naruto

naruto

Sabtu, 01 Desember 2012

pdk kayu harum 396 - 400

Episode 396 Kini semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan fitnahan untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata kini ketua mereka telah mengaku! Biarpun wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali ketika ia memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair pelajaran Agama Buddha, "Tidak di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam gua-gua atau di puncak gunung-gunung tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!" Cong San menjadi terharu sekali. Dialah satu-satunya orang diantara semua anggauta Siauw-lim-pai yang telah tahu akan berbuatan gurunya yang di waktu mudanya berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya dia memaafkan suhunya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia berkata, "Maaf, Suheng....." katanya sambil memandang Thian Kek Hwesio, "bolehkan saya membela Suhu?" Thian Kek Hwesio mengangguk. "Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling adil dan tepat. Silahkan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan mengenai urusan ini." *** "Tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga mempunyai cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan, sebelum sadar. Biarpun sebagai seorang anggauta Siauw-lim-pai saya tidak menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi, Tiada api sepanas nafsu tiada jerat sebahaya kebencian tiada perangkap selicin kedangkalan pikiran tiada arus sederas keinginan hati. Kesalahan orang lain sudah dilihat kesalahan diri sendiri sukar dirasai meniup-niupkan kesalahan orang lain seperti menapi dedak seperti seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannyayang sial dari pemain lain." Semua orang yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu mengeluarkan ayat-ayat pelajaran untuk membela suhunya. Cong San melanjutkan kata-katanya penuh semangat, "Agama kita mengajarkan orang memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita dengan kesadaran dan pengertian bahwa biarpun Suhu telah mengakui perbuatannya yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu daripada Siauw-lim-pai, melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan." Suasana menjadi makin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang takkan mudah digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakan oleh tiupan angin taufan, kembali berkata, "Pembelaan Yap Cong San sudah kami dengar dan kami terima. Sekarang kami persilahkan fihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat dan sanggahannya terhadap pembelaan itu." Thian Lee Hwesio berbisik-bisik dengan para sutenya, kemudian dia menghadap sidang dan berkata, "Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong san sebagai pembela tak dapat kami sangkal kebenarannya. Sejak semula memang telah pinceng kemukakan bahwa para anggauta Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan dengan dasar membenci, melainkan semata-mata untuk melindungi kehormatan dan nama Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang...... harap Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?" Sekali ini bebar-benar semua orang menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu.......benar! Cong San dapat menerima dan arus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini Tiong Pek Hosiang yang berkata, "Omitohud..... semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang menimpa lain orang, kecuali hamba sendiri!" Dia memejamkan mata sejenak, kemudiam membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu berkata, "Pinceng sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat daripada perbuatan pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini. Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap Con San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali karena pinceng berat sebelah dan pilih kasih, melainkan demi keadilan pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng. Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang ." Kini semua orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya kepada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya amat berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata, mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata, Episode 397 "Setelah mendengar semua pendapat yang dikemukakan oleh fihak penuntut, fihak tertuntut dan fihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama, kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua fihak yang bersangkutan! Tiong Pek Hosiang telah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi anggauta, apalagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Untuk pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu bahwa biarpun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi akibatnya akan mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan anak murid Siauw-lim-pai lagi. Selanjutnya harap Yap Cong San tidak membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya." Sunyi senyap setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggauta Siauw-lim-pai menundukan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga menjadi guru besar mereka. "Suhu......!" Kesunyian dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya dan berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan. Tiong Pek Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa pelajaran Buddha, "Dunia ini bagaikan sebuah gelembung sabun! dunia ini bagaikan sebuah khayalan! dia yang memandang dunia sedemikian takkan bertemu lagi dengan raja kematian! Pandanglah dunia ini sebagai sebuah kereta kendaraan raja yang bercat indah si dungu terpikat oleh keindahannya tapi orang bijaksana takkan terpikat olehnya. Dia yang tadinya lengah dan tak sadar kemudian menjadi sadar dan rendah hati akan menerangi dunia seperti bulan yang terbebas dari gumpalan awan." "Suhu, betapa hati teecu tidak akan berduka dan menyesal? Suhu telah melakukan banyak perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang....." "Hushhhhh..... Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Mengapa disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, jika diuntungkan, kita senang. "Bukankah itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran karena kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi daripada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andaikata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, mengapa engkau tidak memilih? Susah menimbulkan tangis, senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis? hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting daripada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanyalah PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat daripada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri." kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggauta Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. gadis ini di dalam hatinya melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia. "Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilahkan kepada para tokohnya untuk mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggauta yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Adapun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersamadhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang." "Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," kata Thian Kek Hwesio. "Karena, biarpun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai." Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu. "Cong San, Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahwa Siauw-lim-pai tetap akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik!" Episode 398 Biarpun Cong San sudah menerima wejangan suhunya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga menangis sesenggukan. Mereka merdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang. "Suhu, teecu mohon diri......." Cong San berkata terisak. Ting Pek Hosiang tersenyum dan menggerakan tangan. "Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu." biarpun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang sudah waspada itu melihat awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka. "Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan terang. "Selamat jalan,Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, terganti oleh hubungan persahabatan! Cong San lalu keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya. "Koko, harap kau jangan besedih lagi. Kalau kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhumu yang bijaksana. Peristiwa itu telah lalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa, tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!" Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deratan gigi yang seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca biarpun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghiburnya, berusaha mengusir kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol dia merangkul isterinya dan merintih, "Yan Cu, isteriku.....!!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan. "Koko..... hu-hu-huuuukkk...... jangan menangis, Koko.... suamiku......" "Yan Cu....... ahhh, Moi-moi......." Mereka berpelukan dan bertangisan.Setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, legalah hati Cong San dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar! "Kita berbahagia...... tangis kita tangis bahagia.....!" bisik Cong San. Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di depan mereka terbentang jalan lebar, menuju kebahagiaan. "Suamiku, sekarang kita ke manakah?" yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra. Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kaumaafkanlah aku. Karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm...... sekali waktu aku harus membasminya!" Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya dan dengan manja ia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?" *** Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya. "Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan itu. Di situlah aku dahulu seringkali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dahulu seringkali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, bermimpi tidur bersendau-gurau dengan bidadari. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan dan engkaulah bidadarinya, isteriku." "Ihhh.....!" Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan? Bagaimana kalau ada orang melihat kita?" "Tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tidak ada yang berani datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana, kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Daripada kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor, bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan bertemu dengan manusia lain?" Yan Cu tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke manapun kau pergi aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kaubawa ke...... neraka sekalipun!" "Husshhhh! Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang menderita." Sambil bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih. Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang jernih sekali sampai tampak dasarnya, tampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak sepeti permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diseling kicau burung di pohon-pohon. Benar-benar merupakan sorga kecil. Episode 399 Mereka bersendau-gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggeleng kepala dengan muka merah. "Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!" "Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu kepada siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, kalau kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya. Melihat dada suaminya bertelanjang, makin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan. "Eh, mengapa masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya. Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. Aku tidak mandi.....!" "Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!" Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit. Aduhhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, berbau harum keringatmu seperti bunga setaman...... nah, hayolah!" "Aku akan mandi dengan berpakaian!" "Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Eh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau sungkan dan malu?" "Tidak.....! Tidak mau.....!" "Kupaksa!" Sambil tertawa Yan Cu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga! Mereka berenang, bersendau-gurau, bergelut dalam air, bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang-kadang hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat. Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri terkejut ketakutan menyaksikan dua makhul besar itu berdekapan, berciuman agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina! Sungguh bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan penuh yang hanya dapat dirasa dan dinikmati sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua mahluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan. Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasai oleh laki-laki dan wanita yang telah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini yang melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. karena, biarpun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tidak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu. Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tidak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan oleh ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya. Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua. Yan Cu menggerang lirih penuh kelegaan hati menggerakan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya terasa oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah ia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika ia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia. "Koko......!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya. Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Ia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, Akan tetapi suaminya tidak ada di situ. Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Kini Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada. Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat ia meloncat bangun, menyambar dan mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu! "Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia. Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan sendau-gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu. Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa kedua lengan yang kuat dari suaminya memondongnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam kasur yang seperti permadani, mengalahkan segala kasur yang paling mewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut. Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudia ia bercermin di air telaga yang jernih. Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan kedua telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah. *** Episode 400 Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya. Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia telah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih? Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan bicara nanti jika suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan bicara banyak, betapa tanpa kata-kata, pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, ketegangan dan rasa malu. Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menanti penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu? Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandang matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot. "Ah, Yap-sicu...... seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata terheran-heran. "Aku ingin bertemu dengan suhu!" Hwesio itu merangkap kedua tangan depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si......" "Persetan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hoasing! Ada keperluan yang amat penting sekali!" "Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersamadhi, beliau telah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu." "Aku tidak akan menggangunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San melangkah maju akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran. "Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!" Cong San mengerutkan keningnya. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu.......eh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan kalau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!" Tiba-tiba terdengar suara yang karena dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?" Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kerena dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut. "Suheng....... ah, maaf......... Losuhu...... mohon perkenan agar teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang....., penting sekali......... mohon perkenan sekali ini saja." Sejenak sepasang mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, kemudian dia menggerakan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam." Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat lain hwesio. Setelah dipersilahkan duduk, hwesio tua itu bertanya, "Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?" "Suheng...... ah, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasihatnya......... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu......." "Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa si sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak bisa diganggu karena andaikata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun amat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?" "Tapi....... tapi......" "Yap-sicu. Engkau adalah seorang muda yang gagah perkasa dan telah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah. Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apalagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini berbahaya sekali. Sicu dan dapat menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng perihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran karena Sicu adalah..... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan." Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apalagi mendengar bahwa gurunya bersamadhi sampai datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan dunia yang hanya menyangkut kepentingan pribadi? "Tapi...... urusan ini...... tidak boleh diketahui oleh siapapun....... maka teecu lari ke......suhu...... ahhhh......" Dia menjadi bingung dan menundukan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger