naruto

naruto

Kamis, 29 November 2012

pdk harum 282

Episode 282 Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besat. Kini dua buah kitab itu telah diberkan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini." Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai." Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu utnuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula." Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat." Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk, "Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!' Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali. Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirapasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu. Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya. Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menibulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo! Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua. Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencapuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw! *** Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan! Namun, ketiga tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak. Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan. Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri San-cu itu, Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat,Cia Keng Hong. Episode 283 Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san,tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu. Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan ! Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra maupun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan! Adapun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)! Karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka, akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Kini mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek! Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan dia biarpun tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali akan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!" Ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!" "Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tidakk mengaku? Kami tadi mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disipan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!" Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, biarpun sudah setua mereka itu! "Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?" "Bocah lancang, tutup mulutmu!" Tiba-tiba kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju, matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kaukira kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?" Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa mereka kalau menghendaki barang, mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok! "Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, hanya karena penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya." "Nah-nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?" Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku." "Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Kini kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan. "Benar, Locianpwe." "Phuuuuahhh!" Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak. Akan tetapi kakek jembel berjingkrak dan bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya.. ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha! Persisi sekali Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi dalam diri muridnya. Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai bicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu di tambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!" "Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya. "Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe." "Cia Keng Hong? Ha-ha-ha, pakai hurug Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditingglkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentu angin busuk.." Episode 284 "Alias kentut!" Kakek jembel menyambung kata-kata kakek sastrawan sambil tertawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong menipu apa bedanya dengan kentut?" Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berati fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut, curang dan berwatak hina!" "Siancai! Engkau memang membohong atau menipu kalau mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau maupun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!" *** "Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkannya kemudian mengembalikannya kepada yang berhak untuk mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan mendiang suhu yang dilakukan terhadap mereka." "Wah-wah-wah, tidak benar! Kalau kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tidak kan turun mencari dan mencekikmu? dia susah-sussah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah akan mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang putahauw (tidak berbakti)!" "Hemmm, apakah pendapat Locianpwe sebagai seorang satrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat! Seorang penjahat sekalipun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang putahwauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan takkan dipercaya oleh siapapun juga! "Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengadbi kepada negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya daripada itu adalah puthauw!" "Hanya sebegitu. Locianpwe? Betapa dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat tentang hidup dan segala lika-likunya sekalipun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tidak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biarpun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu tidak akan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru, kuanggap bukanlah sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya melainkan perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Kalau muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong pungung gurunya dari belakang sehingga si guru makin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?" Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang." "Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan akan tetapi makin gemar untuk mengadu ilmu! Dulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong, disertai taruhan.kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Kini kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!" "Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan." "Itu tandanya kau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang menjadi gurumu! Kalau betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biarpun kami pernah dikalahkan sehingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat agar di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya. Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya. "Baiklah, kalau Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu.. Apa yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti.." Berseri kembali wajah kakek jembel. "Bagus... bagus...!" Nah, begitu, baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!" "Hemm.. kiranya pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Kalau memang harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkanan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?" "Wah, monyet cilik ini sombongnya!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!" Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tidak butuh harta benda, dan kamipun tidak punya banayk waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?" Episode 285 Keng Hong sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus menggerahkan Sam-lo-o ini, maka dia menjawab, "Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang naanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia kalau tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi menggeroyok seorang hijau seperti saya?" Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Kaukira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?" Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Biarpun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, namun kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar amat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di attas saputangan yang dia bentangkan di atas tanah. *** "Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan kepada Sam-wi dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi." "Baik, baik.. Biarlah pinto mencobamu lebih dulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta. "Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap. Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian. Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhunya tentang inti ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini amat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya. "Cia Keng Hong, jaga serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba sajatubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah! Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik! Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda berjongkok itu telah mengejak elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar. Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap di tanah depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat ke depan menendang dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang aat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang membuat Keng Hong terpaksa menggunakan ginkangnya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak. Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping seperti ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya. Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sukar membalas serangan lawan. Apalagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa. Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan. Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan. Akhirnya Keng Hong dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo. jika orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajarlah kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri dan serangan balasan laaawan bisa saja datang dari segala jurusan, juga yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian dapat dicurahkan untuk penyerangan! Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka setelah mengetahui, dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan. "Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu. "Heiiiiihhhhhh!" tubuh pemuda ini sudah menerjang maju dan berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaiana peuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lutut rendah-rendah dan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang amat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main. Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakanjurus Soan-hong-liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in-kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong. Episode 286 "Siancai...!" Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya tiba-tiba terbawa oleh hawa yang berputar itu menariknya ke atas, seolah-olah kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetotnya ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu dan cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan "wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya. Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak dapat terpancing oleh jurusnya Soan-hong-lian-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, malah bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tidak kalah berbahayanya daripada senjata rahasia runcing dan tajam! Keng Hong tentu saja dapat menghindarkan sambaran "senjata rahasia" itu dengan mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu akan tetapi dia gagal menyerang lawan dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia kiri sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat. "Aihhhhh!" Keng Hong berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali dan tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik dan dengan tenaga yang amat dahsyat dia menerjang lawan dari atas seperti seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in-kun-hoat yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in-kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus in-keng-hong-I ini dia sudah mampu membuat Kian Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya sudah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in-kun-hoat ini. "Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum dan biarpun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sutenya terancam bahaya, namun sedikitpun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekalipun bagi tiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan. "Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah Sute terhadap serangan itu!" Teriak pula si kakek jembel bukan karena khawatir melainkan karena gembira dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sutenya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu. Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi. Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan. "Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget. Baru hawa pukulan yang menyambar saja sudah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu dapat menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu tentu akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang. Maka dia cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan cepat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan. *** Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga. Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu yang dicipatakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya mempunyai perkembangan yang banyak sekali, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu. Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah, akan tetapi ketika dia sudah merasa sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, seepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya. "Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali! Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas, dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat. "Habis aku...!!" Thian-to Lo-o melempar tubuhunya ke belakang, akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biarpun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang! Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Selagi dia masih dapat menguasai diri tentu dia masih dapat menguasai diri tentu dia akan menghindarkan pembunuhan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger