naruto

naruto

Kamis, 29 November 2012

pdk harum 249

Episode 249 "Dosamu ke dua, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sianli, bukankah berarti engkau menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!" Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Percuma saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka ia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata, "Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau membunuh dua ekor kijang, maka aku lalu membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan." "Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya. "Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya. Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya, "Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?" Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan "Berkabung" karena pakaiannya yang selalu putih itu. Kini pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada." "Kenapa engkau memakai pakaian putih?" Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar, "Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?" Tiba-tiba wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali dan anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini lalu menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah? "Mengapa engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah, Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!" Biauw Eng mengangkat muka dan memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang kelihatannya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya! "Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap tiada akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring. "Hi-hi-hi-hi-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya, ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?" Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapapun gilanya bantahan itu, memang sukar untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya. "Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!" Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat seperti kilat menyambar dan tahu-tahuu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Engkau mau apa?" Bentaknya marah, tidak takut sedikitpun biar ia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa. "Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?" "Bukan" "Nah, engkau telah membunuh kesayanganku sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku, kalau tidak mau aku akan membunuhmu." "Gila! Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk dan memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis. "Dukkk!" Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu, dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang. "Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau lebih kuat daripada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan." "Tidak sudi!" Biauw Eng membentak. Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak dijadikan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan. "Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar merah berkelebat ketika ia mencabut pedangnya. "Wuuuttt.. wirrrr.... cringgg....!" Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar dan masing-masing menarik kembali senjatanya ketika ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, gadis baju merah itu benar-benar memiliki sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh! Episode 250 "Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!" Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang amat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru. Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata amat suka menonton pertandingan silat. Mereka kini bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi. Betapapun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tapak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng. Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas sucinya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang memiliki kepandaian seperti wanita baju merah ini. Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara ketawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tidak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya masih bisa tertawa-tawa dan memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanas hati. Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in-sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebetulnya diperuntukkan senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkan dengan sabuknya dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in-sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk. "Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras, akan tetapi seruannya itu disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera. *** Biauw Eng maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tidak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan. Wanita itu lihai sekali, melepaskan ujung sabuk sabil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan ia tidak mau mengambilnya. Bahkan ia tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong. "Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!" Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, namun lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu. Agaknya lawannya ini yang dianggapnya gila dan jahat, belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih. Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi teman berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, melainkan dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya akan tetapi ia pun merasa penasaran. Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya kehilangan senjata. Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jerih dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan. Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis seperti seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti itu diserang, tiba-tiba mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat! Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali. Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya karena melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak ia menerjang maju, memukul ke arah peruh lawan. Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring ia terhuyung. Baiuw Eng mendesak akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri. Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanan dikepal, terus dihantamkan ke arah.... mukanya sendiri! Biauw Eng terhenti gerakannya, matanya terbelalak lebar saking herannya. Biarpun hanya sedetik dua detik ia terpesona dan terheran, namun yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawannya sudah "menyelonong" dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat ia tak dapat berkutik lagi! Lima orang anggota pasukan baju kuning sambil tertawa-tawa menubruk dan mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, kemudian beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira. Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Ia bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi? Episode 251 Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu. Akan tetapi setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebetulnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong seperti seekor domba. Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tidak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula. Lantainya tidak rata, melainkan penuh lekuk-lengkung sehingga kalau tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersanjung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya selebar pintu. Daun pintu bangunan itu dibuka dengan engsel di kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya amblas ke dalam lantai. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah ia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuatnya adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah.... Pikirannya sendiri dan pandang matanya yang sudah berubah sehingga ia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh? Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis pakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki. Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat. Hati Biauw Eng berdebar tidak karuan. Mahluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan ia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah ia akan diserahkan mahluk ajaib yang akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap. Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapapun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya dan Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung, seperti itu mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup. Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup, keriput, rambutnya putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging. Biarpun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat daripada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih! Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat daripada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun. Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan merasa ngeri hatinya. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini! Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dahulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara, akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding, yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri. Adapun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang tersohor ilmu pedangnya akan termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dahulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas sucinya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya! "Heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?" *** "Dia gila segila-gilanya, Thai-houw....!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak. "Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan berurai rambut berkata sambil tertawa. "Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu memencet hidungnya. Melihat ini hampir saja Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar ia telah memasuki dunianya orang gila. "Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan. "Sudah, Thai-houw." "Perlihatkan gigimu!" Episode 252 Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih seperti mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk. "Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekali. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau,kan?" Nenek itu meringis sehingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi. Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya dan biarpun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah. "Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!" Gadis berpakain merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan." "Hemmm, begitukah? Eh, mengapa dia dibelenggu? Kalau mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang." "Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak." "Di depanku, mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya, dan Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu ia takkan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas daripada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigapnya, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah. "Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak. Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja ia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biarpun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum ia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya. Biauw Eng hanya melihat sinar, dapat menduga bahwa dia diserang maka cepat ia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu mengejar ke atas, kakinya ditotok dan ia roboh kembali ke atas tanah! "Heh-heh-heh, berlutut.. rebahlah....!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi sekali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja ia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan ia sekali lagi roboh terguling!" "Nenek iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biarpun ia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, habya membuatnya terjengkang karena hawa pukulan itu amat kuat. "Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!" Nenek itu berjingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat pujian. Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Kalau ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu tidak aka harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biarpun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini. Ia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh, secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang. "Wuuuuuuttt..... bleggg!!" Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah ia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati agar ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang. Pukulannya mengenai punggungg dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Anehnya, baik nona baju merah maupun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa, "Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?" Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun ia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh. Kiaranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkannya saja. akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, lebih lihai daripada ibunya sendiri. Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas maka ia dapat pergunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah di depan tubuh yang mematikan! "Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik daripada Hun Bwe...!" Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa totokannya yang bertubi-tubi itu semua mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, bahkan akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Ia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya. Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah ia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar bias seperti siluman saja. "Sumoi, Subo telah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?" Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger