naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 381--390

Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa telah “jatuh cinta” kepada Lin Lin, adik misannya itu. “Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...” katanya gagap. Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka. “Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh...” “Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu.” “Ahh!” Ciok-piauwsu nampak terkejut, “Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu.” Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauw¬su ini yang dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat. Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran. “Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!” Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. “Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!” Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu int justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin! “Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?” “Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu silat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!” Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri. Begitu bertemu, Ciok-piauwsu cepat memberi hormat dan berkatag “Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!” Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, “Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu?” “Tentu saja!” Beng Sin menjawab. “Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!” Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang. “Harap kali¬an suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda.” Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciok-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya, “Terlambat bagaimana, lo-enghiong?” “Baru tiga hari yang lalu datang se¬orang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit kare¬na dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka.” Wajah Beng Sin berseri. “Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!” Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat. “Hemm, engkau baik sekalig sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang.” Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu menge¬masi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciok-piauw¬su untuk membicarakan hal usul per¬jodohan itu kepada pamannya. Juga da¬lam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciok dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja! Dengan menunggang kuda pemberian Ciok-piauwsu, Beng Sin melakukan per¬jalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu di¬temani oteh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka. Akhirnya, setelah melakukan perjalan¬an cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kuda¬nya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya. Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang, “Di mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?” Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala. Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan bela¬jar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan ter¬senyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin. “Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa me¬reka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi...” “Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?” Kembali Siong Bu tertawa dan pe¬muda ini nampak girang bukan main. “Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pa¬ngeran!” Berubah wajah Beng Sin, alisnya ber¬kerut dan jantungnya berdebar tegang. “Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?” Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. “Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserah¬kan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan men¬janjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bu¬kan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!” Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajah¬nya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali. Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang be¬gitu girang menyerahkan dara yang di¬cintanya itu kepada pangeran? Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, “Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?” Dalam kegembiraannya, Siong Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab, “Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!” “Plakkk!” “Hei, gilakah engkau?” Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan ke¬ras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerang¬nya seperti itu. “Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!” Beng Sin membentak marah. Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya! Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawan¬nya demi untuk membela dara kembar itu. “Sin-te, apakah engkau sudah gila? Kau berani menamparku?” Siong Bu me¬mandang marah. “Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!” “Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!” bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya. “Hemm, boleh kaucoba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kautimpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!” “Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!” bentak Siong Bu makin marah. Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru, “Majulah, manusia busuk!” Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu! “Tahan! Jangan berkelahi!” Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan de¬ngan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seper¬ti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah. Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata, “Paman, bocah ini hendak memberontak!” Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang. “Jangan berkelahi!” bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat. Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan me¬reka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja ke¬luar dari istana. “Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan,” kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana. Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatir¬kan keadaan dua orang puteri yang di¬cintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia me¬rasa rindu sekaii dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan men-dapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mere¬ka itu benar-benar hidup berbahagia? Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang ke¬ponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya ber-teriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka. Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini? Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar. “Cappp!” “UGHHH!” Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek. “Heiiiii...!” Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya. “Siong Bu...!” Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu. Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar. “Paman... aduhhh... mati aku, paman...” Dia merintih dan menangis. “Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kaulakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?” Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. “Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!” Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung. “Paman... ayahku... bagaimana ini...?” dia tergagap. “Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!” Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai. Beng Sin memegang tangan yang lemas itu. “Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...” katanya seperti berbisik. Siong Bu membuka matanya, terse¬nyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya. “Aku... aku... yang salah...!” Dia memejamkan matanya dan napasnya putus! Kui Hok Boan menangis dan men¬jambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayah¬nya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak, dirahasiakan! Kemu¬dian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang mem¬buat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa me¬nyesal dan semua penyesalan itu ditim¬pakannya kepada ayahnya yang kini ter¬isak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen! “Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!” Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya. “Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!” Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, me¬ratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah! Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang “nasib”. Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala “nasib” berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih! Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar! Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu. Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai. Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan. Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap seperti orang yang miring otaknya atau gila! *** Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak¬ anak kandungnya sendiri. Tentu ada rahasia di balik semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama Kwan-si¬-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciok yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciok Siu Lan. Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang ter¬letak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjut¬kan perjalanannya tanpa mengenal lelah. Setelah melakukan perjalanan ber¬pekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang angker dan menyeramkan. Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih mem¬bakar langit di barat, menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu. Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup di saat itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas. Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san? Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat se¬buah kuil yaitu kuil di mana dipuja De¬wi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mem¬percepat langkahnya menuju ke dusun itu. Kuil itu kecil saja, merupakan be¬berapa buah bangunan kecil dengan ba¬ngunan pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Hala¬mannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh su¬dah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa. Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak ter¬batas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang me¬layani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka me-menuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang ber¬sembayang. Akan tetapi pemuda ini se¬lain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agak¬nya datang dari jauh, melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa ngeri! Seorang nikouw tua cepat maju meng¬hampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan. “Omitohud..., agaknya sicu mempunyai kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil ini. Apakah sicu hendak bersembahyang kepada Hud-couw?” Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, “Maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi kedatangan saya bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk mencari seorang nikouw...” Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh se¬lidik, kemudian dia menarik napas pan¬jang dan berkata, “Harap sicu maafkan. Para nikouw di sini adalah orang-orang yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti sudah tidak mempunyai keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah diserahkan untuk meng¬abdi kepada Kwan Im Hud-couw dan ke¬pada prikemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat.” “Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi nikouw di sini...” Kembali nikouw tua itu menarik na¬pas panjang. “Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada di sini sudah tidak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka, kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw.” Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan su¬sah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati! “Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanu¬siaan?” Dia berkata penasaran. “Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan? Bukankah itu merupakan per¬buatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?” Nikouw tua itu menarik napas pan¬jang. “Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi mem¬beda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan be¬laka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu me-maklumi keadaan kami dan sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi meng¬anggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu.” Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu. Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tidak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri. Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis! Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya, “Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?” Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali. Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura. “Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?” “Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada,” jawab nikouw itu. Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut. “Suthai... siapakah...?” “Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini...” “Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?” Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam. Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut “Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kaukehendaki?” Beng Sin tidak terkejut mendengar in akan tetapi dia menatap wajah itu makin tajam, wajah yang mendatangkan rasa anch dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini. “Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kan¬dung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!” Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah meng¬alirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi keti¬ka kedua mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah. “Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Tidak ada manfaatnya bagimu, sicu.” “Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan se¬gar-bugar, akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayah¬nya maupun ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!” “Sicu! Jangan kaukeluarkan kata-kata seperti itu,” Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari kedua matanya. “Sicu tidak tahu betapa men¬diang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada perasaan yang sicu derita sekarang ini.” “Akan tetapi saya sebagai anak kan¬dung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!” Beng Sin mendesak. “Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni cerita¬kan semua kepadamu, sicu.” Setelah ber¬kata demikian, nikouw itu lalu berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang. “Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu.” Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara. Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa yang berusia tujuh belas tahun hi¬dup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar. Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga ke¬amanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup sa¬ling menyayangi karena hanya berdua saja mereka di dunia ini. Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik me¬lihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa! Setelah Kui Hok Boan bertemu de¬ngan Cui Hwa, pemuda tampan ini se¬gera tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sung¬guhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi! Me¬lihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seekor daging segar bagi seekor serigala kelapar¬an, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu. Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut melihat adiknya menangis di dalam ka¬marnya. Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan da¬tang dan memaksanya menuruti kehendak¬nya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan me¬maksa dan dengan kejam telah mem¬perkosanya! Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya men¬jadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa! Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya. Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai. Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. “Demi¬kianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu...” “Dan ibuku? Apa jadinya dengan dia?” Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah se¬kali kepada Kui Hok Boan. “Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan me¬maksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi...” “Keparat jahanam Kui Hok Boan!” Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya. “Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri.” “Lalu bagaimapa dengan ibuku, su¬thai?” “Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau mem¬berikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw...” “Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!” Nikouw itu mengangguk. “Pinni men¬dengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada anaknya sendiri...” “Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!” Beng Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu. Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan dada. “Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw...” “Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?” Beng Sin meratap, masih berlutut. “Pinni kasihan kepadamu seperti ke¬pada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw...” Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya me¬nyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilang¬kan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin. “Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu.” Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah. “Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibu¬ku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku.” “Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni me¬rasa bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!” Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciok kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean, betapa dia hendak mem¬bela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya. Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya, “Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah eng¬kau kepada keluarga Ciok itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciok itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang ter¬paksa pinni mempersilahkan sicu pergi.” Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut, “Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!” Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum, “Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!” Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu. Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia membayangkan betapa sengsara ibu kan¬dungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya! Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada ayah kandungnya itu sendiri! Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciok-piauwsu yang gagah dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat cahaya hidup baru membentang luas di depannya. *** Apakah sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara kembar puteri dari Kui Hok Boan itu? Seperti telah kita ketahui, dua orang dara kembar yang tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti yang telah dijanjikan oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw, diam-diam melarikan diri dan mereka pergi ke selatan, tidak tahu harus pergi ke mana, pokoknya meninggalkan ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu. Hampir mereka tidak percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka kepada pangeran yang sombong itu! Sukar mereka dapat menerima kenyataan betapa ayah mereka itu mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu kejam dan jahatnya pula telah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan mereka kepada pangeran yang mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong adalah saudara mereka, anak ibu kandung mereka pula! Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pula. Untung mereka sejak kecil telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki tubuh yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua perhiasan mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan makan dan lain-lain di sepanjang perjalanan. Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin tiba di tepi Sungai Hoang-ho. Ketika melihat sebuah perahu besar, mereka berseru memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut dalam perahu itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua dikurung bajak! Terjadilah perkelahian seru dan andaikata pada saat itu tidak sedang lewat perahu yang ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng-piauwkiok, entah bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu menyelamatkannya dan para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu ini, maka mereka melepaskan Lan Lan dan Lin Lin. Ciang-piauwsu yang merasa kagum kepada dua orang dara kembar, juga karena dia sendiri tidak mempunyai anak, ketika mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta tanpa keluarga, segera mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu dianggapnya anak sendiri. Isterinyapun suka sekali kepada Lan Lan dan Lin Lin. Seperti telah diceritakan, dua bulan setelah mereka itu tinggal di rumah Ciang-piauwsu, pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak mereka setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan mendengar keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut Ciang-piauwsu di kota Su-couw. Kedatangan Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apalagi ketika dua orang gadis itu mendengar dari Siong Bu bahwa ayah mereka telah berubah pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang. Siong Bu bercetita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua orang puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan Pangeran Ceng Han Houw. Lan Lan dan Lin Lin girang sekali dan mereka berhasil terbujuk dan ikut pergi bersama Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini telah membohong. Dia tahu bahwa kalau dia berterus terang, dua orang dara itu tidak akan mau ikut pulang, dan diapun tidak mungkin dapat memaksa mereka. Setelah berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi tiga ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu dan berangkatlah mereka meninggalkan kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri. Setelah tiba di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam sebuah rumah penginapan. Lan Lan dan Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong Bu berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk keluar dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru tiba dari selatan dan berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui pangeran ini dan memberi tahu tentang dua orang dara kembar yang baru saja dapat digiringnya kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran! Pada waktu itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia merasa heran dan tidak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung pembesar setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai keponakan Kui Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut karena dia ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga Kui itu. “Hemm, Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui itu. Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?” Melihat sikap angkuh dan ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu menjadi ketakutan. Dia cepat mem¬beri hormat sambil berkata, “Harap pa¬duka maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk me¬nyerahkan kedua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar itu.” “Dua orang gadis kembar? Ahhh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!” Wajah pangeran itu berseri dan hati Siong Bu seketika merasa lega. “Di mana mereka? Apakah sudah kaubawa ke sini?” “Itulah sebabnya hamba memberanikan diri menghadap paduka, pangeran. Kalau tidak paduka sendiri turun tangan, akan sukarlah bagi hamba untuk dapat meng¬haturkan mereka kepada paduka.” Kemu¬dian dengan singkat namun jelas Siong Bu lalu menceritakan kepada Han Houw akan semua yang telah terjadi, yaitu bahwa dua orang adik misannya itu telah melarikan diri dan betapa dengan susah payah akhirnya dia dapat menemukan mereka dan membujuk mereka sampai tiba di kota ini. “Hamba telah berhasil membujuk me¬reka sampai ke sini, dan kalau paduka tidak segera menguasai mereka, kalau sampai mereka lari lagi, akan sukarlah untuk menangkap mereka kembali. Mere¬ka adalah dua orang dara yang berhati keras, pangeran. Hamba kini menyerah¬kan mereka kepada paduka dengan penuh kerelaan hati.” Wajah yang berseri itu nampak makin gembira, akan tetapi suaranya yang ter¬dengar secara tiba-tiba itu mengejutkan Siong Bu. “Kwan Siong Bu, apa maksud¬mu begini baik engkau hendak menyerah¬kan dua orang adik misanmu kepadaku?” Akan tetapi Siong Bu segera dapat menguasai kekagetan hatinya. “Tidak ada lain maksud hati kecuali hendak berbakti kepada paduka, pangeran. Hamba hanya mengharapkan kemurahan hati paduka untuk keluarga kami.” Han Houw mengangguk-angguk, mak¬lum bahwa dia berhadapan dengan pe¬muda yang gila kedudukan dan pahala! Akan tetapi, pemuda semacam ini me¬mang amat berguna bagi orang-orang besar seperti dia, kareha pemuda atau orang yang gila akan kedudukan akan dapat mudah menjadi hamba-hamba yang setia. “Bagus, mari antar aku kepada mereka!” Dengan girang Siong Bu lalu mengantar Han Houw ke rumah penginapan di mana dua orang adik misannya sedang tidur. Ketika kereta yang membawa pangeran dan Siong Bu tiba di depan rumah penginapan, dan melihat pangeran itu turun, semua orang yang berada di depan cepat berlutut menghaturkan hormat karena mereka mengenal siapa adanya pemuda tampan yang berpakaian indah itu. Siong Bu langsung membawa sang pangeran sampai ke depan pintu kamar dua orang dara kembar itu, kemudian dia mengetuk pintu. “Lan-moi! Lin-moi!” Setelah beberapa kali mengetuk, terdengar jawaban Lin Lin dari dalam. Dua orang dara itu telah melakukan perjalanan jauh dan mereka lelah sekali maka tadi telah tidur nyanyak. Mereka kini terkejut mendengar ketukan pada pintu kamar mereka. “Siapa di luar?” tanya Lin Lin. “Aku, Lin-moi. Bukalah pintu kamarnya, aku mau bicara, penting sekali!” kata Siong Bu mendesak dan Han Houw sudah tersenyum gembira ketika mendengar suara gadis yang merdu dari dalam kamar itu. “Tunggu sebentar, Bu-ko!” terdengar Lin Lin berkata. Dua orang dara ini terkejut dan menduga tentu ada bahaya, maka mereka cepat turun dari tempat tidur dan tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka, pakaian ringkas dan memakai sepatu, siap untuk segera pergi kalau keadaan memaksa. Setelah selesai, barulah Lin Lin dan Lan Lan menghampiri pintu kamar dan membukanya. “Lan-moi dan Lin-moi, ini pangeran sudah datang menyambut kalian!” kata Siong Bu sambil moloncat ke belakang, membiarkan Han Houw memasuki pintu kamar itu. Dua orang dara itu torkejut bukan main dan mereka mundur kembali ke dalam kamar dengan mata terbelalak dan muka pucat, menatap wajah pangeran yang tampan dan tersenyum-senyum itu. Han Houw melangkah masuk dengan gayanya. “Selamat malam dan selamat berjumpa kembali, dua orang nona kembar yang manis. Ah, kini kalian nampak semakin manis saja. Keretaku telah menanti di luar, marilah kalian kuantar pulang...” “Pu... pulang...?” Kui Lan bertanya, penuh harap. Benarkah pangeran hendak mengantar mereka pulang ke dusun Pek-jun? “Ha-ha, tentu saja. Pulang ke istanaku sayang, dan kita akan bersenang-senang, pesta menyambut kedatangan kalian berdua, nona-nona manis.” “Tidak sudi!” Tiba-tiba Kui Lin membentak dan dia sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh Lan Lan. Seperti dua ekor singa betina, dua orang dara kembar ini dengan pedang di tangan sudah menghadapi sang pangeran, sedikitpun tidak gentar dan mereka memandang penuh kebencian. Melihat sikap mereka ini, Han Houw menjadi semakin gembira dan kagum! Belum pernah ada wanita berani atau mau menolak cintanya, akan tetapi dua orang dara kembar ini menentangnya dengan penuh kegagahan, dan hal ini merupakan permainkan baru baginya! “Ha-ha-ha, kalian masih sama gagahnya seperti dulu. Bahkan lebih gagah! Akan tetapi, enam bulan yang lalu kalian bukan lawanku, apalagi sekarang setelah aku menjadi jagoan nomor satu di dunia! Ha-ha, kalian boleh menyerangku sesuka hati kalian, nona-nona manis!” “Hemm, kedudukanmu saja tinggi, engkau seorang pangeran, akan tetapi watakmu rendah, engkau hendak memaksa gadis-gadis yang tidak sudi menjadi permainanmu!” “Lebih baik mati!” Lin Lin membentak dan dia sudah menerjang maju dan menyerang dengan pedangnya, diikuti oleh lan Lan. Dua orang dara itu menggerakkan pedang mereka dengan ganas dan kini gerakan mereka memang lebih hebat daripada enam bulan yang lalu. Hal ini adalah karena mereka selama dua bulan telah menerima pelajaran ilmu pedang dari Ciang Lok, ketua Hek-eng-piauwkiok. Akan tetapi tentu saja berhadapan de¬ngan Han Houw, mereka itu tidak ada artinya. Han Houw hanya tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka dan begitu tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang pedang mereka yang telah pindah ke dalam kedua tanga Han Houw! Kiranya pangeran yang amat lihai itu tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan kedua tangan yang mendatangkan hawa pukulan kuat, membuat tangan mereka yang memegang pedang tertahan, kemudian dalam satu detik itu, tangan kanan dan kiri dari pangeran itu telah berhasil merebut pedang! Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di lain saat mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan mereka! Terdengar suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan pukulan ke tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan lalu berkata, “Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya, sayang!” Tentu saja dua orang dara itu ter¬kejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke arah kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya bergerak dan dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena ditotoknya. “Kwan Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!” pe¬rintah Han Houw. Siong Bu masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah di atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota raja. Semua orang yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya lucu sekali bahwa ada dua orang dara yang diambil oleh pangeran bersikap demikian aneh dan berani menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu menundukkan dua orang gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang memuji kelihaian pangeran itu. Setibanya di istana, Han Houw lalu menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan pemuda yang sejak tadi dalam kereta tidak berani menatap wajah dua orang piauw-moinya yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan main. Apalagi ketika pangeran itu mengatakan bahwa kelak kalau dia sudah bosan, dia akan menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu! Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Siong Bu bertemu dengan Beng Sin, terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga pemuda ini tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran kepadanya. Sementara itu, biarpun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak dengan keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka bertekad lebih baik mati daripada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan diri secara suka rela kepadanya. “Hemm, kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!” Han Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan rebah di atas pembaringan kamamya itu. “Kalian telah memperoleh derajat tinggi menjadi pilihanku, dan kalian berani menolak? Hemm, kalau sekarang juga aku memperkosa kalian, apakah kalian dapat mengelak?” Biarpun masih dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, Kui Lan yang memandang dengan penuh kebencian itu berkata, “Manusia rendah! Apa kaukira kami tidak akan mampu bunuh diri kelak? Kami telah tertawan, mau bunuh, mau apakan terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan harap!” Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya kepada diri sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita! Semenjak masih di utara dulu, wanita manapun akan berlutut dan menyerahkan diri kepadanya secara suka rela dan penuh pasrah, bahkan penuh gairah. Dia amat membanggakan diri sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya dan yang terakhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak perduli siapa, tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali begitu dia mengejapkan mata memberi isyarat, demikianlah anggapannya selalu. Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani menolaknya ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang manusia rendah macam Kui Hok Boan! Dan juga dua orang dara kembar itu bukanlah wanita-wanita secantik bidadari, sungguhpun mereka itu amat manis. Dan mereka berani menampik dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng Han Houw. Entah sudah berapa banyak wanita, baik perawan, janda maupun isteri orang, yang dengan suka rela jatuh ke dalam pelukannya dan melayaninya dengan senang hati. Pernah ada seorang wanita, ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, yaitu puteri seorang pembesar kota raja yang menggerakkan berahinya, bersikap agak “jual mahal” pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan setelah dia berhasil menundukkan wanita itu, yang kemudian berbalik malah amat mencintanya, untuk memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han Houw yang terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri. Dan kini dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani memaki dan mengutuknya. Kebanggaannya, yang telah dibangunnya semacam benteng awan itu kini hancur oleh penolakan dua orang dara ini! Dia tidak sudi untuk melakukan perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa wanita itu tidak mau kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia kalah oleh wanita itu, bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia tidak sudi memperkosa, dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran ini lalu keluar dari kamar itu, memerintahkan dua orang wanita pembujuk memasuki kamar itu untuk membujuk agar dua orang dara kembar itu suka melayaninya dengan suka rela. Akan tetapi, begitu dua orang dara kembar itu terbebas dari totokan setelah jalan darahnya dengan sendirinya mengalir lancar, mereka mengamuk dan dua orang wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan betapa enak dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh, keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka copot! Kini marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan Lin Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan mereka dengan totokan. Dipanggilnya pengawal yang segera datang berlari-lari. Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah. “Belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus dan masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!” perintahnya. Dua orang pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan due orang gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tidak berani bersikap kasar dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap. “Jaga mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahahan dan jangan beri makan atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum, jangan beri akan tetapi beri tahu padaku!” Kepala pengawal memberi hormat dan menyatakan baik, kemudian pergi meninggalkan Han Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua orang dara kembar itu membuat dia kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung hatinya. Dua orang bocah dusun itu berani menampiknya! Setiap malam Han Houw sengaja makan minum di dalam kamar tahanan itu untuk menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja melakukan ini tanpa bicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya. Maksudnya agar dua orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi dan bertobat, tunduk dan menyerah kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa mereka. Namun, sejak malam pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan minum itu sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum itu, melainkan sebalik¬nya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian! Mereka berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati, selagi masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya tampan wajahnya namun buruk sekali wataknya itu. Dan andaikata mereka akhirnya diperkosa di luar kehendak mereka, mereka sudah bermufakat pula untuk membunuh diri begitu terbuka kesempatan! Pendeknya, jangan harap pangeran itu akan dapat membuat mereka menyerahkan diri se¬cara suka rela! Penyerahan diri seorang wanita me¬mang terdorong atau didasari bermacam pamrih! Akan tetapi selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah. Ada wanita menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta kekayaan, atau karena mengingin¬kan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan diri kepada seorang pria karena dorongan nafsu berahi semata. Hubungan badan dengan dasar seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala perbuatan, termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah dan wajar dan benar. Ceng Han Houw adalah seorang pe¬muda yang memiliki segala-galanya dalam keduniawian. Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, dan memiliki kepandaian tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi se¬mua itu tidak ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan belaka, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, selama dia tidak me¬miliki batin yang bersih. Batinnya kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa nafsu ingin menang sendiri! Ingin tinggi sendiri, nafsu berahi dan sebagainya. Dia begitu sombong sehingga dia menganggap semua wanita pasti akan bertekuk lutut di depannya, bahwa semua wanita pasti akan dengan senang dan suka rela menyerahkan diri kepadanya kalau dia menghendakinya! Sungguh suatu pandangan yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena sampai tiga hari tiga malam, biarpun setiap malam dia menggoda dengan makan minum di depan dua orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja tidak mau tunduk, tidak pernah minta-minta air atau makan, biarpun tubuh mereka sudah mulai lemas dan setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga malam! *** Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, dan sebagian lagi dia ingin mencari Bi Cu. Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandung, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu tirinya! Pertama, berarti dia telah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh orang lain kecuali oleh tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya. Dan ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya dan isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah! Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu kembali keluar tembok besar, maka dia. tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia mengkhawatirkan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu. Kalau dia ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian ayahnya? Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu. Setibanya di kota raja, Sin Liong lalu menghubungi para pengemis di pasar dan bertanya-tanya tentang Bi Cu yang terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu di antara mereka. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua mencinta Kim-gan Yan-cu dan setelah pemimpin wanita ini tidak ada, kehidupan merekapun kocar-kacir dan cerai-berai, tidak ada lagi pengatur siasat yang pandai. Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya kejam ini. Sin Liong tiba di dusun itu di waktu senja. Dia sengaja menanti sampai malam tiba, baru dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh amat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biarpun malam sudah tiba, akan tetapi tidak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah keluarga Kui sudah pindah, pikirnya. Dia terus memasuki pekarangan dan akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ah, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itupun kosong saja, tidak ada sepotongpun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang. AKAN tetapi ketika Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir Sin Liong lari, bulu tengkuk itu bangkit berdiri karena seremnya. Rumah kosong gelap dan ada suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya. Akan tetapi, penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong se¬orang pemberani. Biarpun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu, biarpun hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap meng¬hadapi apapun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah ka¬mar dan dari luar kamar itu sudah nampak cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu. Bukan setan, pikirnya. Kalau setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu. “Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja...? Hu-huuu, mengapa aku kalian tinggal sendirian?” Orang itu menangis terguguk dengan amat menyedihkan. Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan dia sudah menyentuh daun pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak! “Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau bosan hidup! Aku suka kepada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik, siapa perduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kaupun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, tapi kau memang pandai bercinta, ha-ha-ha! Eh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta dengan isterimu? Ah, kau bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!” Wajah Sin Liong berubah pucat men¬dengar ini semua. Hampir dia tidak per¬caya akan telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apalagi telah me¬nyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Ka¬rena tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong cepat membuka pintu untuk melihat dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia ter¬belalak seperti melihat setan! Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama se¬kali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang inipun butut seperti pakaian pengemis, wajahnya kotor tak terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu terdapat sebatang lilin bernyala. “Paman Kui...!” Sin Liong berseru memanggil. Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa bergelak, lalu berkata, “Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin? Ha-ha, mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi mertua pangeran! Ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut menyembahku!” Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi dan Sin Liong memandang dengan muka pucat. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapapun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong. “Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!” Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba memandang. Sin Liong melihat betapa sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya. “Sin Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!” Tiba-tiba Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dengan mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling dan kembali Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. “Siong Bu... anakku... Siong Bu, kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku...! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kaubunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu... kau minggat kemana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... kalau engkau sudah resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-ha!” Mendengar semua ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan Beng Sin yang membunuhnya? Tapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana? “Paman Kui!” bentaknya keras. “Di mana Lan-moi dan Lin-moi?” Dibentak keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, “Di mana lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran...” Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia sudah berkelebat cepat meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya karena dia tidak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri bersama Bi Cu. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari malapetaka! Dengan cepat karena dia mempergunakan gin-kangnya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para perajurit pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang dilakukan di waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu dan mereka lalu mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di dalam. Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tidak ada seorangpun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya. Maka pengawal itu kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamar dan tidak ada yang berani mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan. “Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!” kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu. “Akan tetapi... kongcu...” “Sudahlah!” Sin Liong berseru tak sabar. “Aku mempunyai urusan yang penting sekali untuk disampaikan kepadanya! Biar aku yang membangunkannya dan kalau dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!” Melihat sikap ini, para pengawal merasa khawatir sekali, akan tetapi karena Sin Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan kamar Ceng Han Houw. Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu terukir indah itu, disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan khi-kang agar suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu, “Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara dengan Houw-ko...!” Semua pengawal diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu sang pangeran akan menjadi marah sekali diganggu tidurnya seperti itu. Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang! “Liong-te...!” Daun pintu segera terbuka dan muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Melihat para pengawal, pangeran itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi. “Liong-te, kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!” Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat dua orang wanita cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi setelah dia melihat bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, legalah rasa hatinya dan dia cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian dalam mereka itu. “Kalian keluarlah...!” kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum. Dua orang wanita muda itu cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai. Setelah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup lagi, Han Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong dari kepala sampai ke kaki, seperti menaksir-nakair dengan pandang matanya. “Ha-ha-ha, girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang pantaslah engkau disebut Pendekar Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te! Dan akupun telah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi daripada ilmu silat yang pernah kaupelajari.” Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biarpun menguasai ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, namun dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpipun belum pernah. Akan tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia? “Kalau begitu, aku mengucapkan se¬lamat, Houw-ko!” katanya dengan wajar karena betapapun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat men¬capai apa yang telah diinginkannya. Han Houw tertawa. “Akan tetapi aku belum merasa puas kalau belum mem¬buktikan apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapapun juga, biar engkau adalah adik angkatku, namun engkau lebih dulu mewarisi ilmu dari suhu Bu Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suhengku! Hanya kalau kita sudah saling mengukur kepandaian, baru dapat ditentukan siapa yang lebih unggul dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu melawanmu, Liong-te!” Sin Liong terkejut dan cepat dia menggeleng kepalanya. Dia tahu betapa hausnya pangeran ini akan kemenangan. “Tidak, biarlah tanpa diujipun aku menyerahkan gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk bertemu denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi.” Dia menatap tajam wajah pangeran yang masih tersenyum itu. “Houw-ko, di manakah ada¬nya Lan-moi dan Lin-moi? Aku tahu bahwa mereka telah kautawan. Kuharap dengan mengingat akan hubungan antara kita, engkau suka membebaskan mereka. Biarkan aku membawa mereka pergi Houw-ko.” Han Houw mengerutkan alisnya, ke¬lihatan tidak senang, akan tetapi dia lalu menutupi ketidaksenangan itu dengan senyum lebar. Memang hatinya tidak senang sekali begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan lagi akan kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, dua orang dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi menerima cintanya. Untuk menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia menenggelamkan diri da¬lam pelukan selir-selir lain, namun tetap saja dia masih tidak puas dan merasa penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang dara itu dibebas¬kan! Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun pangeran yang pandai menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya. “Mengapa engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?” “Houw-ko! Tentu engkau tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku sekandung, seibu! Karena aku adalah adik angkatmu, maka mereka itu pun tentu saja bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau me¬milih mereka kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi selir-selirmu? Harap kausuka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan persaudaraan kita!” “Hemm... bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan baik-baik. Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi hari tunggulah aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu di sana untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin.” “Tapi, Houw-ko...” Melihat sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan main pemuda ini, pikirnya, dan merupakan lawan berbahaya. “Liong-te, apakah engkau tidak percaya lagi kepadaku? Kalau aku bilang tiga hari kita bicara, hal itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin keselamatan dua orang adik kembarmu itu.” Lega hati Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapapun kejamnya kadang-kadang kakak angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia lalu mengangguk dan berkata, “Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di hutan itu, Houw-ko.” Dengan cepat dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung keluar dari istana. Para pengawal memberi hormat dengan tubuh tegak terhadap pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu. Sin Liong sama sekali tidak tahu bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu adalah untuk membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada keesokan harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita di kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga hari mendatang, pagi-pagi di hutan di sebelah selatan kota raja akan diadakan pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja! Han Houw kini tidak mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di dunia, melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja lebih dulu baru kemudian nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw. Boleh jadi Sin Liong belum memiliki nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi dia tahu betul bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang kang-ouw akan mampu mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang kang-ouw melihat dia mengajak Sin Liong mengadu ilmu. Itulah sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong pergi ke dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat pangeran itu berdiri dengan angkuhnya di suatu tempat terbuka dalam hutan itu, akan tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya. Pangeran Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh, pakaiannya indah dan bajunya ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Targan kirinya bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu sendiri, seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di belakangnya. Pada saat Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan oleh banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan tentang Sin Liong, karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat terakhir. “...dia putera dari pendekar besar Cia Bun Houw...” akan tetapi pangeran itu menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang. Sin Liong mengerutkan alisnya, tak senang hatinya mendengar pangeran itu membuka rahasianya di depan orang banyak! Akan tetapi hal itu telah dilakukannya, maka diapun tidak banyak bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw dan memandang dengan sinar mata tajam mencorong. “Aha, Liong-te, engkau benar gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas memulai saja, Liong-te!” “Mulai apa, Houw-ko?” kata Sin Liong dan para orang kang-ouw yang men¬dengarkan percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan cara bicara kedua orang itu. Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran dengan sikap begitu seenaknya tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya sendiri saja! Diam-diam, di samping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang amat besar. Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya! “Eh, mulai apalagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji kepandaian masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!” Sin Liong terkejut sekali. Tak di¬sangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras. “Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!” “Akan tetapi aku ingin mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kautandingilah aku, biar semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!” “Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mengadu ilmu silat, apalagi terhadap engkau yang menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!” “Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu kepadaku? Masa adik angkatku seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, kauseranglah aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!” “Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi.” “Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Tapi, kita bertanding dulu.” “Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko.” “Kalau aku memaksamu?” “Apa maksudmu?” “Kalau aku menyerangmu?” “Aku tidak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang tak mau melawan!” kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu. “Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu dengan cambuk ini!” Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, memutarnya di atas kepala lalu menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga amat kuat itu. “Tar-tar-tarrr!” Tiga kali cambuk itu meledak di udara dan suaranya sedemikian nyaring mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk ! Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja. “Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu,” Sin Liong berkata. Dia adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena dipancing lalu menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sesungguhnya tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal. “Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu dan membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!” katanya dan kembali dia menggerakkan cambuknya ke atas, kemudian cambuk itu meluncur ke bawah mengeluarkan bunyi amat nyaring. “Tar-tar-tarrr!!” Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata Sin Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak. Sin Liong tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tidak melawan, hanya mengangkat tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit seperti patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sin-kang, kulitnya tidak terluka, lecetpun tidak. Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangah Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar pemuda itu membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tidak pernah membalas, juga tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya tidak ada yang lecet. Diam-diam Han Houw terkejut dan kagum juga penasaran sekali akan keteguhan batin adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa jengah dan malu sendiri! Di lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya dia sengaja tidak melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian itu. “Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut kepadaku? Hayo katakan bahwa engkau takut kepadaku!” Han Houw membentak marah dan penasaran sekali karena semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau melawan. Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tenang dan sepasang matanya mencorong. Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Houw-ko, aku tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tidak ingin bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak.” “Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?” “Tidak, Houw-ko.” “Jadi dengan demikian engkau tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?” “Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jago¬an nomor satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak perduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak.” Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya karena pengakuan ini sudah cukup dan telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapapun juga, dia harus dapat memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini. “Kau ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!” Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apalagi hal itu harus dilakukan di depan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw. Akan tetapi Sin Liong teringat akan hal ini dan dia tahu bahwa pangeran itu memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan Lan Lan dan Lin Lin yang telah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali! Melihat ini, diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini benar-benar memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan ketenangan yang amat kuat sehingga mampu menahan segala penghinaan dan tidak mudah terpancing. Menghadapi lawan seperti ini benar-benar amat berbahaya! Maka dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya. “Ha-ha-ha, cu-wi sekailan telah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami tahu betul bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan menjadi jagoan nomor satu di dunia setelah kami mempunyai kesempatan untuk mencoba dan merobohkan pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun Houw dan lain-lain.” Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu berkata. “Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau me¬nurut pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana bisa dimasukkan dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?” “Ha-ha-ha, seperti jembel!” “Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?” Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya ikut tertawa saja. Mereka men¬tertawakan Sin Liong, akan tetapi hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat diri sendiri se¬telah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw. Sejak tadi Sin Liong sudah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin me¬nyelamatkan dua orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan me¬nerima semua itu dengan tenang. Akan tetapi kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini dari orang-orang lain. Dengan tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding kepadanya itu dan tiba-tiba Sin Liong lalu mengeluar¬kan bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan. Tujuh orang itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang mengandung sin-kang kuat maka mereka cepat ber¬gerak untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar biarpun ada yang telah mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena me¬reka semua telah roboh pingsan! Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang ke¬pada tujuh orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum, heran dan jerih. Sin Liong bangkit perlahan-lahan menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata seperti mata naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik melihat sinar mata ini dan otomatis kaki mereka me¬langkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu. “Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara kalian ada yang mau mengujiku silakan maju!” Suasana menjadi sunyi setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang kelihatan jerih. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka? “Sin Liong telah mengajukan tantangan kepada cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di antara cu-wi tidak ada yang berani menandinginya? Cu-wi yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini? Betapa menggelikan dan memalukan!” Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali. Karena, biarpun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri dapat menilainya. “Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?” tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan se¬patunya memakai lapis baja. “Hemmmm, apakah kalau begitu kali¬an juga mengakui keunggulanku karena aku seorang pangeran? Itu penghinaan namanya!” bentak Han Houw. “Tidak, pangeran,” kata Si Muka Hi¬tam. “Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam Bergolok Besar) telah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bah¬wa paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka telah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapapun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami...” “Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tidak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Kalau ada yang berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia se¬bagai adik atau apapun juga. Kalah me¬nang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!” “Kalau begitu, maafkan, biarlah ham¬ba yang mencoba kelihaiannya!” Twa-to Hek-houw berseru dan dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya ber¬gerak dan dari punggungnya dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu besar dan berat, namun dia dapat meng¬gerakkannya seperti sebuah benda yang ringan saja. Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, “Orang muda, marilah kita main-main sebentar dan kau boleh keluar¬kan senjatamu!” Macan Hitam ini me¬mang licik. Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat men¬duga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya dengan tangan kosong, melain¬kan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu. Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan marahnya terhadap Han Houw kini ditujukan semua kepada orang-orang yang memandang rendah dan meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata, “Untuk melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!” tantangnya. Memang Si Muka Hitam itu sudah me¬rasa jerih, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela kalau menyerang pe¬muda ini dengan goloknya karena bukan¬kah pemuda itu sendiri yang menantang¬nya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia sudah menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara meng¬aung ketika golok itu menyambar. Sin Liong kelihatan tidak bergerak, hanya sedikit miringkan badan dan menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok. “Krekkk!” Golok itu patah menjadi dua, dan orang itu kena ditampar dan orangnya roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya! Melihat betapa Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat disegani di kota raja itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan hebat. “Hayo, siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami bukantah tontonan!” Sin Liong berkata, suaranya keren dan sepasang matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong. Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah berbahaya, maka mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, segera meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lain sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya Pange¬ran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ. “Nah, sekarang kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kaubebaskan.” Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Biarpun di depan banyak orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya dan adik angkatnya ini sama sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang kang-ouw itu.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger