naruto

naruto

Senin, 26 November 2012

pdk kayu harum175

Episode 175 "Ooohhhhhh...!" Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong. "Dan engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai? Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya. Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah. "Mengapa? Apakah engkau tahu mengapa?" "Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam." "Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya."Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?" Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw dan.. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...." "Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya. Cui Im menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?" "Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...." "Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam. *** Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!" "Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya. Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya! Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta". Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya. Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan. Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan san kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah! Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK. Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong. Episode 176 Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im. Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita. Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im! Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong? Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta! Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya? Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria? Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka. "Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan. "Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona." "Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang. "Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?" "Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.." "Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..." "Hemmm, tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa. Dia tadi inta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkat lagi, "Engkau siapakah? Mengapa kesini?" "Aku she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk.... untuk membalas dendam atas kematian ciciku!" "Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan. "Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua. Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?" "Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku pun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...." Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya! "Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng. Episode 177 Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?" "Be.... benar, Nona.." *** Biauw Eng menarik napas panjang dan tiba-tiba ia merintih karena rasa nyeri yang luar biasa menusuk tengkuknya. "Harap.... harap kau begitu baik hati... Menolongku, menguburkan jenazahnya..." "Baiklah, Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe." Seperti pernah diceritakan di bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas oleh Cui Im, yang tewas dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu bersama Keng Hong melampiaskan perasaan mereka saling mencinta. Sim Lai Sek merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan mengenai Keng Hong, menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng yang kemudian dilarikan ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati kehilangan cicinya, satu- satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk membalas dendam kematian cicinya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu. Ketika tadi ia tiba di situ, ia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan kekejaman mereka, mereka tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang dapat mendengar dan menyaksikan semua. Terbukalah matanya bahwa Biauw Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cicinya adalah wanita iblis itu! Akan tetapi menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu Dengan penuh semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, menaruhnya hati-hati ke dalam lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, kemudian dia menguruk lubang itu dengan tanah galian. Biauw Eng meandang semua pekarjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan. "Sudah selesai, Nona." Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan kedua tangannya. Melihat betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari kedua mata nona itu dengan ujung bajunya. Sepasang mata yang merah itu memandang penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek. "Sim-enghiong.... kau .... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Dapatkah engkau mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?" Lai Sek menengok memandang batu besar itu dan menganguk. "Ilmu silatku tidak seberapa tinggi, Nona , akan tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat olehku." Ia menghampiri batu itu, ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, dia mengerutkan kening dan berkata, "Perlukah batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibuu, Nona? Dia sombong sekali. Engkau belum... mati dia sudah menulisnya begini pasti...." "Dia benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak.... kalau Tuhan menghendaki , Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih.... ingat akan .... ah, terserahlah... Harap kau pindahkan batu itu.." Lai Sek tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan baju lalu memeluk dan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni. Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi. Nona itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum. "Aihhh... Apa saja yang takkan kulakukan untuk membalas budimu, Sim-enghiong... Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka...." Mata itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul ibu...." Sim Lai Sek merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. "Tidak ....! Tidak....! Tidak....! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau, secantik engkau..ah, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini saja....!" Gadis yang tadinya sudah memejamkan mata itu kini membuka matanya dan memandang heran. Saking herannya ia sampai lupa untuk sementara rasa nyeri yang makin menghebat. "Sim-enghiong... Kau...., kenapakah? Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?" "Lima tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya orang berhati keji telah membunuh ciciku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat ini, dan ternyata engkau...., tidak berdosa! Episode 178 Dengan begini maka akulah yang berdosa kepadamu, Nona, aku harus menebus dosaku kepadamu ini. Akan tetapi bagaimana? Engkau terluka, hampir mati.... terluka jarum beracun??? Mungkin tidak ada obat penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan...." "Jangan...!!!" Biauw Eng menjerit. "Mengapa jangan? Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar...ya, begitulah cara pengobatannya!" Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu. "Sim-enghiong, jangan lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh kengerian. "Engkau akan celaka....!!" Sim Lai Sek tersenyum dan tidak menghentikan usahanya, kini jari tangannya menjepit jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari luka di tengkuk itu. "Nona, jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekalipun, untuk menolongmu dan untuk menebus dosa, aku rela!" Setelah berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak merah. "Tunggu dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan kata-kataku." Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya. "Ada apa lagi, Nona?" "Dengar, Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-cia ini. Dia itu bekas suciku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh disedot." "Apakah takkan sembuh? Boleh coba-coba daripada tidak ditolong sama sekali." "Bukan begitu!" Biauw Eng gugup. Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya.... dia akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu...." Lai Sek kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum. "Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekalipun aku rela melakukannya untukmu, Nona." Ia menunduk kembali, akan tetapi Biauw Eng menjerit. "Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus terang, mengapa.... kau melakukan ini untukku? Kalau hanya untuk menebus rasa penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa....? Mengapa....??" . Sim Lai Sek memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa juga. "Baiklah, Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai rahasia pribadiku yang tak diketahui siapapun juga. Kau mau tahu mengapa aku hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku? Biaklah, karena .... karena aku cinta kepadamu, Nona!" Terbelalak mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat namun ia tetap tidak tahu mengapa pemuda itu mencintainya. "Akan tetapi.... ah, mana mungkin? Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cicimu!" Sim Lai Sek menundukkan kepalanya. "Itulah yang merusak hatiku selama bertahun-tahun ini. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku .... ah, si lemah ini, aku jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh ciciku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah kebencian dan penyesalan, kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam? Aku telah berdosa kepada orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu, Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban nyawa aku rela!" Sinar mata Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang ia katakan, ia tidak akan berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak dan terdengarlah bisikannya lirih, "Ouhhhhh.... biarkan aku mati.... biarkan aku mati..." Ia memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut ditengkuknya. Ia tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas hatinya terhadap pemuda itu. Episode 179 Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan akan tetapi dia menggeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Ia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah! Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa kemudian roboh terguling. "Lai Sek....!" Biauw Eng menjerit lemah. Dia sudah terhindar bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka ia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis. Totokan jari tangan Cui Im memang hebat sekali. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannnya itu setelah lewat dua belas jam barulah dapat punah dengan sendirinya. Hari telah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menanti tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula. Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada dahi pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih, "Lai Sek.. ohhh, Lai Sek....!" Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah .Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Jari-jari tangan gadis itu sejak tadi mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman di hatinya. Kini hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, terisi lagi oleh kewajiban baru. Ia hidup untuk pemuda ini! Untik membalas budi pemuda ini yang tiada taranya. Sim Lai Sek bergerak perlahan. "Uuuhhh, gelapnya....!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng. Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu. "Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak. "Heh, apa? Siapa? Malam..? Eh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau memangku aku....? Eh, mataku.... tak dapat melihat apa-apa...." Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia. "Ah, aku.... aku telah menjadi buta..." "Lai Sek.... mengapa engkau nekat....? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis. "Mataku buta? Biarlah! Akan tetapi engkau, sudah sembuh,benarkah, Nona? Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus engkau sudah sembuh!" Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi. "Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng. "Kau menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?" "Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..." Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Biarpun kedua matanya menjadi buta, kini merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa bahagia sekali! "Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih....! Engkau menangis karena mataku buta? Ah, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau sudah sembuh, sungguh besar hatiku dan masih murah kesembuhanmu kalau hanya ditebus dengan kedua mataku! Aku girang, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai." "Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku merawatmu, mendampingimu dan takkan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu. Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar. "Apa kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang telah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosa, dengan kedua mataku masih murah!" "Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Ataukah.... engkau tidak cinta lagi kepadaku?" Episode 180 Genggaman tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku, itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup untukku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin...." "Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek.." "Kau....? Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan.. sekejam itu....." Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu sehingga membuat Lai Sek gelalapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik, "Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?" "Kau mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?" "Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini." "Biauw Eng....!" Lai Sek memeluk, merangkul, mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng.... terima kasih.... terima kasih...." Dan keduanya berpelukan dan bertangisan. *** Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, telah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat. Tentu saja ada yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin akan tetapi hal ini sudah wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sefihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada fihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, adapun rasa tidak senang di fihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh. Ia maklum bahwa tugas yang dihadapinya amat berat. Ia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam kepada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai? Tugas menebus semua permusuhan dari hati tokoh-tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah amat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus maupun kasar agar wanita itu mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sesungguhnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Tanpa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan ? Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya. *** Yaitu dia harus mengunjungi puncak itu dan berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang. Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Dan teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu. Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng dan diam-diam membantunya, bahkan telah membunuh Ciang Bi. Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara. Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki . Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang? Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu. "Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)" Berseri wajah mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu. Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya. Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan: Episode 181 "Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga." Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar -ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN." Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya. Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus terang karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik. "Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangaan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia." Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN." Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain. Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus. "Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya." Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan udah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat. Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali: "Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!" Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang arah, "Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapi sukar melaksanakannya! Aduhai ...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?" Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur, "Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?" Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk, "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!" "Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?" "Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!" "Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?" "Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung?

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger