naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 26

Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang. Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka. Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh--tokoh besar dunia persilatan! Akan teta-pi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua hwesio dan para tamu me-lakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka me-ninggalkan rombongan tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tung-gal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk! Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan! Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak ka-rena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai kepadanya. “Kau...!” Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. “Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!” Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut. “Mau apa kau datang ke dalam kuil?” Kun Liong membentak Akan tetapi pemuda bermata liar itu berterlak, “Bunuh dia!” Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok. “Eh-eh, kalian orang-orang jahat!” Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pe-ngeroyokan enam orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka! Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio. Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam. Akan tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat. “Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!” Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasihat! Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini. “Aihhh! Liong-ko...!” Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat! Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu! Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan. “Maling keparat!” Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu. Ketika Kun Liong tiba di dalam ka-mar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpus-takaan itu. Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, lang-sung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam. Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur, “Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!” Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya sehingga mereka terlempar dan apinya padam. Melihat scorang penjahat lain lari melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar. “Brakkk! Augghh...!” Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar! Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu me-rampok gudang pusaka. Maka sambil me-mondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa pe-ristiwa itu telah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang. Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka. Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti! Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima darl ibunya dahulu. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali. Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya! Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang. Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya pada mulut Giok Keng, penuh harapan karena biarpun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya. Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main girangnya hati Kun Liong! “Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!” Giok Keng membuka matanya merasa pening dan menutupkannya kembali, “Liong-ko, mana maling-maling itu...?” “Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak...” Dia membalikkan tubuh dan terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu akan marah sekali. Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. “Kau telah menyedot banyak hawa beracun.” “Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi.” “Untung Kun Liong menolongmu. Sudablah, mari kubantu engkau membersihkan paru-parumu,” Biauw Eng berkata. Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya. Keng Hong dan Kun Liong segera menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang. “Untung kebakaran di ruang perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biarpun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, dan tidak mereka temukan yang mereka cari. Betapapun juga, untuk kedua kalinya,sahabat muda Yap Kun Liong telah menyelamatkan Siauw-lim-si.” “Ah, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dahulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi.” Semua orang memandang kepada Kun Liong. “Benarkah itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?” Keng Hong bertanya, kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama diambil murid Bun Hoat Tosu, ke dua digembleng sukongnya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya. “Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dahulu menyerang teecu dengan jerum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.” Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini. “Omitohud...! Kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!” Thian Kek Hwesio berkata nyaring, “Sute Thian Le Hwesio terbunuh, dan kini kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus memperslarpkan diri!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai. Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, “Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari dan mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Le Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan.” “Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu.” “Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu.” Para hwesio Siauw-lim-si sibuk mem-bereskan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong! “Engkau pulanglah bersama Giok Keng.” Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya, ”Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya.” Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, sedangkan Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia dapat menyerang para penjahat, dia telah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan oleh lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat. “Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?” “Ouwyang Bouw,” jawab Kun Liong. “Kalau kau, bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia.” “Mengapa?” Kun Liong bertanya heran. “Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya.” “Bagiankulah untuk membunuhnya!” kata dara itu. “Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan,” di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong. Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si. “Supek, kalau boleh teecu bertanya, dalam menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?” Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal. “Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu.” Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikan. “Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?” “Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun, teecu mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Kalau memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan.” Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau cerdik, dan jujur. Memang sesungguhnyalah. Mendengar betapa mungkin pencuri pusaka Siauw-lim-si adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan datuk-datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, kalau engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan menghadapi mereka dan membantumu, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan kalau kau beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka.” Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya! Kun Liong segera membungkuk dengan hormat. “Terima kasih banyak atas perhatian dan pembelaan Supek kepada teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu sanggupi, bagaimana teecu berani membawa-bawa Supek dan melibatkan diri Supek? Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu didapatkan kembali mengandalkan tenaga bantuan Supek. bukankah hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan orang? Tentu Siauw-lim-pai dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan seorang sakti seperti Supek. Berbeda lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong, apalagi ayah teecu pun murid Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya kalau teecu mewakili Siauw-lim-pai menghadapi para pencuri.” Keng Hong memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Dia kagum kepada pemuda gundul itu. Biarpun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong tentu tinggi. Wajahnya tampan biarpun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh dan luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani bicara terang-terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan. Soal kepandaian, dapat dia selidiki kelak, biarpun agaknya tak mungkin kalau murid Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih meragukan hati pendekar sakti ini apakah pemuda ini sudah patut menjadi jodoh puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun Liong yang tidak hanya dinyatakan dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang, juga dinyatakan dalam peristiwa keributan di Siauw-lim-si, Kun Liong berhasil menolong Giok Keng dari dalam sumur, mengapa dia tidak dapat menangkap seorang pun dari para perampok itu? Hal ke dua adalah cara pengobatan yang dilakukan Kun Liong terhadap Giok Keng. Biarpun meniupkan hawa dari mulut ke mulut merupakan pertolongan darurat, akan tetapi mengapa berani lancang melakukannya dan tidak memberi tahu kepada dia atau isterinya lebih dulu? “Pandanganmu memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku terhadap tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk menghadapi datuk-datuk kaum sesat seperti mereka? Kalau perlu, aku dapat melatihmu beberapa macam ilmu sebagai bekal.” “Terima kasih atas kebaikan Supek. Teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk membalikkan pusaka-pusaka dengan baik. Adapun Ouwyang Bouw akan teccu tanya, apa yang dicari di Siauw-lim-si.” Berkerut alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu mengemukakan pendapatnya yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai pencerminan watak penakut. “HEMM, Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, ter-utama sekali lima tahun di Ruang Kesa-daran bersama mendiang sukongmu, sebe-tulnya hendak kaupergunakan untuk apa-kah ilmu-ilmu itu?” “Tentu saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek.” “Menjaga diri dari apa?” “Dari kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas, manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain.” “Dan kau tidak akan memukul orang, biarpun orang itu jahat terhadapmu?” “Kalau bisa... sedapat mungkin teecu tidak akan menggunakan ilmu silat untuk menyerang orang lain, hanya untuk mem-pertahankan diri.” “Bukan karena kau takut?” “Tidak, Supek.” “Nah, kalau begitu aku hendak me-nyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau dapat mempertahankan dirimu!” Bukan main kagetnya Kun Liong men-dengar ini. “Tapi... Supek...” “Awas!” Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah kepala yang gundul ini. Kun Liong merasa betapa ada angin dahsyat menyambar, biarpun tangan itu masih jauh, sudah terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin. Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri. Keng Hong sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya bertubi--tubi dan setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat. Bukan main kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat gerakan serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi ke-sempatan untuk berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksa-na seekor burung walet. Tubuhnya men-cuat ke sana-sini untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata kecepatan gerakannya dapat diimbangi oleh Keng Hong sehingga akhirnya, mau tidak mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena kalau hanya mengandalkan kece-patan mengelak saja tidak cukup dan tentu dia akan kena dipukul. “Duk! Plak! Dukkk!” Tiga kali ber-turut-turut Kun Liong menangkis dan karena dia maklum bahwa pukulan-pukul-an yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung sin-kang yang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sin--kangnya dan menggunakan ilmu Pek-in--ciang (Tangan Awan Putih) yang dipela-jarinya dari Tiang Pek Hosiang. Ketika kedua tangan bertemu, dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan tangan itu hanya membuat Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng Hong juga merasa betapa tangan-nya tergetar. “Bagus!” Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah. Tadi pendekar sakti itu telah mainkan San-in-kun-hoat yang ampuh, akan tetapi karena ilmu silat ini hanya delapan jurus, biarpun merupakan ilmu silat tinggi na-mun masih kurang dapat untuk dipakai mendesak agar pemuda itu balas menye-rang! Inilah yang dikehendaki Keng Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan sanggup mempertahankan pen-diriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha memaksa pemuda itu untuk mengeluarkan kepandaian, selain bertahan, juga balas menyerang. Dan ternyata San-in-kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu membalas. “Aihhh...!” Kun Liong terkesiap keti-ka melihat perubahan gerakan supeknya. Ilmu silat yang dimainkan supeknya ini aneh sekali, gerakannya sederhana, akan tetapi daya serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supeknya lambat saja, namun angin pukulan yang datang lebih dahsyat daripada tadi. Itulah Thai -kek-sin-kun! Namun Keng Hong benar-benar dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mem-pertahankan diri dan dia mengenal dasar--dasar Pat-hong-sin-kun dari Bun Hoat Tosu, kemudian Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga menjadi ilmu yang amat hebat. Hawa yang kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan selalu diisi dengan sin-kang Pek--in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi ha-nya mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan kepalanya yang gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya, sampai seratus jurus lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas! Keng Hong maklum bahwa kalau dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu terpaksa akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlalu berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak ada bahayanya lagi bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi-i-beng. Dahulu, sebelum dia menjadi ahli, ilmu ini amat mengerikan. Siapa saja yang terkena betotan ilmu Thi-khi-i-beng, sin-kangnya akan tersedot dan Keng Hong sendiri tidak mampu menghentikannya sampai lawan tersedot habis tenaganya dan tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka hatinya dan mengaturnya sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu itu. “Awassss...!” Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak memungkinkan Kun Liong mengelak, kecuali menangkis. “Plakkk! Hyaaaat!” Kun Liong mengeluarkan teriakan melengking ketika merasa betapa lengannya menempel pada lengan lawan dan tenaga sin-kanghya molos keluar. Sambil melengking itu dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu dahulu, yaitu yang mempunyai tenaga membotot dan yang oleh kakek sakti itu sengaja diciptakan untuk menghadapi Thi-khi-i-beng yang kabarnya tidak ada lawannya di dunia ini. “Eiiihhhh...!!” Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya. Pemuda itu mampu membebaskan lengan-nya dari sedotan Thi-khi-i-beng! Bukan main! Sukar untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan serangannya dan meloncat mundur. Kun Liong merasa lega sekali. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui bahwa kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supeknya, sudah sejak tadi dia terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan supeknya dan berkata, “Terima kasih atas kemurahan Supek dan maafkan teecu.” Dengan sinar mata penuh selidik Keng Hong bertanya, “Siapakah yang mengajar-kan kepadamu cara membetot seperti tadi? Apakah mendiang Tiang Pek Ho-siang?” Kun Liong menggeleng kepala. “Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu.” Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai itu memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi-i-beng yang tidak ada lawannya maka diam--diam telah menciptakan sin-kang untuk menghadapi Thi-khi-i-beng dan menurun-kan ilmu mujijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun Liong! “Pernahkah dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi-i-beng kepadamu?” Kun Liong tidak berani membohong. “Pernah, Supek, dan memang sin-kang tadi dimaksudkan oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi-i-beng.” Keng Hong tertawa. “Orang tua itu benar-benar tidak mau mengalah! Kun Liong, ilmu yang kaumiliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih be-lum cukup untuk melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi-i-beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti engkau memang berba-kat baik sekali dan sekarang aku me-ngerti siapa yang dapat kuberi ilmu Thi-khi-i-beng, yaitu engkau sendiri!” Kun Liong serkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang hanya dikuasai oleh supeknya ini dan tiada taranya di seluruh dunia persilatan. Dan kini supeknya hendak menurunkannya kepadanya! “Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah semestinya ilmu ini supek berikan kepada Adik Giok Keng?” Kembali di dalam hatinya, Keng Hong kagum. Ucapan itu saja sudah membukti-kan behwa pemuda gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak adil terhadap Giok Keng. “Tidak, dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi-i-beng bukan sembarangan ilmu. Akan membahayakan dunia, dan membahayakan orang itu sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak memiliki watak pendekar sejati!” Kun Liong merasa makin jerih. “Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan... dan teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek pertimbangkan baik-baik.” Keng Hong tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang tidak menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya seorang yang kurang tegas dan berani. Betapapun juga, dia tidak mempunyai pandangan orang lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya kepada putera sumoinya dan sahabat baiknya ini. “Bersiaplah engkau menerima ilmu Thi-khi-i-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya karena ilmu ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau dan kelak pun kalau engkau menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja.” Kun Liong bertutut dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di depannya. Di dalam hutan yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mujijat itu kepada Kun Liong. Selain cara untuk mengemudikan hawa mujijat di dalam tubuh ini, Keng Hong harus mengoperkan sebagian dari hawa mujijat itu ke dalam tubuh Kun Liong, seperti yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Dia menyuruh pemuda itu “membuka” tubuh-nya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak boleh melawan, kemudian dia me-letakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang gundul dan mengerahkan sin--kang dan bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh Kun Liong. Pemuda gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong mengoperkan sin-kangnya. Kemudian sedikit demi se-dikit dia dilatih mengemudikan hawa mujijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya, membangkitkannya sewaktu-waktu. Juga dia dilatih cara bersamadhi untuk mengumpulkan hawa murni sebagai pe-nambah kekuatan tenaga mujijat Thi--khi-i-beng di tubuhnya. Sampai dua pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan, sedangkan Keng Hong juga bersamadhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mujijat yang sebagian dia “operkan” kepada Kun Liong. Dua pekan kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak pening oleh pengaruh kekuat-an mujijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan, sedangkan Keng Hong kelihatan agak pucat. “Supek, mengapa kita pergi ke kota Ceng-to? Ada apakah di sana?” di tengah perjalanan Kun Liong bertanya. “Kota Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi tempat tinggal seorang di antara datuk-datuk kaum sesat vang menguasai bagian timur, yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw--lim-si diganggu dua kali, pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh putera Ban-tok Coa-ong, sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang tersohor itu sekarang mengadakan persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di antara mereka, maka kiranya dia akan dapat memberi keterangan, karena tempatnya yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-to terdapat banyak to-koh persilatan golongan putih maupun hitam, dan menjadi cabang besar dari Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu.” Mendengar ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan ia makin kagum dan suka kepada supeknya. Tahulah dia bahwa supeknya adalah seorang yang budiman, gagah perkasa dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supeknya ini! Di dalam perjalanan, berkali-kaii Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah dapat menguasai Thi-khi-i-beng, sungguhpun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat pemuda itu, banyak harap-an kelak pemuda ini akan lebih kuat daripada dia sendiri! Apalagi pemuda itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari dua orang kakek sakti. “Kun Liong, apakah dahulu ayah bun-damu tidak pernah bicara denganmu ten-tang perjodohan?” “Perjodohan siapa, Supek?” “Perjodohanmu, siapa lagi.” “Ah, belum pernah, Supek.” Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit kepalanya. “Jadi jelas bahwa engkau belum di-tunangkan?” “Belum.” “Dan engkau sendiri, apakah telah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi jodohmu?” Diberondong oleh pertanyaan-perta-nyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi gugup dan malu sekali. “Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan tentang jodoh.” “Hemm, usiamu sudah dua puluh ta-hun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh,” kata Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga membikin lega hati Kun Liong. Diam-diam pemuda yang cer-dik ini menduga-duga. Mengapa supeknya bicara tentang jodoh? Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya. Ah, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu. Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat dia akan mulut yang berkali--kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bi-birnya. Baru sekarang dia dapat memba-yangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu itu, pada-hal ketika dia melakukan hal itu, sama sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini ter-bayanglah kesennuanya itu. Bahkan ter-ingat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya terde-bar, tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu berahinya terusik oleh ke-nangan dan bayangan ini. “Hemmm...” “Ada apa, Liong-ji?” Keng Hong me-noleh. Kun Liong kaget sekali. Tak disadari-nya, mulutnya mengeluarkan suara me-ngeram tadi! “Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek.” Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenang-kan seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya! Beberapa hari kemudian, tibalah me-reka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di tepi lautan timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelom-bang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking ka-gumnya. Akan tetapi telah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa pena-saran dan tidak senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas! Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil. “Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!” Pemimpin rombongan itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes. “Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau pemberontak?” bentak kepala penjaga. Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali! Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma--taijin, hanya mereka ini lebih muda. Be-narlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka datang dengan pe-rahu-perahu besar itu. Karena mereka memasuki kota berba-reng dengan rombongan penari silat, agaknya para penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak penjaga dan pemim-pin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong diperkenankan ma-suk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng Hong tidak mencolok seperti orang biasa, se-dangkan Kun Liong yang menarik perha-tian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu! Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti itulah bicaranya! Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang--kadang nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar mereka itu bercakap--cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di kanan kiri jalan itu me-reka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini orang-orang yang tinggi hati, yang memandang rendah orang lain dan merasa diri pandai sendiri, demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat sikap dan gerak-gerik mereka. Akan tetapi harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata memiliki bentuk tubuh yang baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semua dipotong sepanjang pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah. Selain rambut mereka yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada kuning, coklat, putih, dan ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat bulu tengkuk meremang. Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, melainkan berwarna-warni seperti itu. Kun Liong tidak dapat menghitung, berapa banyaknya orang-orang asing ini, kesemuanya pria. Akan tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima belas orang banyaknya. Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki scbuah warung nasi, lalu memesan makanan dan minuman. Warung atau restoran kecil ini cukup ramai dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga orang laki-laki asing yang sedang ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka sambil minum arak. Muka ketiga orang ini sudah merah sekali, tanda bahwa mereka sudah agak mabok. Kun Liong tertegun melihat dari dekat kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang aneh. Tubuh mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang putih kekuningan, tidak kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa wajah mereka itu seperti wajah orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan tertawa, mata mereka yang berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di balik sinar mata ini ada kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain, terutama terhadap penduduk pribumi. Tiba-tiba seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, di mana tampak seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran. Melihat dirinya dituding dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan berlari masuk, melepaskan baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring ketika dua buah mangkuk kosong pecah-pecah. Pemilik restoran segera berlari datang menghampiri laki-laki asing yang kini berteriak-teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran menjura dan berkata, “Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki dan pesan?” Akan tetapi laki-laki asing itu, kini dibantu dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada terdengar terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata “perempuan”. Tentu saja pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di belakang Kun Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu, “Dia minta supaya dilayani wanita yang kelihatan tadi.” Mendengar ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan, dia menggoyang-goyang tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil berkata, “Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan tetapi anakku dan dia tidak boleh diganggu!” “Desss!” Kepalan tangan laki-laki itu menghantam, mengenai dada pemilik restoran sehingga pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong! Keadaan menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong merasa penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing itu sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing, berdiri dengan muka ketakutan dan ditundukkan meng-hadap seorang asing lain yang telah ber-ada di pintu restoran. Orang yang baru datang ini juga seorang asing, akan teta-pi Kun Liong memandang kagum. Orang itu masih muda, belum ada tiga puluh tahun, tubuhnya tegap jangkung, ping-gangnya kecil tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar. rambutnya kuning emas terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan panjangnya sam-pai ke bawah telinga sedangkan yang be-lakang agak panjang diikat dengan pita! Wajah pemuda asing ini tampan dan ga-gah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak memandang rendah orang lain sungguhpun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang membayangka tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubah-nya yang lebar berwarna kuning, kemeja-nya putih dan celananya abu-abu. Sepa-tunya yang aneh bentuknya dan tinggi sampai ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap, di pinggangnya tergan-tung sarung sebatang pedang yang kecil panjang. Dengan suara lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada tiga orang tadi yang menjawab dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda itu mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingat-kan, dia memutar tubuh dan pergi dari situ. Tiga orang laki-laki tadi lalu duduk kembali dan orang yang memukul pemi-lik restoran menghampiri orang yang di-pukulnya, menjabat tangannya dan digon-cancang-goncangkan dengan gaya minta maaf. “Twako, dia minta maaf atas keka-sarannya tadi,” kata pula orang di bela-kang Kun Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka. Si Pemilik Restoran tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa itu timbul karena salah pengertian akibat perbedaan bahasa mereka. Keng Hong berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong, “Agaknya Hiante mengerti bahasa me-reka.” Orang itu mengangguk dan tersenyum. “Mereka itu bangsa Portugis. Kerena sudah lama kota ini kedatangan orang--orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat dengan saya, maka sedikit--sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka. Mereka itu adalah pe-laut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, apalagi kalau melihat wanita. Maklumlah, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka berada di atas kapal mengarung samudera, haus akan wanita.” “Mengertikah Hiante apa yang diucap-kan oleh orang asing muda tadi, dan sia-pakah dia?”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger