naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadios 15

“Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggungpun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah kepada kami yang duduk di bawah!” jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung. “Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari atas panggung. “Baik, locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula. Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyum akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya itu. Cia Kong Liang terlalu sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seolah-olah dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi diapun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja. Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.” “Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.” Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, ketika dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan biarpun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sesungguhnya untuk mencari jodoh, namun sedikitpun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu. Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan dan melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam diapun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunya pikiran untuk mencari jodoh, sungguhpun sudah sering ayah bundanya mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu. Mereka bertiga lalu bersama para tamu yang lain menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan dua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget dan memegang tangan ayahnya, alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin. “Locianpwe, kami bertiga mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya. “Eh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu... penting sekali...” kata kakek itu, akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat bicara dengan leluasa. Setelah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, Kong Liang berkata dengan suara smgguh-sungguh. “Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri.” “Cia-sicu... kalau begitu, begini saja. Sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan sampaikan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk... bicara... eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.” Wajah Kong Liang berubah merah akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu akan membicarakan urusan perjodohan. Apalagi? Antara Cin-ling-pai dan para datuk kaum sesat tidak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa. “Baiklah, akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan... Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih.” Bin Biauw membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia... koko...” kata dara itu dengan sikap manis sekali. Setelah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya dan berkata sambil tersenyum masam. “Ah, Paman Kong Liang telah berhasil sekali ini.” Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?” “Paman tidak hanya telah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.” “Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!” “Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian sudah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apalagi kalau tidak hendak membicarakan urusan pernikahan? Ah, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. “Gila!” Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kaukira begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!” “Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi diapun tiba-tiba saja menyebutmu... dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?” “Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah. Melihat ini, Han Tiong yang sejak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kaugoda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.” Akan tetapi ketika mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan dan tiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang diantara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu! Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu. Melihat betapa enam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan. “Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka kelau terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang.” Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, dan menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu. Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas, “Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat.” Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu dan menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka datuk dari barat See-thian-ong dan dari utara Pak-san-kui telah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, maka tidak mengherankan apabila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling. Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu dapat mengalahkan, bahkan menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang segolongan dengan ayahnya sebagai datuk timur. Adapun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya “pendekar” dan yang sejak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu. Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang perbuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini. Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu. “Tring-tranggg...!” Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tertawa pemuda tampan pesolek itu. “Ha-ha-ha, sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah-wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!” Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata, “Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.” “Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam karena memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga saja. “Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapapun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah melihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?” Enam orang itu nampak jerih juga menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya amat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa girang bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang. Akan tetapi pada saat itu, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang, terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!” Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon dan dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik seperti bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis! Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, akan tetapi pakaian itu tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, melainkan bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti model orang membawa pedang, nampak sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut. “Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini. Dia tidak mengenal pribadi semua anggauta Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan “Hok-mo-pang” (Tongkat Penakluk Iblis) itu, tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai Lam-sin (Malaikat Selatan) yaitu datuk selatan. Dua orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong dan seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, berkata, “Selamat bertemu, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang perkasa? Selamat jumpa!” Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat. “Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula. Diam-diam mereka terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan Tung-hai-sian. Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!” “Akan tetapi mengapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi. “Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?” Jawab si hidung melengkung. “Ah, mana kami berani?” Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah bertemu dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin! Akan tetapi, Kong Liang sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, dan sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja! Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang inipun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas! “Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata Kong Liang yang sudah melangkah ke depan dan menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras. Dua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak. “Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kauhadapi kami!” bentak si hidung melengkung sambil melintangkan tongkat di depan dadanya. Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat daripada tumbuh-tumbuhan dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mujijat! “Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?” “Kami adalah anggauta Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dahulu, Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tak tahu malu dan bosan hidup!” “Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok dengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan untuk menambah semangat kepada dua orang pengemis itu. Hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya. Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikitpun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut. “Jembel busuk lancang mulut. Apapun yang akan kuperbuat, apa sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!” “Bagus! Coba saja, orang Cin-ling-pai sombong!” Dua orang pengemis itu sudah mengerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri Kong Liang tidak mau memberi hati dan pemuda perkasa inipun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggang sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung. Dua orang pengemis ini seperti sebagian besar dari pada anggauta Bu-tek Kai-pang, dahulu adalah tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan yang menguasai seluruh pengemis bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu menjadi pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggauta Bu-tek Kai-pang. Jumlah mereka tidak banyak, hanya dua puluh empat orang karena Lam-sin tidak mau mengambil pengemis sebagai anggautanya tanpa diuji dulu. Ujian yang amat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggauta yang memiliki kepandaian tinggi itu, nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali. Dan seperti para anggauta lain, dua orang tokoh inipun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian, akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara empat datuk, dan selalu merahasiakan dirinya, maka diapun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja! Baru setelah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai mantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang. Akan tetapi, sekali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat dan hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru! Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum. Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding yang pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya, keadaan membuat mereka berdiri saling berhadapan sebagai lawan. Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena dua orang pengemis itu kini semakin penasaran dan mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Namun, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang sudah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu dan perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu makin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka. Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, diam-diam Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada tiga orang suhengnya yang juga menjadi anggauta atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong. Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, biarpun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggapnya rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang sungguh-sungguh berwatak jantan atau gagah. Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan di punggung masing-masing nampak sebatang pedang. “Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu. “Kami belum kalah!” teriak seorang di antara dua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya. Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong mendongkol. Sudah jelas terdesak, dan tinggal menanti mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka. “Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong kalau memang engkau jagoan!” Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu. Kong Liang juga mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia berseru keras. “Kalau kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-sam-kui?” Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya. “Paman, biarkan aku menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima! “Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata “merobohkan” mereka. Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis, karena mereka tadi ditantang, jadi merekapun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok! “Tiong-ko, fihak mereka masih ada, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!” Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya ketika diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin, “Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!” Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biarlah aku yang menghadapi dia ini!” Dan tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih! Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan. “Hemm, kukira engkau telah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!” Akan tetapi, So Cian Ling sudah menyerang lagi sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!” dara ini memang merasa tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan seorang di antara tiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah dan dia belum menguji sendiri sampai di mana kelihaian Thian Sin. Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biarpun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Sebaliknya malah, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik! Akan tetapi Thian Sin tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dihadapi dengan pedang. Dengan amat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang. “Wuut-wuuut-singgggg...!” Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar kuat, namun Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan ketika pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya menangkis. “Eh...?” So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus kalau bertemu dengan pedang pusakanya. Namun gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin. “Plakk!” Dara itu terpekik dan meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main. Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sin-kang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sin-kang yang baginya masih terlatu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu! “Engkau hebat...!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin. Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka diapun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apalagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat gin-kang dan sin-kang sepertl dia! Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajari selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama setelah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini amat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji. Siangkoan Wi Hong sejak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa semakin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tidak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan sekarang, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin. “Bocah sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju. “Plakk!” Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang, “Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?” Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya bergerak cepat meluarkan suara berdering dan yang-kim itu sudah menyambar ke arah kepala Han Tiong. Han Tiong dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu dengan mudah mengelak sampai belasan kali sambil diam-diam mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu. Sementara itu, melihat betapa sumoinya yang berpedang, dia tahu lebih daripada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoinya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah. Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila kepada sumoinya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoinya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin. “Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suhengnya. Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Namun dengan mudahnya Thian Sin mengelak, bahkan dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik dan mengejutkan pemegangnya. Sementara itu, Cia Kong Liang juga sudah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang dan tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, dia dikepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat. Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang amat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah dapat menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu. Betapapun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai. Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan kelihatannya seimbang. Padahal, sesungguhnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai daripada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, dia masih kalah jauh, apalagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu. Biarpun Han Tiong bertangan kosong, namun kalau dia menghendaki, dia dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Akan tetapi Han Tiong tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan. Antara dia dan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apapun, dan dia tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkannya dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja dan mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali. Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian untuk melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba pula ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang. Begitu dia mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya mengerahkan Pek-in-ciang nampak uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih). Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguhpun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik! Pada saat itu, Cian Ling sudah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan agar pemuda itu dapat peringatan lebih dulu sebelum dia menyerang karena majunya suhengnya yang mengeroyok ini membuat hatinya tidak enak. Thian Sin yang ingin memamerkan kepandaiannya, masih tetap menggunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itupun menyeleweng. Akan tetapi, Thian Sin kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang lebih tepat dan ampuh kalau dipergunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong. Kini, menghadapi dua lawan yang bersenjata dia mengandalkan Pek-in-ciang, tentu saja tidak tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, dan kalau untuk menghadapi senjata tajam yang keras, hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil pelecut pundaknya dan ujung joan-pian yang digerakkan dengan ahli itu terus melilit lehernya! “Aihhh...!” Cian Ling memekik kaget, dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri. “Auhhhhh... ah, lepaskan...!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, terengah dan menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin! Sungguh suatu pemandangan yang aneh sekali, jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sing bahkan ujungnya, seperti seekor ular, melilit leher pemuda itu. Akan tetapi kenapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu? Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Hal ini amat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar. “Plakk!” Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya. Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling terkejut dan dia ingin membantu suhengnya, akan tetapi diapun tidak ingin mencelakai Thian Sin, maka tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu. Akan tetapi, Thian Sin tidak mengelak dan membiarkan pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak. “Ehhh...!” Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sin-kangnya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang sudah tersedot sin-kangnya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya. Justeru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu memandang kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu, tiba-tiba mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan... meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi-i-beng. CIAN Ling mengeluh lirih dan meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, dan mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya! “Ahhh... kau... kau...” dan dia tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. “Kenapa kau... tidak memukulku...?” bisiknya. “Aku tidak bisa memukul wanita...” kata Thian Sin. Pada saat itu, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu, akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apalagi membunuhnya. Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi...!” Dan muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw dan belasan orang anak buah Tung-hai-sian. Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian dan dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan kedua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat mereka yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang kalau tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa. “Tahan, jangan berkelahi antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!” kata pula Tung-hai-sian. Sedangkan sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya dan Siangkoan Wi Hong juga tidak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tidak peduli dan memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran. Di antara lima orang itu, ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, walaupun bukan luka yang berat, sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin untuk membendung serangan bertubi-tubi dari lima oreng pengeroyoknya. Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, lalu menarik napas panjang. “Hemm, kiranya para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami maka kami harap, menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.” Ucapannya itu halus namun mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar. “Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkahpun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah. Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda inipun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, “Paman, sejak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang mengangkat diri sebagai pendekar-pendekar?” Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah tahu akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam! Akan tetapi, bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itupun terlalu rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka diapun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa. “Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami, keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik dan selama menjadi tamu kami, maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetap tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami. Oleh karena itu, kami melarang siapapun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!” Cia Kong Liang menjura dan menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, dan dia berkata, “Kami dari Cin-ling-paipun sama sekali tidak ingin mencari permusuhan dengan siapapun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe.” Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk mempunyai seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa.” “Selamat jalan, Cia-koko...” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali. Terpaksa Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru setelah tiga orang pemuda itu pergi dan kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi ketika mereka bicara di depan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Kini sikap orang-orang muda itu tidaklah sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran kalau mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang. “Paman Tung-hai-sian!” kata Slangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Patutkah kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!” “Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur sudah mulal lemah den jerih menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, suaranya mengejek. “Kalian ini cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap amat halus dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian ikut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?” Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang, bergantian kepada Siangkoan Wi Hong den pengemis itu, “Kalau tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu sudah kurobek mulut kalian yang lancang! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andaikata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain lebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah.” “Hemm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suhengnya pergi dari situ. “Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!” Dan diapun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik. “Kamipun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan baik untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ. Tung-hai-sian tidak menjawab dan memang sopan santun tidak berlaku dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di depan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu. Bin Biauw masih mendongkol dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka diapun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya. Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu tadi sungguh memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!” Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya memandang tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. “Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka padanya! Apa salahnya kalau timbul berahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?” Suaranya penuh tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek. Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali menjadi warna aselinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Hanya ingin membunuhnya!” “Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!” “Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena terkejut oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi-i-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana caranya menundukkan Thi-khi-i-beng!” “Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmmmm... dia ganteng dan menarik sekali!” Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya. Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan. Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan. Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal. Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi! Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan den tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan den bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya. Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan agar “menjadi orang baik” termasuk orang sopan, bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini? Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka! Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di persimpangan jalan, dan kalau Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali. “Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin membantah dengan suara bernada penasaran. “Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Aku yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel. “Tapi kami dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya. “Hemm, betapapun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalianpun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku.” Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.” akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.” “Sampaikan pula hormat dan terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman,” kata pula Thian Sin. Kong Liang mengangguk. “Baik, akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian dalam perjalanan. Kalian belum banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw.” Dia menasihati dengan sikap seperti seorang dewasa menasihati anak-anak yang masih bodoh. Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran kalau mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, sepatutnyalah kalau Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan. Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tidak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih “matang” dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu. “Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tidak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya. Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi diapun masih muda.” Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih “tua” dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia merasa yakin bahwa dalam hal kepandaianpun kakaknya itu agaknya tidak kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai. Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti kita telah ketahui, di kota inilah Gu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh betas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang telah berusia enam belas tahun. Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka sebuah perusahaan pengawalan barang yang bernama Hui-eng-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang), yaitu melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama. Setelah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya. Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Hui-eng-piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya. Tentu saja untuk memperoleh nama besar yang ditakuti para penjahat ini bukan merupakan hal yang mudah. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus menggunakan kepandaiannya menundukkan para perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka. Setelah melihat kegagahan pimpinan Hui-eng-piauwkiok ini, barulah perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tidak pernah ada gangguan dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan kebesaran namanya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya. Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang atau keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai. Ciu Bun Hong kini telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Adapun Ciu Lian Hong telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya. Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia terkenal di kota Lok-yang sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya dan dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang. Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya. Agaknya bagi orang tua dara ini, tidak ada seorangpun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka telah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan. Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Hui-eng-piauwkiok dengan huruf-huruf besar itupun agaknya telah diperbesar. Dari keadaan rumah dan kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam diapun mereka gembira. Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiripun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh merekapun tiada bedanya. Adapun dua orang nyonya kembar itu, yang kini sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu pegawai kantor akan melaporkan kepada majikannya dan Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran. Han Tiong dengan wajah gembira, sudah melangkah ke depan dan menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin. “Saya harap bibi berdua sekeluarga berada dalam keadaan baik-baik saja selama ini,” kata Han Tiong dengan sikap halus. “Siapa kalian...?” tanya Kui Lan. “Dan ada keperluan apakah?” sambung Kui Lin. Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua. “Ah, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong...” “Han Tiong...?” “Putera Sin-koko...?” Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali. “Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!” “Dan gagah benar kau, Han Tiong!” “Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!” Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara sambil sambung itu. “Maaf... maaf... saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan antara bibi berdua...” Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka. “Aku Bibi Lan,” dan kata Kui Lan. “Dan aku Bibi Lin.” kata yang kedua. “Dan siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang kepada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja dan melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu. Dia tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya, merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat melihat perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguhpun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar. Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu mempunyai sinar mata yang lebih dalam dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri. “Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura. Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar kakaknya menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa. “Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.” “Ahhh... syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin. “Dia tampan sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.” Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka. Tak lama kemudian wanita itu datang lagi bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat bangkit dari tempat duduk mereka dan menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu. Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Dengan wajah berseri pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sins tertawa dan dia memegang kedua pundak Han Tiong. “Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!” Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan mendengar bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat kalau dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger