naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 32

“Lemparkan pakaianku ke sini!” Li Hwa berteriak. Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu. “Tidak, kau harus mengambilnya ke sini.” “Kun Liong, tidak malukah kau de-ngan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!” “Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, se-perti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?” “Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, ja-ngan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara.” Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul--pukulkan ke atas batu sehingga menim-bulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya. Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pa-kaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk te-rang-terangan menangis, dia tidak sudi! Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang. “Sang Dewi mandi di telaga duhai cantik jelita perawan remaja!” “Kun Liong, lemparkan pakaianku ke- sini!” Li Hwa kembali menjerit. “Rambutnya awan tipis di angkasa matanya sepasang bintang bercahaya dagu dan lehernya... amboiii” “Kun Liong, kasihanilah aku...!” “Tubuhnya batang pohon yangliu penuh lekuk lengkung sempurna kulitnya lilin putih diraut...” “Kun Liong...!” “Hidung mancung bibir... haiii... gandewa terpentang... dadanya...” “Kun Liong!” “Dadanya... wah, dadanya...” “Kun Liong...” Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis! “Datanglah seorang penggembala melarikan pakaian Si Juwita menangislah perawan remaja...” Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. “Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Pada-hal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa.” Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. “Jadi engkau menjadi penggembala itu?” “Heh-heh!” Kun Liong terkekeh dan mengangguk. “Pantas kau berbau kerbau.” Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya. “Sudah selesaikah?” Kun Liong bertanya. “Nanti dulu...!” AKAN tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu. “Betapa cantiknya engkau, Li Hwa...” Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia. “Jahanam keparat!” “Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!” Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik. “Hihhh... kubunuh kau...!” Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya! “Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!” “Kau... kau...” Muka Li Hwa merah sekali. “Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka.” Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata--katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata, “Kun Liong, penghinaanmu kepa-daku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin berse-kutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menye-rahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuh-mu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kaulakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!” “Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?” “Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri.” “Kalau aku yang kalah?” “Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh.” “Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!” Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar. Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, “Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu.” Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu.” “Hemm, kaukira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau.” “Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri.” Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Krekkrekkk...!” Belenggu kedua tangannya itu patah-patah! Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya dita-wan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya. “Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!” Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang. “Hayaaa...!” Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai. Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong--sin-kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya. Betapapun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak mau mem-balas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan. Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan suhunya yang amat dahsyat! Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng! I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk se-lagi mendengarkan pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pen-tingnya olah raga untuk menjaga kese-hatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi. Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot. Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun, sebaliknya Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri. Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin! “Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!” Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali. “Plak-plak-plak!” bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. “Aihhh...!” Li Hwa menjadi marah sekali. “Singgg...!” Dia sudah mencabut pedang. “Nah, ini dia... dia lari ke sini...!” Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang ying tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu. “Bagaimana dia sampai dapat lolos?” “Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin ken-cing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahan-nya...” “Sudahlah, kalian semua tolol!” Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sam-pai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi sete-lah dia menyadari bahwa dia tidak mam-pu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok. Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas orang perajurit yang mengero-yoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana- sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata, “Terima kasih atas kebaik-anmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, se-lamat tinggal dan sampai jumpa pula!” Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu. Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing. “Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Tio Hok Gwan. “Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita.” “Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?” Li Hwa berkata, “Tio-lopek, tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek, mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah merampas bokor emas.” “Hehh? Siapa dia?” “Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang.” Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. “Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu,” kata kakek pengantuk yang lihai ini, “Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw.” “Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka.” Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut. “Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!” seerang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan. “Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati? Setelah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!” Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu. “Bedebah, mampuslah!” Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng. “Tahan...!” Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya. Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri. Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini. “Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu.” Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang menawan pemuda itu. “Kau... kau terluka...!” Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu. “Aku...? Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-benar aku kagum!” Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung. “Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik.” Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, “Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu.” Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat. “Di mana kapalmu?” “Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya.” Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan. “Yuan...” Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu. “Apa yang hendak kaukatakan, Li Hwa?” “Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu.” “Jangan...!” Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. “Jangan kaukorbankan dirimu untukku, Li Hwa!” Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan berkata, “Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan tetapi terang-terangan.” “Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu...” Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar. “Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu.” Yuan de Gama membelalakkan mata-nya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu. “Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepada-mu....” bisiknya. Lapat-lapat dia men-dengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudi-an kepala penjaga sendiri datang mem-bawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah. Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan berita yang amat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa “biadab” oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini! Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu. “Nona Souw, apakah sudah kaupikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?” Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya. “Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya.” “Akan tetapi empat yang lain?” “Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang, kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain.” Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. “Hemm, semenjak dahulu aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa yang kaukehendaki.” Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa. “Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu...” “Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu.” “Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi...” “Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu.” “Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain.” “Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali...” “Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau...” “Hemmm, ceritakan tentang dia.” Li Hwa memotong dan mukan terasa panas. “Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado...” “Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?” Yuan menarik napas panjang. “Demi-kianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang peran-tau yang sudah menjelajah banyak nega-ra dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pembe-rontak di negeri yang indah dengan rak-yatnya ramah. Akan tetapi aku pun me-rasa bahagia karena hal ini memungkin-kan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa.” “Hemm...” Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas. Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya. “Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku...” Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada. “Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang...” Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, “Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu...” “Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali.” “Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh.” “Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenub jiwa ragaku?” “Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!” “Li Hwa...!” Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa. “Mungkinkah ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara begini saja? Hanya karena kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!” “Yuan...!” Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat. “Li Hwa sayang...!” Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu. Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas. “Yuan, jangan!” Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata, “Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik...” “Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula.” Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya. Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, “... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya...” Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng--kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw--lim-pai juga masih belum berhasil. Bah-kan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan ber-tanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang te-lah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bunda-nya. Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba--tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi. Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan me-mandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang--orang yang mengurungnya. “Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?” “Tosu hidung kerbau! Serahkan buntal-an di punggungmu!” “Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!” “Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!” Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali. “Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!” Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu. “Desss...! Auuduhhh... tanganku...” Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak. “Dia melawan! Bunuh saja!” Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah menca-but senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu. “Heiii...! Kalian jahat...!” Kun Liong keluar dari tempat sembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini. “Siluman... dia siluman...!” “Wah, golokku malah rompal...” “Toyaku bengkok!” “Celaka...! Dia setan...” Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat, “Kalian ini manusia-manusia kejam!” Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget. “Wah ini tentu temannya!” “Setan gundul...!” “Lari kawan-kawan...!” Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul. Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya, “Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan.” Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main. “Totiang, pakaianmu robek-robek...” Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab, “Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak...” “Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak.” Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. “Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan.” Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu. “Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?” “Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bu-kanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan.” “Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?” “Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih.” “Mengapa palsu, Totiang?” “Kalau kita melakukan suatu per-buatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keingin-an untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah muna-fik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita ter-tipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan.” Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu. “Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?” Kakek itu menggeleng kepalanya. “Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!” “Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?” Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya. “Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!” Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya, “Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?” “Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih.” “Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?” “Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu.” Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus pench keagungan. “Totlang siapakah?” “Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini.” Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. “Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. “Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini? Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda.” “Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga.” Kakek itu tersenyum lebar. “Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat.” Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon! Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras! “Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!” Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru. Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan. “Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap...” “Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San.” “Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?” Kun Liong menghela napas. “Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Ibu.” Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang penting-penting saja. Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata, “Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib.” “Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?” Kakek itu tertawa. “Kalau kaumaksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara.” “Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat berbahagia?” “Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?” Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat! Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning, pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius. Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya, “Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya.” Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. “Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?” Kiang Tojin tersenyum. “Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja.” Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe.” Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu, “Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku.” Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera. Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata, “Maafkan saya...” Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, mengge-leng kepala dan berkata, “Sungguh me-nyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbaha-ya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?” “Benar demikian...!” Terdengar suara halus dari balik tirai sutera. “Ahhhh, seperti telah kuduga,” kata Kiang Tojin. “Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo--tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat...” Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu, “Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?” Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. “Perkataan yang hebat...!” “Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!” terdengar lagi ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi. “Tahan dulu...!” Kun Liong meloncat ke depan. “Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!” Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka? Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya, “Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot...” “Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat.” Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna.” Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian.” Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu! “Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit,” kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai. “Ohhh, jangan buka...!” Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, “Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki.” Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel, “Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya.” “Aihhhh... tak mungkin...!” Terde-ngar jerit tertahan dari dalam tandu. Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. “Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit” katanya dengan alis berkerut. “Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?” Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. “Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini...” Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis. Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, “Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah.” Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. “Sumoi, mari kita pergi...” Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali. “Tahan dulu...!” kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, “Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?” Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah “percakapan” bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan “jalan keluar” yang baik.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger