naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembag naga 415

“Ahhh...!” “Justeru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Kami ingin men¬dengar keterangan paduka tentang per¬kembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nya¬wanya itu tidak akan sia-sia belaka.” “Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan mari bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, meng¬hubungi Pangeran Hung Chih dan ber¬sama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, semenjak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum betapa jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu sri baginda kaisar telah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... eh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biarpun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi.” “Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong.” “Ahhh...!” Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri. “Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan, taijin,” sambung Yap In Hong. Pembesar itu tertawa dan bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas. “Ah, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku.” Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar ter¬hadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerang¬an Pangeran Ceng Su Liat yang mem¬berontak. “Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu menggunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ah, mereka itu telah mengatur segala-galanya, dan diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak.” “Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?” tanya Cia Bun Houw. “Sri baginda telah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau telah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama, kaisar memerintahkan agar tuduh¬an atas diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah.” Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Sungguh kami me¬rasa girang sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar.” “Seyogianya ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng...” Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera, “Marilah ji-wi kami antar menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau akan mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi. Apalagi karena sri baginda menghendaki agar Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat.” Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali. Suami isteri ini mendengar dari pangeran yang pada waktu itu merupakan orang yang amat berpengaruh di istana, bahwa memang benar Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw. “Semua gerak-geriknya telah diawasi dan biarpun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, namun Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan dan urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya daripada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat.” “Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak leluasa, ti¬dak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit dan menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw,” jawab Cia Bun Houw. “Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja,” kata Pangeran Hung Chih. “Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tidak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Maka sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk was¬pada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja.” Setelah bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu malam itu juga meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu ke¬pada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gem¬bira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang teng¬gelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira tentang dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak. *** Lie Seng duduk bersila di depan ma¬kam Sun Eng itu sampai dua hari dua malam, tak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul dalam hatinnya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala ke¬baikan Sun Eng, segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu. Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan le¬mah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidup-annya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng. Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan samadhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, lalu memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di situ, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang tenang dan mengandung seri kebahagiaan. Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Namun semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung. “Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?” Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu dan alisnya herkerut. “Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!” katanya dengan marah. Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapapun juga. Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. “Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas ke¬matian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng daripada kebenaran.” Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab, “Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku telah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapanku, maka perlu apa aku memperdulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!” Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di depan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah. “Omitohud... kegelapan menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tidak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, mungkin engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha dalam menghadapi kematian, dan kalau engkau pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murmi di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena ha¬nya itulah obatnya yang dapat meng¬hidupkan anaknya yang mati. Ibu itu ber¬kelana, akan tetapi biarpun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insaf¬kan. Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari kematian. Meng¬apa kini ada yang mati engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?” Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu mempunyai pe¬ngaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu. “Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu dan sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ah, semasa hidupnya menderita begitu banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia telah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?” Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng ber¬henti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. “Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan was¬pada, siapakah yang kautangisi itu? Si¬apakah yang kaukasihani itu? Bukankah sesungguhnya, di balik semua keteranganmu tadi, engkau menangisi dirimu sen¬diri, engkau mengasihani dirimu sendiri?” Lie Seng mengerutkan alisnya, ter¬menung sejenak lalu terkejut bukan main. Dia mengangkat muka memandang ke¬pada hwesio tua itu dengan mata ter¬belalak marah. “Berani kau menuduhku seperti itu...?” “Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...” katanya menggerakkan tangan dan sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng. Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi makin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan kepada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu. “Losuhu, mohon petunjuk...” akhirnya dia berkata. “Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, melainkan untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri menceritakan betapa kekasihmu hidup menderita banyak kepahitan. Sekarang dia telah meninggal bukankah berarti dia setidaknya terbebas daripada kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apalagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis dan berduka karena iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?” Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Kini nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tidak berharga menjadi isterinya. Apa¬ lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya! Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng telah borkorban dan biarpun usahanya berhasil baik, namun dirinya telah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Kalau Sun Eng tidak ma¬ti, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya. Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang baik bagi Sun Eng? Mengapa dia menangisi¬nya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu? “Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan melalui pelarlan, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam dan kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu.” Untuk kurang lebih setengah jam la¬manya Lie Seng mendengarkan suara ka¬kek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia kini berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia men¬jadi sadar benar-benar akan semua tin¬dakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi se¬perti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Losuhu, perkenankanlah teecu ikut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pim¬pin.” Hwesio tua itu tersenyum dan meng¬angguk-angguk. “Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, melainkan seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandai¬an silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenal orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?” “Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kong-kong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.” “Omitohud... sudah pinceng duga. Kiranya engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu.” “Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Pinceng sudah melihat hal itu dan karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah. Pin¬ceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu.” Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, diapun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah men¬cukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang tekun me¬nekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu! Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sen¬diri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu ber¬lindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali! Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya dan menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan takkan pernah muncul kembali? Penanggulangan ini bukan berarti mengusahakan agar mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sebenarnya duka itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri. *** “Bi Cu...!” Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Kalau dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat. Dia terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri. “Sin Liong...!” isaknya. Biarpun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tidak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri! Dengan cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu amat ramping sehingga biarpun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu tangan kanannya masih dapat mencapai depan bajunya. Sekali renggut, terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan ke¬dua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan tekanan dari bawah seolah-olah luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak selaju tadi, dan bajunya yang di¬bentangkan itu mengembang dan menangkap angin. “Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!” teriaknya. Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti mengapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Setelah dirobeknya baju itu dan di lain saat diapun sudah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan. Kembali ada tenaga menahan dari bawah ketika baju itu menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak se¬cepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua “layar” itu tidak cukup kuat untuk me¬nahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah. Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya dan memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala me¬ngusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas! Dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak dekat dengan tebing. Pohon itu seperti melayang ke atas, makin lama makin besar mendekati mereka. Memang ber¬bahaya sekali. Kalau terlalu dekat de¬ngan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang. Pohon itu makin besar kini, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon. Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Biar maut sekalipun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu. “Bresssss...!” Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu dan mereka bergantung di situ. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan! Sin Liong cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa le¬ngan itu terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak. “Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!” Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring di dinding yang terjal. Di bawah curam sekali dan mereka belumlah terbebas sama sekali dari bahaya, sungguhpun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti tadi. Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnyapun bergerak, berbisik lirih, “Sin Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!” Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya terharu karena igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, melainkan takut ditinggalkan sendiri¬an di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan para musuh itu! Meng¬ingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya. Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dahulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apapun yang dilakukan oleh pange¬ran itu adalah demi kepentingan pange¬ran itu sendiri. Andaikata ada perbuatan¬nya yang nampak baik, seperti ketika menyelamatkennya dahulu itu, maka per¬buatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan ke¬untungan dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya se¬bagai kakak angkat! Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuh¬nya terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya, “Eh, Sin Liong, kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?” Kini Sin Liong tidak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali. “Heiii, kita di mana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, ngeri... begini tingginya!” Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak. “Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ah, sakit bukan main, terkilir agaknya. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini.” “Ah, kenapa sampai terkilir, Sin Li¬ong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak?” Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembira¬an seperti anak-anak yang dapat me¬nebak teka-teki dengan tepat. “Aihhhh... kau ini!” Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang demikian lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai. “Sakit sekalikah, Sin Liong?” Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya. Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong dan tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya. “Ah, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?” “Bi Cu, engkau harus menarik lenganku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirimu memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kauikatkan pada dahan di bawah itu. Hati-hati, tempat ini ber¬bahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak.” Bi Cu mengangguk-angguk, lalu men¬cari tempat berpegang yang kuat, meng¬kaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. “Mana lenganmu, kesinikan!” Sin Liong sudah merangkul lengan kanan kepada sebatang dahan, memegang¬nya erat-erat lalu dia mengulurkan le¬ngan kiri kepada gadis itu. Bi Cu me¬nangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik. Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh. “Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!” Dia berkata terengah-engah. Bi Cu tidak tega melihat wajah pemuda itu yang menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya. “Klokkk!” Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak. “Sudah...! Cukup...!” seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas. “Sin Liong... sakit sekalikah...?” Suara itu demikian lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupa¬kan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum. “Terima kasih, Bi Cu. Sekarang sudah baik kembali kedudukan tulangnya. Tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai lenganku dapat digerakkan kembali.” Lalu dia bertanya heran, “Eh, engkau menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?” Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggeleng kepala. “Tidak takut, bukankah engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi...” Sin Liong tersenyum. “Sekarang telah sembuh...” “Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?” Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya sudah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari jalan keluar. Dan benarkah Bi Cu yang mencari jalan keluar, dia tidak tega. Berbahaya sekali pekerjaanku itu. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat. “Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu.” “Sampai berapa lama?” “Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku.” Demikianlah, dua orang muda itu tinggal di pohon itu seperti dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka, apalagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu! “Hati-hati, jangan sampai engkau ter¬tidur dan terlepas peganganmu sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu.” Sin Liong mem¬peringatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali. Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga berwatak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itupun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tidak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin. “Kalau terlepas mengapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera ke¬laparan begini!” jawab Bi Cu berolok-olok. “Engkau lapar, Bi Cu?” “Kaukira perutku terbuat daripada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?” “Mungkin.” “Eh, mungkin bagaimana? Jangan berteka-teki engkau! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?” “Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak te¬rasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku.” “Apa sih yang kaukhawatirkan?” “Aku masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir?” “Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman...” “Hanya lapar.” “Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ah, enaknya da¬ging kelinci bakar dimakan panas-panas, apalagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!” Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan aneh, membayangkan gambaran itu, diapun mendadak merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih khawatir sekali, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan ke¬mungkinan ini, maka diam-diam di dalam keremangan senja, dia mulai menanggal¬kan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan pan¬jang selebar tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, ke¬mudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat dan menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujunghya kepada Bi Cu. “Bi Cu, kauterima ujung tali ini,” katanya. Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, “Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kaubuat?” “Dari bajuku.” “Lalu untuk apa?” “Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Setelah kubelit-belitkan cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku.” Bi Cu tidak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tidak da¬pat melihat Bi Cu. Bayangannyapun ti¬dak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiripun dia tidak mampu. Lama mereka dia saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sudah melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tidak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang metewatkan malam di atas pohon! Dia telah melibatkan tali itu pada dahan yang kuat, baru ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan de¬mikian, andaikata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang akan dapat me¬narik dan menyelamatkan yang jatuh. Dia merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu se¬olah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu bergerak akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi. “Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?” “Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini dikatakan tidak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucu¬nya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong?” “Lucu?” Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu. “Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku.” “Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?” “Sudah agak mendingan,” kata Sin Liong membohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. “Eh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu?” “Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak?” “Mengapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Sungguh bodoh sekali per¬buatanmu itu, mempermainkan nyawa sendiri,” Sin Liong menegur karena me¬mang marah dia kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol. “Apa?” Terdengar dara itu berkata marah. “Dan kau menghendaki aku ber¬ada di sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini?” “Enak-enakan?” “Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di sini daripada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!” Bi Cu membentak. “Bi Cu...” “Sudahlah, aku mau tidur!” “Tidur...? Hati-hatilah, Bi Cu, jangan terlepas dan jatuh..., biarpun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh...” “Peduli apa? Biar jatuh dan mampus!” Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan diapun tidak boleh terlalu cerewet. Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, ia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik dan memenuhi lengannya. Dia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata hasilnya hebat sekali. Rasa nyeri di pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang ta¬dinya berdenyut-denyut nyeri, kini men¬jadi nyaman dan denyut itu makin me¬lemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, me-lupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu. “Sin Liong...” Entah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersamadhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada, di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat. Akan tetapi baru sekarang Sin Liong melihat perubahan bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri sungguhpun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bah¬wa dia berada di dalam pohong “ter¬gantung” antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa. “Ada apakah, Bi Cu?” “Apakah engkau tidak lapar?” Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, oto¬matis perutnya lalu terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersama dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali! “Tentu saja aku lapar. Dan engkau?” “Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!” Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong. “Engkau kenyang? Makan apa?” Dia melayani. “Makan paha kelinci panggang dalam khayal!” Bi Cu tertawa. “Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun.” “Daun?” “Ya, kaupilih daun-daun muda, di ujung ranting. Cobalah, enak tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong.” Sin Liong tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia da¬pat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu dan dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai. “Bagalmana rasanya?” “Kau benar. Daun ini cukup enak di¬makan!” “Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Penemuanku ini memungkinkan kita hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!” “Apa? Selamanya? Mana mungkin?” “Mungkin saja! Kita setiap hari makan daun muda, dan daun-daun muda itu ten¬tu akan tumbuh lagi, demikian setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andai¬kata kehausan, kalau hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!” “Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?” “Siapa bilang tidak mungkin? Eh, Sin Liong, mengapa engkau begitu bodoh? Ingat, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, bahkan gajah itu makan apa saja? Tidak makan daging tidak makan capjai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi me¬reka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat daripada ma¬nusia!” “Tapi kita ini manusia, bukan kerbau...” “Memang, tapi otakmu lebih bodoh daripada kerbau!” Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah. “Bi Cu... aku...” “Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan tolol!” Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak! Sin Liong melongo. Untung cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan nampak lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Meng¬apa Bi Cu demikian mudah tertawa gem¬bira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng? Hening lagi sampai lama Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak dapat menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah be¬gitu baik kepadanya. “Bi Cu, kaumaafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu dan membuatmu marah. Percayalah, aku sungguh mati tidak se¬ngaja membikin engkau marah. Aku me¬nyesal akan kebodohanku.” “Siapa bilang engkau bodoh? Engkau terlalu pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang ber¬sikap sederhana dan bodoh, saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!” “Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadipun engkau sudah marah-marah...” “Tentu saja aku marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini bersamamu, engkau lebih senang aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh tidak mati menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkha-watirkan dirimu sendiri?” “Ahhh...!” “Apalagi ah-ah!” Sin Liong kini mengerti dan diapun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama! “Tidak apa-apa, hanya aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?” “Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso.” Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Se¬perti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, dan lumayan untuk menahan perihnya perut. Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan ter¬gantung pada tali. Timbul kekhawatirannya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya. Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu malah akan membikin marah dara yang ber¬watak aneh itu. Maka diapun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengannya kirinya yang biarpun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih be¬lum berani untuk mempergunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka di tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat. Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, sungguhpun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak ada terdengar napas¬nya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguhpun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu. Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan dan mereka dapat saling melihat, Bi Cu se¬gera berkata. “Bagaimana dengan lengan kirimu?” Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya. “Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukar¬lah pulihnya, tanpa obat.” “Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!” kata Bi Cu akan tetapi Sin Liong masih dapat me¬nangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras dan dara itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian. Tentu dara itu telah menderita hebat sekali duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong. “Biarpun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tem¬pat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu.” “Aku tidak mau di sini sendiri. Aku harus ikut!” kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya. “Baiklah, lepaskan ikatan di pinggang¬mu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak.” Bi Cu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpul¬nya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya. “Eh, kenapa kau masih memakai baju¬mu? Bukankah bajumu sudah kaurobek-robek untuk dijadikan tali ini?” “Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat.” “Baju dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!” “Memang, itu baju adik angkat pa¬ngeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw.” “Ihhh!” Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku baju¬nya. “Mari kauikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu.” Mulailah keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon, Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merang¬kak turun dari pohon yang tumbuh miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam te¬bing di antara batu-batu. Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan dan diapun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menanti sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah me¬naruh kakinya ke celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit dan Sin Liong cepat merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil dan mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu. “Jangan melihat ke bawah! Pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu lebih berbahaya lagi!” katanya meng¬hibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah. Memang mengerikan sekali kalau memandang ke bawah yang demikian curamnya. Membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil. Sin Liong mencari jalan, dengan hati-hati karena lengan kirinya tidak dapat dipakai untuk bergantung, terlalu ber¬bahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka tiba di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rum¬put dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tidak mungkin didaki. Jalan satu-satunya dari daratan sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar. Betapapun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan diapun lalu menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu! Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apapun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak. Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia tetingat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu. Untung tidak dipaksanya mengangkat tadi. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul. Kini dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang. Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat dan cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau dara itu dalam tidurnya bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang, baru dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar. Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas. Na¬mun, dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mung¬kin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan din¬ding rata yang amat tinggi. Tidak mung¬kin mendaki tempat seperti itu. Dengan menggunakan sin-kang sekuatnya, mungkin juga dia dapat naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tom¬bak tingginya. Dan itupun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biarpun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apalagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu! Setelah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pan¬dang mata muram dan dia termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya. Mere¬ka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya kurang lebih empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini. Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya. “Haus...!” Demikian kiranya begitu dia membuka matanya. Tidak heran kalau dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini sudah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya. “Wah, agaknya aku telah tertidur.” “Nyenyak dan enak tidurmu,” kata Sin Liong tersenyum. “Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!” Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya. “Haus...?” Sin Liong baru merasa betapa diapun haus bukah main, apalagi karena dia tadi bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. “Ahh, ke mana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar...” “Tidak ada jalan keluar...?” Bi Cu bangkit berdiri, memandang ke sana-sini. “Engkau sudah pasti benar?” “Entahlah, akan tetapi tadi sudah ku¬periksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari sini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! biar kupetik daun-daun muda untukmu...” “Untukmu juga...!” “Ya, untukku juga,” Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, me¬metik daun-daun muda. Setelah cukup, dia turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu. Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya biarpun daun itu mengandung air, namun rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya. Sin Liong juga makan daun itu dan tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil me¬ngusir haus. Maka diapun duduk di atas batu sambil termenung. Akan berapa la-makah mereka dapat bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah. “Ah, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!” Diapun lalu sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekeliling tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa ba¬tang rumput yang baru saia dicobanya. “Coba ini. Sin Liong, agaknya manis rasanya!” teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap. Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka diapun mencari lagi dengan kecewa. Se¬mua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut. Sin Liong merasa kaslhan sekali. “Bi Cu... tidak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biarpun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan.” “Iya...” Jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin tidak enak saja baginya. Makin perlahan dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanyapun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih, “Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan...?” Sin Liong mendekatinya dan menyen¬tuh pundaknya. “Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu...” “Dan kalau kita sudah tidak kuat ber¬tahan lagi? Sekarangpun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main...” “Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas...” Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka agak terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu. “Bagaimana lenganmu?” Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian. “Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat dipergunakan. Tadi kucoba mengangkat batu, belum sanggup...” “Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu?” Bi Cu menuding. “Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!” Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata, “Kita di sini hanya berdua saja, kalau tidak saling menjaga, habis bagaimana?” Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua sungguh tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan biarpun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan. Akan tetapi mereka dicekik kehausan, makin lama makin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah sekali, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, di waktu siang hari, kalau matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak dapat menangis lagi kerana air matanyapun sudah kering, mukaya pucat dan cekung. “Ahhh... kuda dan sapipun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus...” Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya. “Bi Cu, kuatkanlah...!” kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali. “Sin Liong... aku tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati di sini bersamamu, Sin Liong...” “Bi Cu...!” Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya. Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa be¬tapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepala¬nya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia me¬rasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis kadang-kadang terisak. Bi Cu mengangkat mukanya meman¬dang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya kuat-kuat, akan tetapi ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke teng¬gorokannya yang kering. “Sin Liong, jangan menangis...” lalu ia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya. “Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?” Biarpun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak dan tubuhnya lemah sekali. “Lengan...? Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!” Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya. “Tidak perlu sekarang... sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas, Sin Liong. Aku... aku ngantuk sekali... biarkan aku tidur...” Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong. Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong tidak bergerak, membiarkan dara itu ti¬dur di atas pangkuannya dan diapun me¬mejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati! Sin Liong masih da¬lam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali! Maka dia mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutiah dia. Kenapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap? Dia mengangkat mukanya memandang ke atas. Langitpun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi? Dia mencari-cari dengan matanya den melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu? “Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!” Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Bi Cu hanya bergoyang-goyang badannya yang lunglai, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...? “Bi Cu! Ohhh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!” Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati. AKHIRNYA bibir yang kering itu bergerak. “Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu... orang tidur...” Bukan main lega rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, dan diapun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya. “Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!” “Hehhh...?” Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. “Mana...? Ada apa...?” “Lihat di atas itu...!” Pada saat itu terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan diapun melihat mendung bergumpal-gumpal dan kilat menyambar¬-nyambar disertai guntur meledak-ledak. “Ada apa di sana itu?” Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap. “Ada apa? Artinya akan hujan. Air!” Sin Liong berteriak. “Air? Mana...?” Pertanyaan Bi Cu ini dijawab dari udara karena tepat pada saat itu turunlah air hujan yang deras sekali. “Air...!” Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong. “Air! Hujan turun!” Sin Liong juga bersorak dan mereka berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak, mereka tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya. “Bi Cu...!” “Sin Liong...!” Mereka seperti memperoleh tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sesungguhnya tidak disengaja, terjadi karena kegirangan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tak dapat dilepaskan lagi. Baru mereka saling melepaskan ciuman setelah napas mereka terengah-engah, lalu keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu. “Bi Cu...” “Sin Liong...” Mereka saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu seolah-olah mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir melayang, ada rasa girang yang lain yang mereka tidak mampu gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini. Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang. Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan daratan sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil mmandang ke tempat mereka selama tiga hari ber¬lindung itu, tempat itu kini menjadi sa¬saran batu-batu dan lumpur yang me¬nimpanya dengan suara gedebukan, di¬seret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang. Bi Cu bergidik dan mengeluh, lalu dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong. Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walaupun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu. “Bi Cu, lihat...!” Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu. Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang dan terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air. “Hujan membuat tebing itu longsor,” bisik Bi Cu. “Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!” kata Sin Liong. Setelah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu, dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batu lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih. Sin Liong memeriksa dinding tebing. Tidak licin lagi, melainkan kasar karena disapu air semua permukaannya dan memang benar, nampak celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang amat tinggi hingga bagian atas sekali tidak nampak jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu. “Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada pada tubuh kita, kita harus perusaha dan tidak boleh putus asa.” Bi Cu mengangguk-angguk. “Memang kita harus dapat keluar dari sini...” katanya termenung, “entah kapan lagi ada hujan turun...” Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan sudah pulih kembali lengan kirinya, mendekap tubuh Bi Cu dan mengerahkan sin-kangnya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu dapat tidur dalam dekapan Sin Liong dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, tidur berdekapan sama sekali bebas daripada nafsu berahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tidak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih! Walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata, walaupun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikitpun bayangan nafsu mengotorinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap. “Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal...” “Satu mati semua mati!” sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga mengikatkan ujung yang lain pada pinggangnya. “Nah, kita mulai,” katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu. “Nanti dulu, Sin Liong,” kata Bi Cu dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka kusut. Wajah-wajah yang tak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu. “Ada apakah, Bi Cu?” “Sin Liong, malam tadi...” “Ya...?” “Kita... telah... berciuman...” Sin Liong merasa betapa wajahnya panas, “Aku... aku tidak sengaja... maafkan...” Bi Cu tersenyum. “Akupun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi sekarang kita sengaja...” Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu. Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka dan merekapun berciuman. Ciuman yang canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan dan dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu berahi, namun penuh getaran cinta kasih yang mendalam. Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandang mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mereka berdua merasa kuat dan berani menempuh apa saja asalkan berdua. “Mari kita berangkat!” kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran dan kegembiraan, seolah-olah mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa! “Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu.” “Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya kalau aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?” “Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah dan aku di atas. Sebaiknya kalau selagi aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik.” “Baik, aku mengerti. Marilah!” Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, “Bi Cu, aku cinta padamu!” Bi Cu yang berdongak itupun berbisik mesra, “Sin Liong, akupun cinta padamu!” Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong maupun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti. Demikianlah, mereka melakukan pen¬dakian yang luar biaisa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan ke¬dua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu. Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapapun mengerikan, ka¬rena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini! Memang aneh luar biasa! Hujan ke¬marin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biarpun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti telah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu. Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol yang tidak ada tempat berpegang tangan sama sekali. Untuk mmendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Peluhnya sudah membasahi seluruh tubuh. Bi Cu yang berdiri di bawah kaki¬nya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, bertanya khawatir, “Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?” Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu! “Naik terus tidak mungkin,” Akhirnya Sin Liong menjawab, “Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu dan kita harus melanjutkan pendakian dari situ!” Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol. Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apalagi batu itu menjulur ke depan sehingga setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti gua yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dapat dilakukan dengan mudah oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini! “Sin Liong, jangan meloncat ke situ!” Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini. Sin Liong menggeleng kepala. “Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu.” “Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!” jawab Bi Cu cepat-cepat. “Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin menggunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, setelah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas.” Bi Cu mengerutkan alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol. Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian ia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali maupun batu dapat bertahan. Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga sejak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tak dapat ditahannya lagi, biarpun hatinya sedang tidak senang, dia berseru, “Sin Liong, hati-hatilah...!” Sin Liong tersenyum. “Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku.” Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan tergantung kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu. Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Dia berhasil! Dan dengan mudah! Cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata, “Tangkaplah!” Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya ke pinggangnya. Melihat dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata, “Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kaulihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?” Ucapan itu menolong banyak, karena, kini Bi Cu mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara! “Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu,” terdengar suara Sin Liong di atasnya dan tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil! Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik membesarkan hati, “Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!” Setelah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka, men¬daki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan ke¬dua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di daratan yang aman, di “dunia” yang lama. Keduanya meng¬gulingkan diri di atas tanah di tepi ju¬rang, terengah-engah dengan mulut ter¬buka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata. “Kita selamat!” Sin Liong berkata. “Terima kasih kepada hujan!” Bi Cu berseru lalu dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin! “Kepada hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?” “Tidak, kepada hujan!” Bi Cu membantah. “Bukankah hujan yang menyela¬matkan kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada huian yang membuka jalan mana mungkin kita naik ke sini? “Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga kita tertolong.” “Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu me¬mungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka aku berterima kasih kepada hujan kemarin!” Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu, yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mere¬ka? Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui dengan sesungguhnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di balik kenyataan itu ada¬lah rahasia, dan memperbantahkan se¬suatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu. Akan tetapi, tiba-tiba Bi Cu mengeluh dan terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas se¬kali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu tersereg demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang amat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, ke¬mudian kehujanan dan kedinginan se¬malam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang amat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi. “Bi Cu...! Bi Cu...!” Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tidak merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang. *** Kita tinggalkan dulu dengan dada lapang Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja. Biarpun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, bahkan dia mendengar pula bahwa istana mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana, yang ditujukan kepada dirinya. Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguhpun semenjak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara maupun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati. Ada dua kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dan dia tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih! Malam itu sunyi sekali di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini sudah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan diapun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Akan tetapi para pengawalnya, yang merupakan orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan. Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga. Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini adalah kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menanti di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana. Ketika Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan girang karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Hanya ada satu wanita di dunia ini yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang. Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan biarpun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan memusuhinya pula? Diam-diam dia lalu mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang telah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut. Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak makin cantik dan makin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang gemerlapan dan indah! “Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!” Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini. “Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?” “Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!” Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan. “Cukup pangeran...” katanya sambil melangkah mundur. “Tapi, Si-moi...” “Pangeran, akupun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri...” Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Pula, dia me¬mang sungguh mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya karena do¬rongan nafsu berahi semata. Terhadap Ciauw Si dia mempunyai perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu berahi, me¬lailnkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya. “Si-moi, mari masuk. Ahh, engkau malam-malam begini datang? Tentu be¬lum makan malam.” Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya. “Saya tidak akan lama, pangeran, ha¬nya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu...” “Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling ber¬pisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi.” Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan diapun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri? Tidur di rumah penginapanpun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, malah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah. Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di manapun tidak ada halangannya. Apalagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah. “Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?” “Tidak, tidak... aku tidak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan...” Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik menghampiri, “Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona.” Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. “Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi.” Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan. Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemputnya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Akan tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum. “Engkau nampak makin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!” Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apalagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya. Ketika mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw. Si. Hidangan telah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masih panas. Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, di luar ruangan itu terdengar suara musik dan nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu. Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan alis berkerut, kemudian dia bertanya kepada Han Houw, “Pangeran, siapakah mereka ini? Pelayan-pelayan?” tanyanya meragu karena tidak mungkin pelayan berpakaian begini indah, apalagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukan seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu! Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga. “Mereka ini? Ah, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu...” “Pangeran, suruh mereka pergi!” Tiba-tiba Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung. “Eh... ini...” Dia tergagap. “Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!” Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw lalu melambaikan tangan menyuruh para selir itu meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger