naruto

naruto

Senin, 26 November 2012

pendekar kayu harum81

Episode 81 Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia sudah membantu dan dia tidak boleh kepalang tanggung membantu nona ini. "Lopek, kami tidak takut menghadapi ancaman mereka. Biarkan mereka datang, akan kami hajar mereka semua! Saat ini kami perlu untuk merawat adik yang terluka ini. Siapakah di antara Cu-wi (Tuan sekalian) yang sudi menolong kami, meminjamkan tempat istirahat dan berobat?" Akan tetapi, sekian banyaknya pasang mata hanya memandangnya dengan terbelalak, penuh kekhawatiran dan tak seorang pun menawarkan tempatnya. Kakek itu cepat berkata. "Enghiong (Orang gagah) harap dapat memaklumi keadaan kami. Mereka itu adalah kawanan buaya darat yang tinggal di dusun tak jauh dari sini. Kalau mereka mendengar ada seorang di antara kami berani membantu Sam-wi, tentu yang membantu itu akan celaka.....!" "Pengecut!" Tiba-tiba Sim Lai Sek yang terluka pundaknya itu berseru marah. "Apakah dikira kami tidak akan membela dia yang menolong kami? Dan kami bersedia membayar sewa kamar dan harga obat!" Keng Hong hanya tersenyum dan maklum akan rasa penasaran pemuda remaja itu, yang ternyata tampan seperti cicinya, sepasang matanya lebar dan mukanya membayangkan keberanian. "Maaf, Siauw-enghiong. Kami percaya akan kegagahan Sam-wi, akan tetapi maukah Sam-wi selamanya tinggal di dusun ini?" "Apa....??" Kini gadis cantik itu yang bertanya, matanya terbelalak heran dan Keng Hong terpaksa harus mengalihkan pandangnya karena mata itu amat indahnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akan melongo menikmati keindahan itu. "Nona, dan Siauw-te, harap Ji-wi memaklumi kekhawatiran mereka ini. Lopek ini benar. Memang, selama kita masih berada di sini, penjahat-penjahat itu tidak berani datang mengganggu. Akan tetapi tidak mungkin kita tinggal selamanya di sini dan kalau kita sudah pergi lalu mereka datang mengamuk, membalas dendam kepada penduduk dusun ini, bukankah sama saja artinya dengan kita yang mencelakakan penduduk di sini?" Enci dan adik itu tercengang dan mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu apa gunanya ada penjaga keamanan? Apa gunanya ada pembesar setempat? Bukankah di sini ada kepala dusun wakil pemerintah?" Sim Lai Sek masih mencoba untu k menyatakan rasa penasarannya. Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Siauw-enghiong, hal begini saja masa Eng-hiong masih belum tahu? Semenjak saya masih kanak-kanak ampai sekarang sudah kakek-kakek, mana ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat jelata? Memang selalu ada penjaga keamanan, ada pembesar setempat, akan tetapi kenyataan pahit yang menyedihkan namun tak dapat disangkal adalah bahwa penjaga keamanan di sini hanya namanya saja penjaga keamanan, namun pada kenyataanya adalah pengacau keamanan. Mereka hanya menjadi pelindung-pelindung bayaran, dan mempergunakan kekuasaan untuk kesenangan sendiri. Adapun pembesar hanya namanya saja besar, akan tetapi, jiwanya kecil dan lalim. Sudahlah, harap Sam-wi memaklumi keadaan kami rayat kecil yang melarat dan tidak menambah beban kami yang sudah berat." "Mari kita keluar dari dusun ini, biarlah saya mencarikan tempat istirahat untu kJi-wi," kata Keng Hong dan tanpa menanti lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh Sim Lai Sek yang terluka. pemuda remaja ini sudah amat lemah, bukan hanya oleh lukanya di pundak yang mematahkan tulangnya , namun juga karena lemas kehilangan banyak darah. "Di luar dusun, dalam hutan sebelah barat terdapat sebuah kuil yang kosong. Kiranya Sam-wi dapat beristirahat di sana. Sam-wi dapat membawa bekal obat dan bahan makanan," kata pula si kakek yang sesungguhnya menaruh rasa kagum dan simpati kepada tiga orang muda yang telah berani menentang para buaya darat yang semenjak dahulu merupakan gangguan di dusun itu. Setelah Ciang Bi, gadis itu, membeli obat-obat dan bahan makanan, brangkatlah mereka bertiga kelura dari dusun memasuki hutan sebelah barat dan benar saja, di tengah hutan itu mereka menemukan sebuah kuil tua yang kosong, akan tetapi lumayan untuk tempat berteduh dan mengaso. Keng Hong lalu merebahkan tubuh Lai Sek di atas lantai yang telah di bersihkan oleh Ciang Bi. Kemudian dia membantu gadis itu menggodok obat dan merawat Lai Sek. Setelah pemuda remaja minum obat, makan bubur dan tertidur nyenyak, Ciang Bi dan Keng Hong duduk di ruang luar kuil, di atas batu-batu halus yang agaknya dahulu dipakai untuk bersamadhi para pendeta peenghuni kuil. Sampai lama mereka berdiam diri dan setiap kali mereka bertemu pandang, gadis itu menundukan mukanya dan bibir yang merah dan segar selalu itu tersenyum malu-malu. "Taihiap...." "Ah, jangan menyebut aku taihiap, Nona. Aku seorang biasa saja yang kebetulan dapat membantumu. Namaku Keng Hong, Cia Keng Hong." "Tapi..... kepandaianmu sunggguh amat luar biasa, Taihiap. Sungguh membuat hatiku kagum." "Kepandaianmu bermain pedang pun hebat, Nona. Tidak bisa aku yang bodoh dibandingkan denganmu. Engkau masih muda sudah amat pandai bermain pedang, gerakanmu cekatan dan ringan, permainan pedangmu indah sekali seperti seorang bidadari menari dan kau...... kau cantik jelita sekali, Nona." Gadis itu cepat menengokdan menatap wajah Keng Hong. Akan tetapi ia tidak melihat pandang mata kurang ajar, hanya melihat sinar kekaguman yang jujur terpancar keluar dari sepasang mata yang tajam itu sehingga ia tidak jadi marah, bahkan lalu menunduk dengan muka merah, bibirnya tersenyum, matanya mengerling dan jantungnya berdenyut, penuh kegembiraan. Wanita manakah di dunia ini yang takan menjadi dak-dik-duk hatinya kalau menerima pujian-pujian yang begitu jujur dari seorang pemuda yang amat gagah perkasa dan tampan pula? Episode 82 Sejenak mereka diam tak berkata-kata. Keadaan ini tidak mengganggu Keng Hong yang menikmati pemandangan indah di depannya, rambut yang hitam mulus dan halus panjang terurai itu, wajah yang cantik sekali sepasang mata seperti mata burung hong, hidung kecil mancung yang cupingnya dapat bergerak-gerak sedikit di waktu merasa malu dan merah, mulut yang indah bentuknya dengan sepasang bibir yang seolah-olah dicat merah, merah semringah dan lalu segar, sepasang pipinya kemerahan seperti buah tomat setengah matang, dagu kecil meruncing yang kalau digerakan menimbulkan lesung pipit di atasnya. Tubuh yang ramping padat dan biarpun kini tertutup jubah Keng Hong yang terlalu besar, masih tak dapat menyembunyikan bentuknya yang menggairahkan. Biarpun mereka tak berkata-kata, Keng Hong tidak merasa kesepian. Akan tetapi gadis yang maklum betapa sepasang mata orang yang dikaguminya itu memandangnya penuh kekaguman, menjadi tak tenang dan akhirnya ia berkata lirih. "Ciap-taihiap, betapa aku akan dapat membalas budimu yang amat besar? Biarlah aku dan adikku akan selalu berdoa untuk kebahagianmu....." "Ihhh, Nona, mengapa begini sungkan? lupakan saja apa yang telah kulakukan semua karena itu tak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban seorang manusia yang haru membantu manusia lain yang sedang tertimpa kemalangan." "Engkau gagah dan bijaksana, taihiap...." Gadis itu memandang dan sejenak pandang mata mereka saling melekat. Keng Hong dapat menangkap sinar kemesraan memancar dari pandang mata di balik bulu mata lentik itu, akan tetapi hanya sebentar karena gadis itu sudah cepat-cepat menundukan mukanya kembali. Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebelah dalam kuil. Keduanya cepat melesat ke dalam kuil seperti berlumba, dan berbareng mereka memasuki ruangan di mana tadi Lai Sek rebah dan tidur. Kini pemuda remaja itu sudah bangun, akan tetapi masih rebah dan kelihatan gelisah sekali, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan marah seperti orang sedang berkelahi, kaki tangannya bergerak-gerak tapi matanya meram. Keng Hong menarik napas lega. Kiranya pemuda itu hanya mengigau saja. "Dia diserang demam!" Seru Ciang Bi khawatir ketika meraba leher adiknya itu. Keng Hong meraba dahi pemuda itu dan ternyata pemuda itu diserang demam panas. "Biar kucari obat di dusun itu untuk melawan demamnya," kata Keng Hong dan tanpa menanti jawaban dia sudah berkelebat lari menuju ke dusun itu. Pemilik toko obat dengan senang hati memberikan obat penolak demam yang disebabkan luka, dan pemuda ini cepat kembali lagi kedalam hutan . Dapat dibayangkan betapa marah hatinya ketika melihat bahwa di depan kuil itu telah penuh dengan orang-orang yang dia kenal adalah orang-orang yang tadi mengeroyok enci dan adik itu. Jumlah mereka kini tidak kurang dari tiga puluh orang dan paling depan berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka mereh yang membawa golok besar. Laki-laki tinggi ini sedang bicara dengan Ciang Bi, menuding-nudingkan goloknya ke arah gadis itu yang bersikap tenang dengan pedang di tangan, siap untuk melayani pengeroyokan. Keng Hong mempercepat larinya dan dengan gerakan indah dia meloncati kepala mereka yang mengurung, langsung turun di dekat Ciang Bi. Gadis ini berseri wajahnya melihat datangnya penolongnya. Keng Hong tidak mempedulikan si tinggi besar , bahkan memberikan bungkusan obat kepada gadis itu sambil berkata, "Nona, kauserahkan tikus-tikus ini kepadaku. Lekas masak obat ini dan minumkan kepada adikmu." Gadis itu meragu, menyapu para penjahat itu dengan matanya. Agaknya ia merasa berat meninggalkan pemuda penolongnya itu seorang diri saja menghadapi sekian banyaknya penjahat, apalagi yang kini dipimpin oleh kepala mereka yang kelihatannya kuat dan lihai. "Akan tetapi......" "Jangan membantah, lebih baik lekas tolong adikmu. Aku sanggup melayani mereka ....." "Taihiap, pakailah pedangku......." "Terima kasih. Tidak usah. Menghadapi segala macam tikus busuk, perlu apa menggunakan pedang?" Sejenak gadis itu memandangnya, memandang dengan sinar mata mesra seperti tadi, akan tetapi kini lebih lama lebih jelas sehingga Keng Hong-lah yang lebih dulu menundukan muka karena tak tahan menghadapi pemandangan yang mengguncang perasaannya ini. Gadis itu lalu berlari masuk membawa obat dan pedangnya, sedangkan Keng Hong lalu menghadapi kepala penjahat sambil berkata. "Kalian ini mau apakah? Puluhan orang laki-laki tinggi besar mendesak dan menggangu seorang gadis muda dan adiknya yang sedang sakit, sungguh perbuatan yang amat gagah!" Kepala penjahat itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat dan goloknya amat besar dan kuat, sikapnya menyeramkan. Mukanya merah seperti wajah kwan Hong pahlawan di jaman Sam-kok, dengan kumis dan jenggotnya hitam lebat, sepasang matanya yang lebar itu kemerahan. Dengan gerakan goloknya dia menudingkan ke arah Keng Hong dan suaranya serak ketika bertanya kepada anak buahnya. "Inilah pemuda usilan itu?" "Benar dia, Twako!" kata seorang di antara mereka yang tadi dihajar Keng Hong. Kepala penjahat itu kembali memandang Keng Hong penuh perhatian, seolah-olah tidak dapat percaya bahwa pemuda itu usianya paling banyak sembilan belas tahun ini mampu merobohkan dua belas orangnya! "Siapa namamu?" bentaknya, sikapnya sombong dan memandang rendah. Episode 83 "Namaku Cia Keng Hong." "Kamu orang Hoa-san-pai juga?" Pertanyaan ini menyadarkan Keng Hong bahwa enci dan adik itu tentulah murid Hoa-san-pai. Pantas saja ilmu pedangnya demikian indah. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Aku bukan dari partai mana-mana, aku seorang yang kebetulan lewat dan tidak tahan melihat belasan laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang wanita. Mengapa kalian tidak insyaf akan perbuatan pengecut dan memalukan itu, bahkan kini datang lagi mengganggu? Lebih baik kalian sadar dan pergi saja, karena perbuatan kalian ini hanya akan membuat kalian tercela dan ditertawai orang gagah sedunia." "Bocah sombong! Bocah usilan! Kami mempunyai urusan sendiri dengan orang Hoa-san-pai, ada sangkut pautnya apa denganmu? Engkau sudah bosan hidup!" Kepala penjahat itu sudah menerjang dengan goloknya dan terdengar suara mendesing ketika golok itu menyambar ke arah kepala Keng Hong. Pemuda ini belum sempurna mempelajari ilmu silat dan yang sudah dipelajarinya hanyalah delapan jurus ilmu serangan dan ilmu pedang yang belum matang, maka dia kaget dan cepat meloncat mundur. Loncatannya ringan dan cepat sekali, namun gerakanya mengelak kaku. Hal ini dilihat oleh kepala penjahat yang ilmu silatnya lumayan juga, maka sambil berseru keras dia maju lagi menubruk sambil membacokan goloknya. Namun sekali ini Keng Hong yang maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, sudah mendahuluinya dengan pukulan atau dorongan kedua tanganya ke depan. Ia menggunakan telapak tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang. Terdengar penjahat tinggi besar itu menjerit dan roboh terjengkang, muntahkan darah segar, matanya mendelik dan nyawanya melayang di saat itu juga! Melihat robohnya pemimpin mereka, orang-orang kasar itu menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak memaki mereka sudah menerjang maju, mengeroyok Keng Hong dengan senjata mereka,. Keng Hong yang belum banyak pengalamannya dalam pertempuran, apa lagi kalau dikeroyok tiga puluh orang yang memegang senjata tajam, menjadi bingung sekali. Akan tetapi untung baginya bahwa gemblengan mendiang gurunya ditekankan kepada sinkang dan ginkang sehingga tubuhnya yang mengelak dan meloncat ke sana-sini itu jauh lebih cepat daripada gerakan para pengeroyoknya sehingga mereka menjadi bingung karena bagi mereka, tubuh pemuda itu seperti lenyap dan berkelebatan seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi sesosok bayangan yang sukar diserang. Melihat betapa dengan mudah dan leluasa dia dapat bergerak di antara pengeroyoknya yang menurut pandangannya bergerak sangat lambat itu, timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Baru sekarang dia mengerti mengapa suhunya dahulu menekankan latihan sinkang dan ginkang. Kiranya, waktu yang amat pendek ketika dia belajar dahulu telah diisi dengan dasar daripada syarat utama dalam ilmu silat, yaitu kecepatan gerakan dan kekuatan dalam. Kini, setelah dengan mudah dia dapat menghindarkan semua serangan mengandalkan kecepatan gerakannya, dia mulai balas menyerang dan betapa mudahnya merobohkan mereka itu. Dengan satu kali tamparan, atau tendangan saja dia mampu merobohkan seorang pengeroyok. Keng Hong mengamuk, dan biarpun di pandang oleh mata orang lain dia dikeroyok dan dikepung, namun kenyataannya, seorang demi seorang dari para pengeroyoknya dapat dia robohkan dan makin lama pengeroyokan itu menjadi makin kacau. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok yang sudah kehilangan tujuh orang teman dirobohkan Keng Hong. Para pengeroyok yang berada di sebelah luar berjatuhan dan dalam sekejap mata saja ada lima orang roboh! Keng Hong melirik dan pandang matanya yang tajam hanya dapat melihat sinar putih berkelebatan, maka maklumlah dia bahwa ada orang membantunya dengan menggunakan senjata rahasia untuk merobohkan para pengeroyok. Ia menjai gembira dan kembali dua orang dapat dia robohkan dengan tamparan kedua tangannya. Para pengeroyok menjadi makin panik dan akhirnya mereka itu melarikan diri pontang-panting, meninggalkan teman-teman yang tewas atau terluka. "Sahabat baik yang telah membantuku, harap suka keluar!" Keng Hong berteriak memanggil setelah semua pengeroyoknya pergi. Namun tidak ada jawaban, juga tidak tampak gerakan di balik pohon-pohon. Keadaan sunyi, kecuali suara merintih yang keluar dari mulut mereka yang terluka. "Dia telah pergi, In-kong......" Keng Hong membalikan tubuhnya, melihat bahwa Ciang Bi telah berdiri di pintu kuil dengan pandang mata penuh kagum dan bersyukur kepadanya. Gadis itu kini menyebutnya "in-kong" (tuan penolong). "Dia siapa, Nona?" "Entahlah, akan tetapi aku melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berpakaian putih di balik pohon sana. Dia membantumu dengan cara bersembunyi, tentu kini telah pergi. Tentu In-kong mengenal dia." Berdebar jantung Keng Hong. Gadis baju putih yang lihai? Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng? Ia menghampiri lima orang pengeroyok yang tadi roboh dan melihat bahwa mereka ini telah tewas, pelipis mereka remuk oleh bola-bola putih berduri yang dia kenal sebagai senjata rahasia Biauw Eng! Ah, kembali gadis itu telah menolongnya. Akan tetapi mengapa menolong sambil bersembunyi? Mengapa tidak menemuinya? "In-kong tentu mengenal gadis yang lihai itu, bukan?" Keng Hong mengangguk, kemudian bertanya, "bagaimana dengan adikmu?" Gadis itu memandang penuh terima kasih. "Berkat pertolonganmu, adiku telah turun panasnya. Berkat pertolonganmu, kami kakak beradik masih dapat bernapas sampai saat ini. Tidak tahu bagaimana kami akan dapat membalas budimu yang besar." Tiba-tiba gadis itu menjatuhkan diri berlutut. Sekali meloncat, Keng Hong sudah tiba di depan gadis itu, memegang pundaknya dan mengangkatnya bangun. Darahnya berdesir ketika dia menyentuh kedua pundak itu. Dari luar baju dia dapat merasakan halusnya kulit pundak itu. Cepat dia melepaskan kedua tangannya setelah Ciang Bi bangkit berdiri. Sejenak mereka berpandangan dan dari sepasang mata yang indah itu bersinar kemesaraan yang membuat bulu tengkuk Keng Hong berdiri dan jantungnya berdebar-keras. Episode 84 "Jangan memberi penghormatan secara berlebihan, Nona. Sudah kukatakan bahwa semua yang kulakukan bukanlah pertolongan melainkan kewajiban. Sekarang kita harus cepat pergi dari sini.Tempat ini amat tidak baik dan tidak enak untuk tinggal di sini." Ia memandang ke arah mayat-mayat dan orang-oran terluka. "Mari kita mencari tempat lain untuk merawat adikmu sampai sembuh." Ciang Bi mengangguk dan Keng Hong lalu memasuki kuil. Sim Lai Sek, pemuda remaja berusia enam belas tahun itu, sudah turun demamnya dan hanya masih lemah. Ia tersenyum dan hanya masih lemah. Ia tersenyum dan wajahnya yang pucat itu menyinarkan kekaguman ketika dia memandang Keng Hong. "Engkau hebat dan baik sekali......., Taihiap....." katanya lemah. Keng Hong tak menjawab, hanya membungkuk dan memondongnya sambil berkata. "Kita harus pergi dan mencari tempat lain." Pemuda itu kelihatan sungkan. "Aku dapat berjalan sendiri, Taihiap." "Engkau masih lemah dan kita perlu melakukan perjalanan cepat pergi dari tempat ini," kata Keng Hong yang segera lari dari kuil itu, diikuti oleh Ciang Bi. Mereka berlari terus keluar dari hutan itu tanpa bercakap-cakap. Ciang Bi selalu tersenyum dan kaadng-kadang melontarkan kerling penuh kagum dan bersyukur ke arah pemuda yang memondong adiknya. Keng Hong berlari sambil melamun karena pikirannya penuh dengan bayangan Biauw Eng yang dia anggap aneh sekali, menolongnya secara sembunyi-sembunyi dan tidak mau menemuinya. Karena malam tiba, akhirnya mereka terpaksa menghentikan perjalanan. Untung mereka mendapatkan sawah ladang yang luas dan di situ terdapat beberpa buah gubuk kecil, tempat para petani berteduh dan menjaga sawah. Sunyi senyap di tempat itu dan langit amat cerah, biarpun tidak ada bulan malam itu, namun bintang-bintang memenuhi angkasa dan tidak ada bayangan pohon yang menggelapkan tempat itu. Keng Hong merebahkan tubuh Lai Sek dalam sebuah gubuk, kemudian dia pergi untuk mencari bahan makanan untuk mereka, adapun Ciang Bi menjaga adiknya yang masih amat lemah. "Cici, dia baik sekali....." kata pemuda remaja itu kepada kakaknya setelah bayangan Keng Hong lenyap ditelan cuaca yang suram. Gadis itu mengangguk, termenung sampai lama kemudian terdengar bisikan adiknya. "Dia lihai sekali. Murid siapakah dia, Cici? Dari golongan mana?" Gadis itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Seluruh perasaannya terselimut bayangan Keng Hong, rongga dada dan kepalanya penuh oleh pemuda penolongnya yang amat menarik hatinya itu. "Aku tidak tahu......, kami belum sampai bicara tentang itu....." "Eh, mengapa begitu, Cici? kita telah ditolongnya, dibebaskannya dari ancaman maut sampai dua kali, bahkan dia terus menjaga dan merawatku. Kita harus tahu siapa dia, bagamana keadaannya dan dari golongan mana. Betapapun juga, budi sebesar ini harus kita balas kelak. Bahkan kita harus melaporkan kepada suhu agar Hoa-san-pai kelak dapat membalas budinya." "Sudahlah, kau mengaso Lai Sek. Kulihat dia itu tidak begitu suka untuk diingatkan akan budinya." "Tetapi..... kau harus bertanya tentang gurunya, partainya......" Gadis itu menutup mulut adiknya dengan telapak tangannya yang halus. "Akan kulakukan itu, sekarang minumlah obat ini lebih dulu." Ciang Bi telah membuat api unggun dan memanaskan obat dalam tempat obat dari tanah yang tadi dibawanya, obat dan tempatnya yang didapat oleh Keng Hong sebelum para penjahat tadi datang menyerbu. Lai Sek terpaksa minum obat yang pahit itu dan rasa pahit melenyapkan nafsu bicaranya dan dia mulai memejamkan matanya. Tubuhnya masih letih sehingga sebentar saja dia tertidur pulas. Keng Hong datang membawa beberapa buah bakpauw panas dan seguci besar terisi air the yang dibelinya dari dusun tak jauh dari sawah itu. Ia menawarkannya kepada Ciang Bi dan mereka lalu makan minum tanpa bicara, menyisihkan bagian Lai Sek agar dapat dimakan pemuda itu kalau sudah bangun. Kemudian keduanya duduk dekat api unggun. "Syukur kalau adikmu telah sembuh, Nona," Keng Hong berkata untuk memecahkan kesunyian yang mencekam sambil memandang wajah jelita itu yang disinari cahaya api unggun kemerahan. "Berkat pertolonganmu, In-kong." "Harap kau jangan menyebutku In-kong atau taihiap. Namaku Cia Keng Hong dan sebut saja kakak kepadaku karena tentu aku lebih tua darimu. Usiaku sudah hampir sembilan belas tahun." "Kau juga harap jangan menyebut nona. Namaku Sim Ciang Bi dan usiaku delapan belas tahun, Twako." Keng Hong tersenyum. "Baiklah, Bimoi (adik Bi). Dan jangan menyebut-nyebut lagi tentang pertolongan, kau membuat aku menjadi malu saja." "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Twako. Engkau telah menolongnya kami enci dan adik, bolehkah aku mengetahui, dari perguruan manakah engkau? Ilmu kepandaianmu hebat sekali." Gadis itu memandang kagum, kekaguman yang setulusnya dan yang terbayang sepenuhnya pada pandang mata yang tajam itu, pada wajah yang jelita itu. Keng Hong menarik napas panjang. Ia kini sudah cukup kenyang dalam pengalaman pahit apabila orang mengetahui akan dirinya, mengetahui bahwa dia adalah murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan terutama sekali, mengetahui bahwa dia pewaris pedang Siang-bhok-kiam yang oleh seluruh orang kang-ouw diperebutkan karena mereka itu mengira bahwa pedang itulah kunci tempat penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya. Karena itu, kini mendengar pernyataan gadis jelita ini, dia enggan untuk memperkenalkan perguruannya. Episode 85 "Ah, aku bukan dari perguruan mana-mana, Bi-moi dan sebaiknya aku tidak membawa nama guruku yang sudah meninggal dunia. Riwayatku tidak menarik, aku seorang sebatangkara, rumah pun tidak punya. Lebih baik mendengar riwayatmu, Bi-moi, kalau kau tidak berkeberatan. Mengapa engkau dan adikmu bermusuhan dengan mereka itu? Di mana tempat tinggalmu dan hendak ke mana kalian pergi?" "Twako, engkau terlalu merendahkan diri. Seoran dengan kepandaian seperti engkau ini tentu datang dari perguruan yang tinggi dan ternama, atau setidaknya tentu murid seorang yang amat sakati. Akan tetapi kalau engkau hendak merahasiakannya, aku pun tidak berani memaksa. Tentang aku..... ah, aku dan adikku hanya murid-murid kecil dari Hoa-san-pai." Keng Hong teringat akan dua orang tokoh Hoa-san-pai seperti yang dituturkan oleh gurunya, yaitu yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, dua orang kakek bersaudara yang amat terkenal dan di dunia kang-auw dijuluki Hoa-san Siang- sin-kiam (Sepasang pedang sakti dari Hoa-san)! Juga dia teringat akan cerita gurunya akan pengalaman-pengalaman gurunya dimusuhi oleh kaum Hoa-san-pai, yaitu karena gurunya dahulu pernah mencuri ramuan obat, dan pedang pusaka dari Hoa-san-pai. Bahkan kemudian terdapat seorang murid wanita Hoa-san-pai yang tergila-gila kepada Sin-jiu Kiam-ong dan melarikan diri bersama pendekar yang nakal itu! Teringat akan penuturan gurunya, mau tidak mau Keng Hong tersenyum lebar. "Kenapa engkau tertawa, Twako?" "Ah, tidak apa-apa, Bi-moi. Hanya aku girang bahwa aku telah bertemu dengan murid Hoa-san-pai yang telah lama kudengar nama besarnya. Pantas saja ilmu pedangmu amat indah dan hebat!" "Ihhh, apanya yang hebat?" Gadis itu memandang penuh kekaguman dan sama sekali tidak menyembunyikan rasa tertarik pada sinar matanya yang bening. "Engkau lihai luar biasa, engkau baik budi dan manis bahasa, engkau pandai merendahkan diri dan sekarang ternyata engkau pandai pula memuju-muji orang untuk menyenangkan hatinya." "Wah-wah, yang pandai memuji-muji ini aku atau engkau?" Keng Hong tertawa. Melihat pemuda ini tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, gadis itu pun tertawa sambil berkata. "Kita sama-sama pandai memuji orang. Akan tetapi salahkah itu? Memuji orang berarti menyenangkan hati orang, dan aku ingin menyenangkan hatimu, Twako, sungguhpun hal itu merupakan balas budi yang tak ada artinya." "Sudahlah, Bi-moi. Lebih baik kau ceritakan mengapa kau dan adikmu dimusuhi mereka itu." Gadis itu menarik napas panjang. "Aaahhh, semua adalah salahku, gara-gara akulah maka terjadi permusuhan itu....." katanya, kemudian ia bercerita. Gadis yang bernama Sim Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek ini adalah putera dan puteri seorang sastrawan di kota Liok-keng yang terkenal karena pandai sekali membuat sajak dan melukis, dikenal dengan sebutan Sim-siucai (sastrawan Sim). Karena banyak mengalami kesengsaraan akibat perang dan kerusuhan, di mana kepandaian bun (sastra) tak dapat melindunginya, Sim-siucai lalu membawa kedua anaknya itu ke Hoa-san-pai untuk mendidik kedua anaknya dengan ilmu silat, karena siucai ini berpendapat bahwa dalam jaman perang dan kerusuhan itu ilmu silat lebih berguna daripada ilmu sastra. Dengan demikian, Ciang Bi yang ketika itu berusia tiga belas tahun sedangkan Lai Sek berusia sebelas tahun menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Selama lima tahun mereka berdua belajar ilmu silat. Setelah pimpinan Hoa-san-pai merasa bahwa mereka sudah memiliki kepandaian cukup untuk menjaga diri, apalagi mengingat bahwa Ciang Bi sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun dan sudah sepatutnya berada di rumah orang tua sendiri untuk kemudian berumah tangga, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini disuruh pulang ke tempat tinggal mereka.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger