naruto

naruto

Minggu, 02 Desember 2012

lembah naga 261--300

“Bung A-sin, kenapa kaubuang?” Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka. Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, “Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?” Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, “Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti.” “Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?” Tiga orang itu mengerutkan alis. “Saudara A-sin, apa maksudmu?” Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. “Sudahlah! Kaukira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!” Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani! Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio! Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar-dengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana! Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya. Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng. Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling? Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam. Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut. Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu. Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut! Namun, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat. “Uhhh...!” A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali. “Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!” hardiknya dengan suara menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia makin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan. “Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!” A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan! “Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?” Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia! “Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun...” “Plak!” Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas! Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar! Hening sejenak setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing! Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api. Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba, dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur. “Heh, A-sin bangun kau!” terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya! Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat. “Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!” bentak gadis itu. “Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?” Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah. “Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?” Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih. “Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?” Sin Liong bersikap ketolol-tololan. “Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kaulihat baik-baik ini!” Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan. “Eh, eh... apa dosanya sapu itu? Kenapa kaupatahkan gagangnya? Wah, celaka, kaubikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!” Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah! “Goblok! Kau bernama A-sin?” “Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?” “Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!” “Wahhh... kau galak... mengerikan...” Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya. “Nah, kau takut padaku, bukan?” Sin Liong menggeleng kepala. “Apa?” Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka serem, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh daripada mengerikan. “Kau tidak takut padaku?” Sin Liong menggeleng kepala. “Ketiapa mesti takut?” “Karena aku menakutkan!” “Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali...” “Aku ingin kau takut!” “Wah, kau ini aneh. Eh, nona cilik...” “Aku tidak cilik lagi!” “Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?” “Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?” “Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?” “Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?” bentak gadis itu jengkel. “Ya menggigit apaku, boleh kaupilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!” Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, kemudian didepan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan. Dengan puas dan bangga, sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, “Huh, sekarang kau takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!” “Eh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar...” “Sulap hidungmu!” Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini! Sin Liong yang sudah bangkit duduk itupun pura-pura marah. “Dengar kau,nona cilik... eh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!” “Dengarkan kau, bocah tolol! Buka telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar aku akan dapat membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, kalau kau berani berkata kepada siapapun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini... crokkk!” Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu! Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan. “Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapapun juga atau aku akan kembali!” “Siapakah namamu, nona?” Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik lagi dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, “Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?” “Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal dan sudah sepatutnya aku mengenal namamu?” Diam-diam gadis itu merasa jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapapun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini! “Semua anak miskin di sini mengenal Kim-gan Yan-cu!” Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali. Sin Liong masih termenung, duduk di atas pembaringannya. “Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?” Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalam dia tidak dapat tidur lagi. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu! Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang perajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran untuk bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu. Majikan restoran menjadi gugup dan segera mengerahkan anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para perajurit pengawal yang datang terlebih dahulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja. Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih dan dia sendiripun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik maupun yang buruk! Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang laki-laki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh kehormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat. “Eh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?” Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya. Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringkan banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang! Tentu saja pembesar Gu ini mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han Houw! “Siapa... eh, paduka... salah lihat...” Dia berkata gagap. Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. “Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biarpun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah kepada saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, mengapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!” “Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini...” “Ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya ingin mohon pertolongan kongcu...” Pembesar itu mendekatkan mulutnya. “Mengenai puteriku...” “Tidak... bukan... aku bukan...” Sin Liong bingung sekali, apalagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada “setan penjaga kebun” menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong mimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja. Dan kini, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seolah-olah pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang amat tinggi kedudukannya. Apalagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran! “Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja...” “Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain...” “Hemm, benarkah itu?” Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. “Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!” Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio! Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, girang dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya kalau dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana! Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) telah meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji. Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia segera menurunkan tangan kejam, menyerang kedua mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu. Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia melihat jelas dua batang hio yang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sin-kang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu. Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, dua batang hio itu tentu mengambil korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan dua batang hio itu ditangkisnya runtuh. Hal ini amat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanyapun tentu akan celaka karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga kalau ditangkis akan dapat melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong! Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka diapun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk cepat membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi. “Hyaaaaattt...!” Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga mengejutkan semua orang, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan membuat kedua kaki mereka lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu. Dan terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, lebih dulu telah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar. “Ehhh...!” Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu maka diapun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan. “Plakkk!” Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sin-kangnya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu. “Eiiihhhhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong! Wanita ini mengenal Thi-khi-i-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sin-kangnya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main. “Tarrr...!” Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa dia berada dalam bahaya setelah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk. “Pratti!” Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan dengan telapak tangannya ke arah muka lawan. “Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio kembali menjerit dan dia mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh dan dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu. “Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!” Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran. Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Kalau dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke manapun dia bersembunyi, tentu dia akan terus dicari oleh para perajurit. Mana mungkin dia dapat melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan diapun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok dan masuk ke dalam pasar ketika larinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para perajurit yang mengejarnya. Pasar itu menjadi geger ketika para perajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para perajurit itu mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin! Ketika Sin Liong sedang kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang berbisik, “A-sin... cepat, kau ikut...!” Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara “langganannya”, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di situ dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis. Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu masih memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek. “Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?” “Aku... aku bukan...” “Ahh, sikapmu yang tolol itu hanya kedok saja. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para perajurit sudah datang!” Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah! Baunya bukan main dan terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya agar jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para perajurit yang tiba di situ. “He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?” terdengar bentakan nyaring. “He! He! Engkau bicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kauterima ketika menjadi perajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?” tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah. “Apa...? Kalian ini sekumpulan pengemis...” suara pertama menghardik. “Ah, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!” terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang perajurit lain yang mengenal gadis itu. “Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...” kata suara pertama. Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. “Hemm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan palsu. Biarpun kami orang miskin, apakah para perajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kamipun tidak mampu menjawab!” “Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia perajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran.” “Hemm, kami tidak melihat dia sekarang.” “Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya.” “Baik, baik...!” Tak lama kemudian, para perajurit itu sudah pergi dan Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran sekali. Ternyata para perajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan menghormatinya! Maka diapun cepat menjura. “Terima kasih atas pertolongan kalian...” “Pertolongan apa! Engkau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!” perintah gadis itu. Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong dan dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tidak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya. “Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu perajurit,” kata gadis itu dan Sin Liong yang masih keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan! Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh. “Ini seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biar kalau sampai matipun mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!” demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para perajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu. Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu amat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apalagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang. Setelah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan. “Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!” kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja dan dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ. Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan. Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emper toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga. Setelah membersihkan ruangan itu dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding. “Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Kalau ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!” kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu. Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kesederhanaannya, kecerdikannya, dan juga wibawanya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usinya, namun telah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya! Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri memandang, sinar matanya masih membayangkan kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini! Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biarpun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apalagi pemimpin pengemis! Tiba-tiba gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. “Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!” Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti telah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil. “Hik-hik, aku hanya main-main. Kau mengapa begini pemalu? Eh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar perajurit kerajaan?” Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para perajurit. Dia dikejar perajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal. “Ahh, aku adalah orang biasa dan bekeria sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati.” Gadis itu bangkit berdiri, menghadapi Sin Liong dan sepasang matanya yang jeli itu dengan penuh selidik mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggeleng kepalanya. “Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol yang ingin kauperliliatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan daripada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku pasti sudah pernah melihatmu. Hayo kau mengaku sajalah!” Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling jumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Kini, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak. “Nona, siapakah namamu?” akhirnya Sin Liong bertanya karena dia yakin kalau dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat. Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tidak senang dan curiga. “Mau apa kau tanya-tanya nama orang!” bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis. Galak benar bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. “Terus terang saja, nona, akupun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Kalau aku mengetahui namamu, mungkin saia aku akan teringat lagi dan kenal padamu.” “Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!” kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya! “Aku tidak mengenal julukan itu.” “Hemm, kalau tidak mengenal sudah saja!” Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal “nama besarnya”. Ketika mendengus marah, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu pindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehemya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu! Kini dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya. “Bi Cu...!” suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip. Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada orang yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu. “Eh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?” bentaknya, heran, kaget dan curiga. Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa sekali, teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu. “Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!” Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. “Sin Liong...? Ah, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran dan seorang buronan pasukan pemerintah pula?” Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. “Sin Liong...!” Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira seperti dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah mengira akan dapat saling berjumpa setelah malapetaka itu menimpa mereka dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu. Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka telah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lalu terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata. “Aihh... siapa kira dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong,” Katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru. Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dulu seorang anak perempuan pendiam itu kini telah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu dulu, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu. “Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini telah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang...” Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. “Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?” “Ihh, tentu saja tidak!” Sin Liong tersenyum. “Engkau menjadi seorang gadis lincah, cerdas dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku dapat mengenalmu lagi?” “Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!” “Atas bantuan tahi lalatmu.” “Eh?” Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. “Tahi lalat?” “Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak ketika engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tak dapat melihatnya?” “Hik-hik, tolol engkau. Apa kaukira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!” Sin Liong juga tertawa. “Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?” “Ohhh...!” Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung! Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu setelah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu di waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu. “Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?” Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, “Engkau sendiri, setelah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?” Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. “Ah, engkau benar-benar telah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai bicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu.” “Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kauceritakan pengalamanmu.” “Seperti engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi...” “MANUSIA IBLIS? Kaumaksudkan wanita cantik gagah perkasa yang telah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Mengapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?” “Engkau tidak tahu, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ah, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... eh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek.” Sin Liong tidak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu. Juga dia tidak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu ketika mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati. “Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!” Sin Liong dan Bi Cu cepat menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat. “Hem, A-sam dan A-khun, ada apakah?” tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian. A-khun memandang kepada Sin Liong dengan terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, “Nona, kita telah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari karena dia keluarga pemberontak... wah, celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!” “Biar mereka menangkap aku!” Sin Liong berkata penasaran. “Akan tetapi mengapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?” “Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?” “Karena nona diketahui telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu, sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!” Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam dan A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar. “Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!” Dia menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, kini menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya. “Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?” Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus mengejar. “Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kati ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!” “Siapa itu keluarga Kui?” Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak. “Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?” Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan. Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han How, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita tentang Cia Bun Houw kepada siapapun juga, apalagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin untuk dirahasiakannya lagi. “Baik, kuceritakan semua kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan di mana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku...” “Ahh...!” Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. “Dan ibumu masih ada...?” Sin Liong menggeleng kepala. “Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka...” “Ah, kaumaksudkan... pemuda gendut itu?” “Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis...” “Dua gadis kembar yang cantik manis itu?” “Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku.” Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. “Kalau si gendut dan yang lain-lain itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?” “Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenailmu. Pula, ada hal lain yang amat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara.” “Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu.” Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini dan sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menceritakan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung tentang kelihaian Ceng Han Houw. Biarpun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran! “Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?” “Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas melakukan apa-apa tanpa diperhatikan orang.” “Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?” Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlalu cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, diapun amat cerdik dan cepat dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain. “Ah, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu.” “Eh? Kaumaksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?” “Benar.” “Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau.” “Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan.” “Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?” “Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku.” “Ahh...!” Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya. Sebelum mendengar ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, sungguhpun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Kini, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang. “Dan ayah kandungmu, Sin Liong?” Pemuda itu menggeleng kepala. “Sudah mati!” “Kasihan engkau, sudah yatim piatu.” “Sama dengan engkau, Bi Cu.” “Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?” “Untuk apa? Kalau engkau kelak mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kaulakukan, Bi Cu?” “Membunuhnya!” “Demikian juga aku.” “Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?” “Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba.” “Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?” “Hanya dari Na-piauwsu.” “Ah, dengan kepandaianmu seperti itu, mana mampu engkau menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong?” “Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu.” “Cukup lumayan, biarpun aku tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya amat lihai itu. Sekarang dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong.” Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan amat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini. *** Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh musuh-musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to-piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun. Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya dan beberapa orang anggauta Ui-eng-piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Bahkan putera Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu. Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi. Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya. Kemudian muncul para anggauta Ui-eng-piauwkiok yang segera mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng-piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggauta piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan. Bahkan setelah selesai pemakaman itu, para tokoh Ui-eng-piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han, mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng-piauwkiok yang sudah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek. Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan juga rumah keluarga. Na itu dipakai sebagai pusat, sedangkan yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini. Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan, dan merasa tidak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apalagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila kepadanya. Beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri! Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu. “Sumoi, marilah duduk dekat denganku di sini.” Dia menepuk papan bangku di sebelahnya. Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Di sinipun sama saja, suheng.” Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek. “Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali.” “Di sinipun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?” Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun semenjak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak kalau Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu! “Sumoi, kenapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri.” Bosan sudah Bi Cu mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. “Suheng, engkau selalu bicara tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil, usiaku baru dua belas tahun, untuk bicara soal pernikahan!” “Akan tetapi kita telah saling bertunangan!” “Sejak kapankah kita bertunangan?” “Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng-piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku.” Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia telah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggauta sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek amat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya. Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng-piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri merasa tidak suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang amat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apalagi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia mengetahui siapa pembunuhnya! “Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan.” Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang sejak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoinya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya. “Seperti paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku merupakan pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah makin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur persembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka.” Para tokoh Ui-eng-piauwkiok itu terdiri dari lima orang, dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar, berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar ucapan keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan girang. “Memang kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan kalau demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dan mengundang tamu-tamu sebagai saksi.” “Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya,” jawab Tiong Pek dengan girang. Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpandangan luas. “Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia,” katanya dengan wajah serius, “oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya kalau kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu.” Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng-piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ. “Ada apakah Louw-susiok memanggilku?” tanyanya. Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan diapun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu. “Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya.” Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja diatur oleh suhengnya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut. “Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti,” jawabnya lirih sambil menunduk. Lima orang pimpinan Ui-eng-piauwkiok itu tersenyum, dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan! “Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng dan isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka telah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud untuk mengadakan sembahyang dan meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Dan sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu.” Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menduga bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab “terserah kepada susiok”, atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju! Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ ketika mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, “Tidak, susiok, aku masih terlalu kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu.” Dia menundukkan mukanya kembali. Louw Kiat Hui saling berpandangan dengan teman-temannya, dan mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak. “Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?” Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah kalau gadis ini menolaknya. Gadis yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata, “Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sefihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mengingat keluargaku, tidak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan memutuskan sendiri tentang perjodohanku.” Louw Kiat Hui terkejut. Kembali dia saling berpandangan dengan para temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, “Ah, Bi Cu, jangan engkau beranggapan seperti itu. Andaikata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu...” “Ayah dibunuh orang, dan sampai sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohan tanpa memperdulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, aku tidak mungkin bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini.” Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian lari memasuki kamarnya di mana dia membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan. “Sudahlah, susiok. Dia memang benar. Kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, betapapun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biarpun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara,” kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya. Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana mempunyai kesempatan untuk menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang sekali-kali pernah mereka ini mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan? Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Cu makin merasa gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, betapa pemuda itu memang amat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi diapun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek. Setiap hari Bi Cu termenung duka, apalagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui dan para paman yang lain mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan makin mesra, pandang mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya. Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri! Pada keesokan harinya, Tiong Pek dan para tokoh Ui-eng-piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tidak meninggalkan pesan apapun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu gadis kecil itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya. Dugaan semua tokoh Ui-eng-piauwkiok ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui dan empat orang temannya, bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul. “Mari kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu,” kata Louw Kiat Hui dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran. “Tidak, aku tidak mau...!” Bi Cu menangis. “Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!” Tiong Pek menghampiri Bi Cu dan memegangi tangannya. “Sumoi, mengapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?” “Tidak, suheng, engkau tidak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting.” Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. “Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara.” Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam diapun merasa penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang. “Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?” Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. “Bi Cu!” Suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, “Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri, sehingga akhirnya engkau pasti celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!” Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, “Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?” Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, “Sudahlah. Mari kita semua pulang ke Kun-ting dan segala sesuatu dapat dibicarakan dengan tenang di sana.” Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami malapetaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri. Karena lelah, maka akhirnya mereka bermalam di sebuah kuil di tengah perjalanan. Kuil itu adalah kuil seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar. Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah. Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri dan seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu! Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya. “Siapa di situ?” bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi. Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu! “Heiii... tahan...!” Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu! “Lepaskan dia!” bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya. “Plakk! Tranggg...!” Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar. “Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?” teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar. Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang karena cuaca yang gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan gerakan sembarangan. “Plakk! Ahhh...!” Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung. Namun, dengan lincah dan mudahnya, bayangan itu mengelak terus sampai lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuatnya sehingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok. Para piauwsu lain terbangun oleh suara gaduh, akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu telah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu! Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itupun tidak dapat memberi keterangan. Louw Kiat Hui dan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, namun, jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itupun tidak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat! Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan biarpun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak. Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalamannya semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Ketika itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dan pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata, “Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik.” Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tidak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Kalau menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Apalagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia makin bingung dan khawatir. Akan tetapi ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi kini dia sudah melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan seperti baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus! Setelah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dah memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja. “Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku tahu bahwa engkau tidak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?” Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. “Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu aku berduka dan menangis, kek.” Dia menutup penuturannya. Kakek itu tersenyum. “Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?” Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!” katanya. Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. “Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Mengertikah engkau, Bi Cu?” “Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!” Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. “Dan mulai saat ini engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka.” “Kalau tidak, memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?” “Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu.” Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka. Biarpun Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali. Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu. *** “Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?” Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita. “Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!” “Eh? Bubar? Mengapa?” “Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas.” “Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?” “Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan.” “Ahhh...?” Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu. “Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian.” Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. “Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!” “Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah.” “Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga dan aku mengenal daerah di utara.” Bi Cu tersenyum. “Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu.” Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersama-sama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim piatu memang sudah selayaknya saling bantu.” “Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu.” “Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap.” Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu. “Sin Liong, kau masuklah saja dulu,” bisiknya. “Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka...” “Ah, mereka tidak akan tahu...” “Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku...” Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di situ! “Baik, kautunggu di sini sebentar,” katanya dan dia lalu melangkah masuk. Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas. Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya! Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu. “Eh... oh... nanti dulu...!” serunya. “Maling hina, engkau sudah bosan hidup!” bentak seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong! “Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!” bentak dara ke dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong! “Eittt... tahan dulu...!” Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu. “Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!” teriaknya ketika melihat mereka menyerang lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua. Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar itu makin marah. “Kurang ajar kau!” bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong. Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sin-kang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang rating kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu. “Trakk! Trakkk!” Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri! “Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!” bentak Bi Cu. Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, “Sin Liong...?” “Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...” kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu. Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari menghampiri pemuda itu. “Liong koko...!” Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang. “Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!” Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai. “Liong-ko, siapakah dia?” tanya Lan Lan. Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan. “Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku.” “Ahhh...!” Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya. “Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!” Lan Lan menegur, “Kenapa tidak langsung masuk dari pintu depan?” Sin Liong tersenyum. “Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?” “Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!” kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak. “Ayah. Liong-koko telah pulang...!” Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa. Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapapun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya. Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri. “Ahhh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” tegurnya ramah. “Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan,” jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian. “Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan lain? Dan siapakah nona ini?” Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya. “Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui,” Sin Liong berkata, “Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.” Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran. “Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya kepadaku, Sin Liong.” Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger