naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 14

“Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!” Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan. Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini? “Ham... hamba... tidak tahu...” “Adduuuhhh... am… ampuuuunnnn…!” jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan. Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala. Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil. Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu. “Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!” Bi Kiok berkata. Mendenga ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, memaki, “Anjing kecil, tutup mulutmu...!” Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu, “Di mana bokor itu?” “Di... dalam perahu... di tepi sungai…” Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya! Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis! “Mari kita cari bokor itu.” Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya. Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya. “Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?” Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai. “Mari kita mencari bokor itu,” kata Bu Leng Ci. Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong! “Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?” Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, “Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan…” Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget. “Dan bokor itu dibawanya pula?” Wanita itu mendesak. “Aku tidak tahu…” “Siapa itu Liong-twako?” “Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor...” “Ehh? Coba ceritakan yang jelas!” Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian. “Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar.” Iblis betina itu mengangguk-angguk. “Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!” “Aku... apakah aku... harus ikut?” “Anak baik. Siapa namamu?” “Namaku Yo Bi Kiok.” “Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu.” Bi Kiok mengangguk. “Aku yatim, piatu.” “Bagus!” “Mengapa bagus?” Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus! “Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?” Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga. “Bagus!” Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata, “Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!” Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut! “Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!” “Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!” Bi Kiok berkata lantang. “Heh-heh-heh, bagus!” Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi. “Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!” Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu! “Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku.” “Muridmu?” “Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!” Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!” Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, “Mari kita kejar bocah she Yap itu!” Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak berhenti dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan. Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya. “Harap minggir! Kami hendak menumpang!” Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu. Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut. “Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?” tanya laki-laki itu dengan ramah. Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir! “Silakan, Ji-wi naik,” kata Kun Liong tanpa banyak komentar. Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus. Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali! “Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!” Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan “gundul”. Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang. Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya, “Tuan hendak ke mana?” “Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!” Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu. Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. “Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi.” Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini! “Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?” Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula. “Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!” Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum. “Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,” Si Suami berkata lagi. “Silakan duduk, Kongcu.” “Terima kasih.” Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. “Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu. “Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat.” Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. “Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui).” “Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!” Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi. Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. “Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak” “Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung…” “Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!” Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak. Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya. Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda! Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang ! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya! Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh. Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka sebanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang. “Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!” Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang. Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi! “Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kaumiliki.” “Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi.” “Mari kita bertaruh satu kali lagi.” Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. “Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu.” “Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap jangan engkau main-main!” “Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini untukmu.” “Bagaimana kalau aku yang kalah?” Guru silat itu bertanya. “Aku akan mengambil satu di antara milikmu.” “Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan… dan pedang ini, biarpun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu.” “Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu.” Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang! “Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!” katanya sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras. “Plakk!” Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok. “Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?” tanyanya lagi sebelum membuka tangannya. Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja diteruskan.” “Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan…” “Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu.” “Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!” Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam mangkuk memperlihatkan angka lima! “Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!” Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu! Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata, “Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu,” dan meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan “Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!” Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi! Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata, “Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih.” “Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!” Dengan berkata demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu! Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam! “Apa…?? Srattt!” Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika ia memalangkan pedang di depan dada. “Hemmm… kau… kau…! Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!” Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan berusaha melepaskan diri. “Hemm, manis... jangan berpura-pura…” bisik siucai itu. “Jahanam!” Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan… pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai! Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu. “Hukkk…!!” Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan! “Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!” Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar! “Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!” “Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!” Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya. “Aihhh... ampunkan suamiku… jangan bunuh dia…!” Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan. “Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, ambillah...” Seperti orang gila wanita menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar. “Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia... jangan bunuh suamiku... uhu-hu-huuk...!” Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan. “Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-ha-ha!” Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok. Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan mengeluh menangis perlahan seperti merintih. “Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!” Kun Liong tak dapat menahan diri melihat perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu. “Desss...! Aduhhh...!!” Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong. “Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?” “Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!” Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat. Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping. “Desss!!” Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu. “Byuuurrr!!” Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih. Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain. Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya teras nyeri sekali oleh pukulan tadi. Kalau tidak ada tali untuk berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ. Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu. Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai, “Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!” Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas. Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti. Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk. Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi. “Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?” bentak Gui-kauwsu. Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak. “Mengapa... mengapa… kau marah-marah kepadaku? Mengapa… kau marah kepadaku? Apa salahku...??” Dia menangis tersedu-sedu. “Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja dengan dia?” Wanita itu menjerit, “Apaaa...?!! Kau... kau… kau tega berkata demikian? Suamiku, aku… aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!” Wanita itu kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran. “Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kaukira aku tuli? Kaukira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!!” “Suamiku...!!” Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengen keras. “Plakkk!! Jangan dekat aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!!” Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka daripada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin, “Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar seperti tadi, buka matamu lebar-lebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia daripada dengan engkau! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku lebih suka ikut dengan dia kalau saja dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!” Tiba-tiba wanita i perahu.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger