gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentu “pendeta” muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sam-bil tersenyum berkata, “Bapak Pendeta, datang dari kuil ma-nakah, dan apakah hubungan Bapak Pen-deta dengan gadis pemberontak itu?” Kun Liong tersenyum masam. Bangsa-nya sendiri saja, juga seorang gadis se-perti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apalagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah tentang kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab, “Aku tidak datang dari kuil manapun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui betul siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!” Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah meno-long gadis tawanan. “Pendeta muda sombong, engkaulah pemberontak!” Hendrik sudah meneriang maju dengan gerakan yang dahsyat. Pe-muda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan memiliki tenaga yang dahsyat, kedua tangannya bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula. “Hemm... kau ganas...!” Kun Liong mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong--sin-kun yang ia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini menge-royok Hendrik dari delapan penjuru! “Kau pendeta sombong hebat juga!” Hendrik berkata kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu amat runcing dan tajam ringan dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati! Kun Liong cepat menghindarken diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tidak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi dengan pedang kecil panjang itu di tangan lawannya merupakan bahaya baginya. Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Slan. Dia menoleh dan me-lihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah panglima yang menggunakan pedang. Agaknya dara itu terancam ba-haya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan. “Cuit-cuit-cuit-singg...!” Kun Liong cepat melompat ke belakang, hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi ka-rena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir akan keadaan Hwi Sian, Kun Liong me-ngeluarkan teriakan nyaring, kedua ta-ngannya mendorong dan tampak uap pu-tih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik. “Ougghh...!” Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang tepat untuk menghindarkan diri. Kesem-patan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian. Ternyata Hwi Sian telah terluka di paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan, akan tetapi di dekatnya tampak seorang laki--laki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah ping-san itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki--laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian. Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak! Tan Swi Bu menoleh dan berkata, “Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoiku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!” Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali memperoleh korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan menyangkanya seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri, mendorong roboh seorang perajurit yang menunggang kuda, kemudian dia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian. “Tan-enghiong, lekas lari!” Dia berseru. Melihat betapa “hwesio” itu telah berhasil melarikan sumoinya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lain yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan ia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong. “Kejar...! Siapkan kuda...!” Terdengar panglima itu berteriak. Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing, melakukan pengejaran. Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya dan para pengejar tidak jauh, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, dan berkata, “Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!” “Akan tetapi...” Tan Swi Bu membantah ragu-ragu. “Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!” Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoinya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini setelah melibat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dulu pernah dilihatnya. “Jadi engkau... Siauw-hiap...” “Pergilah cepat!” Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, membalap dan sebentar saja pemuda dan sumoinya itu sudah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong lalu menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar. Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga ketika para pengejar tiba di situ, mereka menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras dan meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong! “Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!” Bhong-ciangkun berseru setelah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu sudah melompat melampaui kepala pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda. Serangannya dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang-sin-kun dari Tiang Pek Hosiang. Biarpun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher! Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia cepat secara terpaksa melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Biarpun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya. Kemudian Kun Liong dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari sehingga pasukan itu tidak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau dan tidak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong! Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari jauh membawa sumoinya. Sebetulnya tidak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk ber-kelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan kalau terpaksa sekali ba-ru dia merobohkan dua tiga orang penge-royok tanpa melukai berat. Biarpun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri! Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, akan tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tem-pat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauh-nya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi. Ku-rang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini kemudian dia me-loncat ke belakang dan berkata, “Aku sudah lelah, lain kali saja kita main--main lagi!” Kun Liong lalu melarikan diri. Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, akan tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapat kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul selalu lari ke sana ke mari, seperti seekor kucing yang mem-permainkan pengeroyokan segerombolan tikus! Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun ma-nusia kecuali dia sendiri. Celakanya, malam tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dari langit seperti dituang-kan. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum--jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan. Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia telah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia mendapat keterangan babwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar. Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu. Dia tersaruk-saruk terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak dapat melihat jelas karena diserang terus-menerus oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting seperti berubah menjadi tangan-tangan setan yang menjangkau, menyergap dan mencekik! Pohon-pohon besar yang kadang-kadang hanya tampak kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang berlumba untuk menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin melanda daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu. “Desss!!” Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya. “Aduhhh...!” Kun Liong meraba tengkuknya. Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang dilatihnya selama ini tiada gunanya sama sekali. Betapapun pandainya manusia menghadapi kekuatan dan kebesaran alam benar-benar tak ada artinya. Mana mung-kin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pu-kulan ranting tadi yang melecut tengkuk-nya kalau badai mengamuk dan meng-hembuskan angin yang bergulung-gulung menenggelamkan dirinya seperti itu? Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang amat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, biarpun tanahnya tertutup rumpul tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya. Kun Liong menggunakan kedua tangan mengusap air yang membasahi kepala dan mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuatnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar telah membuat sin-kang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang menjadi amat kuat dan sebentar saja tubuhnya terasa hangat. Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biarpun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti gila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tidak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu dan kehabisan tenaga. Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar amat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti dalam dongeng berada di atasnya dan menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seolah-olah iblis-iblis itu hanya menanti saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya. Kun Liong tersenyum sendiri. Mengapa dia harus takut, pikirnya? Benar-benar adakah hantu seperti yang didengar-nya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andaikata malam ini dia melihatnya, apakah yang ditihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain ha-nya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibaca-nya? Andaikata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tidak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu bahkan mung-kin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali se-perti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang-orang terta-rik melihat sebuah tanaman atau seekor mahluk yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan tentang iblis lagi, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar! Tolol kalau aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikir-an merenungkan semua itu dan memba-yangkan kalau-kalau akan timbul lagi hal-hal itu di masa datang! “Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Mari kita beramah-tamah dan mengobrol!” Pemuda itu ber-teriak-teriak, akan tetapi suaranya ha-nyut dalam desau angin dan desau daun--daun pohon. Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup. Setiap ada angin halus menghembus, bu-tiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah. Kun Liong berjalan perlahan, kedua tangannya meraba--raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorongnya untuk meninggalkan tempat berteduh itu biarpun malam ma-sih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya, maka dia melangkah dengan hati-hati, menggunakan tangan untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, presis seperti laku seorang buta melang-kah melalui jalan yang tidak dikenalnya. Ketika dia duduk tadi, dia mendengar suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya tentang hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan, sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi! Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan seringkali tenggelam dan lenyap kemba-li. Akan tetapi kini mulai terdengar je-las, dan Kun Liong menghentikan lang-kahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara pa-rau itu. “Berani hidup mengapa takut mati? siapa bilang hidup senang dan mati sengsara? Lihat mereka semua hidup dan mati! si bangsawan, si hartawan si rakyat, si miskin yang kuat, yang lemah, yang mulia, yang hina. Mereka semua telah mati, sedang mati dan akan mati, dalam kematian tiada bedanya menjadi bangkai kotor membusuk! Yang hidup, yang mati, yang lahir silih berganti, tetapi “aku” tetap berkuasa! di antara mati dan hidup aku tetap mempermainkan manusia, ha-ha-ha-ha!” Kun Liong melangkah mendekat. Ka-lau dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin dia saat itu akan ketakutan dan menduga bahwa itulah hantu yang dia hadapi se-karang. Bukankah ada dongeng mengata-kan bahwa hantu dapat mengambil ben-tuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekalipun? Dia itu seorang kakek tua, usianya sukar ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun, pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar rambutnya yang berwama dua itu tidak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambar-an kakek ini berkurang kelayuannya ka-rena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api ung-gun di hutan yang baru saja diamuk hu-jan dan badai? Kakek itu menengok. Mereka berpan-dangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri. “Maaf, Kek, kalau aku mengganggu-mu.” Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah. “Kau mau apa?” “Aku dingin, api unggunmu dan nya-nyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini.” “Kau hwesio?” “Bukan, Kek, sungguhpun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta.” “Hem, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!” Kun Liong duduk dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu me-nyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat dan nyaman sekali duduk di de-kat api unggun pada waktu malam se-dingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah. “Mengapa kau membenci hwesio, Kek?” “Mereka itu munafik.” “Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?” “Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!” “Ah, tidak semua begitu, Kek! Me-mang dunia ini penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hati-nya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, dan ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?” “Akan tetapi pendeta yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor berpakaian ber-sih!” “Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik.” “Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!” “Aku tidak mengerti, Kek.” “Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyi-anku menarik perhatianmu?” “Benar, karena nyanyianmu amat indah!” “Kau suka mendengarnya?” “Sama sekali tidak!” Kakek itu mendengus, matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, lalu dia mendengus lagi. “Mengapa tidak suka?” “Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!” Tiba-tiba kakek itu tertawa dan Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia terge-tar, tanda bahwa suara itu mengandung khi-kang yang amat kuat! Tiba-tiba ka-kek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhati-an. Agaknya kakek itu pun walau tidak kentara, melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu diser-tai pengerahan khi-kang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sin-kang lumayan sekalipun! “Orang muda,memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati, bercerita tentang kematian, dan dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!” Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang amat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menyangka akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya. “Dessss...! Haiiiih!!” Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong telah mengerahkan sin-kang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Sebetuinya, ketika mengadu tenaga sin-kang tadi, dapat saja kalau dia hendak menggunakan Thi-khi--i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilaku-kannya karena memang dia tidak bermu-suh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sin-kang itu membuat tubuhnya juga ter-lempar sampai jauh. Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, maka dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu, maka dia segera mcloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun. “He, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...??” Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran. Kun Liong menyelinap di balik sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi dan mengomel panjang pendek. Barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar. SETELAH sinar matahari pagi mene-rangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon tumbang dan roboh malang melin-tang dilanda badai, terutarna pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seolah-olah ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa di dalam hutan menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam. Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di sanalah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan tampak pula pulau-pulau kecil kehijauan, di tengah telaga. Sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng--pang yang dicarinya. Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang dan secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang telah menyerbu kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa Kwi-eng-pang, se-bagai sebuah perkumpulan besar yang terkenal, akan memandang Siauw-lim--pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang. Dia akan mengemu-kakan kebenaran dan akan membujuk Kwi-eng-pangcu agar tidak menanam permusuhan dengan sebuah perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biarpun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum se-sat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut. Dia datang bukan untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang tercuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Hosiang! Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini tampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok dan genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil. Tiada angin di pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang amat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Caha-ya matahari pagi mulai menyapu per-mukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur. Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari sinar matahari. Agaknya bukan hanya mahluk darat dan mahluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga mahluk air penghuni telaga. Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apalagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia. Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam. Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan perahu itu, tepat seperti yang dikehendakinya, didayung ke arah daratan. Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan! Jelas tampak dari dandanan rambut dan pakaiannya, dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri? Betapapun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai. “Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?” Dia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong! Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agak-nya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah mengapa sengaja menggunduli kepalanya. Akan te-tapi kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Se-baiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh dan kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang sehingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah! “Siapakah engkau dan mengapa kau minta menumpang di perahuku?” Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya. Kun Liong yang merasa bahwa dia menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang, merasa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang, maka dia menjawab, “Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng-pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu.” Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba lenyap dari wajah yang pukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga ketika dia bertanya, “Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng-pangcu?” Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. “Bukan!” “Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?” “Aku mempunyai sedikit urusan yang hendak kubicarakan dengan Kwi-eng-pangcu. Urusan penting yang akan kusampaikan kepadanya sendiri. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya.” Melihat pemuda gundul itu menyebutnya “kouwnio yang baik” beberapa kali dan tersenyum-senyum, wanita itu berkata, “Sebetulnya aku mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu.” Kun Liong terkejut, akan tetapi juga girang. Kiranya Kwi-eng-pang tidak se-perti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang berbahaya, sarang dari golongan hitam. Buktinya sekarang sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan ma-nis! Kun Liong menjura dan berkata girang, “Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik.” Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil agak bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa wanita itu biarpun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi tentu “berisi”! “Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio.” Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong dan duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, biarpun hatinya tegang dan ingin dia cepat-cepat tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sin-kangnya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat. Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya terhadap ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya dan pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah! “Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita.” Wanita itu menuding. Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau. “Mereka tentu terheran-heran mengapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tetapi membawa seorang tamu.” Wanita itu terkekeh genit. “Kita sudah dekat, biar aku yang mendayung karena daerah dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik.” Kun Liong terkejut mendengar ini dan cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, tiba-tiba jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu. Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis. “Krakkk!” Ujung dayung itu patah! “Ihhhh...!!” Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa dayungnya. “Eihhh. Toanio, kau mengapa...?” Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali. “Byuurrr...!” Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah. “Ahhhauuupppp!” Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah! Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga den ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret. Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan pulau. Yang mesiyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi, kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang den kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. “Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!” Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong. “Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!” “Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar pun!” “Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!” “Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh.” Wanita yang menyeret berkata, “Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!” “Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?” “Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan.” “Kehabisan apa?” “Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!” Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam! Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan! Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong. Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu ditahan sampai ketua mereka pulang. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi. Memang dara ini memiliki bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang selalu dipakai di rambutnya. Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia. “Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, akan tetapi sayang kepalanya telanjang!” “Telanjang...?” Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran. “Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!” Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia. “Kun Liong...!” Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu. Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan waniia. “Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun ta-ngan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang.” “Hemm, ceritakanlah.” “Akah tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo.” “Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku.” “Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi gan-jalan hati teecu dan sekarang tiba saat-nya teecu menebus kesalahan itu. Se-sungguhnya, dahulu ketika Subo membu-nuh orang-orang Pek-lian-kauw dan me-ngalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?” Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. “Aku sudah tidak ingat lagi, muridku.” “Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu menemukan bokor emas.” Bu Leng Ci meloncat bangun. “Mengapa baru kauceritakan sekarang? Di mana dia?” Siluman betina itu membentak. “Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!” “Apa?” “Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu.” “Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!” Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu. Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi--eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh. “Mundur semua!” Bu Leng Ci berte-riak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka be-nar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu. Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura sambil bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?” “Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?” Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. “Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang te-manku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!” “Kalian utusan siapa?” “Utusan Panglima Besar The Hoo...” “Hemm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?” “Benar.” “Dan yang kaucari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?” Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. “Kau tahu...?” “Siapa yang tidak mendengar tentang itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kaukira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!” Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja mempertahankan nama dan kehormatannya, dia pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri. “Dukk!” Dia menangkis dan keduanya terkejut. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja sedangkan Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kckuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger