naruto

naruto

Selasa, 04 Desember 2012

sadis 33

“Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali. Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya. “Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin. “Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan seorang pangeran? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran...” “Tidak...!” Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!” “Tidak mungkin!” Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.” “Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.” “Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!” Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi! Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri. Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan! Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri! Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang “cinta” yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih sayang masing-masing, dengan ringan kata-kata “aku cinta padamu” meluncur keluar dari mulut mereka, pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata, bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang! Begitukah cinta kasih? Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka? Dan setelah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya? Kemudian setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain? Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku? Dan dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih? Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci. Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat den suaminya tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya. Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun den ketika Kim Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih lihai jari ibunya sekarang! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu. “Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.” Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. “Dan muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.” “Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku latu turun tangan, membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.” “Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?” “Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapit Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.” “Dan sekarang?” “Sekarang? Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kaulihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas...” “Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin...” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul. “Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.” “Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu. Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan. Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu. Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah. “Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu. Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Mengapa tidak? Bukankah kita berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?” Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?” Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat. “Eh-eh...!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja. “Byuuuuurrr...!” Thian Sin berenang menghampiri lagi. “Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu. “Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh. “Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya. “Kenapa kau tadi bilang bosan?” “Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau hendak meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu melihat dunia ramai!” Kim Hong termenung, lalu mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.” “Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!” “Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!” “Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?” Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya. “Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?” “Terdengamya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?” “Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu. Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.” “Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?” Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?” Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang. “Kim Hong, terus terang saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?” Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!” “Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau.” “Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.” “Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya. “Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!” “Lapar? Wah, setelah kauingatkan, akupun merasa lapar sekali!” “Tunggu apa lagi? Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!” Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ. Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri. Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat. *** Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri. Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang! Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong. “Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.” “Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?” Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam. “Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?” Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya. “Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kaugerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!” Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat. Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!” Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup! Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!” Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar. “Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.” “Thian Sin, kauajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!” “Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, di dalam perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.” Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat, maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan. Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning. Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga. Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya. Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini. Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biarpun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka. Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk “membereskan” urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu. “Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya. “Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling kepada gurunya. “Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.” Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja. “Bagus!” kata See-thian-ong. “Usulmu memang baik sekali.” See-thian-ong tertawa. “Memang dugaanmu tepat. Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kausuruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kausuruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, ketika mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!” “Lalu bagaimana rencana suhu?” tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ. “Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan selanjutnya.” Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam. “Engkau kenapa?” Cian Ling menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.” “Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?” Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. “Laki-laki jahanam itu!” “Engkau cemburu?” “Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilanga kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pclukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh kebencian suhunya terhadap pemuda itu! “Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.” “Tugas apakah, suheng?” Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan bubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan subengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya. “Begini, sumoi, seperti kauketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kauusahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.” Cian Ling mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.” “Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.” Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan! Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling! “Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?” “Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong.” Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka. “Kau mau membacanya?” “Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!” “Ha-ha, kau cemburu?” Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. “Siapa bilang cemburu? Biar kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong. “Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kaubacalah suratnya, atau kaudengarkan, kubacakan. Ada jalan yang baik sekali untok menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling.” Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu. Ceng Thian Sin, Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan. Tertanda : So Cian Ling. “Hemm, agaknya ia rindu padamu,” kata Kim Hong, tersenyum mengejek. “Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui.” “Sesukamulah!” jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di datam hatinya. Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama? Inikah yang dinamakan cemburu? Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang! Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang ia marah kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya. AKAN tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu! Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu dapat bertahan selama hidup! Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah terikat secara batiniah. “Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!” Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini? Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu! “Siapa?” tanyanya sambil menghentikan kakinya. “Saya, toanio, pelayan.” Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat. “Ada apa?” tanyanya tidak senang. “Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio,” kata pelayan itu. Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak, “Siapa tadi yang memberi surat yang kauberikan... suamiku?” “Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa...” Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa. “Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?” “Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya.” Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu metangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang, telah menantinya. Laki-laki itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik. “Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?” Kim Hong bertanya. “Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?” pria ini bertanya. “Benar. Siapa kau dan ada apa?” Pria itu memandang ke kanan kiri. “Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh.” “Ehh...?” “Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya.” Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik. “Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?” “Nanti dulu, siapakah engkau?” Pria itu menjura dan berkata, “Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang penting, Ceng-taihiap telah terjebak dalam perangkap musuh...” “Musuh siapa?” “Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuh dengan datuk itu...” Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya omongan orang. Ia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali. “Lalu apa maksudmu memberitahukan hal itu kepadaku?” “Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini dan kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang telah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk bersama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap.” Diam-diam Kim Hong terkejut sekali dan jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya membuat hatinya gelisah bukan main. Ia mengangguk. “Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar.” Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker. “Mereka telah berkumpul menanti kita di ruangan belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah...” Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan ke samping gedung dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu dan mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Sunyi sekali, tidak terdengar suara seorangpun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup, lalu berkata kepada Kim Hong. “Nona, silakan masuk, mereka berkumpul di ruangan dalam,” berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya. Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, “Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja.” Orang itu menarik napas panjang. “Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah sahabat-sahabat yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu.” Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah kamar atau ruangan yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubong pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu sudah melangkah masuk, Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu telah meloncat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat iapun meloncat, namun tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana ia masuk tadi tertutup, tubuhnya sudah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu dan mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar. “Desss...!” Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras dan tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi ketika gadis itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan kedua tangan mendorongnya kembali. Kim Hong marah dan iapun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya. “Dukkk...!” Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakangg sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan... tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah. “Haiiiiittt...!” Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi. “Dukk!” tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan kini tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi. Maklum bahwa ia telah terjebak, Kim Hong mengerahkan gin-kangnya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, ternyata di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga ia dapat mendarat dengan selamat. Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai ia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah kamar yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Ia meloncat dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang amat kuat. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi ia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama ia masih hidup, ia tidak akan kehilingan harapan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap behingga ia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiripun tidak nampak, apalagi benda lain. Dan tiba-tiba ia mencium bau yang harum dan keras. Celaka, keluhnya karena ia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Ia tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya, membuang tenaga sia-sia belaka. Kalau ia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya ia akan tidak dapat lolos pula dari asap yang ia duga tentu mengandung obat bius itu. Kalau ia melawan dan menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik ia menyerah kepada keadaan yang tak mungkin dapat dilawannya lagi, untuk menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai dan melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat sarafnya agar jangan menegang. Karena ia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh. Kim Hong yang sudah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan ia jatuh pingsan dengan hati tenang. *** “Cian Ling...!” “Thian Sin, ah, Thian Sin...!” Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis. Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang di langit itu. “Engkau kurus...” kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu. “Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku.” Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih. “Ah, maafkan aku, Cian Ling.” Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. “Engkau menderita karena aku.” “Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya? Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?” “Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kaubicarakan denganku?” “Apa pertemuan antara kita ini tidak kauanggap penting?” “Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kausampaikan kepadaku.” “Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmiu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?” Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. “Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang begini kepadaku?” Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya. “Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini.” “Cian Ling, kenapa kaulakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?” Than Sin bertanya, terharu juga. “Aku... ohhh...” Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya. “Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita.” “Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan.” Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai. “Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?” “Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku.” “Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?” “Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu.” “Ah, aku khawatir sekali!” “Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri.” “Selamat berpisah.” Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak! Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam. Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya. “Engkau melihat nona?” tanyanya kepada pelayan itu. “Tidak, tuan...” Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu. “Baikiah,” katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki kamarnya. Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut. “Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya...” “Baik, kami akan menjemputnya,” kata seorang di antara tiga orang itu. Thian Sin cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan. “Tok-tok-tokk!” Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, “Siapa di luar?” “Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan. “Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja.” Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orangnya itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang. “Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!” kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya. “Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku.” “Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?” Sikap Thian Sin tetap tenang saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar. Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh. “Pendekar Sadis,” kata seorang yang pertama tadi. “Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut.” Thian Sin tersenyum. “Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?” Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. “Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati...” “Wanita...?” Thian Sin pura-pura bodoh. “Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!” Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. “Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!” Thian Sin masih bersikap tak acuh. “Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?” Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan melemparkannya ke arah Thian Sin sembil berkata. “Lihat ini!” Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah sampai ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh. “Hemm, di manakah ia?” Orang pertama tertawa, suara ketawanya seperti suara burung hantu, lalu berkata, “Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau menghendaki ia selamat!” Thian Sin berpikir sejenak. Diapun tahu bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti tidak mengenal bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, melainkan dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru dimengerti bahwa So Cian Ling telah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu dapat menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri. Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya kalau dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini dan tidak muncul sampai besok pagi, tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka. “Baiklah, aku ikut dengan kalian!” katanya sambil bangkit berdiri. “Ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis,” kata orang pertama. “lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, karena di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu.” “Kami harus melucutimu dulu,” kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin dan mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang. “Mari kita berangkat!” kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu. Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, seperti seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus dan para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu. Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka. “Setelah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha!” kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya. Hemm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di mana? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tidak percuma berjuluk datuk kaum sesat. Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakitkan hatinya. Tiba-tiba Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakitkan hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan alau demikian halnya, maka TIDAK MUNGKIN kalau Kim Hong akan dibebaskan setelah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya! Mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota sekarang dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu amat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit-apit sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata. “Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya.” Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya. “Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu agar kau... hukkk!” Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan diapun terjengkang memegangi perut. Dua orang kawannya terkejut sekali dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat daripada tangan mereka yang mencabut golok dan gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin. Mereka hanya pingsan dan tidak mati, karena memang Thian Sin belum hendak membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan, Thian Sin sengaja menanti sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang akan dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu. Ketika tiga orang itu siuman mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki tangan mereka lumpuh sama sekali dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin lalu menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut ketika kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis. “Jangan takut,” bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, “dia tidak mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita.” Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan. “Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!” kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman. Si Codet menelan ludahnya, akan tetapi dia teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam yang membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan. “Hemm, kaukira aku takut dengan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan kalau sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis.” “Begitukah? Kita lihat saja nanti!” Thian Sin berkata dan dengan cekatan lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lalu dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk dan orang itupun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak. Thian Sin tidak menjawab, terus menyalakan api unggun dan asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi semakin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup! Dia mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan melihat sedikitpun tidak, melainkan menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak. “Ahhhhh... akhhh... aku... ah, lepaskan aku... Pendekar Sadis...” Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Akan tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya dan memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah sudah ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah. “Aduuhhh... panas... aughhh... dengar Pendekar Sadis... gadismu itu... berada di... pesanggrahan... auhhhhh, lekas turunkan... aku akan mengaku...” Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu. “Jelaskan, di mana ia ditahan?” Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong kalau dia berani mengkhianatinya, kalau dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan. “Aku tidak mau tawar-menawar lagi kalau engkau tidak mau mengaku, api akan kubesarkan dan tidak ada apapun yang akan dapat mengubah keadaanmu!” “Nanti... nanti dulu... ia... ia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami...” Orang itu merintih dan menangis, tahu bahwa dia telah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andaikata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tidak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Akan tetapi, karena api unggun tidak begitu besar lagi dan biarpun masih mendatangkan panas dan asap namun tidak begitu menyiksanya lagi, diapun akhirnya menghentikan tangisnya, apalagi ketika melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu dan menyeretnya keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang. Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka diapun mendahului dengan suara ketawa. “Ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tidak akan bicara, dan biar engkau membunuh kami sekalipun, engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!” Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan cepat menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sin-kangnya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lalu ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang memasuki lubang dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi ketika Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang menimbuninya dari kaki ke atas dan berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” tanyanya, suaranya gemetar. Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang disengaja menimbuninya sampai ke dada saja membiarkan bagian muka itu terbuka. “Katakan di mana adanya gadis itu!” katanya, suaranya halus dan tenang saja, namun mengandung sikap dingin yang mengerikan. Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, walaupun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap. Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, suara ketawanya memang agaknya tidak takut mati. “Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kaubunuh sekali kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak ikut bersama kami menghadap See-thian-ong! Ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!” Thian Sin mengerutkan alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia menahan diri, lalu mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis, akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walaupun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mah mengaku. Biarpun orang pertama sudah mengaku, namun Thian Sin masih belum puas, dan masih belum yakin benar hatinya. Orang-orang macam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya makin kurang ketika mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup dan Si Codet memejamkan matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup daripada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal telah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang, dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis daripada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiripun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus dan tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja! Setelah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu bergunduk merupakan sebuah kuburan baru. Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk. “A-ciang...!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang...! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri. Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andaikata temannya dapat mendengarnya sekalipun, tentu teman itu tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya. Si Codet tidak memanggil lagi ketika Thian Sin sudah mendatangi dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan tiga orang itu. Orang ini memiliki kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu mirip dengan muka seekor monyet. Ketika Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan. “Pendekar Sadis, apa yang kaulakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya. Thian Sin tidak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sutenya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sutenya tadi tentu telah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sutenya itu belum mati, maka dia bertanya “Tauw-sute, di mana Ciang-sute?” Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba mata A-tauw itu terbelalak seperti orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan diapun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kepala yang penuh tanah itu kini keluar, matanya berkedip-kedip karena kemasukan tanah, mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula. Kiranya Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati dan ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah dan dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya. Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku.” Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu memaki dengan suara seperti orang yang dicekik lehernya, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan seperti harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil. “Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam untuk menyiksa temanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong dan seluruh anak buahnyapun akan kusiksa sampai mati semua. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.” Berkata demikian, tiba-tiba leher Si Muka Mohyet itu telah dibelit sabuknya sendiri dan sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin telah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya! Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya, sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar dan tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya. Thian Sin melepaskan ujung sabuk dan tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang. “Nah, apa yang hendak kaukatakan?” katanya kemudian. “Gadis itu... ia... ditawan... di pondok merah... dekat Telaga Ching-hai...” Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasan. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu sudah menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya! Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya untuk lari menuju ke Telaga Ching-hai! *** Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius. Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan. Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana ia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin. Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk memperingatkan Thian Sin! Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih akan mampu menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu. Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain yang membukanya. Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat. Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan banyak sekali tenaga dalam badan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi. Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi. Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya yang bertugas menjaga di situ memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong. Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya. “Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?” “Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?” Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu. “Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.” “Ahhhhh...!” Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut. Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.” Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?” Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad. Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah. “Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai. Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini. Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama saja dari “rekan” ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa. “Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya. Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Ia dapat menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai. Melihat So Cian Ling berada di situ, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?” See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya. “Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis. Siapakah namamu, nona?” “Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya. She Toan adalah she yang terkenal sebagal she ketuarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka ia she Kim dan bernama Hong. “Nama yang manis seperti orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.” “Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu. “Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu. Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Ia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali. “Perempuan rendah,” kata So Cian Ling. “dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!” Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik daripada nasibmu.” “Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang. “Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!” perintahnya kepada seorang murid, dan di antara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil. “Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini. KIM Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini, kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan. “Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan. Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu! Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum. “See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”! “Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali. Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu. Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu. Tidak sukar menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dia memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok. Dengan perlindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk, kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong. Dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, diapun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia dapat menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong. Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Kalau saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Kalau See-thian-ong cerdik, tentu akan dibunuhnya Kim Hong seketika itu juga, tidak mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dan diapun mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger