naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

pendekar lembah naga 420

“Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!” kata Ciauw Si tegas. “Baiklah... baiklah...!” Pangeran Ceng Han Houw lalu memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua dan mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk. “Nah, mereka telah pergi, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi.” Ciauw Si duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, “Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau cinta sungguh-sungguh kepadaku?” Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula. “Tentu saja, Si-moi. Aku cinta pada¬mu dengan sepenuh hatiku.” “Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum maupun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita makin akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!” “Tapi... tapi... apa artinya ini...?” Pangeran berkata tergagap karena kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya. “Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan kalau aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau mempunyai selir seorangpun. Inilah syaratku, tinggal terserah kepadamu sekarang, pangeran.” Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah dapat menenangkan dirinya kembali. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Baiklah, Si-moi. Tentu saja permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!” Ciauw Si sendiri kaget mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia sempat berkata-kata, pangeran itu telah memberi tanda tepukan tangan den muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Biarpun seorang pengawal tadi sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka. “Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti?” Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tidak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekeliruan salah dengar yang mengakibatkan dirinya celaka, dia berdiri tegak dan mengulang, “Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka akan paduka kirimkan kemudian?” “Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!” “Baik, pangeran!” Pengawal itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat dan Ceng Hen Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lalu memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan dan dipersilakannya dengan halus nona itu duduk. “Sudah puaskah engkau sekarang?” Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri. “Sungguh tak kuduga bahwa pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku.” Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw berani mengambil keputusan demikian cepat tentang selir-selirnya bukan karena dia tidak sayang kepada selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu terancam, rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga daripada para selirnya itu. Apalagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Kalau dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi pembantu-pembantunya atau setidaknya menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat. Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu? Tentu saja dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu. Setelah mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan meja, dia mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi lampu merah, di dekat kolam ikan. Hawanya sejuk sekali di situ, dan sunyi. “Nah, sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kausampaikan kepadaku, Si-moi?” “Pangeran, kedatanganku ini selain hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita janjikan ketika kita saling jumpa dahulu, juga untuk minta pertolonganmu. Engkau tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga Cin-ling-pai, oleh pemerintah dianggap sehagai pemberontak dan buruan.” Pangeran Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak terkejut dan menganggijk sambil tersenyum, matanya penuh kagum memandang bibir yang sedang bicara tadi. “Maka, aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami itu dapat dicabut, agar keluarga kami yang semenjak dahulu tidak pernah memberontak itu dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri baginda kaisar agar bersikap dan bertindak bijaksana...” Ciauw Si menghentikan kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas dan menggeleng-geleng kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya. “Bagaimana, pangeran?” Dia mendesak. “Ciauw Si moi-moi, agaknya engkau belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang menjadi permaisuri Raja Sabutai. Biarpun aku diterima oleh mendiang ayah kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya bersekongkol dengan pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu engkau akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat membujuk kaisar sampai berhasil.” Mendengar penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi terkejut dan kecewa sekali. Seketika lenyap harapannya untuk dapat menyelamatkan keluarganya dengan perantaraan pangeran ini. “Ah, lalu bagaimana baiknya...?” Dia berkata lirih. Ceng Han Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya. “Si-moi, jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para pembesar di seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah tidak lagi mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!” “Pangeran...!” Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim. “Apalagi dia kalau bukan kaisar lalim? Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang tidak pernah memberontak, bukan? Akan tetapi, kaisar lalim ini menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk menolong rakyat dari kelalimannya hanyalah dengan jalan menentangnya!” “Tapi... tapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai justeru adalah sucimu yang bernama Kim Hong Liu-nio dan gurumu yang bernama Hek-hiat Mo-li?” Pangeran Ceng Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Engkau salah mengerti, Si-moi. Memang tentu saja bekas guruku itu, aku telah menjadi murid orang sakti lain sekarang. Hek-hiat Mo-li merupakan musuh dari keluarga Cin-ling-pai akan tetapi ia me¬rupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanyalah menjalankan tugas sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk menyerang ke¬luargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar yang meru¬pakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim. Oleh karena itu harus kita tumpas dia!” Dengan pandainya Ceng Han Houw memutarbalikkan kenyataan sehingga Ciauw Si yang merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga akhirnya. Hatinya mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan! “Bagi kaisar lalim, golongan-golongan yang tinggi ilmunya merupakan ancaman bahaya bagi keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-besaran. Dan semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang menjilat-jilat kepada kaisar. Bahkan aku mendengar ¬kabar bahwa Pangeran Hung Chih sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk menghadapi aku.” “Ahh...?” “Akan tetapi jangan khawatir, Si-moi. Aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang kaujumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi dan aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga di dunia ini. Maka, aku hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoan di dunia kang-ouw, untuk memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu, tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim. Engkau tentu akan berpihak kepadaku, bukan?” “Tentu saja, pangeran.” Lalu gadis itu mendesak. “Tentang keluargaku, bagaimana caramu untuk dapat menolong mereka?” “Jangan khawatir, untuk sementara ini tidak akan ada pembesar yang berani mengusik mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar agar jangan ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kauberikan kepada ibu kandungmu, dan memperlihatkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan kubuat beberapa buah agar dapat kaubagi-bagi kepada mereka, dan per¬cayalah, suratku itu akan merupakan jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku masih memegang ke¬kuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!” Bukan main lega dan girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa bangga bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk menolong keluarganya, “Ah, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik hati sekali...” Ceng Han Houw bangkit berdiri, pindah duduk di dekat gadis itu dan me¬rangkulnya mesra, “Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta padamu, Si-moi. Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah buktinya bahwa engkau cinta padaku?” “Pangeran, bukti apakah yang kaukehendaki lagi? Aku sekarang berada dalam pelukanmu, maukah aku kalau aku tidak cinta padamu?” Ceng Han Houw menciumnya dan untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman dengan curahan hati penuh kasih sayang. “Si-moi...” Han Houw berbisik dengan napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu. “Kalau engkau benar mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku malam ini, sayang...” Tiba-tiba tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan pelukan pangeran itu, menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik, “Maaf Si-moi, bukan maksudku untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku membutuhkanmu, dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini, kalau engkau pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka sebelum berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi isteriku...” “Pangeran, engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita menikah. Aku harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan dulu. Baru kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, pangeran. Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi isterimu...” “Akan tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam waktu dekat-dekat ini, setelah engkau mengetahui keadaanku? Pernikahan antara kita tentu akan membuat kaisar menjadi semakin curiga dan tidak senang, karena engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dan menghadapi perjuangan ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak kasihankah engkau kepadaku? Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari merindukanmu, Si moi?” Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk gadis itu. Belaian, pelukan dan ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si seperti mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang. Dia hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti dibuai oleh keadaan yang amat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi ketika pangeran itu semakin berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik. “Kita harus menikah dulu... harus menikah dulu...” dan Ciauw Si pun menangis! Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik, “Moi-moi, engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang juga...” Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah. “Apa...? Bagaimana...?” “Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah bersumpah di depan Tuhan, disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya? Hanya belum dirayakan dan disaksikan keluarga dan manusia lain? Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?” Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan sudah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang menjadi penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi girang sekali. “Tapi... tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?” “Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku, dan kita malam ini juga dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam kuilnya. Dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri.” “Ohhh...” “Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku...” Pangeran itu mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta pergi ke Kuil Hok-te Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu. Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima dua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang aneh sekali dari pangeran itu untuk menikah saat itu juga, tanpa perayaan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja. “Dapatkan losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?” tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak. “Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati dan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!” serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia? Tiba-tiba Ciauw Si yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya ketika menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini, “Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?” Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, diapun cepat merangkap kedua tangannya depan dada. “Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah daripada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat, dengan sumpah di meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!” Lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, “Terima kasih, losuhu.” Mereka tidak usah menanti lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tak lama kemudian dua orang muda itu telah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat. Ketika mereka bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tak dapat ditahannya lagi menangislah “pengantin wanita” ini! Betapapun juga, ia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorangpun kerabat. Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biarpun bangkitnya gairah nafsu karena dirayu dan dibelai oleh kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lain yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya dan keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan. Sejak semula dia membela kakaknya dan diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya dalam pernikahannya sekarang inipun hanya merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran! Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjina, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberitahukan ibunya dan para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu! Apalagi karena diapun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andaikata keluarganya tidak setuju, seperti juga tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu! Karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya kembali ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah. Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka dan membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu menjadi berlarut-larut dan, sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah meninggalkan kamar! Barulah pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seolah-olah pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, diantar oleh pandangan mata mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja. Sedikitpun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati “bulan madu” selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, telah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana. Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya bimbang. Dia merasa girang bahwa dia telah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya. Akan tetapi, disamping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia betul-betul jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggapnya sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka. Maka timbullah kekhawatiran di dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia telah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri. *** “Bi Cu...! Bi Cu, apamu yang sakit...?” Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu dan Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta. “Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!” Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air. Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun sampai sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir. Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada gua atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci dan dia memanggang dagingnya, diberikan kepada Bi Cu. Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, diajak bicarapun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiripun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap matapun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air. Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sung¬guhpun tubuhnya masih panas sekali. “Sin Liong...!” rintihnya. Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu. “Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau akan sembuh kembali.” Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu berkata lemah, “Aku... aku haus...” Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya dan memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuk seperti cawan. Setelah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk. “Berapa lama aku sakit...?” bisiknya. “Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu.” Bi Cu mengangguk. Pikirannya sudah terang sekarang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali. Biarpun Bi Cu sudah sadar kini, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali den pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat! Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha me¬lindungi badan Bi Cu dari siraman hujan. Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyam¬bar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup! Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api ung¬gun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang ditutupi¬nya dengan daun-daun sedapat mungkin. Tubuh Bi Cu menggigil dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin-¬kangnya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Ini banyak menolong walau¬pun pakaian mereka basah semua. Me¬lihat kedua sepatu Bi Cu yang sudah pecah-pecah dan rusak-rusak ketika di¬pakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan malah menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata, “Se¬baiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja.” Bi Cu yang menyembunyikan mukanya dia dada Sin Liong hanya mengangguk dan Sin Liong lalu melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang di¬rangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin erat dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang. Hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong cepat membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu yang kering di tumpukan bawah. Maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu makin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu. “Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...” katanya penuh iba sambil merangkul dara itu. Bi Cu menyandarkan kepalanya di pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, lalu berkata lemah, dengan suara gemetar kedinginan, “Engkaupun basah kuyup dan kedinginan...” “Tidak, aku sehat, engkaulah yang sedang sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ah, baru saja engkau hampir sembuh, disiram hujan lebat...” Sin Liong berkata khawatir. MELIHAT kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apalagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing ketika mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan dan berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar! “Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar...” Suaranya mengandung isak. Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes di atas wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat. “Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini...” “Dan aku... akupun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong...” Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lalu berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. “Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang katakatakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku selalu membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu...” Mereka tidak berkata-kata lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan memang. Dengan berdiam diri, terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, melainkan di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua itu telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan mem¬butuhkan anggauta tubuhnya sendiri. Tak¬kan terpisahkan lagi, senasib sependerita¬an. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu. Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, “Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?” “Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ah, khawatir sekali aku.” “Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong.” Tanpa diucapkan sekalipun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia mencium mata kiri dara itu. “Akupun cinta padamu, Bi Cu.” Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan se¬telah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan! Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah me¬lampaui segala yang dapat diperbanding¬kan, sudah melampaui penilaian dan per¬bandingan itu sendiri! Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tidak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cin¬ta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cinta, yang berbeda dengan ke¬senangan. Kesenangan mempunyai sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita ada¬lah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan ini mem¬buat kita penuh dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sesungguhnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu. Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita ter¬lalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsu¬kan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat de¬ngan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini. Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanyalah se¬macam pemalsuan untuk menutupi ke¬inginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pa¬kai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan ben¬ci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang. Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukan menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya ma¬sih agak lemah tubuhnya, akan tetapi dia sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi. Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong me¬rasa girang bukan main. “Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup...” “Hari ini agaknya akan panas, Sin Liong. Aku dapat melepaskan pakaian dan menjemurnya. Tapi...” Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, “engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!” Sin Liong tertawa. Benar-benar sudah sembuh Bi Cu sekarang. Sudah mulai lagi dia bertingkah bengal! Sudah bersinar-sinar kembali kedua mata yang indah itu, kini penuh dengan kelincahan dan ke¬jenakaan. “Ha-ha, kaukira aku ini tukang intip? Akupun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun.” “Kalau ada dusun kau mau apa?” “Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu.” “Kau ada uang?” Sin Liong menggeleng kepala. “Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?” Muka Sin Liong menjadi merah. Dara ini baru saja sembuh sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut! “Aku... aku akan minta!” “Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?” “Barangkali ada yang kaya di dusun, ada tuan tanahnya...” “Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau akan mencuri pakaian dan sepatu untukku!” Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. “Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?” “Tidak, kau beli saja, atau... tukar dengan ini!” Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong. Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet ber¬mata emas itu. “Ah, bukankah ini lam¬bang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Bu¬rung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!” Bi Cu tersenyum. “Justeru karena ka¬lung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai.” “Ah, kukira julukan itu karena, matamu...” “Mataku bagaimana?” “Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas...” Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu. “Ihh, engkau perayu!” Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pe¬muda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya. Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang sekali. Kemudian pergilah dara ini ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian dan menjemur pakaian. Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semua itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, sedangkan mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu. Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan. “Ah, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan un¬tuk kita? Biar aku yang...” “Hemm, biarpun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku ber¬hasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!” Bi Cu girang sekali dan mematut-matut diri dengan pakaian itu setelah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas besarnya. “Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaianpun aku tidak rela!” Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak. “Kausimpan sajalah, Sin Liong.” Wajah pemuda itu berseri. “Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!” Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong. “Aku akan mencoba pakaian ini!” kata Bi Cu sambil berlari kecil menghilang ke balik semak-semak. Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi. “Wah, engkau memang hebat! Pas sekali pakaian ini, seperti juga sepatunya!” Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok. Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari. “Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!” kata Sin Liong sambil bangkit berdiri. Bi Cu meruncingkan mulutnya. “Ih, engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!” Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan. “Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji.” Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya seperti ketika mereka kehujanan semalam. “Sin Liong, jangan kautinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apapun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?” “Tentu saja, Bi Cu.” “Biarpun engkau akan dipaksa oleh siapapun juga?” Sin Liong mengangguk. “Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup ataupun mati?” Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya dan mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata kedua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, terasa benar oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat. “Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?” Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah. Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi merah dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas! “Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanya kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu.” Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itupun membuyarlah. “Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!” Sin Liong, makin gembira hatinya. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya amat mengantuk. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan barulah dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia duduk melenggut bersandarkan batang pohon. Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, lalu mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, kemudian dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang mengantuk. “Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!” Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri dan membiarkan dirinya digandeng, ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu. Melihat tempat tidur dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan makin beratlah kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya. Enak benar Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ. Dia lalu bangkit duduk, kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu. “Bi Cu...!” Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khi-kang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban! Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia lalu berindap-indap menuju ke anak sungai. Kalau dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situpun tidak nampak Bi Cu, dia mulai bimbang. “Bi Cu...!” Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban. Dia mencari-cari dengan gerakan cepat kini, berlari dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya. Sebuah sampul surat di dekat perapian yang telah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa mempunyai sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada! Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi agak pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu dan dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita! Cia Sin Liong! Kalau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai! Surat itu tidak ditandatangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu diculik orang ketika dia sedang tidur! Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu. Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorangpun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini meamsuki benaknya, tubuhnya sudah mencelat dan berkelebat, lalu dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang didatanginya tadi. Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu! Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya seperti puteri istana datang ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. “Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!” Sin Liong berkata penuh geram dan cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan, “Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!” Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar. *** Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai kepadanya itu. Yang paling me¬risaukan hatinya adalah berita tentang gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih. Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di sepanjang Tembok Besar. Biarpun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa, kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan sungguhpun tidak seketat sekarang, namun Ceng Han Houw tentu saja sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayah¬nya di utara! Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasu¬kan untuk mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang anti pemerintah, dan terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw, dibasmi oleh pasukan itu. Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri membantu gerakan Ceng Han Houw kalau sewaktu-waktu pangeran ini hendak me¬numbangkan kekuasaan kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri, yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han Houw, ditangkapi dan dimasukkan tahanan! Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tak lain tentu hasil dari pengkhianatan Sun Eng yang telah mencuri surat rahasia itu! Suasana men¬jadi terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk me¬nyuruh orang menangkapnya! Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia segera mengutus anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu. Dia mengundang semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan besar untuk mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu dan tempat untuk itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar. Ketika dia mendengar bahwa sucinya, Kim Hong Liu-nio, dan subonya, Hek-hiat Mo-li, juga sudah kembali dari selatan karena tidak perlu lagi mereka mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, dan mendengar betapa sucinya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai umpan, untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang sekali. “Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci,” katanya kepada wanita itu. “Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat mempergunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat menyenangkan hatinya.” Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai tawanan yang diperlakukan dengan hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga tentu saja tidak mengganggu Kim Hung Liu-nio yang pernah dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu. Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong adalah adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang kini membutuhkan bantuan adik angkatnya itu. Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya itu, dan diapun prihatin sekali. “Kaisar telah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!” demikian Pangeran Ceng Han Houw berkata. “Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan perjalananmu ke selatan, Si-moi?” Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru. “Aku tidak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan te¬tapi ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah di¬bebaskan oleh kaisar!” “Ah, masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan me¬makai nama kaisar! Kalau hal ini diketahui oleh kaisar, tentu aku akan di¬tangkap sebagai pembantu pemberontak...” “Ahhhh...!” Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya. “Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, karena memang aku sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja.” “Engkau... engkau pergi ke manakah, pangeran?” “Kembali ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan renca¬naku semula, aku akan mengadakan per¬temuan kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan terbesur kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk menghadapi kaisar.” “Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!” Ciauw Si berkata kaget. Ceng Han Houw merangkul dan me¬nutup mulut yang hendak memprotes itu dengan ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang memabukkan. Beberapa lama mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si, “Engkau adalah isteriku, bukan?” Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya. “Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimanapun juga, bukan?” “Dengan taruhan nyawaku...” “Isteriku sayang, melawan kekerasan kaisar lalim bukanlah pemberontakan namanya! Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri mehjadi kor¬ban kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim macam itu merupakan pemberontakan? Apakah usaha membebaskan rakyat dari cengkeraman kelaliman itu bukan pula merupakan tugas orang-orang yang menjunjung kegagahan seperti kita?” Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya. Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu dengan berani pergi menghadap kaisar dan mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat dan dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara. Memang sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak akan kembali selamaya, demikian pikir kaisar. Dan, sesuai dengan siasat kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat dipadamkan tanpa terjadi perang saudara, maka pangeran inipun dengan mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si dan sepasukan pengawalnya yang setia. Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya, dia telah menggabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakan¬nya ini, akan tetapi dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya tergila-gila itu dan dia seolah-olah melakukan tindakan itu dengan mata sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apapun juga asal dia tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu. Kesenangan, terutama sekali kesenang¬an yang diperoleh dari pemuasan gejolak berahi, memang dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan batin dan menyuramkan kesadaran. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah betapa orang-orang besar, orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat batinnya, tidak goyah oleh godaan penawaran harta dan keduduk¬an mulia, akhirnya runtuh dan jatuh, hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat, karena dilanda oleh godaan berupa kesenangan dan pemuasan berahi ini! Raja-raja besar terguling dari singgasana mereka, pendeta-pendeta suci runtuh dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur dari ketiaannya, semua dikarenakan godaan kesenangan ini! Akar tetapi, mereka yang terseret oleh segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul dari kenikmatan pemuasan berahi, adalah orang-orang yang berada dalam keadaan tidak sadar! Orang-orang yang sadar dan waspada setiap saat akan dirinya sendiri, akan selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya sehingga tidak mudah tergelincir. Orang yang berada dalam keadaan¬ tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-bayangan kesenangang sehingga baginya yang nampak hanyalah bayangan atau gambaran kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke dalam kesenangan itu tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan itu telah menanti rangkaian yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri, yaitu ketakutan dan kedukaan. Sebaliknya, orang yang selalu waspada akan melihat kenyataan itu, akan melihat kedukaan dan kesengsaraan yang tersembunyi di balik sinar menyilaukan dari kesenangan, se¬hingga dia akan bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki kesenangan de¬ngan mata terpejam dan secara membuta saja! Hal ini dapat dilihat jelas, kalau kita menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak pernah waspada terhadap diri¬nya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak hanyalah kelezatannya saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan baru setelah perutnya sakit atau timbul akibat buruk dari makan enak terlampau banyak itu, dia akan mengeluh panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat! Sebaliknya, orang yang waspada setiap saat akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang dihadapinya, melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu akan melihat pula akibat-akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga tindakannya menjadi bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan ma¬kan dengan hati-hati. Dan andaikata dia sampai terkena sakit perut sekalipun dia tidak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu adalah kesalahannya sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan? Ini bukan berarti bahwa penulis meng¬anjurkan agar kita menolak kesenangan! Sama sekali tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya ingin mengajak pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan itu dan selanjutnya terserah! Ada bermacam-macam penangkapan dalam mempelajari sesuatu. Ada bermacam-macam pengertian. Mengerti arti kata-katanya saja, seperti biasa orang mengerti dan menikmati filsafat muluk-muluk dan merasakan kesenangan dalam membicarakannya. Ini adalah pengertian yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi kehidupan, karena pengertian arti kata-katanya saja ini hanya dipergunakan untuk bahan perdebatan memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti kosongnya kata-kata itu. Ada pula, pengertian teoritis dan pengertian intelek yang diakui oleh batin, namun hanya sampai di situ saja, tidak disertai penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian mendalam, mengerti yang disertai kesadaran dan kewaspadaan, pengertian ini menciptakan tindakan sendiri yang timbul dari kecerdasan! Untuk memperoleh pengertian yang terakhir inilah kita belajar! Pengertian yang tidak terpisah daripada tindakan. Bukan mengerti lalu bertindak untuk mencapai sesuatu. Melainkan mengerti dan bertindak melepaskan yang palsu, bukan untuk mencari keuntungan dari pelepasan itu, melainkan karena mengerti bahwa itu palsu. “Si-moi, aku sungguh merasa bahagia sekali bahwa engkau dapat ikut bersamaku ke utara. Alangkah akan sedih hatiku andaikata engkau belum kembali dan aku terpaksa harus melakukan perjalanan sendiri.” Ciauw Si menatap wajah tampan itu dan tersenyum, “Engkau adalah suamiku, pangeran. Ke manapun engkau pergi, aku akan ikut. Akan tetapi, kalau boleh aku bertanya, ke manakah kita sekarang ini hendak menuju?” “Ke Istana Lembah Naga, isteriku. Untuk sementara ini, kita akan tinggal di istana itu. Dan di sana pula, di Lembah Naga, akan diadakan pertemuan antara seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu, di mana aku akan membuktikan bahwa aku tidak akan mengecewakan kalau mereka mau mengangkatku menjadi bengcu dan Jago Nomor Satu di Dunia.” Ciauw Si mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, namun tidak ada di antara mereka yang berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin benarkah engkau bahwa kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan ada yang dapat menandingimu?” Ceng Han Houw tersenyum bangga. “Si-moi, tentu saja engkau meragu. Akan tetapi jangan engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita saling bertemu untuk pertama kali itu. Aku telah mewarisi kepandaian dari guruku, Bu Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!” “Hemm, mudah-mudahan begitu,” kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa dia merasa bimbang. Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan kereta itu. Mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal berhenti dan, menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan kereta, memberi hormat dan bertanya, “Ada perintah apakah, pangeran?” “Berhenti dulu, beristirahat di sini sebentar!” kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat puncak bukit itu. “Si-moi, aku sengaja berhenti untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak bimbang ragu lagi.” “Maksudmu, pangeran?” “Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai, bukan?” “Ah, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang kong-kong.” “Betapapun juga, engkau merupakan seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaianku yang kauragukan itu, isteriku. Nah, sekarang kau boleh mencoba untuk mempergunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu.” Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang bicara tentang ilmu silat, apalagi mencobanya. “Eh, mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sukarnya merobohkan aku! Karena untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan sebaliknya, kalau aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?” Suaminya tertawa. “Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri. Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku ma¬sih kurang jauh sekali dan akupun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di dunia.” Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami tercinta ini gagal. Akan tetapi, kalau dibiarkan berhasil dan kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Maka dia menjadi serba salah. “Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah kepada suami¬mu ini. Ketahuilah bahwa tingkat kepandalanku sekarang ini tidak kalah oleh bekas suboku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkat¬ku tidak lebih rendah daripada tingkat kepandaian mendiang kong-kongmu!” “Baiklah,” Ciauw Si berkata. “Akan tetapi, pangeran, kalau sampal lima puluh ju¬rus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepala, apalagi kalau sam¬pai aku dapat menyentuh bagian tubuh¬mu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau tidak akan ikut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagai-mana?” “Baik, Si-moi,” jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan akan diri sendiri. “Nah, kau mulailah!” “Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!” Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sin-kang, hanya dilakukan cepat saja ka¬rena tujuannya hanya untuk sekedar “menyentuh” bagian tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan. Ceng Han Houw melihat gerakan yang cepat sekali ini juga segera mengelak dan menangkis, kemudian, membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si. Mula-mula, wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang amat hebat, yang terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suami¬nya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini. Akan tetapi pange¬ran itu ternyata hebat bukan main. Gerakan-gerakannya aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-hoat itu dipergunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan te¬tapi gerakan kedua tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung rambutnya dapat disentuhnya! Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu ternyata tidak membual, dan memang telah memiliki ilmu ke¬pandaian yang amat hebat sehingga ilmu¬nya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya. Maka kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri, mempertahan-kan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas suaminya. Maka dia me¬rubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak begitu cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng! “Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!” kata Ceng Han Houw dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut isterinya. Akan tetapi ke mana¬pun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apalagi memang Ciauw Si memusatkan pertahanannya ke¬pada kepala sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya! Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan dari ilmu silat isterinya itu dan kalau dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh jurus, biar sampai seratus jurus kiranya akan sukarlah baginya untuk merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya mati-matian mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya, tentu. “Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu akan dapat kurampas!” katanya. Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja. Sudah tiga puluh jurus belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu? Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama sekali. Kini setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut, akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya. Tiba-tiba tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu. Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap menangkis gerakan kaki itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas! “Empat puluh jurus...!” Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde itu ke atas. Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. “Ah, tak kusangka engkau se¬hebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapapun lihai ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... kalau engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, apakah ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?” Ceng Han Houw mencium isterinya dan menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum dan berkata. “Kita tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji tenaga sin-kang yang ku¬peroleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu gin-kangku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu te¬naga sin-kangmu sudah kuat sekali, bu-kan? Nah, coba kauserang aku dengan tenaga sin-kangmu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja.” Ciauw Si menggeleng kepala. “Main-main dengan tenaga sin-kang untuk saling serang adalah amat berbahaya.” “Bukan saling serang maksudku, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sin-kang masing-masing.” “Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sin-kang dengam mempermainkan sehelai daun,” kata Ciauw Si gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering. “Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!” Dia melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu tertahan, bahkan naik lagi ke atas! Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sin-kang dan sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan bergerak-gerak seperti seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah! Setelah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han Houw berseru, “Bagus sekali, Si-moi. Sin-kangmu cukup hebat! Biar kunaik¬kan lagi daun itu!” Diapun lalu menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya, ke arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, meng¬usap keringatnya yang membasahi dahi dan leher. Dia melihat betapa hanya de¬ngan tangan kiri saja pangeran itu mam¬pu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kiri sampai daun itu melayang-layang setinggi belasan meter! Sungguh merupakan demonstrasi tenaga sin-kang yang selamanya belum pernah dilihatnya! Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang telah menjadi suaminya itu tidak membual ketika mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar di¬ukur lagi betapa kuatnya sin-kang pangeran itu yang mampu membuat daun me¬layang-layang sampai belasan meter ting¬ginya itu. Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan de¬ngan telapak tagan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang ringan itupun tiba-tiba me¬luncur ke bawah seperti sepotong batu yang berat. Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap dan berhampuranlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan jarak jauh dan menjadi hancur seperti tepung! Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. “Ba¬gaimana pendapatmu, Si-moi?” Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. “Engkau hebat, pangeran, engkau sungguh hebat bukan main...” katanya. “Nah, dalam ilmu silat dan sin-kang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku. Sekarang akan kuperlihatkan gin-kang yang telah kupelajari. Kau boleh menyerangku secepat mungkin dan aku tidak akan menangkis, melainkan mempergunakan gin-kang untuk menghindarkan semua serangarimu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!” Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang ranting pohon. “Biar kupergunakan ini saja,” katanya dan mu¬lailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin. Dan terjadilah keanehan. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah memiliki gin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang aneh itu membuat tubuhnya seolah-olah naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat bukan main dan ke manapun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ran¬ting itu, dan selalu dapat menghindarkan dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, dan selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya penuh kebanggaan. Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan peng¬awal menanti, dan mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan pasukan bergerak lagi dan mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itupun makin mendalam rasa cintanya kepada wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya. Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil selirpun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini! *** Beberapa pekan kemudiang di luar Tembok Besar, setelah melalui padang tandus penuh pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di depan. Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia melalui dataran tandus mengering itu. Tujuannya hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apapun akan diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga untuk menemui Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggal¬kan oleh penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Karena dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat dan tidak mau tertunda di tengah jalan. Dalam waktu beberapa pekan saja tubuh Sin Liong telah menjadi kurus karena kurang makan dan kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak dan makan enak karena dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap teringat kepada kekasihnya itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya. Dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan kekasihnya itu. Tak dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada orang berani mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini. Dia sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, dia sudah diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw sudah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap tempat dari luar tembok sampai ke Lembah Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu siapa yang akan datang dari selatan ke Lembah Naga. Biarpun pertemuan besar dunia kang-ouw belum dimulai, namun dia sudah memasang orang-orangnya untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu, maka kedatangan Sin Liong telah lebih dulu diketahuinya. Selama berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw sudah menguji pula kepandaiannya sendiri. Sucinya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subonya, Hek-hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus jurus! Maka yakinlah dia akan kekuatannya. Ketika Ceng Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh Hek-hiat Mo-li untuk menghadang. “Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu utamaku itu!” kata Ceng Han Houw dengan girang, “Suci, harap kauperkuat penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan. Bocah yang menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia melakukan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.” Bi Cu telah berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, seperti seorang tamu agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau saja di situ tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat mempertaruhkan nyawanya. Ciauw Si menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa pangeran tidaklah jahat, bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan pangeran berusaha agar Sin Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw. “Percayalah kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu, aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai yang sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim dituduh pemberontak dan dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang telah menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk bangkit melawan kelaliman kaisar.” Demikian antara lain Ciauw Si membujuk dan akhirnya, ter¬utama melihat kehadiran wanita perkasa itu di situ. Bi Cu dapat menahan sabar dan mehanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang datang ke tem¬pat itu. Betapapun juga, dia merasa geli¬sah sekali, amat rindu kepada Sin Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami kecelakaan. Demikianlah, ketika Sin Liong me¬masuki hutan pertama setelah berhari-hari melalui padang tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut bukan main, akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu. “Hek-hiat Mo-li nenek iblis terkutuk!” bentaknya marah, karena pada saat itu dia bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian kong-kongnya yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua Cin-ling-pai, Cia Keng Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya itu. Hek-hiat Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu, mulutnya sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi maka nampaknya malah cemberut! “Bocah lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!” Sin Liong sedang dalam keadaan gelisah dan duka, maka kenekatannya sudah memuncak. Kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu diantara musuh-musuh besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang hebat, cepat seperti kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar di atas kepala lawan. Hek-hiat Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang bergelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar ke arah dada Sin Liong, seperti cakar elang yang hendak merobek dada mencengkeram keluar jantung lawan. Sin Liong maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mudur, kemudian balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi, nenek itu tidak menangkis malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah bawah pusar! Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu memiliki akal curang seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka diapun lalu meloncat dan membalikkan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, nenek itu sudah melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan sekali gerakan nenek yang sakti ini dan biarpun Sin Liong sudah memutar tubuh menangkis, namun tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel di pundak kirinya. Bukan sembarangan menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sin-kang dan Ilmu Thi-khi-i-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak. “Ihh! Thi-khi-i-beng!” Nenek itu berseru dan seketika tenaga sin-kangnya berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia dapat melepaskan tangannya dari pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot yang hebat sekali. Kembali nenek itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan cengkeraman kedua tangannya yang seperti cakar garuda itu dan yang diserangnya adalah bagian-bagian berbahaya yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi-i-beng. Sin Liong kini sudah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan. Dengan gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik, bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga amat kuat karena dia telah membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaga sin-kang dari Sin Liong memang kuat bukan main, karena dia telah menerima pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, maka pada saat ini tingkat kekuatan yang ada pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Kok Beng Lama ketika masih hidup! Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dalam hal adu tenaga, dia tidak mampu menandingi pemuda itu dan kedua tangannya selalu terpental kalau bertemu depgan lengan pemuda itu. Akan tetapi, di lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia berhasil menampar atau memukul, tamparan dan pukulannya yang mengenai sasaran dengan tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat. Ternyata nenek itu memiliki kekebalan yang amat luar biasa! Setiap kali dipukul, bukan hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh mentertawakan dia! Sin Liong menjadi semakin marah dan penasaran. Dia harus mengalahkan dan merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan untuk menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan tiba-tiba gerakannya berubah dan nenek itu terkejut sekali. Hek-hiat Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu kelihatan penuh wibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata malaikat dan tubuhnya tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan pemuda itu kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan gerakan yang aneh, kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah langit dan yang kiri menghantam ke arah bumi! Itulah satu jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow! Selagi Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh yang sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, tiba-tiba ada angin menyambar dari depan, angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan bawah, yang diakibartkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu! Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main, cepat berusaha untuk meloncat mundur dan menangkis, namun dia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan biarpun dia berhasil menangkis kedua tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat Mo-li. Biarpun tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan bergulingan, tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya yang tinggal sebuah itupun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar luar biasa lihainya. Baru kurang lebih lima puluh jurus saja dia sudah dibikin terguling-guling seperti itu. Dia tidak takut, akan tetapi dia enggan untuk dijatuhbangunkan seperti itu, hal yang sungguh memalukan bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia. Apalagi, tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup dan berloncatanlah nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan Sin Liong.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger