naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

asmara 27

“Dia adalah Tuan Muda Yuan, pute-ra pemilik kapal Kuda Terbang. Sering-kali dia datang bersama kapalnya, dan dia ditakuti semua orang asing itu. Agaknya dia mempunyai pengaruh besar di antara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan memperingatkan bahwa ke-butuhan mereka akan perempuan telah disediakan tempat khusus untuk itu maka mereka dilarang keras mengganggu wani-ta baik-baik.” Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya merasa tidak enak. Mau apakah orang-orang asing ini berkeliaran di sini? Karena penasaran dia bertanya lagi, “Ta-hukah Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?” “Biasanya mereka adalah pedagang--pedagang, membawa barang-barang aneh dari dunia mereka dan di sini mereka membeli rempa-rempa, obat-obatan dan juga barang-barang buatan pribumi. Mere-ka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai hubungan baik dengan pembe-sar-pembesar di sini.” Keng Hong tidak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari rumah makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana. “Biarlah malam nanti saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal orang kalau aku keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini berjalan--jalan, memasang mata dan telinga. Eng-kau tentu tidak akan ada yang mengenal dan tidak akan menimbulkan curiga.” Kun Liong mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supek-nya yang tinggal di dalam kamar. Keng Hong bersamadhi di dalam kamar hotel itu untuk memulihkan tenaganya karena semenjak dia mengoperkan sebagian sin-kangnya untuk melatih Thi-khi-i-beng kepada Kun Liong, tenaganya belum pulih seluruhnya. Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja langsung dia berjalan-ja-lan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagi-an pantai yang sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala, ikan dan se-bagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing. “Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?” Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab, “Yaah, luma-yan saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!” Kakek itu kedua tangannya memegang jala, maka dia me-nunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya digerakkan ke arah laut. “Mengapa gara-gara mereka?” “Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras.” Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang didengarkan penuh perhati-an oleh Kun Liong yang memang meman-cing percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu, “Eh, Lopek. Engkau yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini, bukan?” “Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak penda-tang baru, terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu. Siapa mengenal mereka?” Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu. “Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu.” Kun Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. “Tahukah Lopek di mana tempat tinggalnya?” Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar! “Kau... kau... sahabatnya, orang mu-da?” Kun Liong menggeleng kepalanya. “Bukan, aku hanya ingin tahu di mana tinggalnya orang yang tersohor itu.” “Rumah dia itu, siapa yang tidak ta-hu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak pekerjaan, maafkan, orang muda.” Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong menghampiri pera-hunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendaki-nya, alamat datuk itu, telah terpegang, maka dia pun pergi dari situ, menuju ke utara. Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia mema-suki kota dan agaknya membuka pertun-jukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat. Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata--rata memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan mereka dan kini me-reka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu! Melihat ini, Kun Liong sudah melon-cat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia ber-pendapat babwa tentu tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian. “Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Me-ngapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?” teriak Kun Liong sambil meloncat ke depan dan me-nangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerah-kan sin-kangnya. “Dukkk...!” Orang asing itu mencak-mencak, ber-jingkrak sambil memegangi lengan ta-ngannya yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah! Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam baha-sa mereka, dua orang asing itu mener-jang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu menyambar-nyambar. Si-kap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk. Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas. Tubuhnya mencelat se-perti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung. Dua orang asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeru-duk kembali dengan ganas. Kun Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah. Terdengar sorak-sorai orang--orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing “biadab” itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah menge-luarkan pengumuman agar tidak meng-ganggu mereka yang disebut “tamu-tamu agung” itu. Memang benar bahwa orang--orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi si-kap mereka angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mere-ka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan! Kun Liong mengambil keputusan bah-wa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu bangkit, tiba--tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia terheran--heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan seorang ahli gin-kang! Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biarpun nada suaranya ter-dengar lucu dan asing, “Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka.” Kun Liong juga membungkuk. Diam--diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah. “Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu.” Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya. “Tuan bukan anggauta mereka?” Dia mengulang. “Kalau begitu, mengapa Tuan menyerang orang kami?” “Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya.” Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. “Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?” “Sama sekali bukan!” jawab Kun Liong. “Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang.” Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya me-mandang penuh perhatian, kemudian ber-kata, “Saya ingin sekali melihat kepan-daian Tuan. Marilah kita menguji kepan-daian masing-masing secara bersahabat.” “Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?” “Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa na-manya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!” Dan pemuda asing itu dengan penuh se-mangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pu-kulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam! “Aihh!” Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan gin--kang, kini ternyata memiliki tenaga sin--kang yang hebat pula! “Wut-wutt... siuuuttt!” Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut “terbang” dan kaki kiri menyusul tendangan kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai! Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong. “Dessss! Aughhhh!” Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir- balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi. “Ba-gus, kau hebat! Sambutlah!” Dia menye-rang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepan-daian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua ta-ngan dikembangkan, kadang-kadang dike-pal kadang-kadang dibuka seperti ceng-keraman. Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah. Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan kedua tangan terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sin-kang untuk menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi-i-beng, hanya sekedar membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya. “Ahhhh...!” Pemuda asing itu terkejut berusaha menarik kembali kedua tangan-nya, namun sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu. Kembali dia membetot dan saat itu dipergunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali, tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor. Dari tempat dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, “Saudara hebat sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?” Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri mengakui kekalahannya, Kun Liong menjadi tertarik dan senang hatinya. Dia pun membungkuk berkata, “Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong.” “Terima kasih, sampai jumpa lagi!” Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepatnya menuju ke utara! Kun Liong tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali membayangi Si Pemuda Asing, melainkan karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja memperlam-bat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebelah tikungan. Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang besar den megah. Agak aneh juga karena di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil. Agaknya datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya de-ngan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang “malaikat” mempunyai penjaga seekor naga! Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong lalu kembali ke rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika ia tiba kembali di kamar penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan supeknya dan dengan maksud ke-datangan mereka berdua di kota itu. “Setelah kau pergi, aku tadi pun pergi diam-diam mengunjungi beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan yang kuperoleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek--bin Thian-sin!” “Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula dalam urusan kejahatan,” Kun Liong berkata dan teringatlah dia kepada pemuda asing bemama Yuan de Gama tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya bukan dari golongan penjahat, dan ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan! Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah me-nutupkan daun pintu. “Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andaikata di sana tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara berterang menanyakan ke-padanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dia sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang.” Kun Liong mengangguk dan memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu. Dengan mudah saja kedua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu, kemudian dengan gerakan ri-ngan tanpa menimbulkan suara, memper-gunakan gin-kang untuk menyelinap men-dekati rumah, mengitari rumah itu ke-mudian menghampiri bagian belakang. Atas isyarat Keng Hong, mereka melom-pat ke atas genteng di baglan belakang tanpa menimbulkan suara, kemudian me-rayap ke bagian di mana tampak pene-rangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan hati-hati Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah. Ruangan itu lebar dan perabot-pera-botnya mewah. Di sepanjang dinding ter-dapat tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin dan lampu minyak dari perak yang ter-gantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari. Banyak lukisan-lukisan indah tergantung di din-ding dan di sana-sini terhias tirai sutera berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap, dan buatannya halus, sedang-kan kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat in-dah. Ada tujuh orang yang berada di ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan bangku-bangku yang agak berjauhan letaknya, mereka duduk berha-dapan merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak. Ketika Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua, kepalanya ba-gian atas botak pelontos seperti kepala-nya sendiri, bahkan lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, meng-kilap, rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi aneh-nya rambut yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya. Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana jadinya kalau kelak kepalanya yang gundul itu mau tumbuh rambut, yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan. Orang-orang asing ini begitu sama muka-nya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini mem-bayangkan kekejaman dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehi-jauan itu galak sekali. Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang dipakai Yuan de Gama tadi, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali. Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga bah-wa laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam. Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembe-sar yang berkuasa di Ceng-to, dan di sebelahnya yang berpakaian seperti se-orang panglima tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pan-tai sebelah timur, yang markasnya ber-ada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw! Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar perca-kapan mereka itu, berubah wajah pen-dekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan! “Kami hanya bermaksud membantu, karena Kaisar telah menolak untuk mengadakan perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di sini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menja-jah. Kami membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, sedangkan kami datang membawa da-gangan hasil bumi. Juga kami membutuh-kan rempa-rempa dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, untuk perjuangan sau-dara-saudara, kami akan membantu me-ngeluarkan biayanya, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini.” kata kakek asing botak dengan suara lancar. “Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado,” jawab orang yang berpakaian sebagai pembesar sipit. “Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, dan kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggauta Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka.” “Apa yang dikatakan Tung-taijin, be-nar,” kata panglima yang berpakaian komandan pasukan. “Selain pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya.” Jelas bahwa panglima ini merasa jerih. “Hemm, tentang itu, mengapa Ciang--kun (Panglima) merasa khawatir? Kami dari Pek-lian-pai mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami berhubungan juga dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal.” “Ha-ha-ha-ha!” Kakek asing yang di-sebut namanya Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil memandang ke atas sehingga perutnya yang gendut tergun-cang-guncang. “Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita, mengapa mesti takut? Kalau tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan dapat berha-sil? Bagaimana katamu, eh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?” Si Muka Hitam menyeringai. “Memang tak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga benar bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pomerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya me-mang berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya sudah bersemangat, kini kendur lagi semangatnya, menganggap perjuangan ini terlalu ber-bahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti.” “Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa takut? Kami sanggup menyedia-kan senjata-senjata api dan melatih pa-sukan kalian. Dengan senjata api, kiranya kita akan jauh lebih kuat. Kami memba-wa meriam-meriam di kapal, kalau perlu dapat kami datangkan lagi dari barat.” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Pemberontak-pemberontak hina!” Dan tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu. Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah seorang gadis muda yang cantik. Begitu masuk, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan menye-rang Tung-taijin sambil memaki, “Pembe-sar terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!” “Trang-trang...!” Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Agaknya dia terlalu memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya begitu saja. “Tosu pemberontak, robohlah!” Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh, tangan kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa. “Dukkk!” Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam dadanya dan dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di dalam dada-nya. “Cringgg...! Aihhh...!” Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek--bin Thian-sin sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai. Maklum bahwa pihak lawan amat lihai, dara itu sudah meloncat secepat burung walet terbang ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar. “Uiii..., hendak lari ke manakah, No-na?” Kakek asing berkepala botak ber-tanya, suaranya nyaring disusul suara “tar-tar-tar!” dan tampaklah sinar putih seperti ular menyambar ke arah jendela. Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menierit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Si Kakek memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang terdiri yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya berge-rak menyambar. “Plakkkk!” tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu ping-san, tak dapat bergerak lagi! “Ha-ha-ha, beginikah yang kaumaksud-kan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?” Legaspi Selado berkata sambil tertawa. “Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!” Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa dan menatap tubuh dara yang telentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Dara itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing me-narik hati. Sementara itu, Keng Hong berbisik, “Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka mengejarku, kautolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tung-gu aku di luar kota sebelah barat.” Kun Liong mengangguk dan sekali berkelebat, supeknya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, ti-dak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk meno-long dara cantik itu. Tak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin telah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayang-an dua orang melayang ke dalam ruangan itu. “Tar-tar-tar!” “Wuuuutttt...!” Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin berge-rak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat diba-yangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu ada-lah dua orang penjaga yang menjadi pe-ngawal Tung-taijin! Kembali ada dua orang melayang masuk. Sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan. “Keparat, siapa berani main gila di rumahku?” Hek-bin Thian-sin sudah me-layang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi dan puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek--lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri. Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu bahkan rumah itu seperti ikut terge-tar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supeknya yang me-nantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan. Maka dia lalu melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keada-an remang-remang maka mereka tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa kaget dan marahnya ketika bayangan yang me-layang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang menjadi tawanan. Me-reka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sin-kangnya sedangkan tangan kanan dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka, akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mujijat yang dapat merobohkan mercka tadi saja sudah membuktikan bahwa “hwesio” yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh untuk mereka. Betapapun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, me-reka meloncat lalu mengejar sambil ber-teriak. “Tahan penjahat yang melarikan tawanan!” Mereka semua berkumpul di atas gen-teng, bingung karena mereka kehilangan “penjahat” yang mengacau tadi! “Eh, ke mana perginya setan itu tadi?” Legaspi bertanya penuh penasaran. Dia mendengar juga lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang menge-luarkan suara itu memiliki khi-kang yang amat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bu-kan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi me-reka hanya melihat bayangan orang ber-kelebat dan lenyap! “Celaka, tawanan dilarikan orang...!” Teriakan dua orang tosu Pek-lian--pai ini makin mengejutkan mereka. “Sia-pa yang melarikan?” bentak Hek-bin Thian-sin penasaran. “Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwe-sio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan ta-ngannya.” Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lalu mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin, memaki-maki me-reka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota! Dengan waiah murung mereka kembali ke ruangan tadi dan menyuruh orang menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan. “Apa yang kukatakan tadi!” Bhong-ciangkun berkata, suaranya gemetar ka-rena dia merasa tidak enak sekali. “Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja sudah kacau kita!” Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. “Hemmm... kepandaian orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat, kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini...” “HARAP Saudara Legaspi jangan ber-pendapat demikian,” Hek-bin Thian--sin membantah. “Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini ba-nyak sekali terdapat orang sakti yang me-lebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang tidak dapat dilawan oleh ilmu yang ma-napun juga. Masih ada lagi yang hebat--hebat, seperti para pengawal Panglima Besar The Hoo, yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum sebera-pa hebat kalau dibandingkan dengan ke-saktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan...” “Hemmm... kalau tadi aku membawa senjata api, agaknya dia tidak akan mudah saja melarikan diri!” kata Hendrik dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya. Peristiwa malam itu di rumah Hek-bin Thian-sin membikin kecut hati kedua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu. Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supeknya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supeknya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu. “Supek!” katanya kagum. Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. “Tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kaularikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Ke-mudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan padanya agar jangan lancang lagi menyerbu gua harimau. Aku sendiri harus pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemu-dian, kalau ada waktu pergilah ke Cin--ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut.” Kun Liong tak dapat membantah biarpun dia masih ingin melakukan perja-lanan bersama supeknya yang sakti itu. “Baiklah, Supek.” Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supeknya tidak setuju dan melarangnya. Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong se-gera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melaku-kan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia me-masuki hutan yang besar. Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar. Dara itu masih pingsan dan dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biarpun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menye-limutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu. Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerah-an, apalagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Cahaya api unggun bermain--main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya. Setelah puas menjelajahi wajah itu de-ngan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang se-tengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jan-tungnya berdebar aneh. Mulut ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya begitu segar nampaknya, bagai-kan buah angco merah yang masak, men-datangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya! “Plakk!” Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. “Gila kau!” Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi. Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu? Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya. Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng ketika dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya. “Plakkk!” Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya. Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor! Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tidak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat. Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang di-cium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayah-nya, dan dia menjadi berduka, lalu me-rebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur! Malam telah terganti pagi. Kun Liong menggeliat dan menelungkup. Tiba-tiba dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di teng-kuk telah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah ke-matian, dan kini ada dua buah jari ta-ngan yang sudah menempel di tengkuknya dan terdengar bentakan, “Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!” Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Kiranya dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sin-kangnya menutup jalan darah di tengkuk. Akan teta-pi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya. “Eh, eh, kau mau apa?” tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersem-bunyi di antara kedua lengannya. “Hayo katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak- pemberontak itu, ya?” “Hi-hi-hik!” Kun Liong tertawa geli. “Eh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?” “Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tapi dengar dulu kata-kata-ku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!” Gadis itu marah sekali, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sin-kangnya. Kalau perlu, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi-i-beng! Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggap-nya hwesio itu maka dia mendesak, “Ja-ngan kurang ajar! Kekeliruan apa yang kulakukan?” “Pertama, aku bukan anggauta atau kawan para pemberontak itu, ke dua, akulah yang melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!” “Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?” Dara itu membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini dia pun teringat ketika melihat sepasang mata itu. “Engkau...? Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?” Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia. Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas. “Hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian.” Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. “Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu makin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!” Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Maafkan aku. Aku tadi salah sangka... ah, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Tai-hiap (Pendekar Besar)...!” Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat. “Kau ini mengangkat atau memembanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!” “Eihhh? Apa salahku?” “Kau menyebut aku tai-hiap segala macam. Kau mengejek, ya?” Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali! “Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biarpun kau pura-pura... eh, bodoh dan kepalamu kaucukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa menolongku kali ini dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?” Kun Liong merasa terdesak. “Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku tai-hiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!” Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa pemuda gundul ini hanya pura-pura marah tadi. Maka timbul juga kenakalannya. “Habis, aku harus menyebut situ apa?” “Kok situ? Situ mana?” Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! “Jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau.” “Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kaupun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?” “Hi-hik. Kau lucu!” Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi mengguna-kan tubuh telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali! “Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang...” “Sekarang apa?” “Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.” Dara itu mengerutkan alisnya. “Yap Kun Liong, kalau aku tidak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu.” “Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah mclupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kaubenci ini sampai tiga kali!” Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah sekali. “Kun Liong, mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ah, itu soal lalu, ka-rena aku merasa menyesal telah menya-kitkan hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku.” “Hemm, kalau sekarang? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!” “Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... eh, mengapa kau memandangku seperti itu?” “Tidak cukup dengan maaf! Kalau dulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku.” Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. “Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?” “Terserah kau mau menganggap bagai-mana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf kalau kau suka kucium. Dengar baik--baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan biarpun kau sedang pingsan ka-rena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu de-ngan menciummu, akan tetapi kalau kau suka, bukan paksaan!” Muka yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah, agaknya bingung bukan main. “Kalau... kalau aku tidak mau?” “Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaaf-kanmu dan akan selalu mengaggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!” “Kun Liong...” Suara itu seperti ber-mohon agar pemuda itu tidak mengang-gapnya demikian. “Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada-mu. Akan tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukan-nya?” “Bukan kau yang melakukan, melain-kan aku.” “Maksudku... eh, kau membikin bi-ngung aku. Aku... aku...” “Dengar, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara.” “Kau mendesak, seperti memaksa.” “Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Kalau kau tidak suka, katakan tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?” “Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!” “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!” “Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau se-tan...” “... gundul!” Kun Liong menyambung. Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu. “Nah, bagaimana?” Kun Liong teringat lagi dan bertanya. “Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali...” “Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!” Kun Liong memotong cepat. “Tiga kali?” Sepasang mata itu terbe-lalak, tangannya meraba-raba rambutnya. “Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak ke-ramas.” “Siapa mau mencium rambutmu?” Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga. Kun Liong terpaksa me-mejamkan matanya. Manis sekali wajah itu! “Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?” Kun Liong membuka matanya, tersenyum. “Siapa main gila. Aku main sung-guhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?” “Mau sih... mau, akan tetapi...” “Kalau sudah mau masih ada tetapi-nya, namanya bukan mau...” “Kau sih aneh! Dahulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak men-cium... apa?” “Hwi Sian, memang agak sukar mem-beri pengakuan. Pendeknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Kalau engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu ku-katakan mana yang akan kucium. Pokok-nya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau ti-dak?” Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepa-sang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu ter-senyum aneh! Lalu Hwi Sian mengang-gukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tu-buh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini! Kun Liong menjadi girang sekali. “Kau benar-benar mau?” Hwi Sian mengangguk. “Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?” Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya! Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ke-takutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri! “Hwi Sian, kau benar-benar mau?” Hwi Sian tidak berani menjawav karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan. Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya meng-angguk, kini dia benar-benar ingin di-cium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium! “Kalau mau...” Suara Kun Liong ma-kin gemetar seperti orang sakit demam. “Kalau mau, kaupejamkan matamu...” Mata itu malah terbelalak, ageknya heran, kemudian sepasang mata yang in-dah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mu-lutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka se-dikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong. Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian. “Satu kali...” bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut. Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika, melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong. Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya! Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat mena-han napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua le-ngan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya. “Eh... eh... kok menangis? Ada apa ini...?” Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan. “Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh...” Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air! “Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak. Senang atau susah?” “Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!” Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari. “Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?” “Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku...” Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat ber-diri. Dia memandang dengan alis berke-rut dan sikap sungguh-sungguh, “Hwi Sian, siapa bilang... eh, bagaimana eng-kau tahu bahwa aku cinta kepadamu?” Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut. “Tentu saja! Setelah apa yang kaulakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh, tidakkah begitu?” Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian.” “Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seper-ti itu...”

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger